New Day (3)

DIS_

Chapter 3

Ҧ Damn Heart

What’s wrong with this damn heart?! Kenapa jantungku berdebar-debar kencang seperti sedang sakaratul maut?! Penyebabnya juga sangat konyol. Jantungku berdebar kencang seperti sekarang ini hanya karena senyuman Ozayn. Iya, aku nggak bohong—aku bahkan berani sumpah, kalau aku bohong aku bakalan diperkosa Justin Timberlake—senyuman Ozayn lah yang membuat jantungku jadi sialan seperti saat ini. Mengerikan bukan? Ew! Bahkan debarannya belum juga berhenti sampai sekarang. Sudah dua jam berlalu padahal.

Ozayn menggeser duduknya mendekat ke arahku, dari sela-sela rambutnya aku bisa mencium wangi kopi—jadi pengen ke Starbucks deh—dan saat aku tidak sengaja mendekat ke leher dan tengkuknya, aroma kulitnya seperti aroma novel baru. Memberikan kesan geek, menenangkan, hangat, membuai, dan sialnya lagi, aku suka aroma novel baru! Double EW! Kenapa Ozayn bisa mempunyai aroma itu?! Dari beratus-ratus juta, bahkan bermiliar-miliar orang yang ada di dunia ini, kenapa harus Ozayn?! Why Lord, why Goddes?!

“Asam Sulfat dan Lye tidak bisa disatukan ke dalam—“ Blah blah blahshit! Ozayn terus meracau sembari menuliskan beberapa rumus Kimia di atas kertas kosong yang ada di depan tanganku. Mathematics telah kukerjakan hingga sepuluh soal, jadi aku pindah ke Chemistry dulu saat ini. Kata Ozayn sih agar otakku bisa di-refresh! Macbook, kali! Tapi, aku mengikuti saja sarannya. Lama-lama kalau aku melihat angka-angka yang makin belibet itu, aku yakin aku pasti akan terkena kanker otak. Triple EW! Atau kena Vertigo, atau Woozy! “Kamu dengerin apa yang aku bilang?” tanya Ozayn, suaranya terdengar gugup. Dia kenapa sih?

Yes, I am, yes, I am!” Aku tidak akan pernah menoleh ke arahnya, aku masih belum berani. Aku tahu, aku memang pengecut. Tetris EW! Tapi, kalau aku melihat ke arahnya dan dia tersenyum bagaimana? Bisa-bisa aku terkena serangan jantung karena terlalu sering berdebar-debar. Wajahnya yang sangat nerdy go to hawt itu sungguh menjengkelkan. Menjengkelkan karena aku suka melihatnya! Karena dia sangat mengingkatkanku—ugh! I don’t want to remem-buh! Cassanova EW! Asquinto EW! Oblisovon EW! Dan EWEW lainnya!

“Jadi… Asam Sulfat itu punya rumusnya sendiri. Kamu lihat ini,” ucap Ozayn, tangannya yang besar dan berurat—aku tidak tahu kalau anak nerd seperti dia bisa punya tangan yang indah seperti itu, dan tangan itu akan makin indah kalau sedang mengocok kontolku—damn Zavan, stop it you lust! Sisi binal bedebah!—menunjuk sebuah tulisan melingkar seperti ular yang ada di depan pintu Asrama Slytherin. Ya, ampun, itu tulisan apaan sih?

“Kitab Setan dari mana ini?” seruku, wajahku mengernyit ngeri.

“Zavan!” tegur seseorang dari belakang tubuhku. Aku menoleh dan melihat Revie yang baru saja pulang dari Sport Station—dia sih bilang gitu tadi pas mau ninggalin aku berdua sama Ozayn di rumahnya. “Buku Paket Kimia kamu bilang Kitab Setan?” Revie menarik kursi yang ada di seberang meja makan. Aku mengedikkan bahuku ke arahnya. Kayak aku peduli aja, mau itu Buku Paket Kimia kek, Buku Paket Fisika kek, tetap aja menurutku itu Kitab Setan. Tulisan yang ada di dalam Kitab Setan itu memusingkan, sangat memusingkan! “Oz, makasih ya udah mau gantiin aku ngajarin orang satu ini!” Revie tersenyum manis ke arah Ozayn. “Nah, sekarang aku mau kamu ngerjain tugas-tugas ini, tunjukkin ke kita kalo kamu memang dengerin penjelasan yang Ozayn kasih tadi!”

Mampus! Arggh, Revie, you’re not fun! “Oke!” Entah pikiran darimana aku memberikan Revie jawaban itu. Aku menarik kertas yang berisi tulisan melingkar seperti ular tersebut dan mulai memasukkan semua angka ke dalam rumus tersebut. Okay, think fast, Zavan, THINK!

TAPI AKU HARUS NULIS APAAN?! Kusipitkan mataku dalam-dalam, melihat tajam ke arah angka dan bentuk rumus yang nggak jelas itu. Aku lumayan mengerti sebenarnya, otakku nggak bodoh-bodoh amat kok. Tapi, ya itu, susah aja ngerjainnya kalau di bawah tekanan kayak sekarang. Seperti lagi ulangan, hanya diberi waktu beberapa jam saja. Hello! Spada, I speak to the world and universe, Einstein aja butuh bertahun-tahun untuk memecahkan satu buah rumus. Masa aku—sebagai pelajar tersiksa di sekolah—harus mengerjakannya dalam waktu beberapa jam saja. So luna!

Done!” seruku, kusodorkan kertas yang berisi jawabanku ke arah Revie. Mataku—yang kali ini berkhianat seperti Gollum di film The Hobbit—beralih ke arah Ozayn yang sedang menatapku lekat-lekat. Ketika mata kami bertabrakan, aku tersipu, dia tersipu, jantungku berdebar, mungkin kontolnya dia berdiri. Oke, aku hiperbola. Tapi berharapkan nggak dosa! Cepat-cepat dia mengalihkan kontol—matanya dari mataku. Aku juga langsung melakukan hal yang sama. Baiklah, pelajaran pertama Zavan, jangan suka nafsuan lagi sekarang! Berhenti berfantasi soal kontol, sesuka apapun dengan bentuknya.

Revie berdeham pelan, dia menyorongkan kembali kertas jawabanku ke depan tanganku. “Yang ini masih salah. Tapi rumus Lye nya sih udah bener. Kamu cuman salah masukkin angka yang ada di sini,” ujar Revie panjang lebar, jarinya yang lentik seperti kaki Winnie the Pooh menunjuk angka tiga satu perempat yang kutulis dengan gaya Ratu Elizabeth a.k.a rapi. “Tapi aku impress lho, meskipun kamu nggak begitu paham sama soalnya, tapi kamu kayak benar-benar nyoba supaya bisa ngerjainnya. Aku salut sama usaha kamu.”

Aku menepuk dadaku dengan bangga. “Siapa dulu dong… Zavan McKnight!” Aku berseru nyaring, membuat Revie memasang wajah anak-polos-minta-digampar. Maksudku, Revie memasang wajah menghina. Ozayn yang duduk di sebelahku tertawa syahdu, seperti lagu Lenka yang berjudul Like a Song. Membuatku tenang, rileks. Dia mengalihkan tatapannya ke arahku lagi, aku juga melakukan hal yang sama. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan, kami saling melempar senyum. Dan rasanya… hatiku begitu pas. Semuanya terasa… indah.

Revie kembali berdeham. Membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. Aku tidak sadar kalau sedang saling memandang dengan mata Ozayn yang hitam bersisi cokelat itu—seperti mata Edward Cullen, tapi aku benci Robert Pattinson—cukup lama. Kualihkan pandanganku sepenuhnya ke arah Revie, yang saat ini memasang wajah anak-polos-minta-dihajar. “Kalian nggak usah saling tatap gitu, nanti saling naksir lho.” Revie mengedipkan salah satu matanya. Bisa kurasakan pipiku yang berkulit putih ini berubah merah.

Oh, anjing! Kenapa bisa merah seperti ini? Aku tidak pernah mengeluarkan semburat memalukan seperti ini kecuali—ah, intinya Revie menyebalkan! “Don’t be fully—fucking silly! Emang ada ceritanya orang saling natap bakalan jatuh cinta?” tanyaku, mencoba menggunakan nada sarkas seperti Sid. Tetapi gagal. Gagal total. Aku memang tidak dilahirkan menjadi sarkas, bermulut tajam, sangat jujur, kejam dan mematikan seperti Sid.

“Ada!” sahut Revie cepat. “Romeo dan Juliet. Harry Potter dan Cho Chang. Harry Potter dan Ginny Weasley. Jack dan Rose. Naruto dan Hinata. Sanji dan Nami. Aku dan Bagas.” Revie tersenyum lebar, menampilkan seringaian tampannya. “Bukannya kamu sendiri yang bilang ya Zav ke kita, kalau kontak mata bisa menghadirkan sesuatu ke dalam… hati?” Revie tersenyum culas. Ah, dia belajar dari mana sih jadi jahat begitu? Pasti dari Sid! Atau Bagas?!

“Iya, kalo hatinya saling punya magnet. Biar saling tarik-menarik. Bukannya gue mau hina lo ya Zayn—gue manggil lo Zayn aja ya, daripada Oz—tapi itu memang kenyataan. Gue dan Ozayn nggak akan saling tertarik. Sampai kapanpun. Iya, nggak, Zayn?”

Ozayn mengangguk lamat-lamat. Aku tersenyum ke arahnya. Kini aku bisa lebih tenang. Entah kenapa, saat kami saling melempar senyum tadi, ada perasaan hangat yang merayap ke dalam tubuhku dan membuat sarafku yang semula tegang dan takut menjadi rileks. Ozayn membuatku rileks! Dafuq! Ya, sudahlah. Mungkin kini aku bisa sedikit lebih ramah padanya. Karena dia sudah tidak menjadi Ozayn yang dulu lagi. Ozayn yang, well, membuatku takut. Tidak, tidak! Bukan berarti aku picik, menilai orang dari penampilan—baiklah, aku memang picik… tetapi Ozayn memang membuatku ngeri. Ngeri kenapa? Ada banyak jawaban di kepalaku, tetapi aku sulit menemukan satu yang paling tepat.

“Kita kerjain tugas kamu besok lagi ya Zav,” ucap Revie, memecah keheningan mencekam. Seperti back sound di film Hantu Jeruk Purut yang kutonton dengan mantan pacarku yang namanya telah hilang dari ingatanku. Aku ingatnya dia meringis ketakutan saat kepala si Hantu Jeruk Purut menggelinding ke jalanan seperti bola Volly. “Nggak enak kalo belajar terus. Nanti kamu bisa kena kanker otak dan tumor otak sekaligus.” Revie tersenyum lebar, membuatku tertawa pelan. Dan Ozayn juga. Dia tertawa makin syahdu, seperti lagu Royals, Team dan The Love Club nya Lorde. Oh, aku cinta Lorde, by the way!

Aku baru saja ingin memasukkan semua kertas itu ke dalam postman bagku saat tiba-tiba Ozayn yang melakukan hal itu. Aku langsung bergeming, tersentak melihat hal yang dia lakukan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Si cupu yang sudah menjadi seksi ini kenapa begitu perhatian denganku? Apakah dia tertarik denganku? Ah, tidak mungkin. Kan tadi dia menggangguk saat aku bertanya dia tidak mungkin tertarik denganku. Lagi pula Ozayn tidak masuk ke dalam gaydarku. Dia gay bukan ya? Mungkin dia seperti Matt, straight yang suka dunia gay. Atau radar gayku saja yang sudah soak?! Aku belum upgrade radar gayku sih!

“Malem ini Tivo ngadain acara makan malem di Diatmika Pent-House, Zav. Kamu sudah baca belum text nya dia?” tanya Revie, dia kembali duduk di depanku sambil memakan satu mangkuk besar es krim double dutch bercampur remah Oreo.

“O, ya?” Aku menarik iPhone ku dari dalam saku celana. Oh, pantas saja tidak kudengar notif iMessage masuk. Aku menggunakan profil silent. Kubuka slide lock iPhone ku dan membuka iMessage yang berisi dua belas pesan. Sebelas di antaranya dari mantan-mantan yang masih belum bisa move on, sedangkan yang satu lagi dari Tivo. Isinya adalah menyuruhku datang ke acara dinnernya malam ini. Kubalas pesan itu singkat. Ok. Done, message send. “Lo dateng nggak Rev?” tanyaku, kualihkan pandanganku ke arah Revie yang sedang asyik dengan es krimnya. Sedangkan Ozayn lagi membaca-baca soal remedialku.

“Da-teng!” ujarnya dengan mulut penuh es krim. “Ini aja sudah mau siap-siap. Makanya aku sama Bagas cuman bentar di Sport Station tadi. Beli sepatu futsal, langsung pulang deh!” Revie menelan es krimnya dengan susah payah. Wajahnya yang agak tirus mengembung kecil. “Tapi, kayaknya aku pakek baju gini aja ya? Kan kata Tivo cuman makan malam biasa. Nggak sampe ngundang orang-orang penting.”

“Terserah lo aja. Gue aja mau pakek baju ini buat ke sana. Lagian, puh-lease deh Rev, ini tuh Tivo yang ngundang. Bukan duta Inggris atau Pak EsBeYe!” Revie mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku menoleh ke arah Ozayn, menatap penampilan cowok nerd itu dengan pandangan menilai. Eh, emang Ozayn bakalan ikut ya? “Lo juga bakalan ikut pergi ke acara dinner nya Tivo—euh—Zayn?” Yah, meskipun aku sudah nyaman di dekatnya, namun aku tetap merasa rikuh dan kikuk jika berbincang dengannya.

“Dia pasti pergi dong!” Ini Revie yang menjawab. “Ozayn juga kan udah jadi bagian dari hidupku sekarang. Jadi ke mana aku ada acara, Oz bakalan ikut juga.” Revie tersenyum kecil.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, Ozayn yang duduk di sebelahku masih saja sibuk membaca soal remedialku dengan kening berkerut. Walaupun aku baru beberapa jam duduk di sebelahnya, namun aku tahu hal-hal kecil yang sering dia lakukan. Setiap sedang membaca sesuatu dia akan terlihat sungguh-sungguh, mendengarkan perkataan orang lain dengan serius, selalu tersenyum simpul, bergerak pelan, hati-hati, serta tingkah yang kaku. Entah apa yang terjadi—sepertinya si Gollum masih ada di dalam tubuhku—aku tersenyum asimetris. Aroma novel baru dari tubuhnya itu sungguh menyejukkan. Membuatku ingin duduk lama-lama di sebelahnya sambil membaca novel-novel yang belum kuselesaikan di rumah.

Kugigit bibir bawahku, melihat betapa menggodanya cara dia menggerakkan bibirnya ketika sedang membaca dalam diam. Aku ingin sekali menarik kepalanya ke arahku, mecium dagunya dan mendaratkan bibirku ke bibirnya—“Pacar kamu sekarang siapa Zav?” tanya Revie, membuyarkan fantasi nafsuku. Lekas, aku menolehkan mataku ke arah Revie. “Kamu lagi nggak ada pacar kan… sekarang?”

“Euh—“ Kukuakkan sedikit mulutku, bisa kurasakan Ozayn mengangkat kepalanya dari kertas soal remedial yang sedang dia baca. Aku berubah gugup, dia menatapku. “Nggak ada.” Aku tersenyum, mencoba menghilangkan rasa gugupku. Revie menopang dagunya dengan tangan, bibirnya juga ikut mengulas sebuah senyuman. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Ozayn mengulum senyumannya. Memangnya lucu ya kalau aku sedang tidak punya pacar? “Kenapa nanya? Tumben.”

“Nggak ada. Cuman pengen nanya aja sih,” ucap Revie dengan nada ceria. “Kamu tau nggak kenapa hubunganmu sama cowok-cowokmu itu selalu gagal?” tanya Revie, aku mendelik ke arahnya. Jangan bilang pada dunia—apalagi pada Ozayn—kalau aku gay! Bagaimana kalau Ozayn dendam padaku dan menyebarkan hal itu ke satu sekolah? Ozayn kan straight. Iya, kan? Dia tidak masuk ke radarku sih. Radar biadab! Pulang dari dinner Tivo aku mau meng-upgrade radarku ah. Ke IOS 8.0.4.

“Emang kenapa?” tanyaku sambil menoleh ke arah Ozayn, yang terlihat santai. Oh, mungkin dia memang seperti Matt. Atau dia gay juga? Ayolah, radar! Bunyi dong! BIP BIP BIP! Ozayn itu gay bukan ya? Badannya kayak And, kekar membahana. Tidak berlebihan juga sih, tapi tetap saja kekar. Lihat saja otot tangannya, dan urat-urat yang menjalar dari pergelangan sikunya ke atas tangannya. Disgustingly kyut! Pengen jilat deh! Oh, shit! Berhenti berfantasi penuh nafsu Zavan, berhenti!

“Karena nggak ada hubungan timbal baliknya,” jawab Revie akhirnya.

“Timbal balik?” Keningku berkerut, bingung. “What do you mean?”

“Iya, timbal balik. Saling memberi, saling menyayangi dan saling mencintai. Kayak: aku suka nontonin Bagas main futsal tiap malam minggu. Dan timbal baliknya adalah… Bagas selalu ngasih apa yang aku mau. Kita saling memahami, mencoba bersabar sama pasangan masing-masing. Nah, setiap kali kamu cerita ke aku soal hubungan kamu Zav… kamu nggak pernah ngelakuin hal itu. Kamu nggak pernah retweet perasaan mereka. Kamu nggak pernah mention nama mereka di hati kamu. Makanya gagal.”

Dahiku mengernyit, bukan karena bingung, tetapi karena ucapan Revie benar. “Well, bukan gue kok yang salah. Mereka aja yang memang nggak asyik. Payah! Lagi pula, lo ngomongin soal timbal balik apa Twitter sih? Pakek retweet dan mention segala.”

Enggop! Kita lagi bicarain soal timbal balik. Retweet dan mention itu cuman perumpamaan aja. Pokoknya, inti yang aku omongin adalah… kamu nggak punya cukup usaha untuk cinta.”

We talking about LOVE again? Same song again?!” tanyaku—plus seruku—tak percaya.

Yes!” sahut Revie cepat. “And we always talking about this again, again, and again. Until you believe and realize if love is exist!” Revie menatapku dalam-dalam. Ozayn yang duduk di sebelahku menatap wajahku dengan pandangan prihatin. Dan… durja. WHAT?! “Maaf Zav kalo aku kedengerannya kayak Shakespeare, tapi aku cuman pengen kamu bahagia.”

“Gue bahagia.”

No, you don’t!” Revie menatap wajahku, kali ini terlihat iba. Aku paling benci diberi tatapan seperti itu! “Kamu selalu senyum, kamu selalu ketawa, kamu selalu bisa buat orang lain bahagia… tapi kamu sendiri enggak. I can feel it. I’m your bestfriend. And I know you!” Aku terdiam, Ozayn terdiam, Revie terdiam, universe terdiam. “Karena yang selama ini aku lihat… kamu kesepian.” Perkataan itu langsung menohok jantungku. Menohok karena Revie benar. Kalau Sid selalu menang di setiap hal, Revie selalu benar di setiap perkiraannya.

Tetapi aku tidak mau terlihat lemah, terlihat makin menyedihkan. Kuberikan Revie sebuah senyuman. Senyuman palsu yang selalu bisa membuat orang terkena delusi. “I will be happy, just don’t worry, ‘kay!” Kukedipkan mataku ke arah Revie. Sahabatku satu itu hanya mengangguk lemah. “Jadi… gimana hubungan lo sama Bagas?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan. Aku paling tidak nyaman jika sedang membahas soal kehidupan pribadiku. “Kalian… baik-baik aja kan? Anak pertama kalian cewek apa cowok?”

Revie dan Ozayn tertawa, aku pun tertawa. “No gender! Anak kami kayaknya tertelan bumi deh.” Revie menyeringai lebar. Dasar! “Tapi aku punya sedikit kekuatiran. Well, mantan Bagas yang namanya Lusia itu selalu ngedeketin Bagas. Dan… kayaknya Bagas seneng-seneng aja. Aku takut kalau Bagas… ke cewek itu. Kan kalian tau, Bagas baru kali ini pacaran sama cowok. Dia bisa aja bosan dan… pergi.”

“Nggak akan terjadi, Rev,” sahut Ozayn cepat. Dia tersenyum—ah, manis sekali—ke arah Revie. “Bagas cinta sama kamu. Kelihatan kok dari cara dia mandang kamu. Orang buta aja bisa ngerasain. Iya nggak, Za-Zavan?” Dia menatapku malu-malu. Ozayn ini memang kikuk ya orangnya? Tetapi kenapa kalau sama Revie dan yang lain tidak? Atau karena dia masih takut padaku, karena selama ini aku selalu mengatainya… jelata. Tapi kan dia memang jelata.

“Ya, ya,” kataku, kukibas-kibaskan tanganku di udara. “Jangan terlalu takutlah! Tadi siapa nama si mantan Bagas ini? Lusia ya?” Revie mengangguk cepat. “Nah, kan pantes tuh. Lusia. Lutung Sialan!” Aku nyengir, Revie dan Ozayn tertawa agak kencang. Aku menatap mata Ozayn yang agak tertutup kalau sedang tertawa. Giginya tidak tersusun rapi, tetapi mirip gigi Close Up. Tring! Wew, aku butuh kaca mata! Silau, gan! “Sekarang yang lo harus kuatirin adalah… apakah lo masih bisa hamil? Coba cek rahim lo ke Rumah Sakit Ibunda, siapa tau lo kena kanker serviks!”

“Apaan sih!” kibas Revie. Aku dan Ozayn tertawa. Mata kami bertemu, dan kali ini aku tidak merasakan kegugupan sama sekali. Tawaku dan tawa Ozayn seperti aliran listrik, menyatu.

Dehaman maskulin membuyarkan tawaku dan Ozayn. Aku berbalik dan melihat Bagas yang sedang berjalan dengan langkah jenjang ke arah Revie. “Ayo, berangkat!” katanya, Bagas menepikan bokongnya yang kencang itu di pinggiran meja makan. No, yummy! Bagas punya Revie. Jijik deh pacaran sama pacarnya sahabat. “Eh, bentar, muka kamu masih belepotan es krim.” Bagas mendongakkan dagu Revie ke dekat bibirnya. Pelan, lidah Bagas menjilat es krim yang masih tersemat di pinggir bibir Revie. Tawa cekikikkan—seperti Mak Lampir—Revie benar-benar mengganggu. EW! Aku mengernyit dengki.

“Geli, ih, geli!” kata Revie masih terus cekikikkan seperti orang gila. Revie mendorong pelan tubuh Bagas, namun cowok itu tetap bergeming. Ya iyalah, badan Bagas bidang dan tinggi seperti itu. Sedangkan badannya Revie kecil dan mungil kayak Shaun the Sheep. “Ya, udah, kita berangkat sekarang aja!” katanya, saat Bagas mulai mencekal dagu Revie dan ingin mendaratkan ciuman di sana. Wajah Revie berubah semerah kepiting. Dia pasti malu ditonton olehku dan Ozayn. “Aku sama Bagas ya berangkatnya. Kamu sama Ozayn, oke? Sekalian kamu nanti anterin dia pulang.”

Kunaikkan alisku tinggi-tinggi. Satu. Mobil. Sama. Ozayn. Oh, NO! “Oke!” Nah, itu bukan mulutku yang ngomong. Itu sarafku yang lagi terganggu. Itu si Gollum jahat yang ada di dalam tubuhku. Revie terlonjak senang, entah senang kenapa. “Ayo!” kataku, kuambil postman bagku dan menatap Ozayn yang sedang menatapku dengan pandangan malu-malu dan takjub. Oke, dia memang masih jelata, aku masih tidak suka bau orang jelata. Tetapi Ozayn sepertinya beda. Aku sudah sadar itu, tetapi selama ini aku mengabaikannya.

Now, wish me luck! Semoga tidak ada hal aneh yang terjadi saat aku semobil dengan Ozayn!

***

Ozayn mengambil CD LMFAO dari atas dashboard mobilku. Dia membalikkan CD itu dan membacanya dengan cermat. Kami masih terjebak macet di daerah Jalan Santa. Lagu Safe and Sound dari Capital Cities memenuhi stereo mobilku. Sedangkan Ozayn saat ini masih sibuk membolak-balikkan CD yang lain. Sekarang yang sedang dia lihat adalah CDnya Selena Gomez. Aku mengernyit, aku tidak tahu kalau Ozayn suka lagu-lagu luar negeri. Kupikir dia seperti anak nerd lainnya. Mendengarkan lagu yang terbuat dari instrumen tawa lumba-lumba. Untuk menenangkan otak.

“Aku suka semua lagu yang ada di albumnya Blink 182 ini,” kata Ozayn dengan suara serak. Dia menatap wajahku malu-malu, agak gugup. Dia mengacungkan CD Blink 182 yang kubeli beberapa tahun yang lalu. “Dari semua lagunya, aku paling suka I Miss You dan Always.” Ozayn menaruh kembali CD Blink 182 ke atas dashboard mobilku.

“Lo suka lagu-lagu barat juga ternyata. Gue kira lo lebih suka lagu-lagu yang nerd gitu.” Aku menginjak gas saat mobil yang ada di hadapanku mulai beregerak. Meskipun hanya beberapa meter. “Siapa penyanyi solo dan band favorit lo?”

Di keremangan cahaya, mataku menatap lekat-lekat wajahnya yang tirus dan tegas. Rahangnya kuat, matanya yang sudah tak terbingkai kacamata terlihat berbinar, hidungnya agak mancung. Pas. Semua yang ada di dirinya terlihat pas. “Kalau band aku suka Coldplay dan One Rupublic.” Dia akhirnya menjawab, membuatku tertegun. Aku tertegun karena aku juga suka Coldplay dan One Republic. “Ehm, kalau penyanyi solo cowok aku suka Phillip Phillips dan Kris Allen. Kalau penyanyi solo cewek aku suka Lorde dan Lady Gaga.”

Aku makin tertegun. Kenapa bisa sama? Semuanya sama. Aku suka Coldplay, aku suka One Republic, aku suka Phillip Phillips, aku suka Kris Allen, aku suka Lorde, aku suka Lady Gaga. “Kok kesukaan kita bisa sama semua ya?” tanyaku heran, namun juga takjub luar biasa. Apakah aku dan dia… jodoh? Damn! Masa sih? Enggak ah! Tetapi kenapa jantungku malah berdebar-debar penuh harap seperti ini? Dasar stupid damn heart!

“Nggak tau,” ucapnya. Kali ini sangat gugup. Aku bisa mendengar suaranya bergetar. Tanda kalau orang tersebut sedang membuat bualan. Tetapi aku sedang tidak ingin berdebat soal kebohongan. Jadi aku diam saja, pura-pura mendengar lagu yang kini telah berganti ke lagu Ho Hey dari The Lumineers. Sosok Ozayn selain cupu, juga misterius. Aku suka itu.

Eh, WHAT?! Baiklah, lebih baik aku sekarang pura-pura bernyanyi, agar pikiranku tidak melantur ke mana-mana. “(Ho!) I’ve been trying to do it right  (Hey!) I’ve been living a lonely life  (Ho!) I’ve been sleeping here instead (Hey!) I’ve been sleeping in my bed, (Ho!) Sleeping in my bed.” Meskipun suaraku nggak sebagus Bruno Mars, tetapi tekhnik bernyanyiku luar biasa lho. Agnes Monica mah kalah. Coba deh kalian dengar suaraku, pasti langsung budeg dan nggak bisa bernafas lagi. Saking indahnya, iya kan? La la la….

(Ho!) So show me family  (Hey!) All the blood that I would bleed  (Ho!) I don’t know where I belong  (Hey!) I don’t know where I went wrong  (Ho!) But I can write a song.” Aku terdiam, melihat Ozayn menyambung laguku. Dia bernyanyi sambil tersenyum simpul. Mata kami kembali saling bertabrakan, dan gelenyar yang makin aneh masuk ke dalam tubuhku. Rasa ngeri itu datang lagi… dan aku kini tahu jawabannya. Rasa ngeri itu adalah… aku takut jika jatuh kepadanya. Seperti yang kurasakan sekarang! Semoga ini hanya nafsu belakaku saja.

“1, 2, 3  I belong with you, you belong with me, you’re my sweetheart, I belong with you, you belong with me, you’re my sweet.” Kami bernyanyi serempak, dengan suara yang pas-pasan. Aku dan Ozayn tertawa, agak kencang, membuat orang yang ada di dalam mobil yang ada di sebelahku menoleh. Aku tersenyum ke arah—ew, wajahnya kayak hantu muka rata—cowok itu. Kunaikkan kaca mobilku—aku tadi membukanya karena lagi merokok, sekarang sudah enggak. Kami kembali melanjutkan lagu kami. “I belong with you, you belong with me, you’re my sweetheart, I belong with you, you belong with me, you’re my sweet.

Kami menutup lagu dengan dramtis. Aku menangkupkan tanganku ke udara seperti Giring Nidji, sedangkan Ozayn mengangkat tangannya seperti Rian D’Masiv. WOW! Kami akan mengalahkan para musisi Indonesia yang gayanya nggak banget itu semua. Lihat saja kami, terlihat profesional dengan suara seperti orang yang sedang memanggil setan untuk datang. Suara kami yang merdu, bagaikan lagu pemanggil arwah penasaran untuk kembali ke Bumi. Eh, kenapa aku malah menghina suaraku sendiri? Enggak ah, suaraku indah kok. Ada unsur Sariosanya. Merdu gila!

“Kalo kita berdua rekaman di Sony Music, kita bakalan diterima nggak ya?” tanyaku, sambil memfokuskan kembali mataku ke jalanan yang mulai lenggang. “Gue punya temen yang bisa buat kompilasi lirik dan lagu yang bener-bener bagus. Kita minta dia buatin kita lagu, terus kita nyanyi bareng. Jadi duo yang akan menggemparkan dunia.” Aku tersenyum lebar, dari sudut mataku aku bisa melihat Ozayn juga memberikan senyuman yang sama sepertiku.

“Nggak ah, aku bukan jenis orang yang mudah pecaya diri. Lagian, suara kita lebih cocok untuk ngiringi upacara kematian.” Aku kembali tertawa. Keras. Aku tidak pernah tertawa keras seperti ini. Di flocksku, hanya aku satu-satunya yang sering membuat lelucon. Tetapi, kali ini aku tahu rasanya mendapatkan lelucon yang benar-benar lucu. Atau karena Ozayn nya yang lucu. Dan sangat manis saat tersenyum?

TAIK KUCING! Aku ngelantur lagi, kan! “Ja-jadi… sejak kapan lo jadi kayak….” Aku menunjuk penampilannya yang berubah. Ozayn menunduk malu, walaupun di wajahnya tidak menampilkan semburat merah—dia kulitnya cokelat sih, jadi nggak begitu kelihatan—tetapi aku tahu dia merona dan gugup. Dia mengangkat tangannya, menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin tidak gatal sama sekali. Ugh, hal cliché yang sering manusia lakukan saat sedang nervous.

“Sejak beberapa bulan yang lalu. Mungkin sekitar… setengah tahun.” Mataku terbelalak lebar. Setengah tahun aku tidak sadar kalau si nerd jadi hawt kayak sekarang! Kemana saja hidupku di DIS selama setengah tahun itu? Ayo, kemana? Aku kelayapan di mana aja, ya?!

“Gue bener-bener nggak nyangka kalo lo bakalan berubah kayak… sekarang.” Aku menatap wajahnya yang masih tertunduk. Empat detik kemudian dia akhirnya menengadahkan kepalanya dan menatapku. DEG! Jantungku kembali berdebar. Kenapa selalu berdebar seperti ini? For sex’s sake! Itu hanya Ozayn. Cowok cupu—dulunya—nan jelata yang sama sekali tidak ingin kulirik dua kali saat aku melintasinya. Atau kadang aku menganggapnya invisible. Tak terlihat. Seperti Harry Potter saat menggunakan jubah gaib.

“Kenapa?” tanyanya, membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. “Ada yang aneh ya sama mukaku?” tanyanya sambil memegang wajahnya. Dia kembali menoleh ke arahku, tersenyum sekali lagi, membuat bibirnya berkedut. Menantangku untuk menciumnya. Dan jantung ini juga masih berdebar-debar kencang seperti tabuhan marching band. Kutarik nafasku dalam-dalam. Breath in, breath out. Breath in, breath out. Breath in, breath

Baiklah! Aku tidak boleh berdebar-debar terus seperti ini! Seharusnya yang merasakan penuh debaran itu si Ozayn. Harus! Karena dia duduk di sebelah cowok pemikat sepertiku. Aku bukan mau membanggakan diriku—baiklah, dasar orang brengsek, aku memang sedang membanggakan diriku sendiri. Kenapa? Nggak suka? Masbayu huh, masalah buat you? Oke, aku akan melakukan permainan ini. Aku akan membuat Ozayn tertarik denganku setengah mati. Aku akan membuat jantungnya berdenyut kencang seperti tabuhan lagu David Guetta!

Kumajukan kepalaku ke dekat kepalanya. Ozayn tersentak mundur, refleks. Raut wajahnya terkejut, tidak menyangka kalau aku menaruh wajahku di depan wajahnya. Jarak kami hanya beberapa sentimeter. Kalau aku memajukan sedikit lagi kepalaku, bibirku bisa meraih bibirnya yang penuh godaan itu dan melumatnya lama-lama. “Ke—ke—kenapa?” tanya Ozayn, suaranya amat gugup. Hawa mulutnya sangat mint. Seperti aroma mint rokok Dunhill yang sangat suka kuhisap saat sedang stress. Atau saat aku sedang kesepian. Yeah, rite!

I like your eyes,” ucapku, menggunakan nada dalam. Ingin membuat sarafnya tergoda akan diriku. Tetapi tidak, aku hanya sedang menahannya. Membiarkan Ozayn bermain-main dengan pikirannya terlebih dahulu. “Gue suka kelopak mata lo,” kataku, kutelusuri kelopak matanya dengan tanganku, menyentuh kehangatan yang ada di sana. Bisa kurasakan nafas Ozayn menderu dan tersendat. “Gue suka bulu mata lo,” kataku lagi, masih melakukan hal nakalku kepadanya. “Gue suka mata lo. Berbinar. Such a starry-eyed!”

Bisa kurasakan jantungnya berdentum-dentum di balik kaus Forever 21 nya. Aku tersenyum. Aku memang selalu berhasil melakukan hal ini. Menggoda bukan perihal yang sulit untukku. Dan Ozayn adalah cowok yang menjadi targetku sekarang. Lupakan semua kontol busuk itu semua, kini aku akan memainkan mainan baru. Ozayn. Aku suka dia, dan aku telah menandainya sebagai teman seksku yang selanjutnya. Lupakan kalau dia seorang jelata! Aku semacam tali yang menarikku masuk ke dalam karismatiknya. Aku suka cara dia bergerak, dan aku tahu, saat dia bergerak di atas tubuhku, aku akan makin menyukainya.

“Dan gue juga suka—“ Kusentuh bibirnya dengan ujung telunjukku. Ozayn terlihat ling-lung, dia menunggu. Menungguku melangkah, apakah aku akan mencium bibirnya. Oh, Kiss me, kiss me, please retweet! Kudekatkan kepalaku ke arahnya, sengaja berlama-lama menahan bibirku untuk menciumnya. Saat aku ingin mengecup bibirnya, tiba-tiba mobil yang ada di belakangku membunyikan klakson! DASAR PECUN SETAN! Mengganggu ritualku saja!

Ozayn tersentak, dia memalingkan wajah dan tidak berani menatap mataku. Aku kembali ke posisiku semula. Melirik sebentar ke Pelacur yang ada di dalam mobil yang ada di belakangku. Sigh! Padahal aku akan mendapatkan ciuman dari bibir penuh godaan itu. Dengan perasaan kesal, aku menginjak gas dan mulai menjalankan mobil. Drat, stupid bitch!

Selama perjalanan menuju ke Diatmika Pent-House, tidak ada satupun dari kami yang membuka mulut. Aku masih kesal dan mempunyai keinginan yang besar untuk mencium Ozayn, sedangkan Ozayn masih terlihat ling-lung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan—ya iyalah, aku bukan Charles Xavier. Hanya dia satu-satunya orang yang sangat sulit untuk kumengerti. Dari tingkah laku dan segala tetek bengek nggak penting di dalam dirinya. Ozayn membuatku bertanya-tanya. Dia sok misterius, dia seperti Gargamel. Yeah, penyihir jahat yang ada di film The Smurfs—but in a good way, of smurfcourse!

Lagu Heart That’s Pounding dari Sally Seltmann mengalun lembayung dari speaker. Lagu itu seakan-akan menjadi pengganti ucapanku. Jantungku masih berdebar kencang, seperti ada yang memompanya terlampau berlebihan. Oh, Mama Gaga, I hate you! I really fucking anjing babi brengsek bajingan hate you so much! Kenapa sih jantung ini tidak bisa berdetak normal saja? Kenapa bibir Ozayn terngiang-ngiang di dalam ingatanku? Betapa lembut bibir itu saat kusentuh dengan ujung telunjukku, betapa hasrat yang ada di dalam diriku seakan-akan tertarik untuk selalu dekat dengannya, dan betapa misteriusnya sosoknya itu.

Aku melirik wajahku di spion yang ada di atas kepalaku. Wajahku terlihat tersiksa. Tersiksa karena aku setengah mati ingin menciumnya. Dan kenapa aku belum sampai-sampai juga sih? Kenapa Mama Gaga seakan-akan menyiksaku untuk berlama-lama berduaan dengan Ozayn? Ugh, I hate you Mama Gaga! Yes, you heard me, rite! I hate you so many-much-a lot! And, homage-puh-leaseeeee help me! Anyone, somebody? Adele? Lenka? Where are you? Aku benar-benar ingin segera beranjak menjauh dari sosok Ozayn. Karena kalau sampai lima menit lagi aku duduk bersebelahan dengannya aku akan menginjak rem dan mencium—

Oh, sudah sampai, ternyata! Thanks, Yahudi! Cepat-cepat aku mencari tempat parkir. Tidak berduaan lagi dengan Ozayn adalah hal yang paling penting saat ini. Aku benci sisi nafsuku yang terlalu berlebihan. Tetapi aku tidak pernah seperti ini! Ah, kenapa aku tidak berlaku jahat saja pada Ozayn? Aku sadar betul, selama ini aku menjauhinya karena ada dua hal yang kutakuti di dalam dirinya. Dan salah satunya adalah ini. Aku tertarik dengannya. Oke, mungkin bukan tertarik secara hati. Tetapi tertarik ke dalam hal yang lain. Seks, contohnya. I hate my sin lust! Tuhan pasti lagi dalam mood yang bagus saat membuat Ozayn. Dia terlihat, well, luar biasa menggoda. Selalu. Dia selalu begitu. Yeah, rite, menggodaku!

“Ini gedung punya keluarga Tivo kan?” tanya Ozayn, matanya menoleh ke luar jendela saat aku sedang menarik tuas rem. Pelan, aku mengangguk. Ozayn tersenyum, rona wajahnya tersamar di balik kulitnya yang cokelat eksotis itu. Fark! You are so lucky one! Punya kulit bagus seperti itu! Tidak seperti kulitku, terlalu putih, jadi terlihat pucat seperti keluarga Cullen lagi kena overdosis. Ada luka sedikit saja pasti langsung terlihat jelas. Sigh!

Come to my fellowship!” ajakku lekas, suaraku terdengar agak gentar. Aku membuka pintu mobil dan berjalan cepat menuju ke dalam gedung berlantai lima puluh yang ada di depanku. Gedung yang berisi kantor, restoran dan apartemen kepunyaan keluarga Tivo. Aku kemarin ingin menyewa apartemen di sini. Tetapi biayanya sangat mahal. Di lantai paling atas saja setahun delapan puluh juta. Sedangkan uang jajan bulananku dari Matt dan Anna hanya sekitar beberapa ratus juta—yang akan habis dalam waktu dua hari. Sigh times two!

“Aku baru sadar kalau bangunan tinggi ini punya keluarganya Tivo,” kata Ozayn, dia berjalan di belakangku. Aku tidak mau menoleh, pokoknya aku harus menjauh dulu darinya. Yah, berikan aku radius sekitar lima meter. Biasanya kalau otakku sedang dalam mode nafsu begini, aku harus menjauhi orang tersebut. Atau aku harus membaca jampi-jampi yang sering diajarkan oleh Psikologku. Oke, jampi-jampinya adalah: jangan mau sama dia Zavan, kontolnya penuh kudis, kurap, panu dan jamur. Dia terkena Sipilis, jauhi dia! JAUHI DIA!!!

Sex in the air, I don’t care, I love the smell of it!

Shit! Ini si Rihanna ngapain sih malah pakek nyanyi S&M di telingaku?! Membuat jampi-jampiku gagal saja. Siapa juga yang nyetel lagu ini—oh, ternyata aku sedang menggunakan earphone dengan volume kecil. Cepat-cepat kumatikan lagu Rihanna yang brengsek itu—well, aku tetap suka kok lagunya—dan mengulang kembali jampi-jampi yang tadi aku terapkan pada diriku sendiri. Aku tidak akan tergoda oleh Ozayn, atau nanti saja tergodanya. Aku tidak punya banyak waktu kalau ingin bermain-main dengannya saat ini. Oh, aku benar-benar suka jika sedang memainkan permainanku sendiri. Aku serasa menjadi superhero nya. Dan aku yakin aku akan menang. Yeah, watch me, Bieber bedebah!

“Zavan!” panggil Sid dua meja dari tempat aku berdiri. Dia melambaikan tangannya ke arahku dengan gerakkan kasual. Aku menarik ujung kemejaku yang kusut, melirik sekilas ke arah Ozayn yang berdiri kikuk di belakangku. Kutelengkan kepalaku, menyuruhnya untuk jalan duluan. Dia terlihat ragu, namun akhirnya dia melangkahkan kakinya juga. Aku berdeham, untuk menghilangkan rasa gugup yang sedaritadi ada di dalam diriku. Aku tidak ingin flocksku bertanya-tanya kenapa aku bisa segugup ini. Karena gugup bukan sifatku, itu sifat Revie kalau sedang berdiri di sebelah Bagas—dulu sih.

Langkahku terhenti saat aku melihat kalau flocksku tidak hanya membawa diri mereka saja. Sid dengan Adam. And dengan Vick. Revie dengan Bagas. Tivo dengan Peter. Dan mereka semua duduk bersebelahan, saling tertawa, melempar lelucon yang tidak aku ketahui. Mata mereka penuh dengan sarat kebahagiaan, senyuman mereka selalu merekah sepanjang detik berdetak. Aku mengkerut, merasa kalau dunia begitu kejam. Yeah, Mama Gaga, I hate you again! Kenapa sahabat-sahabatku kini lebih banyak meluangkan waktunya dengan pacar mereka? Kenapa tidak hanya kami berlima? Seperti dulu lagi.

♫Now playing: Akon – Lonely.

“Sampe kapan lo mau berdiri di sana?” tanya Sid, salah satu alisnya terangkat naik. Angkuh. “Duduk tuh di sebelah Ozayn!” Sid memperintahkanku menggunakan nada alphanya. Dia menunjuk sebuah kursi yang tepat bersebalahan dengan Peter dan Ozayn. Aku memasang senyuman lebar penuh kepalsuan ke arah mereka. Kutarik kursi itu, lalu mendaratkan bokongku di sana. “Gue nggak nyangka kalo lo bakalan semobil sama Ozayn.”

Aku nyengir. “Lo aja nggak nyangka, apalagi gue.” Mereka tergelak. Ozayn yang duduk di sebelahku—rasa nafsuku padanya sudah hilang, digantikan rasa kesepian—juga ikut tergelak. “Ada acara apaan sih, sampe dinner di sini dan serame ini?” tanyaku kepada Tivo, yang sedang membaca sesuatu di iPadnya—kitab kesayangannya itu, bleh! “Jangan bilang ke gue kalo salah satu di antara kalian bakalan nikah bentar lagi?! Tsah!” Mataku memicing tajam, berpura-pura mendramatisir keadaan. Fake Zavan muncul lagi di dalam diriku.

Tivo mengibaskan tangannya di udara, dia mendongakkan kepalanya dan tersenyum padaku. “Cuman acara dinner biasa kok. Lagian, kapan lagi kita bisa ngumpul rame-rame kayak sekarang? Sama pasangan masing-masing lagi.” Dari sudut mataku, aku bisa melihat tangan kanan Tivo yang sedang menggenggam tangan kiri Peter di bawah meja. EW! Puh-lease, deh! “Dan kapan lagi kita bisa bawa pasangan secara lengkap kayak sekarang.”

“Maksud lo?” tanyaku, mataku kembali memicing.

“Iya. Secara lengkap. Sid dan Adam. And dan Vick. Revie dan Bagas. Gue dan Peter. Lo dan… Ozayn.” Mereka berdelapan tersenyum licik ke arahku. Nah, kan, aku jadi bahan olok-olokkan di sini. Perasaanku memang sudah tidak enak daritadi. Geez!

Suit yourself, guys!” kataku acuh. Mereka tertawa serempak, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami. Ugh! Kulirik Ozayn yang duduk di sebelahku, namun dia tetap diam saja. Gosh! His not helping at all. Daripada aku makan hati—rasanya sungguh menjijikan—aku menarik buku menu yang ditaruh di tengah meja. Untuk sementara, semua pikiran orang-orang jahanam yang ada di atas meja ini teralihkan ke buku menu. Untung saja itu bertahan lama, mereka tidak mengolokku lagi. Sampai makanan tiba pun, pikiran mereka tetap teralihkan. Namun, aku sangat benci mereka. Karena… mereka mengacuhkanku. Tidak menganggapku ada, tidak mengajakku dalam pembicaraan.

Aku… kesepian. Kutolehkan kepalaku ke arah Ozayn, dan… dia tersenyum. Jantungku kembali berdebar. Senyuman itu membuatku merasa nyaman. Aroma novel baru yang ada di dalam tubuhnya membuatku tenang. Kubalas senyumannya. Ingin sekali aku menggenggam tangannya. Tetapi, tidak! Aku harus menahan diri. Kutolehkan kembali kepalaku ke arah flocksku. Namun itu adalah tindakan yang bodoh. Aku makin kesepian saat melihat semua adegan itu. Semua adegan mesra terselubung mereka. Perasaan dengki, diacuhkan, dianggap tidak ada, marah, dan kesendirian menyelimutiku.

Adam menyiram Ratatouille Sid dengan saus landanoil. Sid memasukkan beberapa gula, cream dan sweet mocca ke dalam gelas kopi Adam. And membukakan Vick kepiting dengan penjepit. Vick menyendok keluar daging kerang dan menaruhnya di atas piring And. Bagas mengolesi roti bakar Revie dengan selai es krim. Revie memotong pinggiran roti bakar karena dia tahu Bagas tidak suka pinggiran roti. Tivo menuang sampanye ke dalam gelas Peter. Dan Peter menyisihkan sayur-sayuran yang Tivo tidak suka dari dalam makanan Tivo. Sedangkan aku—tertawa miris—tidak ada yang melakukan sesuatu yang manis untukku. Aku benar-benar merasa sendiri sekarang. Aku ingin pergi ke Bulan, orang bumi jahat semua!

Aku baru saja ingin bangkit dan beralasan ingin pergi ke toilet, aku tidak tahan lagi ada di sini. Namun niatku urung saat melihat Ozayn memeras jeruk nipis ke dalam minuman sodaku. Aku mengernyit, soda, jeruk nipis. Itu adalah kombinasi minuman yang kusuka. Bagaimana dia bisa tahu? Aku menoleh cepat ke arahnya, dia menoleh ke arahku, kikuk. “Euh—kamu suka kan kalo minuman soda dicampur sama jeruk nipis?” tanyanya hati-hati. Aku tertegun beberapa detik, ingin sekali aku bertanya, dia tahu dari mana. Tetapi aku mengurungkan niatku. Alih-alih bertanya, aku menarik serbet yang ada di depan tangannya.

Kutaruh serbet itu di atas pahanya. Ozayn bergerak agak gelisah. Kudongakkan kepalaku dan tersenyum tepat di bawah dagunya yang agak lancip. “Biar pas lo makan nanti, celana lo nggak kotor kena percikkan makanan.” Bagai matahari merekah di pagi hari, dia tersenyum. Untuk beberapa detik, aku menahan posisiku. Ingin melihat senyuman itu dari dekat. Dan, demi apapun di dunia ini, senyumannya terlihat sangat indah. Menawan. Memukau. Seseorang berdeham, aku langsung memundurkan kepalaku menjauh. Aku mengalihkan tatapanku ke flocksku lagi. Mereka menatapku dengan alis terangkat, heran. “What?” tanyaku, Revie mode on. Mereka hanya mengedikkan bahu dan kembali sibuk bicara.

“Makasih buat serbetnya,” bisik Ozayn di sebelahku. Aku tersenyum.

Sepuluh menit di dalam kesendirian membuatku risih. Beberapa kali aku mengajak flocksku bicara, namun mereka langsung mengacuhkanku lagi dan lagi. Lenka, please, sing me a happy song! Oke, aku akan kembali mengajak mereka bicara. “Hey, guys!” panggilku. Mereka langsung menoleh serempak. “Kalian lihat cowok manly yang ada di sana nggak?” Mereka mengangguk. “Pasti gay deh.” Mereka menaikkan alis. “Lihat aja gerakkan tangannya. Kelihatan kok.” Mereka melihat, cowok itu bergerak perlahan—ngondek terdeteksi. “See? Yang namanya gay, mau sejantan apapun, tetap aja… cucok.”

Mereka tertawa sebentar, kemudian mengacuhkanku lagi. It hurts! Aku benar-benar dianggap tidak ada di sini. Mereka semua sibuk bicara dengan pasangan mereka masing-masing. Sid dan Adam seperti sedang berdebat akan sesuatu, namun sambil melempar senyum. And dan Vick sedang tertawa-tawa akan sesuatu yang lucu di iPhone mereka masing-masing. Revie sedang melakukan percobaan dengan rambut Bagas, dia buat rambut pacarnya bengkok sana bengkok sini. Sedangkan Tivo dan Peter sedang membicarakan perihal tempat yang akan mereka kunjungi saat tahun baru nanti.

Aku. Sungguh. Tidak. Tahan. Lagi. “Hey, guys!” panggilku untuk kesekian kalinya, sampai aku juga bosan mendengarnya malam ini. “Gue keluar dulu ya. Pengen ngerokok. Di sini kan dilarang buat ngerokok.” Mereka mengangguk serempak, tanpa menoleh ke arahku. Lekas, aku langsung bangkit dan beranjak menjauh dari mereka dengan langkah panjang. Kukeluarkan kotak rokok Marlboro Lights ku dan menyulutnya cepat meskipun aku masih ada di dalam restoran ini. Otakku benar-benar lelah dan aku sangat marah pada dunia!

Aku duduk berselonjor kaki di pinggiran tempat parkir, membiarkan angin malam menghembuskan rambut yang sengaja kusemir pirang. Kujepit rokokku di antara lipatan bibirku, menghisap dalam-dalam asapnya, kemudian menghembuskannya ke udara. Membuat semacam gumpalan putih meliuk di terpaan angin. Ini adalah malam kedua yang paling buruk yang pernah terjadi di hidupku. Aku benar-benar merasa hampa. Seperti tidak ada satu orang pun yang peduli akan keadaanku.

“Zav,” sapa seseorang, aku menengadahkan kepala dan melihat Ozayn di hadapanku. Rambutnya yang bergaya spike itu melayang-layang karena angin. Membuatnya seperti Ether, dewa udara. “Aku cariin ternyata ada di sini.” Suaranya masih agak gugup, tetapi aku tahu dia mencoba nyaman jika sedang bicara denganku. “Aku boleh duduk di sebelah kamu?” tanyanya takut-takut, dia melirik mataku laun, mencari sesuatu di pupilku. Aku tersenyum kecil, menggeser dudukku sedikit agar dia bisa duduk di sebelahku.

“Rokok?” tanyaku, kusodorkan kotak rokokku ke arahnya. Dia terlihat ragu-ragu. Aku tahu dia tidak merokok. Entah bagaimana aku tahu, pokoknya aku hanya tahu. Ozayn menarik satu batang rokok dari dalam kotak Marloboro Lights ku. Kukeluarkan lighterku dari dalam saku kemejaku dan menyulut rokoknya. Ujung rokok itu menyala, berwarna merah api. Ozayn menghisapnya sedikit, dan tak lama kemudian dia terbatuk. Aku terkekeh, sudah kuduga. “Kalo nggak bisa ngerokok, jangan ngerokok!”

Tetapi Ozayn tetap menghisap rokok itu, kali ini batuknya agak berkurang. “Kamu ngapain di sini?” tanyanya, dia masih sibuk menyeimbangkan cara menghisap dan menghembuskan asap rokok yang dia hirup ke dalam mulutnya. Kuinjak rokokku yang telah habis. Kukeluarkan satu batang lagi, hanya rokok yang bisa membuatku tenang saat ini. Aku baru saja ingin mengeluarkan lighterku ketika aku ingat kalau aku sedang dalam permainanku. Aku menoleh ke arah Ozayn. Dia masih sibuk berkonsentrasi dengan rokoknya. Kumajukan kepalaku ke dekatnya, dia tersentak dan bergeming. Aku kembali tersenyum. Kudekatkan ujung rokokku di rokoknya. Kuhisap dalam-dalam agar rokokku bisa terbakar ujungnya.

“Lagi nenangin pikiran,” jawabku akhirnya, kugunakan nada menggodaku. Mataku bertemu dengan—shit!—aku sungguh-sungguh suka matanya. Mataku berpindah arah ke bibirnya. Bibir itu agak terkuak, basah. Dari bentuk bibir itu aku tahu, aku sangat tahu artinya. “Lo nggak pernah ciuman ya sebelumnya?” tanyaku, melihat dalam-dalam bibir itu. Pantas saja bibir itu merusak batin binalku.

“I—Iya,” gagapnya pangling. Aku sungguh tidak bisa menahan seringaian lebarku.

Bibir perawan. “I like virgin lips,” ucapku. Bibirku sudah tidak tahan lagi untuk segera menciumnya. Aku tidak tahu dia gay apa bukan, tetapi ini yang kutahu; dia akan menyukai—bahkan tidak akan melupakan—cara aku menciumnya. Kutarik rokok yang ada di sela-sela bibirnya, bersamaan dengan rokokku, kumatikan rokok itu dengan ujung sepatuku. “Ikut gue!” tuturku, kuberikan Ozayn sebuah senyuman menawan.

“Kemana?” tanyanya, dahinya berkerut. Aku hanya menyeringai kecil, oh, bara-bara-bere-bere, help me to control myself! Kutarik lengan bajunya dan kubawa dia ke arah mobilku. Ozayn hanya terdiam dan terus mengikutiku sampai aku sampai di depan mobilku. Kulepaskan tanganku yang tersampir di lengan bajunya. Kutekan tombol open dan no alarm di kunci mobilku. Dengan sekali sentak, aku membuka pintu penumpang di bangku depan lebar-lebar. Aku berbalik ke arah Ozayn dengan wajah mempesona.

“Ayo, masuk!” perintahku, agak tegas. Setengah memaksa mungkin. Tetapi, IDC, I want him! NOW! Agak bimbang Ozayn menatapku, namun akhirnya dia menuruti apa yang kuperintahkan kepadanya. Dia masuk ke dalam mobilku dengan luwes. Aku tersenyum, kulirik area parkiran yang lumayan sepi. “Tekenin pedal yang ada di kanan kursinya, mundurin sedikit kursinya, supaya gue bisa muat buat masuk!” Ozayn makin bingung, tetapi dia dengan patuh langsung melakukan apa yang kusuruh. Setelah kursi benar-benar mundur, aku masuk ke dalam. Ozayn menegang kaget saat aku duduk di atas pangkuannya. Kami berhadapan, bisa kurasakan pahanya yang kokoh dan liat di bawah tekanan bokongku.

♫Now playing: Icona Pop – I Love It.

“Gue bakalan ngajarin lo cara ciuman, lo mau kan!” Itu bukan pertanyaan, aku menyatakan pernyataan selugas mungkin. “Peratruran pertama saat berciuman: jangan kaku! Kedua: jangan ditutup terus bibirnya! Ketiga: biarin lidah kita saling menyatu. Keempat: hindari sindrom mesin cuci, arti harafiahnya, saat lidah kita ketemu, jangan saling ngait-mengait! Kelima: nikmati ciumannya!” Ozayn menahan nafasnya saat aku mendekatkan bibirku ke bibirnya. Seperti lagu Angels, mengalun dan mengalir, seperti itulah saat aku mendaratkan bibirku di bibirnya. Manis! Itu kesan pertama yang kudapatkan. Kutaruh kedua tanganku di pipinya, menekan bibirku lama-lama di bibirnya. Ozayn mengerang, sedikit demi sedikit dia mulai membuka mulutnya, mengucapkan selamat datang kepada lidahku saat bertemu dengan lidahnya yang beraroma jeruk nipis dan rokok. Paduan aroma yang menyejukkan. Mama Gaga, I love you so many-much-a lot! Kalau tadi aku ada bilang aku benci kamu Mama Gaga, anggap saja aku lagi khilaf! Kan manusia punya masa khilafnya masing-masing!

Aku tersentak saat Ozayn menjilat lidahku. Dia membalas ciumanku! Tangannya memeluk kencang pinggangku. Bisa kurasakan ada yang mengeras di balik celananya. Aku tersenyum sambil terus menciumnya. Kubuka mataku, menghentikan ciuman. “Gue udah pernah bilang belum kalo gue suka mata lo?” tanyaku serak. Ozayn membuka matanya dan mengangguk. “Kalo gitu, gue mau kita ciuman sambil saling tatap!” Kulumat kembali bibir Ozayn, dan dia langsung menyeruakkan lidahnya ke dalam mulutku. Matanya tertumbuk dengan mataku. Dan aku serasa tenggelam di dalam pupilnya, di dalam dirinya.

Kumasukkan tanganku ke dalam kausnya. Merasakan detak jantungnya yang menderu kencang, merasakan gumpalan daging keras dada bidangnya dan pundak lebarnya yang seakan-akan memberitahuku, kalau aku bisa tidur di pundak itu kapanpun aku mau. Ozayn makin kencang memeluk pinggangku, mata kami yang saling tatap seperti ini memang sungguh-sungguh—oh, sindrom mesin cuci sungguh terjadi! Ini buruk! Karena aku akan kehilangan kontrol jika sudah mengalami hal ini. Lidah kami yang saling menjilat seperti ini—asshole! Whatever! Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya! Ahhh!!!

–Aselole, bitch! Bersambung yak!–

Makasih buat yg masih nunggu, jadi, apakah kalian masih hidup? Wahh, New Day chapter 4 akan muncul kalau kalian mengomentari isi cerita ini. Gue akan mengepostnya jika menemukan komen yg nggak OOT.

Yeah, jadi, apakah kalian rindu sama gue? Kalau nggak, awas lo, gue kutuk jadi batu berbentuk homo. Hihihihi…

Oke… gue mau minta maaf kalau updatenya lama ya, maaf bgt. Taulah, gue kan sibuk. Sibuk apaan? Hanya Tuhan yang tahu, gue aja nggak tau sibuk apaan. Buat kalian, please, jangan mencerca gue ya karena updateannya telat…

532021

12e2e4d0-9670-11e3-a2ee-894a18bd85ab_469448029

BeKLSv6CUAEgqbC

Dadadadadadadahhhhhh!!!!! See you di post selanjutnya. Ciwikeke, muaaccchhhh!!!!

NB. Jangan lupa vote ya 😛

Weather Series Vote

New Day (2)

DIS_

Chapter 2

Ҧ Envy Like a Gigolo

Orang kewl dan hawt yang ada di hadapanku ini ternyata Ozayn! Masa sih?! Tetapi kalau diperhatikan lagi dia memang mirip Ozayn. Aku pernah melihat dia dalam bentuk seperti ini saat kami satu kelompok di pelajaran Biology ketika kami masih di grade sepuluh. Waktu itu aku dan dia harus mengerjakan tugas pengawetan hewan. Kami bertemu di Lab yang ada di Jakarta Pusat. Seperti biasa, dia akan mengenakkan kaus oblong keluaran Mangga Dua dan berdiri gelisah seperti anak cupu kebanyakkan.

Tetapi aku melihat perubahannya waktu itu. Saat kami sedang memburu Cicak di rumah Adam—di rumahku tidak ada Cicaknya, makanya kami pergi mencari ke rumah Adam dan Bams—wajah Ozayn yang cupu itu kelelahan dan penuh keringat—seksi. Karena dia yang kusuruh mengelilingi rumah Adam dan Bams untuk mencari Cicak laknat tersebut. Aku sedang asyik meminum Jus Sirsakku bersama Bams dan Belinda di teras rumah saat Ozayn menghampiriku sambil memegang satu Cicak berukuran sedang di tangannya.

“Aku udah dapet,” katanya gugup, matanya melihatku malu-malu. “Kita awetin sekarang atau gimana?” Dia mempelintir kepala Cicak itu hingga mati. Belinda yang melihat kejadian tersebut langsung histeris ketakutan dan masuk ke dalam pelukan Bams—pasangan menjijikan. Sedangkan aku, ya, sama, aku juga agak kaget saat melihat kronologis kematian si Mbah Cicak itu. Semoga nyawanya diterima di sisi Tuhan, amen! Untung Ozayn yang membunuhnya, jadi semua dosa si Mbah Cicak masuk ke dalam tubuhnya.

“Awetin sekarang aja!” kataku mengajaknya ke taman depan rumah Adam. Kukeluarkan botol berisi air pengawetan hewan itu dari dalam neck bag ku dan mengocok isinya. Ozayn ikut berjongkok di sebelahku, kacamata tebalnya terbias oleh sinar matahari, membuat mata yang ada di balik kacamata itu berubah penuh binar. Saat Ozayn menolehkan kepalanya ke arahku, aku langsung mengalihkan tatapanku ke arah si Mbah Cicak tragis itu. “Buat Cicak ini bergaya dong! Masa terlentang gitu aja. Kita harus naikkin kakinya ke atas, dan tangannya di bawah dagu, biar cicaknya imut-imut.”

Ozayn tertawa pelan, membuat suara tawanya masuk ke dalam relung telingaku dengan lembut. Oke! Ini tidak bagus sama sekali. Aku baru saja mengatakan kalau suara tawa Ozayn masuk ke dalam relung telingaku dengan lembut—what is that suppose to mean, you stupid Zavan! “Kayak gini?” tanya Ozayn, dia menolehkan kembali kepalanya ke arahku. Bibirnya membentuk sebuah lekukkan kecil, agak tertarik ke atas dan membuat sudutnya bergerak lemah. Bibir itu terlihat begitu empuk, bagaimana rasanya kalau aku menciumnya?

Anjing! Aku baru bilang apa tadi?! “Ya, kayak gitu!” Suaraku agak bergetar saat mengatakan hal tadi. Kenapa aku selalu gugup kalau melihat dia? Dalam jarak sedekat ini, gelagatku malah makin gugup dan tak karuan. Bahkan tanganku gemetaran saat menuangkan cairan yang ada di dalam botol itu ke si Mbah Cicak yang sudah is dead di bawah kakiku ini. “Kita tunggu berapa lama sampe Cicak ini bener-bener awet?” tanyaku sambil menghentikan menyirami si Mbah Cicak dengan air pengawet.

Kutolehkan kepalaku ke arah Ozayn dan melihat hal yang paling membuatku terkejut. Ozayn menarik lepas kacamatanya. Matanya yang berwarna hitam agak kecokelatan dan tajam seperti mata elang itu menyipit kecil. Dia menaikkan tangannya dan mengelap keringat yang ada di dahinya dengan gerakkan lamban. Rambutnya yang cupu itu berubah acak-acakkan saat dia menggaruknya pelan. Dan ketika dia menoleh ke arahku, di titik itulah aku sangat terpukau dan ketakutan dalam satu waktu yang hampir bersamaan. Ozayn yang ada di sampingku ini, membuatku sangat gelisah dan salah tingkah! Shit, rite! Ozayn biadab!

“Aku duluan ya,” kata Ozayn—dalam versi IOS yang lebih tinggi dan menakjubkan—pelan, membuyarkan lamunanku akan masa lalu—menarikku kembali ke masa kini. Ozayn berdeham gugup, langkahnya agak kikuk saat berjalan cepat ke arah eskalator yang belum dinyalakan. Punggungnya yang lebar, dengan pundak yang sangat berisi, bergerak-gerak tak karuan. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, masih belum percaya kalau aku tadi bicara dengan Ozayn—anak cupu yang selalu membuatku gugup, salah tingkah dan takut.

Itu adalah sebuah kejujuran. Aku tidak membenci Ozayn, aku hanya merasa takut kalau ada di dekatnya. Aku juga tidak tahu aku takut kenapa. Aku hanya merasakan hal itu saja di dalam benakku. Aku selalu merasa cemas jika ada di dekatnya. Itu yang kurasakan jika melihat wajahnya dan gerak-geriknya yang selalu bisa membuatku gusar. Aku mungkin suka menghina dia jelek, jelata dan anak cupu berkacamata tebal, tetapi aku bukan bermaksud ingin melukai hatinya—walaupun aku yakin dia pasti tersakiti dengan ucapanku—tetapi karena setiap kali aku melihat wajahnya yang cupu itu aku seperti sedang—

Shit! iPhone ku bergetar menandakan ada iMessage yang masuk. Aku menarik benda itu keluar dari dalam saku jasku dan membuka slide locknya. Oh, dari Sid ternyata. Yang menyuruhku datang ke mobilnya kalau aku sudah sampai di sekolah. Kumasukkan iPhone ku kembali dan melangkah panjang menuju ke parkiran barat. Parkiran yang dikhususkan untuk anak-anak RR yang mempunyai mobil-mobil bagus. I really love my fab, I really love my rich, I really love my damn popularity and I really love when everybody look at me and envy like a Gigolo! I really love my life in here. Meskipun aku tidak menjadi diriku sendiri.

“Hello!” sapaku riang sembari membuka pintu mobil Porsche kepunyaan Sid dan masuk ke dalamnya dengan luwes. Aku mengalihkan pandanganku dan melihat Sid yang sedang memamerkan senyuman lebarnya ke arahku. Tubuhku tersentak saat melihat wajahnya yang nampak berseri-seri. Pasti ada sesuatu yang menyenangkan makanya dia memasang wajah seperti itu. Meskipun aura sombongnya masih sangat terasa. “Sumthing good happen?” tanyaku penasaran. Apakah akhirnya Sid hamil saat liburan bulan madunya dengan Adam ke Rio de Jeneiro kemarin? Hmm, bisa jadi!

Not really,” tutur Sid sambil melihat-lihat BlackBerry barunya. BlackBerry nya yang lama terpaksa masuk Museum karena rusak total saat Sid dilempar oleh Adam dan Bams ke dalam koram berenang. “I just in a good and happy mood today,” tambahnya, dia tersenyum lagi ke arahku. Aku hanya mengangguk lalu melihat lama-lama wajah Sid yang agak kecokelatan. Pasti saat di Rio kemarin dia sering berjemur. Aku jadi ingin ke pantai juga—tapi bukan untuk berjemur, namun mau melihat tubuh telanjang nan seksi laki-laki tampan yang berseliweran di sana.

“Pagi!” sapa sebuah suara dari bangku belakang. Aku membalikkan badanku dan melihat Tivo yang baru saja duduk di sana dengan nyaman. Dia menutup pintu, tangannya melambai kecil ke arah Peter. Kuberikan senyuman menawanku ke arahnya saat dia memandang ke arahku. Tivo menekuk bibirnya dan membalas senyumanku. Aku masih tidak percaya kalau Tivo yang sekarang sudah bisa menampakkan sebuah senyuman tampan seperti itu. Dari pertama kami bersahabat dan berkenalan, dia tidak pernah tersenyum. Entah itu senyuman kecil ataupun lebar. Namun sekarang dia sudah bisa, dan aku masih belum bisa percaya.

Aku menurunkan kaca mobil saat mobil biru bermerek Mazda 2 lewat di depan parkiran barat DIS. “Hello, Bagas!” sapaku riang saat cowok itu membukakan Revie pintu mobil. EW! Sok romantis! “Dadah, Bagas!” seruku lagi saat cowok itu kembali masuk ke dalam mobilnya.

Revie baru melangkahkan kakinya ketika mobil Bagas sudah keluar dari gerbang sekolah. Tidak bertemu sekitar dua minggu, gaya rambut Revie agak berubah. Sedikit lebih acak-acakkan. Padahal biasanya dia akan menyisir rambutnya dengan rapi dan memberi sentuhan akhir dengan gaya rambut yang sangat kekanak-kanakkan. Tetapi sekarang gaya rambutnya benar-benar beda, agak shaggy tapi disisir ke belakang. Wajahnya yang—I really envy like a gigolo to him because of this—sangat tampan makin menarik dan terkesan dewasa muda. Tidak seperti wajahku, yang sudah dicap seperti orang dewasa nan matang. Sialan!

“Pagi!” sapa Revie sambil memasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Dia menggeser duduknya agar bisa memberi And tempat duduk saat cowok itu datang. “Kalian apa kabar? Gimana liburan sekolahnya? Seru nggak?” Revie bertanya panjang lebar, di bibirnya terkulum sebuah senyuman yang luar biasa mempesona. Aku makin iri, aku juga ingin mempunyai senyuman seperti itu. Jika saja aku bisa menjadi Revie, aku tidak perlu menyadarkan cowok-cowok straight itu kalau mereka gay atau biseksual. Dengan sekali tatapan dan senyuman, cowok-cowok itu pasti akan tertarik dengan Revie. His such a stardust! Envy, envy, envy!

“Liburan gue asyik juga lho, nggak kalah kayak liburan kalian,” bohongku, kuberikan mereka senyumanku yang paling meyakinkan. Jika urusan bohong membohong, akulah orang yang paling pintar melakukan itu. “Gue kencan sama beberapa orang, terus nggak lama setelah itu gue pacaran sama si Robi. Lo masih inget Robi kan Rev?” tanyaku sok antusias ke arah Revie. Sahabatku yang sangat tampan itu mengangguk, tanda dia masih ingat si Rombongan Babi. “Tapi gue udah putus sama dia, soalnya dia orangnya ngebosenin dan always babble sumthing about football. Bowing times one! Terus dia juga suka sama hal-hal yang sangat menjijikan untuk gue. Kayak dia yang suka sama lagu Dangdut, tiap gue naik mobil bareng dia pasti dia selalu nyetel lagu yang di-reject-di-reject or whatever itu. Bowing times two!”

Revie dan Sid tertawa pelan. Aku tersenyum puas karena bisa membuat mereka tertawa di pagi hari ini. Tivo memajukan badannya ke arahku, wajah malasnya terpampang jelas di depan mataku. “Terus, di bagian yang mana liburan lo asyik?” tanya Tivo kejam. Aku paling tidak suka kalau Tivo sudah membuka mulutnya dan berujar jahat padaku. Di balik sifat malas bicaranya itu, dia mempunyai lidah yang bisa membuat perasaan orang yang lagi penuh dengan lovey dovey langsung Down seperti judul lagunya Jay Sean.

“Di bagian gue kencannya,” jawabku asal. “Mentang-mentang lo liburan di tempat yang menakjubkan, jadi lo pikir hanya liburan lo aja yang asyik. Listen, my Phral, menurut kamus hidup gue, kencan dan bisa ngemut kontol itu adalah suatu kepuasaan dan suatu keasyikkan yang sangat sulit buat gue tepis gitu aja.” Kutaruh kedua tanganku di depan dada, bergaya sok kewl di depan Tivo dan yang lain. Aku tidak mau kedengaran seperti orang menyedihkan yang kesepian karena ditinggal liburan oleh mereka. Yah, meskipun aku merasakan hal itu. “Kalo lo gimana liburan sama si Peter di Singapur? Lo atau Peter yang hamil?” Revie tergelak pelan mendengar pertanyaan bodohku, aku dan Sid menatap Tivo dalam-dalam.

“Rahim gue ada masalah, jadi Peter yang hamil.” Aku dan kedua sahabatku langsung tertawa mendengar perkataan Tivo barusan. Kami langsung merubah topik dan membicarakan banyak hal. Tentang Sid dan pengalamannya bersama Adam di Rio. Revie dengan Bagas yang mempunyai pengalaman seru saat mereka ke Puncak kemarin. Tivo dan Peter yang menghabiskan waktu di Universal Studio. Sedangkan aku, aku hanya memberitahu mereka soal party Griffin yang didatangi oleh anak-anak Jubilee International School itu. Such a lame life! Tapi itu masih lebih baik daripada aku harus nonton maraton Coffee Prince—drama Korea kesukaan Belinda—semalam suntuk dengan kembaranku. Mengerikan!

“Hello, guys!” sapa And saat kami sedang asyik membahas soal makanan unik di Rio.

“Tepat lima menit sebelum bel bunyi!” sergah Sid mencemooh. And hanya mengedikkan bahunya dan duduk di kursi belakang dengan gerakkan lamban. “Liburan lo sama Vick di Sabang gimana And? Seru nggak?” tanya Sid sambil membetulkan dasinya. Aku melirik ke arah And yang masih sibuk membenahi jas DIS nya yang agak berantakan karena dia tadi naik motor ke sekolah. Eh, And dan Vick memang selalu naik motor kalau ke sekolah, motor besar mengerikan yang mengingatkanku dengan para penjahat di film Fast and Furious. Motor Harley Davidson yang sangat indentik dengan geng motor.

Setelah yakin pakaiannya sudah rapi dan tidak sekusut tadi, And mengangkat kepalanya dan menatapku serta Sid secara bergantian. “Lumayan seru. Snorkeling, lihat adat budaya Sumatera yang luar biasa keren dan nyoba semua makanan dari daerah itu. Pantainya juga indah banget. Kalian harus ke sana! Pasti kalian nggak akan nyesel.” And memberikan kami senyuman simpulnya. Di antara kami berlima, yang wajahnya paling biasa saja—sebenarnya sih aku mau bilang jelek, tapi karena aku takut dihajar And—secara dia ketua Karate—jadi aku bilang kalau wajahnya biasa saja—adalah And. Tapi, dia yang paling terlihat gagah dan sangat perkasa. Aku saja tidak percaya kalau dia suka emut kontol ketimbang jilat Labia Mayora perempuan yang rasanya kayak Cuka Pempek—maafkan aku wahai perempuan.

Nope, thanks! Mendingan gue ke Pantai Ibiza. Lebih banyak cowok gantengnya di sana,” kataku sembari memasang senyuman penuh kebinalanku ke arah mereka. Sid memutar bola matanya seperti orang mabuk, sedangkan ketiga sahabatku yang duduk di bangku belakang hanya bisa menggelengkan kepala mereka. Aku baru saja ingin membuka mulutku lagi, tetapi bel sekolah—yang bunyinya seperti: Tetek Tetek—tiba-tiba berbunyi. Kusisir rambut spikeku ke belakang, agar memberikan kesan lebih fresh dan menawan. I am gorgeous, bitch!

C’mon, guys, kita masuk! Gue juga mau ngambil jadwal pelajaran buat semester ini sebelum gue sarapan di DisCaf. Semoga aja kita nggak ngantri dan harus pakek sistem absen nama. Gosh! Gue paling nggak suka nunggu dan ngantri. Semoga tahun ini anak RR sama anak RG dipisahin. Soalnya kalo ngantri sama anak RG pasti mereka bakalan lama. Mereka suka milih banyak homeroom. Semester ini gue bakalan hapus semua pelajaran yang menghafal. Kayak History dan kawan-kawan.” Sid membuka pintu mobilnya dengan sekali sentak. Aku juga langsung melakukan hal yang sama. “Chins up, smile on!” perintah Sid saat kami berjalan ke arah pintu masuk sekolah. “We populer in this school, guys! Jangan malu-maluin!”

Cepat-cepat kunaikkan sedikit daguku layaknya Raja dan memasang senyuman tipis tapi menggoda di bibirku. Ketika kami sampai di lorong sekolah, kerumunan orang-orang nggak penting sedang asyik berbincang satu sama lain, membuat lorong sekolah penuh sesak. Tak lama kemudian mata mereka tertuju ke arah kami, dengan agak kikuk mereka langsung merapatkan tubuh mereka ke dinding loker masing-masing. Memberikan floksku jalan yang lebar nan leluasa. Seketika itu juga lorong yang semula sangat berisik berubah hening. Aku tersenyum lebar melihat ini, menjadi populer memang menyenangkan. Apalagi saat kami berjalan di lorong sekolah dan mereka memperhatikan kami dengan mata berbinar. Heaven!

“Kita langsung ke ruang Akademis aja!” perintah Sid dengan nada absolut. “Lagian kita mau ambil apa di loker!” Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Jadi kami tidak membantah, hanya terus mengikuti langkah Sid yang jenjang. Kerumanan anak-anak grade 11 memenuhi pintu ruang Akademis saat kami sampai di sana. Sid berdeham pelan, membuat mata anak-anak itu menoleh. “Get lost!” titah Sid ke arah anak-anak itu, yang langsung mereka lakukan dengan cepat. “Yuk! Kita ambil terus ke DisCaf!”

“Kalian aja yang ngambil, gue nunggu di sini.” Mereka berempat menatapku bingung. “Tadi pagi gue udah ambil jadwal gue untuk semester dua ini!” Aku mengeluarkan kertas jadwalku.

“Emang lo dateng ke sekolah jam berapa?” tanya Sid sambil melihat jadwal semester duaku. Untuk semester ini, aku tidak mengambil pelajaran History, Politic, Geology, Anthropology dan yang menghafal lainnya. Cukup pelajaran wajib saja. Jadi aku bisa konsentrasi untuk mempelajari pelajaran yang dikhususkan untuk Ujian Akhir nanti. Nilai-nilaiku sangat buruk di semester satu kemarin, apalagi nilai Chemistry, Mathematics, dan Physics. Jika sampai aku tidak lulus dari sekolah ini, apa yang akan terjadi dengan Reputasiku? Apakah aku harus mengikuti jejak Nia Rahmadani dengan menikahi anaknya Bakrie? Hiii, BIG NO-NO!!!

“Jam setengah tujuh,” jawabku, yang langsung mendapatkan respon aneh dari flocksku.

Sid maju selangkah, matanya menyipit ke arahku. “Who are you?” tanyanya penuh selidik. “Zavan yang gue tau itu orangnya nggak kayak gini. Dia selalu datang jam setengah delapan dan nggak akan mau ngambil jadwal semesternya buru-buru. Jangan bilang kalo sekarang lo mau jadi murid teladan terus ngalahin Revie dan Ozayn! That’s creepy, you know!” Sid menatap wajahku masih dengan mata menyipitnya itu. Memangnya aneh ya kalau aku pergi ke sekolah terlalu pagi? Well, mungkin iya, karena aku memang tidak terlalu mementingkan sekolah. Namun itu dulu, sebelum aku sadar kalau nilaiku jeblok semua.

“Nggak tau, gue cuman pengen dateng pagi aja!” bohongku lagi. Mereka tidak perlu tahukan perihal nilaiku yang busuk semua itu. Nilai yang bisa membunuh mata para Alien yang ada di Mars saking mengerikannya. “Oh, iya, kalian udah lihat belum perubahan si Cupu?” tanyaku sok antusias, agar pembicaraan kami teralihkan. Kulirik pintu Akademis dan melihat sir Sinaga masih berurusan dengan lima orang siswa di dalam sana. Sial! Pasti itu anak-anak RG yang sedang memilih homeroom apa saja yang akan mereka ambil untuk semester ini. Dasar anak RG sialan! Cepat keluar biar aku tidak ditanya-tanya lagi oleh flocksku.

“Gue udah tau!” sahut Sid dan yang lain secara bersamaan. Berarti hanya aku yang baru tahu soal perubahan Ozayn ini. Yang dari IOS cupu menjadi IOS yang lebih canggih. “Jadi—“ Tiba-tiba pintu Akademis terbuka. Aku mendesah dalam diam, bersyukur karena perkataan yang akan Sid lontarkan barusan tidak jadi. “Ya udah, lo nunggu kita di DisCaf aja. Palingan kita lama di dalem gara-gara Revie.” Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum kecil. Mereka masuk beriringan ke dalam ruang Akademis. Sigh! Berarti aku harus jalan sendirian ke DisCaf. Menyebalkan!

Aku baru melangkahkan kakiku sebanyak tiga kali sebelum akhirnya aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. Aku berbalik dan melihat—entah siapapun dia—seorang cewek grade 12 berpenampilan penuh warna yang sedang tersenyum ke arahku. “Euh—lo dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah,” kata cewek itu masih dengan senyuman yang sama. “Kata Mister Rusmika ada hal yang pengen dia bicarain sama lo.” Cewek itu mengibaskan rambutnya ke belakang dengan gaya menggoda. LOL! Aku tahu kalau dia mencoba menjerat hatiku ke dalam pelukannya. Tapi, sorry, selama dia masih punya tetek dan pepek aku tidak akan pernah terjerat ke dalam pelukannya. Sayonara!

“Oke, thanks,” ujarku lembut, kuberikan dia senyuman mautku. HA! Makan tuh senyuman mautku, luluh-luluh deh tuh hati! “Bye!” Aku melambaikan tanganku sembari melangkahkan kakiku menuju ke ruang Kepala Sekolah yang ada di bagian barat daya sekolah. Aku sangat jarang—malah tidak pernah—dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Yang paling sering itu Revie, untuk menerima uang karena dia berhasil menjadi juara saat dia mengikuti Olimpiade. Oh, Gawd! Atau aku mau diberikan penghargaan karena aku datang pagi hari ini. WOW! “Scuse me, Mister!” ucapku sopan sambil mengetuk pintu ruang Kepala Sekolah.

Come in!” ujar Mister Rusmika dengan suara serak, faktor usia yang sudah tidak muda lagi.

Aku mendorong pintu kaca tersebut hingga terbuka lebar, hati-hati aku memasukkan tubuhku ke dalam ruangan beraroma salad yang agak enak untuk dihirup. Aku melirik sekilas ke arah piala-piala berkilauan yang ada di dalam kotak kaca yang bertengger di samping meja penuh bunga. Aku menepuk ujung jasku, agar terlihat rapi. Kuberikan senyumanku ke arah Mister Rusmika saat dia menengadahkan kepalanya dari kertas-kertas berserakkan yang ada di atas mejanya. “Tadi ada yang bilang kalau saya dipanggil ke sini,” kataku, menatap mata Mister Rusmika yang ada di balik kacamata.

“Ya, ya,” katanya masih dengan nada suara yang serak. “Sit down!” suruhnya lembut. Aku menganggukkan kepalaku kemudian menarik kursi tanpa lengan yang ada di depan mejanya. Setelah aku duduk di kursi tersebut, Mister Rusmika menyorongkan sebuah kertas ke hadapanku. Aku menyipitkan mataku untuk membaca tulisan yang ada di atas kertas tersebut, namun suara Mister Rusmika membuyarkan konsentrasiku. “Mr. John di homeroom Mathematics, Mr. Adikiawan di homeroom Physics dan Mr. Jacob di homeroom Chemistry bilang pada saya kalau nilai Anda sangat buruk di pelajaran mereka.” Aku menelan air ludahku dengan susah payah. “Nilai Anda di bawah nilai standar yang kami terapkan di sekolah ini.” Mati! Hitler, tembak aku sekarang! “Jadi saya memutuskan ke beberapa murid yang ada di sekolah ini jika nilainya buruk, harus melakukan tugas remedial.”

Kuangkat pandanganku dan menatap wajah Mister Rusmika dengan pandangan bingung. “Tugas remedial?” tanyaku dengan nada suara yang kubuat tenang. Padahal aku yakin Grim Reaper—sosok kematian yang selalu membawa pedang sabit besar di tangan—ada di belakangku dan bersiap-siap mencabut nyawaku. Oh, jangan sekarang! Orang ganteng di dunia ini sangat sedikit, kalau aku mati, makin menipis juga stok orang ganteng yang ada di dunia menyedihkan ini. Jadi jangan buat aku mati dulu!

“Iya, tugas remedial. Remedial assignment.” Mister Rusmika mengulang dua kali kalimat itu. Dia pikir aku juga bodoh dalam dengar mendengar, paham memahami. Pak Tua sialan! “Jadi Mr. John, Mr. Adikiawan dan Mr. Jacob memberikan tugas kepada Anda untuk memperbaiki nilai Anda yang buruk kemarin.” Wajahku mengernyit dalam saat mendengar Pak Tua ini bilang nilaiku buruk. Entah kenapa aku sangat benci mendengar kata BURUK! “Saya yakin Anda bisa mengerjakannya. Satu tugas hanya terdiri dari 20 Soal!” APA!!! Ya, sudah deh, mati juga nggak apa-apa sekarang! “Anda juga kan berteman dengan Nak Revie. Saya yakin dia bisa mengajari Anda. Atau Anda mau diajari oleh murid kedua terpintar di sekolah ini, Nak Ozayn?” Aku langsung menggeleng kuat-kuat. Revie lebih baik deh. “Kalau begitu, silahkan Anda ambil kertas-kertas ini. Waktu Anda hanya ada tiga minggu untuk menyelesaikan semua Tugas Remedial itu. Anda harus ingat, nilai Anda semester kemarin sangat berpengaruh dengan nilai Anda di semester ini.”

“Ya, Mister,” kataku lemah. Kuambil kertas-kertas agak tebal itu dari tangan Mister Rusmika yang keriputan seperti pantat Babon. “Saya kumpulkan tugas ini langsung ke homeroom teacher nya, atau langsung pada Anda?” tanyaku, kupegang kertas yang ada di atas tanganku dengan perasaan kacau balau. Aku butuh Revie sekarang, aku harus segera mengerjakan tugas remedial tidak penting ini supaya nilaiku bisa lebih baik. Dan supaya aku bisa lulus dari sekolah ini, aku tidak ingin membuat reputasiku hancur karena aku tidak lulus. Menakutkan!

“Langsung kumpulkan pada homeroom teacher nya,” kata Pak Tua bertangan keriput seperti Babon yang ada di hadapanku ini. “Oh, dan ambil surat ini! Saya ingin bicara dengan kedua orang tua Anda perihal tugas remedial yang saya berikan. Supaya Anda mendapat pengawasan dari mereka.” Pak Tua itu menyerahkanku satu amplop cokelat ke tanganku.

“Matt—eh, Daddy saya lagi ada di Moskow dan Mommy saya lagi ada di Los Angeles.”

“Hubungi!” perintah Pak Tua itu dengan nada suara memaksa. “Saya yakin orang tua Anda pasti bisa menemui saya kalau menyangkut urusan pendidikan anak mereka.” Sebisa mungkin aku tidak mendecakkan lidahku ke arah Pak Tua yang ada di hadapanku ini. “Tapi kalau Anda tidak bisa menghubungi orang tua Anda, saya minta alamat e-mail mereka yang masih aktif saja kalau begitu. Biar saya yang langsung menghubungi mereka dan semoga mereka mau datang.” Pak Tua bertangan keriput kayak Babon itu tersenyum culas. Dia pikir aku tidak mau menghubungi orang tuaku apa karena aku takut orang tuaku tahu kalau nilaiku—mengutip ucapannya—buruk. Aku tersenyum tenang lalu menuliskan alamat e-mail kedua orang tuaku. “Ini e-mail asli kan?” tanyanya, suaranya penuh kecurigaan.

“Asli,” sahutku sambil mencoba bersabar. “Daddy dan Mommy saya tidak pernah ganti e-mail. Kalau Mister tidak percaya cek saja di ruang BP di buku khusus yang menampung alamat e-mail dan nomor telpon orang tua seluruh murid yang ada di sekolah ini.” Aku memberikan Pak Tua itu sebuah senyuman kemenangan. HA! Dia pikir aku akan berbohong gitu? Aku tidak takut kalau orang tuaku tahu perihal nilaiku—EW!—yang buruk tersebut.

“Baiklah kalau begitu,” ujar si Pak Tua tanpa sebuah senyuman. “Anda bisa pergi sekarang. Dan pastikan Anda mengerjakan tugas remedial Anda. Waktu Anda hanya tiga minggu. Kerjakan tugas remedial itu sungguh-sungguh. Jangan sampai dikerjakan orang lain!” Pak Tua itu memperintahkanku panjang lebar. Pantas saja dibalik muka tuanya itu tersimpan sebuah tatapan prejudis. Dia orang yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Terlebih lagi, memangnya wajahku tidak bisa dipercaya ya? Satan!

Aku mengangguk sambil berujar terima kasih. Aku membuka pintu kaca tersebut perlahan, memberikan kesan kalau aku dalam keadaan yang kewl. Namun saat aku menutup pintu itu, aku langsung panik! Mana Revie? Aku sangat butuh dia sekarang. Kulangkahkan kakiku panjang-panjang supaya cepat sampai DisCaf. Kupeluk kertas tebal yang ada di tanganku ke dada, tangan kiriku sibuk menulis sebuah pesan ke Revie. Aku harus membuat tugas ini, akan kubuktikan ke si Pak Tua itu kalau aku bisa mengerjakannya tanpa dikerjakan orang lain.

***

“Tangan kanannya agak dinaikkin sedikit, matanya coba dialihkan ke arah jam tangan, pasang senyuman tipis, dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam kantung celana bagian depan.” Aku langsung melakukan perintah tersebut. Bryan—Fotografer bertampang Jawa-Bali itu—mengarahkan kamernya ke arahku, bunyi klik di kamera terdengar tegas. Cahaya blitz yang menyilaukan membuat mataku hampir mengerjap. Tetapi aku harus mempertahan kan posisiku yang seperti ini. “Kaki kanannya dimundurin sedikit dan badannya agak dibungkukkan.” Bryan kembali menyuruhku melakukan pose yang pas. Setelah cahaya blitz berkilauan sebanyak dua kali, Bryan menurunkan kamernya. “Yep, cukup!”

Aku mengangkat pandanganku dan meregangkan otot leherku. Ini sudah pose yang ke-enam, dan aku sudah sangat kelelahan sekarang. Aku menjadi model untuk Brand pakaian Ralph Lauren edisi Summer bulan ini. Maka daripada itulah aku ada di studio ini dan berpose tidak jelas untuk dipampang di Majalah ataupun di billboard sebuah store. Jika aku ke Pacific Place dan melewati X&Y pasti aku akan melihat foto diriku yang dipampang besar-besar di depan store tersebut. Dan jika aku ke Grand Indonesia dan lewat di depan Utilize Scen, fotoku juga akan terpampang jelas di depan store tersebut sambil berpose dalam balutan pakaian Christian Lacroix. Hmm, being a model is so fabaloustastic!

“Hei!” sapa seorang cowok saat aku ingin mengganti pakaianku ke pakain yang lain. Aku melirik ke arah cowok itu, dan hanya dua kata yang ada di kepalaku untuknya. Ganteng gila!

Mataku tak bisa lepas darinya saat dia sedang memberikan sebuah pose handback tanpa senyuman ke arah kamera Bryan. Aku cepat-cepat memakai collar blazer dan celana berbahan satin berwarna perak untuk sesi pemotretan selanjutnya. Dina—penata rias bertampang judes seperti Judas—memoles wajahku dengan gerakkan kasar. Aku hanya bisa diam saja, tidak berani memarahinya. Soalnya kalau aku melakukan hal itu, dia yang akan memarahiku balik. Daripada kena semprot, jadi lebih baik diam dan membiarkan si penata rias judes ini melakukan tugasnya. Untung saja penyiksaan yang Dina lakukan hanya sebentar. Ketika si judes berlalu di hadapanku, aku cepat-cepat melangkah ke arah studio foto. Cowok itu tersenyum kecil—kipas-kipas kontol—ke arah kamera dan klik! Gawd!

“Hei juga!” tuturku saat dia lewat di depanku. Pakaian Ralph Lauren yang dia kenakkan di tubuhnya benar-benar pas. Membuat wajahnya yang sudah ganteng gila itu makin ganteng menggila-gila. Oh, siapapun engkau, perkosa aku sekarang! “Nice pose!” pujiku, kuberikan dia senyuman terbaikku. Dari gelagatnya sih, aku yakin dia bukan gay atau biseksual. Tetapi dia punya bakat ke arah sana, dan aku cukup menyadarkannya nanti. Just wait and see!

Trims,” sergahnya, suara tenornya yang indah membuat indera pendengaranku tergelitik manja. Oh, sweet! “You too.” Cowok itu menaikkan sedikit lengan bajunya, memperlihatkan otot tangannya yang besar dan berisi. Lengannya yang putih dan berbulu benar-benar membuat sesuatu yang ada di dalam diriku bergejolak. Shit, this lust is so much disturb me! Jangan nafsu dulu, Zavan! Masih ada sesi pemotretan! Saranku dalam hati. “Lo dipanggil tuh sama Bryan!” Perkataan cowok itu membuat lamunanku lebur seketika.

Aku menoleh ke arah Bryan yang sedang mengibaskan tangannya untuk menyuruhku ke tempat aku seharusnya berada sekarang. “See ya!” kataku ke cowok yang ada di depanku ini. Kulangkahkan kakiku saat cowok itu melangkah menjauh dari hadapanku. Ketika aku sudah ada di hadapan kamera Bryan, aku langsung mengikuti semua saran dan perintah Fotografer yang wajahnya tidak membuatku nafsu sama sekali itu. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah sebuah pertanyaan besar, siapakah nama cowok itu tadi? Aku ingin mengenalnya… siapa tahu kami jodoh. Untuk saat ini Troy disingkirkan dulu!

“Oke, Zavan. Ketemu hari Senin depan!” Bryan menurunkan kamernya dan melihat hasil jepretannya tadi. Aku mengangguk walaupun cowok berwajah Jawa-Bali itu tidak melihat ke arahku. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku ke arah walk-in closet dan menemui cowok itu dalam keadaan shirtless. Sial! Apa maksudnya dengan menontonkan tonjolan bisep dan trisepnya di depan mataku. Buat aku makin horny saja.

“Zavan, rite?” tanya cowok itu tiba-tiba. Membuatku langsung mengerjapkan mata dan menoleh ke arah lain. Pura-pura jual mahal, padahal siapa juga yang mau beli.

Aku mengangguk pelan, memberikan sebuah kesan elegan kepadanya. Oke, sudah saatnya membuka matanya kalau dia itu juga ahli di bidang gay dan biseksual. Aku berjalan mendekat ke arahnya sembari membuka collar blazer yang ada di tubuhku. Dia pikir hanya dia yang bisa membuatku terperangah akan tubuhnya. “And, who are you?” tanyaku ketika pakaian di tubuhku sudah terlepas semua. Hanya menyisakan celana dalam Calvin Klein hitamku. “Gue kok baru lihat lo ya? Lo baru ya di dunia modelling?”

“Gue Vadin,” kata cowok itu, dia mengulurkan tangannya ke arahku, yang langsung kusambut dengan antusias. Nice grab hand! Ooh la la! “Nggak, gue udah lama sih di dunia modelling. Gue selalu nge­-take fotonya di studio Harlem yang ada di daerah Kebayoran Baru. Kemarin Theo—Fotografer yang ada di sana—nyuruh gue buat nge-take foto di sini. Karena pakaian Ralph Lauren nya ada di sini semua. Makanya gue ada di sini sekarang.”

“Oh, gitu!” kataku sambil tersenyum penuh pesona. Peraturan pertama jika ingin membuat cowok straight tertarik dengan kita—jadi temannya dulu, of course—adalah tatap matanya saat dia bicara. Kontak mata itu sangat penting. Peraturan kedua adalah selalu pasang senyuman terbaik yang kita punya, dan berikan hal itu padanya. Agar orang itu berpikir kalau kita adalah orang yang ramah. Peraturan ketiga adalah tertawa saat dia mengeluarkan sebuah lelucon—meskipun menurut kita leluconnya itu nggak lucu. Dan buat dia tertawa dengan lelucon kita, cowok straight suka hal-hal konyol. Peraturan ke-empat, pura-pura pegang siku dan tangannya saat dia tertawa, tapi sebentar saja. Kontak sentuhan juga sangat penting. Peraturan kelima, sadarkan dia kalau dia punya bakat gay. “Lo tau nama gue darimana?”

Vadin tersenyum lebar. “Emang siapa yang nggak kenal Zavan McKnight? Model paling laku seantero Asia. Bahkan gue pernah denger lo udah dikontrak sama Alexander McQuuen dan Emanuel Engaro. Lo juga kan yang masuk sepuluh model berpengaruh yang tinggal di Indonesia pas Italia Fashion Week kemarin?” Aku mengangguk dan melemparkan sebuah lelucon kepadanya, membuat dia tertawa pelan. Mata kami selalu saling bersitatap saat kami bicara. Meskipun beberapa kali dia agak kikuk diberikan kontak mata seperti ini. Namun aku tahu, dia sudah menyadari kalau aku adalah orang yang mengasyikan.

You funny!” seruku saat dia menceritakan pengalamannya mengikuti kontes L-Men tahun lalu. Dia tidak menang, tetapi masuk sepuluh besar. Aku juga pernah ikut, tetapi kontes L-Men untuk remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan. Dan kegunaan L-Men untuk tubuh lelaki remaja sepertiku. Tentu saja aku menang, mengalahkan para pecundang itu bukan perihal yang sulit. “But I have to go,” kataku sambil memasang wajah sok sedih. Vadin juga memasang ekspresi yang sama, sepertinya dia sudah menganggapku orang yang asyik. Gotcha! “Maybe I’ll see you soon, in somewhere!” Aku menaikkan resleting celanaku dan memberikan dia senyuman terakhir. “Bye!”

Aku berbalik cepat, meninggalkan Vadin berdiri sendirian di sana. Merana karena akan kehilangan orang asyik sepertiku. Tetapi dia tidak tahu saja kalau aku hanya sedang membuka kesadarannya kalau dia itu bukan straight, melainkan gay atau biseksual. Baiklah, kita hitung mundur sekarang, aku yakin dia akan memanggil namaku. Kalau sudah seperti itu, selamat datang di Klub Gay dan Biseksual, dude! Tiga… dua… satu… “Zavan!” panggilnya. “Lo udah makan belum? Kalo belum, ke Avenue A gimana, lo mau?” Aku tersenyum lebar. See? Tinggal melakukan sedikit hal lagi, dan akhirnya dia akan sadar kalau dia memang seorang gay atau biseksual.

Now, gimme some applause, guys! Like I said, WATCH and LEARN! Yeah, watch and learn!

***

Jam menunjukkan pukul lima sore saat aku sampai di depan rumah Revie yang berbentuk minimalis tersebut. Aku memparkirkan mobilku di depan gerbang rumahnya dan menarik rem tangan. Setelah makan Pizza di Avenue A dengan Vadin tadi, aku baru ingat kalau punya janji dengan Revie untuk mengerjakan tugas remedial babi itu. Padahal Vadin ingin mengajakku main-main ke apartemennya, dia mau memperlihatkan koleksi mainan One Piece nya kepadaku. Tetapi karena tugas remedial itu tidak bisa menunggu, terpaksa aku harus tidak menerima ajakkannya. Padahal di titik itulah aku bisa membuat Vadin tertarik denganku. Sigh! Kenapa sih nilaiku harus jelek semester kemarin?!

Kuraih postman bagku yang ada di bangku belakang lalu membuka pintu mobil dengan sekali sentak. Kulangkahkan kakiku ke arah pintu rumah Revie yang bentuknya sangat sederhana. Tadi dia menyuruhku langsung masuk saja ke dalam! Baiklah kalau begitu.

“Revie!” panggilku keras sambil menongolkan kepalaku di balik pintu yang baru saja kubuka agak lebar. “Lo ada di rumah nggak? Jangan bilang ke gue kalo lo sama Bagas lagi ngentot sekarang! Kalo iya, gue sumpahin lo keguguran!” Aku menutup pintu pelan-pelan sembari melepaskan sepatuku. Peraturan di rumah Revie sangat jelas: Jangan pakek sepatu di dalam rumah! Yeah, rite! Peraturan yang sangat menjengkelkan.

“Aku di kamar! Ke sini aja! Lagian juga nggak akan ngaruh kamu mau nyumpahin aku keguguran. Kan aku udah lahiran minggu lalu di puncak!” Revie berteriak dari dalam kamarnya. Tempat dia dan Bagas selalu main hide and seek! Kupercepat langkahku dan mendorong pintu kamar tersebut. Mataku langsung menangkap sosok Revie yang sedang duduk di atas pangkuan Bagas di depan komputer Apple mereka. “Bunuh yang ini dulu, baru yang ini!” kata Revie antusias. Aku melempar postman bag ku ke atas tempat tidur dan berjalan ke arah mereka berdua. “Tuh lihat, matikan si BaraBaraBereBere itu!”

Ketika aku sudah sampai di sebelah mereka, ternyata mereka sedang main game online. Dan judul game nya adalah Perjuangan Semut. Ya, Tuhan! “Hore!” teriak mereka berdua tiba-tiba, membuatku terlonjak kaget. “Kita menang!” seru Bagas bahagia. Dia meraih pipi Revie dan mendaratkan seribu kecupan di sana. Pipi Revie yang malang! Pasti bau jigongnya Bagas deh sekarang. Jorok ih! “Aku mau mandi. Kamu sama Zavan belajar aja dulu.”

Revie tersenyum simpul. Dia berdiri dan menyingkir dari atas pangkuan Bagas. “Kamu mau makan nggak? Tadi siang kan kamu belum makan? Biar aku masakkin kamu telur Orak-Arik kesukaan kamu itu.” Bagas mengangguk penuh minat. Revie mengecup pipi Bagas sekali lalu matanya yang besar itu mengarah ke arahku. “Kita belajarnya di dapur aja ya. Aku sambil masak ngajarin kamu soal tugas remedial itu. Aku cuman kasih tau rumusnya dan kamu yang kerjain sendiri. Oke?” Revie mengedipkan matanya kepadaku, yang langsung kusambut dengan anggukkan kepala. “Kita kerjain tugas remedial Mathematics aja duluan.” Sekali lagi aku menganggukkan kepalaku.

Aku melangkah cepat ke arah postman bagku yang ada di atas kasur Revie. Namun mataku menangkap sebuah papan lebar penuh foto yang ada di atas kepala ranjang. Kusipitkan mataku ke arah papan tersebut, ingin melihat ada foto apa saja di sana. “What is this?” tanyaku pada Revie, mataku menelusuri setiap foto dengan pandangan bingung. Di dalam foto tersebut ada Revie yang sedang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Ada juga Bagas yang sedang duduk di atas kloset dengan raut wajah kaget. Foto Revie yang sedang melamun di teras depan rumah. Ada foto Bagas yang sedang mencuci mobil.

“Kamu tau kan kalo Bagas suka foto-foto nggak jelas gitu,” ucap Revie, matanya ikut melihat ke semua foto yang ada di papan. “Ini foto aku pas mau ngecat kamar sebelah,” kata Revie, dia menunjuk foto yang berisi gambarnya yang sedang duduk di tengah-tengah ruangan sambil mengaduk cat berwarna biru, wajahnya sedikit tercoreng oleh cat itu. “Yang ini Bagas pas lagi ngecat bagian sudutnya.” Di foto itu Bagas lagi menyapukan kuas catnya di sudut paling atas ruangan. Aku melihat lebih banyak lagi. Ada foto Revie yang sedang tidur di atas sofa dan Bagas mencium pipinya. Ada foto Revie yang belepotan es krim. Ada foto Bagas yang sedang menguap lebar. Ada foto Revie dan Bagas yang berpelukan di Puncak. Ada foto Revie yang sedang memeluk tubuh telanjang Bagas di atas kasur.

Semua yang ada di papan ini foto mereka berdua. Dan mereka terlihat begitu… bahagia.

“Ini foto kita berlima pas di Paris satu tahun yang lalu. Kamu ingetkan? Waktu itukan kita sekalian nonton kamu jadi model di sana, pas Paris Fashion Week.” Aku melihat foto yang Revie tunjuk. Foto kami berlima di bawah menara Eiffel. Judul foto itu… Brother Forever.

Aku tersenyum lembut melihat foto itu. Dengan kepala ditutup topi woll dan tangan yang saling merangkul, kami terlihat begitu bahagia. Meskipun Tivo tidak menampilkan sebuah senyuman di bibirnya, namun sorot matanya jelas terlihat bahagia. Masa-masa di mana kami berlima masih bersama dan tidak sesibuk sekarang. Masa-masa di mana kami berlima bebas pergi bersama kemana saja kami mau. Tetapi pada akhirnya, mereka berempat mempunyai orang-orang yang mereka sangat cintai. Meninggalkanku sendirian, merasakan betapa sakitnya saat rasa kesepian menyerang hatiku.

“Jadi… kapan kita mau belajarnya?” tanya Revie pelan di sebelahku. Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan tersenyum. “Aku juga pengen masakkin Bagas telur orak-arik sekarang. Jadi kita belajarnya di dapur aja ya.” Aku mengangguk patuh. Revie tersenyum lalu berjalan cepat menuju ke arah pintu kamar. Aku mengikutinya dari belakang, rasa kesepian makin lama makin terasa jelas di hatiku. Aku dengki pada Revie, aku dengki pada sahabatku semua, mereka begitu bahagia dengan pasangan mereka masing-masing. Sedangkan aku selalu sendirian. Aku… butuh seseorang di hidupku.

Kutaruh postman bag ku di atas meja makan. Revie mengeluarkan dua telur dari dalam kulkas, dia juga mengeluarkan satu kotak es krim dan memberikannya kepadaku. “Lo jelasin ke gue gimana kerjain soal-soal ini!” ucapku memelas. Kusipitkan mataku dan melihat angka-angka yang ada di atas kertas tersebut. Setelah Revie menyalakan kompor dan menaruh wajan di atas kompor tersebut, barulah dia menghampiriku. Revie menjelaskan dengan nada yang sulit untuk kumengerti. “Aduh Rev, telponin gue ambulans sekarang. Kayaknya gue kena kanker otak deh gara-gara soal yang ada di depan mata gue ini!”

“Zavan!” tegur Revie, dia berjalan cepat ke arah kompor dan memecahkan kedua telur yang ada di tangannya. Wangi telur goreng langsung memenuhi dapur. “Itu soal Aljabar. Mudah kok!” kata Revie disela-sela dia menggoreng telur. “Sini aku tulisin rumusnya. Kamu tinggal masukkin aja angka-angkanya ke rumus itu!” Revie menulis dengan sangat cepat di atas kertas kosong yang ada di atas meja makan. “Kamu bisa nggak perkalian sama pembagian?” tanya Revie, dia menatapku dengan pandangan serius.

“Gue memang bodoh Revie, tapi nggak sebodoh itu juga kali sampe nggak bisa perkalian dan pembagian.” Aku merengut sebal, meskipun aku tidak menyalahkan Revie juga. Setiap ada pelajaran Mathematic kan aku selalu mendengarkan lagu. “Jadi… nilai x tinggal dimasukkin ke sini terus nanti dikaliin sama nilai y, gitu?” tanyaku sambil menunjuk-nunjuk angka berbentuk aneh yang ada di kertas soal itu.

Revie mengangguk cepat. “Nah, tuhkan kamu bisa. Aku curiga deh, sebenernya kamu ini pintar tapi pura-pura bodoh ya? Soalnya kamu cepet banget bisa ngertinya. Awalnya aja kamu kayak nggak ngerti gitu, tapi kalo dijelasin sekali lagi kamu langsung ngerti. Nggak kayak Sid, And, dan Tivo.” Aku hanya bisa memasang senyumanku ke arah Revie. Tidak ingin menyanggah  pujiannya tadi. “Ya udah, kerjain aja dulu. Soal dari nomor satu sampe nomor enam itu sama-sama Aljabar kok.” Aku mengangguk patuh, kemudian mulai mengerjakan tugas remedial Mathematics dengan raut—sok—serius.

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Kudongakkan kepalaku dan melihat Bagas yang hanya melilitkan handuk putih di pinggangnya. Badannya yang luar biasa indah itu benar-benar menakjubkan. Tetapi maaf, aku tidak bernafsu kepada Bagas. Soalnya dia pacar Revie. Aku tidak mungkin merebut pacar sahabatku sendiri. Selain menyedihkan juga menjijikan. “Selesai kamu ngajarin Zavan, kamu mandi ya,” kata Bagas sambil memeluk tubuh Revie dari belakang. Membuat Revie cekikikan saat Bagas mencium bagian belakang telinga Revie dengan gerakkan menggoda. Oh, PUHLEASEEEE DEH!!! Pasangan bikin envy like a gigolo!

“Aku paling nggak bisa kalo kamu cium belakang telingaku kayak gitu,” kata Revie, dia mendorong dada Bagas yang telanjang dengan kedua telapak tangannya. Tugas remedial yang ada di depanku langsung terlupakan begitu saja saat aku melihat adegan India yang ada di depan mataku ini. “Oh, iya, nasinya segini cukup?” tanya Revie sambil menyorongkan piring berisi telur orak-arik dan sekepal nasi putih di sisinya. “Atau tambahin lagi sedikit?”

“Tambahin,” sergah Bagas cepat. “Ya udah, aku pakek baju dulu, habis itu kita ke Sport Station, aku mau beli sepatu buat tanding Futsal besok.” Bagas memegang kedua pipi Revie lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibirnya. Aku mendengus jengkel, sampai kapan mereka akan bermesaraan di depanku? Kalau mereka bermesaraan terus, lama-lama aku makin dengki. Terus nanti aku bermesraan dengan siapa? Masa dengan wajan sih?! Bitch, please! Hidupku yang sudah menyedihkan ini akan makin terpuruk jatuh.

Revie menaruh dua piring berisi telur orak-arik, sayur sup, dan nasi yang sudah dibubuhi kecap di depanku. “Kalo kamu mau makan, masak sendiri ya. Aku males masakkin kamu!” Dasar sahabat sialan! Untung saja aku tadi sudah makan. Thanks to Vadin yang sudah mentraktirku makan di Avenue A. “Hehehe, bercanda kok. Kamu mau makan apa? Kamu kan nggak begitu suka makanan Indonesia? Kamu mau aku buatin Spaghetti?”

“Nggak usah, gue udah makan tadi di Avenue A sama temen model gue.” Kutundukkan kepalaku lagi dan mulai mengerjakan tugas remedial yang ada di hadapanku ini. “Terus dua puluh lima ini dibagi lima, gitu kan?” tanyaku sambil menunjuk kedua angka yang masih berdiam diri di dalam kertasku. Revie mendorong sedikit kertasku agar bisa dia lihat. Dengan gerakkan lambat, Revie mengangguk. Aku langsung membagi kedua angka tersebut. Dan hasilnya adalah lima. Berarti nilai x adalah lima. Hore! Aku bisa!!!

“Baru dua soal yang selesai Zav, masih ada delapan belas nomor lagi,” ucap Revie dengan nada mengingatkan. Aku mengangguk sebal. Aku juga tahu kali, Rev! “Dari nomor tujuh sampe nomor sembilan itu soalnya tentang Trigonometri. Jadi kita hitung sudut dan sisi segitiga.” Revie menarik kertas lain yang ada di samping kertasku. Dia mulai menuliskan sebuah rumus. Tulisannya yang rapi benar-benar membuat mataku yang lelah bisa mengerti. “Nih, rumusnya! Tinggal hitung derajat sisi segitiganya aja nanti.”

Aku mengangguk patuh, kusipitkan mataku lebih dalam. Mencoba memahami soal nomor tiga. Nilai y nya sangat sulit untuk kutemukan. Kuangkat kepalaku untuk bertanya pada Revie, namun pintu rumahnya tiba-tiba diketuk seseorang. Revie bangkit dari kursinya lalu meninggalkanku sendirian di sini. Aku mengacak-ngacak rambutku frustasi, tidak pernah konsentrasi selama tiga tahun dengan pelajaran Mathematics membuatku jadi bodoh. Sial, aku harusnya tidak jadi seperti ini. Aku harusnya banyak-banyak belajar selama di sekolah.

“Ayo, kamu duduk aja dulu!” kata Revie dari belakang tubuhku. “Zav, aku ke depan bentar ya!” Revie berujar agak antusias. Aku membalikkan badanku dan kaget saat mendapati Ozayn dalam IOS canggih sedang berdiri di sana. Tubuhnya yang besar nan perkasa itu bergerak gelisah saat dia menarik kursi yang ada di sebelahku. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangaku ke aras kertas soalku. Sialan! Kenapa aku malah makin ketakutan seperti ini?!

“Revie!” panggilku, suaraku agak bergetar karena gugup. “Soal yang ini gimana?”

“Euh—“ Aku melihat Ozayn yang sedang menunjuk kertas soalku dengan tangannya. “Nilai yang ini kamu kaliin sama yang ini. Terus ka-kalo udah ketemu hasilnya, kamu bagi sama nilai yang ini. Dan hasil akhirnya pasti ketemu.” Lalu dia memberikanku sebuah senyuman.

DEG!!! Jantungku berdebar kencang melihat senyumannya itu! Setan! Setan! Setan!

 

–LOL, bersambung tuh–halah!–

Yang udah ucapin gue HBD, makasih ya, gue gak bisa jwb satu2.

Byk beuddd soalnya. Thanks sekali lagi.

Cium :*

New Day (1)

DIS_

Chapter 1

Ҧ Fucking Goddess

Hanya ada tiga jenis cowok gay yang ada di dunia ini. Yang pertama adalah cowok gay yang menerima dirinya sendiri dengan apa adanya. Which is, aku banget—TGIF—Thanks Gawd I’m Fag! Yang kedua adalah cowok gay yang sok-sokan bilang kalau dia bukan gay dan malah menghina para gay lainnya di luar sana. Gay yang kayak begini sangat-sangat muna-fuck, muna-kontol, muna-pepek dan muna-bitch! Sebisa mungkin hindari gay yang seperti ini, karena biasanya cowok gay tipe kedua seperti ini pasti sangat malu-maluin. Pantat Babi EW! Sedangkan cowok gay yang ketiga adalah straight denial. Mereka pikir mereka straight dan lebih suka jilat lubang pepek ketimbang jilat kepala kontol. Yang denial seperti inilah yang harus segera disadarkan kalau dia itu punya bakat di bidang gay… or bisexsual.

Seperti cowok yang ada di depanku ini nih. Cowok ganteng dengan hidung mancung serta badan menggiurkan yang selalu bisa membuatku klepek-klepek kayak ikan kehilangan air. Kalau dia bicara pasti suara beratnya yang kayak Enrique Iglesias itu membuat sesuatu di dalam diriku berdesir. Tapi… wait a sec! Aku masih nggak ngeh sebenarnya dia itu ngomong soal apaan dari tadi? Oh, iya, dia sedang ngebicarain soal klub bola. Apaan ya tadi nama Klubnya? Hmm, Chelsea deh kayaknya. Tapi sayang, aku nggak tahu tuh Klub Chelsea itu yang mana. Yang aku tahu, Chelsea itu pemain sinetron dan temanku waktu pemotretan di Majalah Gaul edisi April Mop tahun lalu.

Tetapi biarlah cowok itu ngomong sesuka hatinya, toh kalau aku suruh berhenti juga dia bakal tetep ngomong lagi dan malah ngebahas soal Klub Bola yang lain. Gimme some sorry, aku nggak ngerti soal bola. Jadi daripada aku makin ter­-stuck sama obrolannya yang sangat membosankan itu—bahkan omongannya lebih membosankan daripada omongannya Mrs. Gina, salah satu Guru yang ada di homeroom Sejarah—aku membiarkan saja dia terus mengoceh tentang Chelsea. Yawn!

Aku bisa kenal dan pacaran sama… wait! Namanya siapa ya? Aduh, aku memang suka lupa mengingat nama orang lain, apalagi kalau yang sangat brick-boring-brick kayak orang yang ada di depanku ini. Hmm, namanya itu… Ferlo—bukan deh kayaknya! Oh, kayaknya Mazda deh—oh, bukan, itu sih merek mobil! Rrrr, siapa ya?! AHA! Robi. Namanya Robi—rombongan babi! Kok gitu aja aku bisa lupa sih, ck?! Tapi, biarlah, aku memang sangat lemah kalau harus mengingat nama orang yang sedang kupacari. Kadang namanya ada yang sama sih, dan ada juga yang sangat susah buat kusebut di lidahku.

Oh, back to the topic! Aku ketemu sama Robi sekitar dua minggu yang lalu. Pada saat aku menemani Revie di lapangan Futsal. Waktu itu malam minggu dan aku benar-benar nggak tahu mau pergi kemana karena masih jam setengah delapan malam. Ya iyalah, jam setengah delapan malam mana ada clubbing yang buka. Para Pelacur, Gigolo dan Banci aja masih dandan di rumah mereka masing-masing. Masa aku mau nontonin para Pelayan ngelap meja sih? Cuih! Mendingan aku berkumpul dengan sahabat-sahabatku.

Jadi… saat aku menghubungi flocksku, hanya Revie yang memungkinkan untuk kudatangi. Sid sedang makan malam di SoHo sama Adam—aku nggak mau ya jadi obat nyamuk! Wajahku elegan begini masa jadi obat nyamuk, aku maunya jadi obat kuat! Kalau And sama Vick juga lagi berduaan di suatu tempat—aku yakin sih bukan di tanahnya Suku Asmat! Sedangkan Tivo nggak bisa dihubungi, palingan dia lagi meeting—sama Peter. Eek, bowing! Jadinya aku malah ke lapangan Futsal dan nemenin Revie yang lagi nontonin Bagas. Sigh!

Aku terkadang masih nggak ngerti kenapa Revie selalu kuat nemenin Bagas di lapangan Futsal. Apa enaknya coba? Oke, they all look so manly and sweat—nyam-nyam. Tapi…

“Jadi Zav… Torres itu pemain yang paling hebat di Chelsea. Dari dulu aku ngefans banget sama tekhnik permainannya yang lincah dan fleksibel bang—“ Ya, ya, ya, silahkan terus berkicau wahai Robi—rombongan babi! Like I care about it. Kalau kita ngomongin Torres ternyata gay dan punya kontol besar sih aku mau nyahutin. Tapi ini malah ngomong soal Torres yang pintar saat tendangan samping—halah, whatever it is! Robi, my dear, I don’t give a damn! Ngomong sini sama lubang pantat!

Jadi intinya… aku ketemu sama Robi saat Bagas istirahat dan ngecek keadaan bayinya yang ada di perut Revie. Puhleaseeeee! Kalaupun ada bayi beneran di dalam perut Revie, nggak perlu dicek teruskan? Dikit-dikit Bagas nanya, anak kita lagi ngidam apa, Sayang? What the anjing is that? Sayang? SAYANG? Mana ember, mana ember, aku mau muntah. Entah kenapa aku sangat risih kalau ada yang menyebut pacarnya dengan kata sayang. Kenapa nggak yang lain aja, kayak Monyet atau Bajingan gitu? Well, never mind!

Nah, si Robi ini temennya Bagas di kampus, dan waktu itu aku nggak sengaja dudukkin tasnya. Hmm, sebenarnya sih sengaja, soalnya bangku tempat aku duduk agak keras, bisa ngebuat pantatku yang berisi ini jadi tepos! Makanya aku pakek-in alas waktu itu, yang ternyata adalah tasnya si Rombongan Babi ini. Yah, akhirnya kami kenalan dan termometer nafsu yang ada di dalam diriku ini menginginkan dia. Gimana enggak? Badannya hawt banget, suaranya itu buat bulu kontolku berdesir dan aroma keringat yang ada di dadanya pas dia buka baju buat lubang pantatku goyang dombret dan minta digaruk sama kontolnya.

Lalu… Voodoo-na-na-na-Kaboom! Sedikit trik di sana sini—setelah dia putus dari ceweknya yang menyedihkan itu—kasihan deh lo—ups!—aku mendekatinya dan menggunakan aroma pemikatku untuk mendapatkan hatinya. Tidak susah kok, sekitar beberapa hari dia mulai resah karena merasa jatuh cinta sama laki-laki. Yes, Robi, my dear, kamu itu straight denial. Akhirnnya, ketika aku memberikan dia sebuah kecupan selamat datang di Klub Gay dan Biseksual, dia pun menjadi pacarku. Gimme applause my Lady Gaga! Thank you, thank you.

Tapi sekarang, aku sudah nggak pengen jadi pacarnya lagi. Karena manisnya dia sudah hilang. Menurutku, cowok itu kayak permen karet, kalau manisnya sudah hilang di mulut, harus segera dilepehin dan dibuang. Ya, kayak si Rombongan Babi ini. Manisnya dia sudah hilang, dan aku harus segera membuangnya di tempat yang seharusnya. Di J.Co ini! Tapi aku masih belum menemukan momen yang tepat untuk melakukan break-up padanya. Dia masih asyik dengan blah-blah-shitnya yang nggak penting itu.

“Kamu kok diem aja daritadi?” tanyanya, sambil mengangkat kaleng Red Bullsnya. Thanks, Mamayukero! Akhirnya dia berhenti bicara juga. “Kamu bosen kita di sini? Ya udah, yuk kita ke 21. Setengah jam lagi film dokumenter soal perjalanan Band Noah bakalan tayang.”

Noah? Major EW! “Nope! I’m still want to be here,” kataku cepat ketika si Rombongan Babi mulai bangkit dari posisi duduknya. Dia menatapku sejenak lalu mengangguk samar, dihempaskannya kembali pantatnya—yang sudah nggak manis lagi itu—ke atas sofa. “Robi, I want tell you sumthing. This is about our relationship.” Robi mengernyitkan dahinya, masih tidak mengerti arah pembicaraanku. Alright then, I will shoot it out! “Kita putus aja! Start seeing other people, stuff and shit di luar sana. And you can fuck another girls or… guys.”

Mulut Robi menganga lebar, reaksi yang sering muncul kalau baru saja diputusin. Mata cowok itu menatapku lekat-lekat, berharap kalau nanti aku akan bilang… aku bercanda kok. Which is, not gonna happen. “Kamu serius?” tanyanya dengan suara yang nggak seksi lagi. “Kita baru pacaran selama tiga hari, masa kita putus?” tanyanya tak percaya. “Emangnya aku punya salah apa sampe kamu mau mutusin aku sekarang? Apa alasannya kamu putusin aku?”

Oh, puh-lease deh! Dia nanya alasan kenapa aku mutusin dia. Baiklah, aku punya beberapa poin alasan untuknya. Satu: aku nggak suka cara dia minum, kalau dia minum pasti belepotan kayak orang tolol—tapi ini bukan alasan yang tepat buat mutusin dia. Dua: aku nggak suka cara dia ngedip, kayak orang kelilipan—tetap bukan alasan putus. Tiga: dia suka sama lagu dangdut, EW, big EW! Mendingan aku ditembak mati sama Hitler daripada ikut dia dangdutan di gang-gang kampung para Jelata—tapi masih sama, ini juga bukan alasan yang tepat buat mutusin dia. Empat: dia banyak omong, dan itu terbukti benar—bisa nggak ya yang ini dijadiin alasan buat putus? Oke, coba kita petik poin yang kelima.

Lima: aku sudah bosan sama dia. Ah, itu dia alasan yang tepat!

“Gue udah bosen sama lo,” kataku sangat jujur. “So, get a life Robi! Lo nonton film dokumenter Noah, gue nonton The Hunger Games: Catching Fire!” Aku meraih iPhone ku yang ada di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku celana Levi’s ku. “I’m so jolly can to be with you, and be your boyfriend. But now, I’m so sorry, I have to go!” Aku baru saja ingin bangkit dari tempat dudukku saat Robi memegang pergelangan tanganku cukup kuat. Sepertinya cowok ini masih belum bisa menerima kenyataan kalau baru diputusin deh. Lihat saja wajahnya yang memelas kayak anak anjing kehilangan induknya itu. Pathetic losah!

“Itu bukan alasan yang tepat buat putus, Zav,” katanya pelan, mencoba menahan wajahnya agar tetap terlihat kewl. But, I’m sorry, your face is so überpathetic! “Aku sudah berusaha buat jaga hubungan kita supaya nggak ngebosenin. Bahkan aku selalu ngajak kamu ngomong soal ini-itu.” Yeah, rite! “Jadi… kalo misalnya kamu bosen, salahnya bukan di aku, tapi di kamu.” Robi menatapku intens, berharap kalau omongannya tadi bisa membenahi hubungan kami. “Aku bahkan selalu antar-jemput pas kamu ada jadwal pemotretan dan take iklan. Aku selalu ada buat kamu, jadi nggak mungkin itu jadi alasan buat kita putus.”

Cowok satu ini memang sangat-sangat menyedihkan. “Lemme tell ya! Pertama, lo selalu ngomong hal nggak penting, bukan ini-itu yang berguna. Bahkan lo nggak pernah nanya sama gue obrolan apa yang gue suka dan yang nggak gue suka. Kedua, gue nggak pernah minta lo antar-jemput gue. Yang ada lo sendiri yang dateng ke rumah gue atau ke studio. Jadi nggak usah ngomong soal hal yang nggak karuan, bahkan pas lo ngomong tadi gue dihampiri sama yang namanya Tuan Bosan. Just zip your mouth, ‘kay!”

“Tapi aku jadi kayak gini gara-gara kamu!” katanya agak keras, wajah yang tadi dia coba buat supaya kewl kini menghilang sempurna. “Kamu yang udah buat aku jadi homo kayak gini, dan kamu mau mutusin aku gitu aja? Kamu nggak mau tanggung jawab dengan apa yang udah kamu lakuin ke aku?”

“Tanggung jawab apa, Rob? Tanggung jawab karena lo sekarang hamil?” tanyaku pura-pura lugu. “Hun, lo inget nggak kalo yang nusuk itu siapa? Jadi nggak mungkin lo hamil!” Aku menatap wajahnya dengan pandangan bosan. Gosh! “Lagi pula, gue nggak pernah kok ngebuat lo jadi homo. Lo aja yang nggak sadar kalo lo itu sebenernya homo, dan gue sebagai gay hanya menyadarkan lo kalo di dalem diri lo itu ada darah homonya. Coba deh lo ke PMI dan donorin darah lo di sana. Pasti hasilnya bukan A, B, O, atau AB. Tapi hasil darah lo bakalan bertuliskan HOMO.” Aku menatapnya sengit, benar-benar makin bosan. “Face it!”

This is not fair!” serunya kencang dan desperado, membuatku dan beberapa pengunjung yang ada di J.Co tersentak kaget. “I love you, Zavan! Stay!” mohonnya dengan suara yang sangat menyedihkan. Membuatku makin mengernyit jijik. Tadi dia bilang apa? I love youGeez, that’s groos! Aku paling benci kalau sudah ada orang yang membahas soal cinta. Atau cin-TAI. Menjijikan. Retweet kata-kataku tadi. Menjijikan!

I’m sorry Robi. We’re over!” Bye-bye, au revoir, ay mi papito, annyeonghi kyeseyo!

Aku baru saja ingin berjalan menjauh darinya ketika tiba-tiba dia berseru kencang. Membuat semua mata yang ada di sini terarah ke arahku. “Lo bakalan bayar apa yang udah lo lakuin ke gue, Brengsek!” Ya Tuhan, apakah Kau telah membuat otak mantanku satu ini jadi lunatic seperti itu? Mengerikan. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku, tidak ingin berurusan lagi dengan orang seperti dia. “Lihat aja nanti!” serunya sekali lagi sebelum aku keluar dari dalam J.Co.

Besok-besok kalau aku mau mutusin pacar jangan di tempat rame ah! Buat malu aja. Lebih baik sekarang aku pergi dari tempat ini dan melakukan tiga hal penting kalau baru saja putus. Satu: clubbing—yeah, I really miss my dancefloor so much. Dua: Marlboro Lights—menghisap rokok selalu menghilangkan stress yang ada di kepalaku. Tiga: ngumpul sama sahabat-sahabatku—Sid, And, Revie dan Tivo—tapi sayang, mereka semua sedang liburan.

Oh, shit! Buat jadi empat hal, cowok baru juga masuk hal yang penting saat ini!

***

“Jadi gimana? Acara mutusinnya lancar nggak?” tanya Belinda dengan mulut penuh kentang goreng. Aku mengangkat pandanganku dari fro-yo ukuran medium yang ada di tanganku. “Nggak ada dramanya kan?” tambah Belinda, dia menelan kentang goreng yang ada di mulutnya dengan gerakkan aneh. Aku tidak tahu kenapa Belinda sangat suka makan kentang goreng. Kalau Revie seorang es krim holic, sedangkan Belinda seorang kentang goreng holic. Apalagi kalau kentang gorengnya dicampur sama saus sambal ekstra pedas. Dia bisa menghabiskannya dalam beberapa menit tanpa minum.

Kutaruh fro-yoku di atas meja dan mendesah panjang. “Tentu aja ada dramanya!” ujarku jengkel. “Tuh cowok berubah jadi orang gila terus teriak-teriak nggak jelas di J.Co. Can you imagine it? Gue bener-bener malu!” Aku menghempaskan punggungku di sandaran kursi. Belinda cekikikan seperti Graus—Nenek Sihir yang ada di film Shrek. “Gue nggak mau punya pacar yang kayak gitu lagi. Gue kapok!” Aku melirik sekilas iPhone ku dan melihat ada satu pesan masuk. Saat aku membukanya ternyata dari Royzel—entah siapa itu, aku lupa.

“Yakin lo kapok?” tanya Belinda tak percaya. Dia menatap wajahku dengan pandangan agak mencela. Sialan! Kembaran biadab. “Menurut gue sih, mantan lo yang ini tuh memang nggak cocok sama lo. Entah kenapa ya, gue cuman ngerasa gitu aja.” Belinda mencolek-colek ujung kentang gorengnya di saus sambal yang ada di sebelah fro-yoku. “Tapi sudahlah, yang pentingkan lo sama dia udah putus. And that’s a nice step!” Belinda melihat sekeliling, matanya melirik ke sana-kemari. “Cowok yang itu menurut lo ganteng nggak Zav?”

Aku mengangkat pandangaku dan melihat cowok yang Belinda tunjuk menggunakan kentang gorengnya. “Biasa aja ah,” kataku saat sudah melihat cowok yang Belinda tunjuk. Cowok yang duduk di sofa abu-abu itu mengenakkan kemeja kotak-kotak—yang mengingatkanku sama penyanyi yang namanya jelata banget itu… siapa ya namanya? Oh, iya, Budi Doremi. “Cowok yang di deket jukebox itu baru ganteng!” ujarku sambil menunjuk seorang cowok yang sedang duduk sendirian di kursinya dengan daguku.

“Oh, my!” seru Belinda tertahan. “Rite, that hunk look gorgeous!” Mata Belinda berbinar-binar, lihat sebentar lagi, pasti dia akan mengucapkan kalimat itu. “Kalo dia pacaran sama lo pasti cocok banget deh. Lihat tuh mukanya… sayu banget. Ih, gue pengen deh dia jadi adik ipar gue. Seru aja kalo ntar kalian jalan berdua, unyu banget deh pasti! Nice couple.” Heh, sudah kuduga kalau dia akan ngomong begitu. Belinda itu fag hag, dia sangat suka dengan dunia gay. Makanya saat aku CO dulu, dia sangat girang dan rajin menjodohkanku.

“Sudah deh Bel,” sahutku malas. “Setiap cowok yang lo jodohin ke gue pasti nggak ada yang tahan lama. Karena lo selalu ngasih gue cowok-cowok tipe lo. Lo nggak sadar ya kalo gue sama lo itu beda tipe cowok. Kalo lo suka sama yang anak-anak mami gitu, gue lebih suka sama yang binal.” Aku mengaduk fro-yoku dengan gerakkan malas. “Lagian gue juga lagi nggak minat buat pacaran.” Belinda menatapku dengan pandangan makin mencela. “Untuk beberapa jam ke depan,” tambahku kemudian.

But, dahling, cowok itu cocok banget sama lo. Siapa tau cowok itu tipe lo Zav!” tuturnya menggebu-gebu. “Dan dari pengamatan mata gue, dan radar fag hag gue, cowok itu kayaknya gay deh. Atau nggak bisek.” Belinda membuka ikat rambutnya, membuat rambutnya yang panjang dan lurus tergerai sempurna. “Gue deketin ya dia, mau memastikan dia gay apa bukan. Kalo iya, ntar gue kasih nomor HP lo ke dia.” Aku ingin membantah kata-katanya, namun Belinda mencubit bibirku dengan jari-jarinya. “Papapapap! Taciturn your mouth!”

Belinda berdiri sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan membiarkan dia melakukan perjodohan nggak penting ini. Kalau dihitung-hitung sudah berapa kali ya aku dijodohin gini sama Belinda dan keluargaku? Hmm, tidak bisa kuhitung. Matthew—Daddyku—dan Anna—Mommyku—sangat suka menjodohkanku. Oh, mereka tahu kalau aku gay. Aku sudah CO ke mereka waktu umurku masih tiga belas tahun. Tahu apa reaksi mereka? Tidak seperti yang kubayangkan di kepalaku. Tidak ada dramanya sama sekali seperti yang ada di film Pray For Bobby atau seperti Revie.

Waktu itu Belinda baru saja datang dari Indonesia, Matt dan Anna juga sedang libur untuk membuat film baru. Jadi kami berempat duduk melingkar di meja makan. Dan aku sudah memutuskan untuk memberitahu mereka kalau aku gay. Hanya saja ada di bagian diriku yang lain sangat takut untuk mengungkapkan hal itu. Namun aku tahu, jujur kepada keluarga sendiri adalah langkah yang tepat. Lebih baik dibenci karena menjadi diri sendiri, daripada dicintai tapi aku tidak menjadi diriku yang apa adanya. Aku sadar, hidupku singkat dan aku tidak mau menyia-nyiakannya untuk membahagiakan orang lain. Ini hidupku, dan aku akan bahagia di jalanku sendiri.

“Matt, Anna, Bel,” kataku perlahan memanggil mereka. Di keluargaku memang seperti ini, Matthew dan Annabelle tidak suka dipanggil Dad dan Mom, mereka merasa tua kalau aku dan Belinda panggil seperti itu, jadi mereka menyuruh kami untuk memanggil nama mereka. Biar akrab, katanya. “I want tell you something, but don’t angry!” Aku menatap Matt yang sedang menatapku dengan pandangan bingung. Sedangkan Anna yang ada di hadapanku hanya memasang senyuman penuh tanda tanya. Belinda—kembaran cewekku yang sangat mirip Matt—hanya terus mengaduk supnya dengan bosan.

Tell us about what?” tanya Anna lembut. Jika Belinda mirip Matt, yang berwajah tegas, kalau aku mirip Anna, yang mempunyai wajah lembut. “Just tell us, we won’t angry.” Anna meraih tanganku dan menggenggamnya, kubenahi letak kacamataku dengan gugup.

I’m…” Aku menghentikan ucapanku, dan melihat Belinda yang kini memberikanku sorot mata ingin tahu. “I’m…” Aku bisa merasakan detak jatungku yang makin berdebar kencang. Bisakah aku melakukan hal ini? Ya, aku bisa-aku bisa! “I’m… gay,” beritahuku pada mereka dengan suara yang agak sedikit tersedak. Aku mengangkat pandanganku dan melihat Anna serta Matt yang balas memandangku tidak mengerti. Bahkan Belinda makin menggeser kursinya agar makin dekat denganku.

You what?” tanya Matt, dahinya berkerut bingung. Aku menelan air liurku dengan susah payah. Berarti mereka tadi tidak mendengar apa yang kukatakan.

Sekali lagi aku mencoba, dan kali ini aku menggunakan nada yang cukup tegas. “I’m gay!” Setelah aku mengutarakan kalimat itu, aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam. Keheningan yang ada di atas meja ini bisa membuatku menebak kalau Matt, Anna dan Belinda kaget. Aku tidak mau melihat raut kecewa mereka, aku tidak ingin melihat perubahan wajah mereka, lebih baik seperti ini. Tinggal tunggu waktu saat mereka akan mengatakan hal-hal yang kejam untukku. Dan aku sudah menyiapkan kesabaran yang sangat besar di dalam diriku untuk menerima kalimat hujatan mereka nanti.

You… gay?” tanya Anna, suaranya tidak bisa kutebak, apakah dia marah atau kecewa.

Perlahan, aku menganggukkan kepala. “I just wanna tell you about it. If you hate me, I will be okay. I don’t want you agree to disagree for what I told, I just wanna you know about myself. I am me. I am gay, and I love myself way out.” Akhirnya sebuah keberanian yang entah datang darimana, aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah keluargaku satu persatu. Matt, Anna dan Belinda memasang wajah yang sangat sulit untuk kutebak. Aku memilin-milin jari tangan kanannku, berharap kalau salah satu dari mereka akan membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu. Apa saja!

Really?” tanya Matt, dia menelengkan kepalanya dan menatapku dengan mata sapphirenya yang mirip Belinda. Sedangkan mataku mirip Anna, hazel agak gelap. “You gay?” tanya Matt lagi, pelan-pelan aku mengangguk pasti. Matt terbelalak lebar, dan kini aku tahu kalau dia akan meledak. Siap-siap sebuah uca— “Kita punya anak gay!” kata Matt dalam bahasa Indonesia kepada Anna. Kami memang bisa berbahasa Indonesia. Matthew menghabiskan masa remajanya di Jakarta bersama Grandpop Edmund—papanya. Sedangkan Anna selalu menghabiskan liburan musim panasnya di Borneo bersama Grandpop Carlisle—seorang pembuat film dokumenter flora dan fauna. Grandpop Carlisle lah orang yang mempunyai stasiun TV Net Geographic Channel. Kalau Belinda memang bisa bahasa Indonesia, karena dia sudah tinggal di sana semenjak umur delapan tahun. Kalau aku baru bisa akhir-akhir ini.

“Ya, aku tau,” sahut Anna cepat. Dia menatap wajahku dalam-dalam. Kuhembuskan nafasku untuk menerima hal yang paling buruk yang akan terjadi. Aku sudah— “Oh, my God!” seru Anna dengan tawa yang tertahan. Nada suaranya terdengar ceria. Aku mengernyitkan wajahku bingung. “Kenapa baru ngasih tau kami sekarang?” tanya Anna antusias. “Kenapa kau tidak bilang dari kemarin-kemarin?” Anna melonjak-lonjak bahagia di kursinya. Kernyitan di dahiku makin dalam. “Ya, Tuhan! Kita harus merayakan ini! Matthew, honey, bisa kau ambilkan Sampanye kita di pantry?”

“Tentu, Sayang,” sahut Matt sama gembiranya kepada Anna.

“Lo gay dan baru ngasih tau gue sekarang!” seru Belinda di sebelahku. “Ya, ampun! Harusnya lo ngasih tau gue dong!” Aku melirik Belinda dengan pandangan aneh. Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, bukankah aku baru bilang kalau tadi aku gay ke mereka? Bukan karena aku mendapatkan juara satu se-London karena berhasil memenangkan olimpiade Fisika. “Kalo lo ngasih tau gue dari kemarin kan gue nggak perlu bingung dengan siapa gue harus bicarain cowok-cowok yang ada di majalah Vogue. Tapi nggak apa-apa, sekarang kita bisa bicarain soal cowok berdua. Yeay!”

Sumpah, aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. “Ini dia Sampanye nya!” seru Matt sembari menaruh satu botol besar Sampanye di atas meja. Anna cepat-cepat membuka tutupnya dan menuangkannya ke gelas kami masing-masing, meskipun di gelasku dan Belinda hanya ditaruh sedikit. “Untuk Zavan!” seru Matt sambil mengangkat gelasnya ke udara. “Untuk keberaniannya mengakui jati dirinya, untuk cinta kita padanya!”

“Matt, Anna, Bel, aku baru saja memberitahu kalian kalau aku gay,” kataku dalam bahasa Indonesia yang sangat payah. Aksenku terdengar seperti orang Irlandia saat bicara dalam bahasa Inggris. “Apa kalian tidak marah padaku soal itu?” tanyaku sambil memperhatikan mereka satu-persatu. Matt dan Anna menurunkan gelas mereka dan menatapku dengan pandangan bingung. “Aku gay, apakah kalian baik-baik saja soal itu? Kalau tidak, katakan tidak, kalau iya, katakan iya. Aku akan baik-baik saja kalau kalian marah padaku.”

“Kau ingin kami marah padamu?” tanya Anna cepat. Aku menggigit bibir bawahku, itu benar. Kenapa aku ingin mereka marah padaku? “Tidak apa-apa, Sayang. Kami tidak akan marah padamu. Kau tau tidak bagaimana cara aku dan Matthew bertemu?” Anna bertanya tiba-tiba. Aku menggelengkan kepalaku tanda aku tidak mengetahuinya sama sekali. “Aku dan Matthew bertemu saat acara pertemuan pembela kaum LBGT.” Aku terperanjat kaget di kursiku. Benarkah? “Aku suka dunia LGBT, aku suka para gay, aku sayang sahabat lesbianku, aku disebut Fag Hag karena hal itu. Dan Matthew waktu itu ada di acara tersebut.”

“Itu karena aku sangat sayang sahabat gayku,” kata Matt sambil tersenyum. “Kau tau Halim kan? Itu sahabatku, dan dia gay. Aku dan dia bersahabat dari kecil, dan aku tau kalau dia gay. Aku pernah melihatnya berciuman dengan laki-laki. Tetapi rasa sayangku sebagai sahabatnya menghilangkan rasa tidak sukaku pada orientasinya. Jadi, siapapun dia, apapun yang ada di dalam dirinya… dia tetap orang yang sama. Sahabatku.” Matt meminum sedikit Sampanye nya. “Jadi, ketika aku membuat film pertamaku, aku membuat film tentang dunia gay. Semenjak saat itulah aku suka dengan cara para gay berinteraksi, mereka terlihat natural, apa adanya. Selalu tersenyum, membuatku tertawa. Sebut saja aku Fag Stag. Jadi ketika ada acara pembela kaum LGBT waktu itu, aku datang ke sana. Lalu bertemu dengan Annabelle.”

“Kemudian kami bicara banyak soal LGBT,” tutur Anna. “Tentang Film, gambar-gambar, sahabat-sahabat gay yang kami punya. Semuanya. Setelah itu aku dan Matthew suka jalan berdua untuk membicarakan hal-hal itu. Dan entah bagaimana…” Anna tersenyum penuh kasih sayang ke arah Matt. “Aku dan dia jatuh cinta. Dan sampai sekarang, aku tetap selalu jatuh cinta pada lelaki ini. Matthew.”

Matt tersenyum manis. “Aku juga mencintaimu.” Lalu mereka mulai berciuman! Yikes!

Aku dan Belinda langsung membuang pandangan ke arah lain. “Jadi, ketika kalian berdua lahir, kami sudah berjanji akan ikut gembira dengan apa yang anak kami sukai. Kau gay, dan kami tidak mempermasalahkannya. Malah aku sudah menyiapkan banyak rencana di kepalaku saat ini.” Anna memajukan sedikit badannya ke arahku. “Jadi… menurutmu kau ini di role bagian apa? Top atau Bot?”

Itu dia kisah CO ku. Matt adalah lelaki straight yang sangat suka dunia gay, dan Anna adalah perempuan yang sangat suka segala hal tentang dunia LGBT. Bahkan aku tahu istilah Top dan Bot dari Anna. Dia menceritakanku segala hal tentang gay. Bagaimana cara menggunakan radar dan memilih lelaki yang tepat. Sedangkan bersama Matt, kami suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk nonton film Gay. Matt sangat suka film gay yang judulnya Beautiful Thing. Katanya, film tersebut sangat alami dan indah. Kalau bersama Belinda, dia biasanya akan mengirimkan gambar cowok yang sedang dia dekati dan bertanya pendapatku. Kami juga sering telponan dan membahas soal cowok.

Yeah, itu dia keluargaku! Selamat datang di keluargaku yang aneh! Apalagi saat Matt dan Anna memberitahu kedua Grandpop dan Grandmama ku soal orientasi seksualku. Kedua Grandpop ku malah memberikanku hadiah. Sedangkan kedua Grandmama ku membuat pesta BBQ di belakang rumah untuk merayakan hal itu. Keluargaku makin aneh, kan?

Well, meskipun mereka aneh, aku sangat mencintai mereka. Aku sangat bersyukur karena mereka mau menerimaku apa adanya. The best damn thing in my life is my family. Tanpa mereka, aku tidak akan tahu hidupku akan seperti apa. Walaupun Matt dan Anna sangat sibuk dengan urusan pembuatan film mereka, tetapi mereka selalu meluangkan waktu mereka untuk menelponku dan Belinda meskipun hanya beberapa menit saja. Aku dan mereka belum bertemu selama delapan bulan, Matt sedang sibuk membuat film Transformer dan Anna sedang sibuk membuat film dari novel Nicholas Sparks. Aku merindukan mereka, tetapi aku tahu, mereka sibuk seperti itu juga untukku dan Belinda.

Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin sekarang aku bisa mengenakkan pakaian Alexander McQueen yang harganya mahal ini? Bagaimana mungkin aku bisa duduk dengan santai di Starbucks sambil menjilati sendok fro-yoku kalau bukan karena uang dari Matt dan Anna? Jadi aku tidak mempermasalahkan mereka jarang ada di rumah. Walaupun aku memang sangat suka kesepian. Aku mungkin punya banyak teman, sahabat dan keluarga yang sayang padaku, namun aku benar-benar merasa sendirian di dunia ini. Bahkan slogan: lebih baik dibenci karena menjadi diri sendiri, daripada dicintai tapi aku tidak menjadi diriku yang apa adanya, tidak ada dalam diriku lagi.

Aku yang sekarang, bukan aku yang apa adanya! Aku sedang menipu diriku sendiri!

His gay!” ujar Belinda di sebelahku, membuat lamunanku buyar seketika. Aku menengadah dan melihat wajah Belinda yang berseri-seri. Dia berjalan cepat ke sofanya dan duduk dengan nyaman di sana. “Nama cowok itu Troy—bukan Thor. Dia pemilik distro Rip Curls yang ada di lantai tiga, dia single dan dia Top.” Belinda menopang dagunya dengan tangan dan tersenyum lebar ke arahku. Kebiasaannya kalau senang jika bisa menjodohkanku dengan lelaki yang menurutnya baik untukku. “Dan gue udah kasih nomor HP lo ke dia.”

Susah kalau punya kembaran yang suka dunia gay seperti ini! “Alrite, thanksie!” Kuberikan Belinda senyuman terima kasihku. Ya sudahlah! Lagi pula cowok yang namanya Troy itu lumayan ganteng. Apalagi saat dia memberikanku sebuah senyuman saat aku menoleh ke arahnya. Kukerjapkan mataku beberapa kali, terkejut karena senyuman itu bisa membuat hormon nakal yang ada di dalam tubuhku bergejolak. Dengan sangat elegan, aku membalas senyumannya. Kuberikan dia senyuman mautku. Yeah, makan senyuman mematikanku ini!

iPhone ku kembali bergetar. Aku membuka slide lock nya dan menemukan nomor baru di iMessage ku. Isinya tentu saja dari cowok itu. Ucapan basa-basi yang tidak penting sama sekali. Tetapi biarlah, berarti ini awal yang sangat baik. Yang pentingkan sudah dua jam setelah aku putus dari Robi—rombongan babi. Cari pacar baru kan nggak dosa? Iya, kan? Siapa tau kontol cowok itu bentuknya kayak kartun favoritku: Doraemon. Pasti unyu deh, aku bakalan mainin kepala kontolnya dengan lidahku terus menjilati batangnya lama-lama. Hmm, fucking delicious bitch! Lebih enak daripada fro-yo yang ada di tanganku ini.

“Umurnya dua puluh empat tahun,” beritahuku pada Belinda yang sedang sibuk telponan dengan Bams—tetangga depan rumah kami dan pacarnya. “Dia udah CO ke orang tuanya dan dia openly gay,” tambahku lagi. “Berarti kalo gue pacaran sama dia nggak akan ada drama lebay kayak drama-drama Korea yang sering lo tonton itu.” Belinda menjulurkan lidahnya sebal kepadaku. “Dan semoga cowok ini nggak ngebosenin kayak pacar-pacar gue yang sebelumnya. Jangan sampe si Troy ini mirip: Lukas, Javier, William, hmm, siapa lagi ya… Oh, Dran sama Robi. EW! Amit-amit jabang pelacur berpepek lebar! Semua cowok itu sangat membosankan, saking ngeboseninnya gue inget nama mereka!”

“Troy lumayan asyik kok tadi pas gue ajak bicara,” kata Belinda sambil mematikan HPnya.

“Yang menurut lo asyikkan belum tentu asyik menurut gue,” hardikku malas. “Masih inget sama cowok yang pernah gue rebut dari lo itu nggak? Si Javier? Pas dia pacaran sama lo, lo bilang anaknya asyik banget. Tapi pas gue pacaran sama dia… eek, bahkan dia lebih membosankan daripada novel Pride and Prejudice.” Belinda mengangguk-anggukkan kepalnya. Mengerti dengan ucapan yang baru saja kulontarkan padanya. “Dan sekarang gue bosen ada di sini. Go somewhere, yuk! Kemana gitu.”

Belinda mengangkat pandangannya dari iPhone nya. “Gue sih ada di text nih sama Chloe. Dia sama Floque nya mau pergi ke party nya Griffin. Party buat kaum LGBT. Lo mau dateng nggak?” Belinda mengambil kentang goreng terakhir yang ada di atas piring dan melahap kentang itu dalam sekali gigit. “Kalo gue sih mau dateng, soalnya Bams masih ada urusan di Semarang sama Bokapnya. Ngurus perusahaan gitu deh. Daripada gue bosen di rumah sambil nonton drama Korea yang lo bilang lebay itu—brengsek lo—mendingan gue ikutan Chloe.”

“Ya udah, gue ikut deh. Flocks gue lagi pada liburan semua—ninggalin germonya sendirian di Jakarta.” Iya tuh, aku ditinggal sendirian, dan mereka berempat sedang asyik-asyiknya bulan madu dengan pacar mereka masing-masing. I’m so envy like a devil in bitch body! “Yuk, cabs gerak!” Aku menepuk Levi’s ku lalu bangkit. Troy sudah tidak ada di kursinya lagi, terkahir text nya masuk sih, dia bilang mau kembali mengawasi distronya. Whatsoeva!

Yang penting aku ke clubbing party malam ini! Permisi, Pelacur satu ini mau lewat, anjing!

***

FYI, teman-teman Belinda yang dari Jubilee International School itu sangat unik-unik. Aku nggak bercanda lho! Mari kuperkenalkan satu-satu. Cewek dengan wajah jutek yang sedang menyesap Orange Squash itu namanya Amanda. Cewek straight. Sangat suka mengkritik segala hal. Namun saat kritikkannya dibalas, dia malah marah-marah. Tetapi Sid pernah skak mat cewek itu, dan dia langsung terdiam. Yeah, kalau nggak punya sembilan nyawa kayak kucing mendingan nggak usah lawan omongan Sid deh! Sedangkan kembaran beda Mamanya itu namanya Dave. Agak-agak nerdy seperti Revie, dia ngomong aja halus banget kayak tukang sapu yang ada di pinggir jalan. Tapi Dave bukan tukang sapu kok. Dia gay dan punya pacar yang tampan.

Nah, cewek yang agak maskulin di depanku ini namanya Cassie. Biseksual. Tetapi lebih condong suka ke cewek. Dan pacarnya itu teman modelku. Namanya Elaine. Cantik banget, wajahnya agak-agak mirip Revie, tetapi dalam bentuk tubuh cewek. Kalau Revie dan Elaine disandingkan berdua, mereka sudah seperti Tuan dan Nyonya Barbie. Tapi sayang, Revie gay dan Elaine lesbian. Dunia itu adil, babe, yang ganteng gay yang cantik lesbian. Nobody perfect! Sedangkan cewek yang sedang duduk manis sambil memegang Mocktailnya itu namanya Chloe. Dia cantik juga kayak Elaine. Tapi… Chloe itu Transgender. Nama sebelum dia jadi cewek adalah Charlie. Aku pernah lihat fotonya saat dia masih jadi cowok, lumayan cute like a bunny in the hole. Tapi… dia lebih memilih jadi cewek daripada jadi cowok.

Pacarnya Chloe juga sangat tampan. Benar-benar cocok bersanding dengannya. Dan cowoknya Chloe itu juga Transgender. Iya, bener banget. Pacarnya Chloe itu awalnya cewek tapi mengubah kelamin jadi cowok. Dan… Chloe dengan dia pacaran sekarang. Damn! Mereka berdua itu sangat serasi. Sama-sama Transgender dan sama-sama saling mengisi kegembiraan. Yah, apapun namanya, aku nggak peduli-peduli amat sih!

Karena aku lebih mementingkan party Griffin yang lumayan rame ini. Aku mengangkat pandanganku ke arah dancefloor. Hmm, banyak kloningan MJ sama Britney Spears! EW!

Lame banget sih nih party! Aku kira bakalan heboh kayak party nya Jojo waktu itu! Orange Squash nya juga nggak enak! Ick!” Amanda mulai mengkritik lagi, sebisa mungkin aku mengabaikan cewek itu. Aku tidak pintar dalam memberi balasan sarkas seperti Sid. Jadi daripada aku kena kritik Amanda—stupid pepek girl—mendingan aku silencio mulutku. “Kalo tau gini aku di rumah aja tadi. Masih seruan nonton film Horor di rumah daripada party ini! Lagu-lagu yang disetel sama DJ nya juga nggak asyik! Bored!” Ck! Ini nih alasan kenapa aku jarang suka sama cewek straight. Mulutnya ada enam, kayak pepek robek!

Blue Eve ku enak nih. Kamu mau nyoba?” ujar Dave sambil menyorongkan minumannya ke arah Amanda. Katanya Chloe sih, Amanda hanya bisa dijinakkan oleh Dave kalau mulutnya mulai mengkritik segala hal. Bagus deh, daripada lama-lama aku dorong dia dari lantai dua!

Belinda berdeham di sebelahku, dia tersenyum ke arah dua orang cowok yang lagi making out di sofa yang ada di sebelah kami. “Mereka imut ya, gayanya ciuman bener-bener menarik.” Ya, Tuhan! Kenapa sih aku punya saudara kembar yang sangat suka dengan dunia para gay seperti ini? Bukan berarti aku tidak bersyukur, hanya saja terkadang sifat Belinda yang sangat suka dunia LGBT seperti Anna itu cukup mengganggu. Aku saja yang gay begini tidak begitu tertarik dengan segala jenis pemandangan gay yang ada di depan mataku.

“Nggak ah, biasa aja tuh!” kritik Amanda lagi. Fucking Goddess! Si Amanda ini benar-benar annoying. Aku jadi rindu flocksku. Kami sangat jarang mengkritik hal apapun. Kami lebih suka langsung bertindak daripada banyak omong. I hate this girl! Andai saja nyantet orang itu nggak dosa! Mungkin sekarang aku sudah ada di rumah Ki Joko Bodo dan nyuruh orang itu buat nyantet Amanda. Santet yang biasa aja deh, keluar enam ratus paku dari dalam puting teteknya. Mampus, you stupid hoe!

Aku mengeluarkan iPhoneku, lalu mencari nama Sid di buku telpon. “Gue ke sana dulu ya!” kataku, menunjuk ke arah balkon. Lama-lama aku di sini bisa kulumat tuh cewek bernama Amanda. Belinda dan yang lain langsung mengangguk. Aku melangkah cepat sambil mendorong beberapa tubuh yang menghalangi jalanku. “Halo, Sid? Sid?” Sial! Ternyata suara operator yang menjawab. Pasti dia sedang ada di pesawat untuk pulang ke Indo saat ini. Aku mencari nama flocksku yang lain di buku telpon dan yang menjawab tetap para operator. Where the fuck are they? Aku benar-benar kesepian sekarang! I miss my flocks!

OTF?” tanya sebuah suara di belakangku. Aku memasukkan iPhone ku dan melihat cowok dengan rambut rapi namun cambang dan jenggotnya baru setengah tercukur. Agak hawt sih, mirip Jason Mraz. Dari aksennya tadi sih kayaknya nih cowok turunan Milan. Agak gotik. “OTF?” tanyanya lagi, kali ini dengan uluran tangan. Well, well, well, kalau aku tolak ajakannya sama aja kayak aku nolak tawaran jadi model untuk desainer sekelas Marc Jacob.

Why not? I love on the floor!” kataku sambil memasang senyuman terbaikku. Kuraih uluran tangannya, dan bersama-sama kami ke lantai dansa. Lagu Glad You Came yang diremix dengan lagu Starships-nya Nicki Minaj cukup seru untuk dijadikan pengiring gerakkan hebohku malam ini. So, let’s do it! Minggir semua kalian para Pelacur abal-abal! Watch my step and dance, you gonna lurve it! “You can start first!” ucapku pada cowok itu, lalu dengan gerakkan kecil dan cukup menghibur, dia mulai menggerakkan tubuhnya. Aku tersenyum dan bergelanyutan di atas pundaknya. Mataku tertumbuk ke arah bibirnya yang agak basah karena minuman yang dia minum tadi. Entah minuman apa!

Aku berbalik dan mulai menggoyangkan bokongku di bagian tonjolannya. Awalnya aku hanya merasakan sebuah tonjolan lembek, lama-lama tonjolan itu mengeras dan menghentak-hentak bokongku. Hmm, sepertinya kontol cowok ini besar deh. Thanks Aphrodite!

Ketika aku sudah puas dengan tonjolannya yang menghentak-hentak bokongku, aku berbalik dan mulai mencium bibirnya yang basah. Hmm, bibirnya manis seperti cocktail. Aku mengeluarkan lidahku dan menjilat bibirnya. Kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya saat dia meremas bokongku. Tetapi saat aku melingkarkan lidahku di lidahnya, dia tidak membalasnya. Hanya ada satu kata untuk cowok ini. Payah! Ciumannya payah! Aku menarik kepalaku menjauh. “I’m thirsty, will be back soon,” bohongku. Cowok kloningan Jason Mraz menatapku sejenak dan bertanya namaku. “Zavan,” kataku. Dan dia memberitahuku namanya yang ternyata adalah Jero. Pantas saja ciumannya payah. Namanya Jero—Zero­—NOL!

“Darimana aja?” tanya Belinda, dia berdiri dari tempat duduknya. Kutenggak Brandy Salvo ku banyak-banyak. “Gue daritadi nyari lo buat ngajak lo ke dancefloor.” Belinda mengikat rambut panjangnya dengan gaya ekor kuda. “Yuk, kita OTF, Donatella!” Aku mengangguk lalu berbalik ke arah dancefloor lagi. Chloe dan Elaine sudah berjalan duluan ke arah sana. Aku menghirup nafas panjang-panjang! Kalau Amanda bilang party ini lame, aku akan membuatnya heboh. Watch and learn, dasar anak Pelacur!

“Yang punya Pepek minggir, gue hanya tersedia buat Kontol!” teriakku kencang, membuat semua mata yang ada di sini terarah ke arahku. Aku berlari kencang dan mulai menggerakkan badanku dengan heboh. Semua orang bersorak dan lagu makin menggema luar bisa keras. Aku mengedarkan pandanganku dan melihat seorang cowok hawt dengan rambut bergaya spike dan keringat yang mengalir di tengkuknya sedang menari sendirian di belakangku. Aku menariknya bersamaku dan mulai mencium bibirnya dalam-dalam. Hmm, ciumannya lebih baik daripada si Nol tadi. Tetapi sudahlah, besok aku harus Sekolah, no sex for tonite. “Adios, thanks for dah kiss!” Aku menepuk pipinya dan berlalu, menghampiri Belinda yang lagi bergerak anggun bersama Chloe dan Elaine.

Elaine langsung menarik pundakku saat aku berdiri di hadapannya. Payudaranya yang kencang menabrak-nabrak dadaku. Chloe memeluk tubuhku dari belakang, tangannya yang lembut memegang pinggangku. This party never be lame if I’m goin’ in, Biatch! Belinda tersenyum lebar ke arahku, dia menunjuk cowok tampan yang ada di sebelahnya. Menyuruhku untuk menghampiri cowok itu. Maaf kembaran, my dear, nanti saja! Aku masih asyik dengan gerakanku yang sekarang. “I’m so Mary Jane Holland tonite, bitch!” seru Chloe sambil mengangkat gelas Mocktailnya ke udara.

Belinda mengapit tubuhku, tawanya yang seperti Graus itu menenggelamkan lagu I Love It dari Icona Pop yang dibuat dengan nada-nada memekakkan telinga. “Look at my ass!” seru Belinda, dia menggoyang-goyangkan bokongnya dengan heboh. Aku dan Chloe tertawa melihat ini. Segerombolan cewek yang ada di belakang tubuhku menatap bokong Belinda dengan pandangan kagum. Maaf, teman-teman lesbianku, Belinda cewek straight. “Oh, My!” teriak Belinda keras. “Pepek gue terbakar api, dahling!”

“Yeah, kipas-kipas!” kataku sambil mengipas-ngipasi selangkangannya. Belinda tertawa keras. Aku menaruh tanganku di pundaknya yang basah karena keringat. Punya saudara sepertinya memang menyenangkan. “We are the binal twins!” teriakku sambil melonjak-lonjak di udara bersama Belinda. Kami berdua tertawa. Untuk sesaat aku bisa menghilangkan rasa rinduku kepada sahabat-sahabatku. Tetapi entah mengapa, ada sesuatu di dalam diriku yang begitu kesepian. Meskipun aku tertawa di keramaian seperti ini, aku masih saja merasa sendiri. Orang-orang yang ada di masa laluku, merekalah yang selama ini menghantui hidupku. Hermione…—Sudahlah! Aku tidak perlu memikirkannya terus.

My life must go on! Aku sudah tinggal di Indonesia sekarang, jauh dari mereka! Aku seharusnya bahagia sekarang! Meskipun aku bahagia tidak menjadi seperti aku yang dulu!

Lebih baik aku pulang sekarang! Besok adalah hari pertama Sekolah. Aku akan bertemu dengan flocksku. Lagi pula party ini sudah tidak lame lagi seperti awal aku masuk. Well, mungkin akan lame lagi saat aku sudah tidak ada di sini. That’s rite, people, dunia akan terasa begitu menyedihkan jika tanpa aku di dalamnya. Catat namaku: Zavan McKnight!

***

Kontol Kucing! Ini nih nggak enaknya kalau datang kepagian. Masih nggak ada orang di sekolah. Tapi, apa boleh buat. Karena aku benar-benar bosan di rumah karena bangun terlalu subuh, jadi terpaksa deh aku pergi sekarang. Sekalian ngambil jadwal pelajaran untuk semester dua ini. Bukan berarti aku rajin or sumthing ya, tapi karena memang pengen ngambil aja. Daripada ngantri lagi di ruang akademis. Iya kalau ngantrinya sama anak-anak RR, kalau sama anak-anak RG gimana? Sudah jelata, kadang sok-sok-an lagi! Triple ew!

Selama liburan dua minggu kemarin aku nggak ada pergi kemana-mana. Sid dan Adam pergi ke Rio de Jeneiro. And dan Vick pergi jalan-jalan ke Sabang—pasangan kurang kerjaan! Revie dan Bagas pergi ke Puncak—ew, pasangan sok romantis! Sedangkan Tivo dan Peter pergi ke Singapura—that bitch is so cruel to me, masa pergi jalan-jalan nggak ngajak-ngajak sih?! Jadinya selama liburan ini aku hanya di rumah, sambil kencan sama beberapa kontol cowok yang rasanya selalu sama saja di mulutku. Bleh! Tapi, sudahlah! Penderitaanku akhirnya berakhir, karena liburan telah selesai! Hore! Kalau Tasya bilang: libur telah tiba, hore-hore—anak kecil songong—itu nggak ngebuat aku gembira dan hore sama sekali. Pas masuk sekolah kayak gini baru aku bisa berseru hore! Yeay!

Kukeraskan volume iPodku, lagu Hard Out Here dari Lily Allen memenuhi telingaku. Sambil menunggu sahabat-sahabatku datang aku membuka majalah AmazTeen. Mau mengecek beberapa hal, karena satu minggu yang lalu aku digosipin pacaran sama Cinta Laura. Bitch, puh-lease! Nanti kalau aku pacaran beneran sama Cinta Laura, yang ada kami hanya saling ngomong: mana hujan, nggak ada ojek, becek! Fucking ew! Nggak elegan banget, makanya aku mau ngecek lagi. Apakah aku masih digosipin soal itu?! Coba saja waktu itu aku nggak nyetujuin ajakkan Cinta pas dia ngajak aku ke Sushi Tei setelah sesi take iklan Sony Xperia Z1. Pasti nggak akan ada gosip itu! My-Gaga-ladadidadi-willy-willy-golly!

Aku membaca daftar isi yang ada di majalah AmazTeen dengan mata menyipit. Daftar isinya sangat membosankan. 1. Dua Puluh Cara Mendapatkan Hati Cewek IdamanEW, nggak butuh. Dan nggak akan pernah butuh! Nggak doyan ngentot pepek! 2. Robert Pattinson In Skinny Jeans—maaf, aku nggak ngefans sama Robert a.k.a Edward Cullen itu! Mau seseksi apapun bentuk badannya—yang ternyata nggak seksi-seksi amat kok. 3. Love or—Oh, my fucking goddess! Siapa cowok ganteng super hawt yang lewat di depan mataku ini? Murid baru kayaknya deh! Soalnya aku nggak pernah lihat. Damn, badannya buat aku horny aja!

“Hei!” sapaku ke arahnya, kulepas earphoneku dan mendekatinya. “Murid baru ya?” tanyaku sambil tersenyum penuh godaan. Senyuman yang selalu bisa membuat cewek ataupun cowok luluh ke dalam pelukanku—yeah, thanks to Mother Monster. “Kok gue baru lihat lo di sini?” Cowok yang ada di hadapanku ini kulitnya cokelat eksotis dengan bentuk tubuh proposional dan bentuk mata agak lonjong dan sangat mententramkan jiwaku—ooh la la. Tetapi kalau dilihat-lihat, aku kayak kenal deh sama orang ini. Atau cuman perkiraanku aja ya?

“Kamu kenal aku kok,” katanya gugup. Aku mengernyitkan dahiku dan berujar oh, ya dan siapa ya padanya. Dia pun menjawab dengan hati-hati. “Aku… Ozayn.”

WHAT??? ANJING!!!

–Bersambung to Chapter 2, wekkkk–

Mungkin, ini masih mungkin ya. Soalnya belum konfirmasi sama ketua penerbitnya: Uko. Novel Bright Day bakalan terbit bulan Januari ini. Jadi, batas terakhir gue nerima Review kalian di Goodreads sekitar pertengahan Februari. Atau awal Februari.

Caranya (bagi yang lupa), review Bright Day di Goodreads.com atau review Akuarel. Atau review dua-duanya. Terserah. Bagi 2 org yang ngasih review yg paling ngena di hati gue, bakalan dpt hadiah:
Satu pemenang akan dpt 1 novel Bright Day (Gratis)
Satu pemenangnya lagi bakalan dpt 1 novel Akuarel (Gratis)

Gue bakalan ambil dua pemenang. Selebihnya dari itu, kalo nggak menang dan pengen beli (promosi) Bright Day bisa ke Uko. Nanti namanya bakalan gue tag di status lainnya. Sedangkan yang pengen beli Akuarel bisa ke Cholifah Ariestiani.

Hohoho… Ditunggu review nya

PS. Batas akhir review sekitar pertengahan Februari.

Stormy Day (2)

DIS_

Chapter 2

♂ Undercover Martyn

“Gue masih nggak ngerti deh sama cuacanya Indonesia, padahal gue udah tinggal di sini selama dua tahun beberapa bulan. Besok cerah, besoknya lagi mendung, besoknya lagi hujan, dan besoknya lagi badai kayak gini. Lihat tuh hujan sama kilatnya, ngeri.” Zavan merapatkan syalnya ke leher, dia menarik-narik kemeja DIS nya agar rapi. Sebisa mungkin aku tidak menoleh ke badai yang hari ini sedang berlangsung. Aku benci hari badai seperti ini, mengingatkanku akan hal-hal keji yang si bajingan lakukan padaku. Aku juga sangat benci bunyi petir dan guntur, meskipun aku selalu menyembunyikan ketakutanku. Yang tahu aku takut pada kedua hal itu hanya Peter. Dan dia sekarang tidak akan berada di sampingku lagi.

Sid merapatkan jaket woolnya, tangannya menjentik tegas, menyuruh kami mengikuti langkahnya. Aku menyisir rambutku ke belakang, menekan dalam-dalam earphone yang menempel di kedua telingaku. Walaupun sebenarnya aku tidak mendengarkan lagu sama sekali. Aku hanya suka menempelkannya saja. Agar aku tidak terlalu bisa mendengar cercaan orang yang sangat suka menghujat kekayaan keluargaku. Kami berlima mendorong pintu lobby sekolah dan masuk dengan langkah panjang. Jika sudah masuk ke dalam sekolah seperti ini, kami berlima pasti menjadi pusat perhatian.

Semua orang seakan-akan langsung menghentikan aktifitas mereka. Beberapa pasang mata—apalagi adik-adik kelas kami—langsung menatap kami dengan pandangan kagum dan mencemooh. Beberapa orang bahkan ada yang saling berbisik dan melempar kami dengan dengusan kurang ajar. Tetapi karena memang dasarnya aku selalu masa bodoh, tidak seperti Sid yang seperti bensin tersulut api a.k.a cepat menyanggah, aku mengacuhkan orang-orang tidak penting itu. Sungguh, aku masih punya banyak hal yang lebih penting dari mereka. Mengkhayal misalnya, atau duduk-duduk sambil mendengarkan lagu yang kusetel dengan volume super keras. Atau menghabiskan waktu dengan papan caturku dan belajar tekhnik yang lebih bermutu.

Ketika aku melewati flocks Homophobia, aku bisa merasakan Peter sedang menatapku lekat-lekat. Sebisa mungkin aku tidak menganggapnya ada, namun sorot mata itu sungguh-sungguh menyebalkan. Seperti masuk ke dalam tubuhku kemudian menghantui jiwaku. Seharusnya aku gembira karena sudah bisa membuatnya sengsara seperti itu, hanya saja kenapa aku malah merasa nelangsa. Merasa bersalah padanya. Padahal yang jelas-jelas salah itu adalah dia, bukan aku. Yah, walaupun dia sudah meminta maaf berkali-kali, tetapi aku masih sulit untuk memaafkannya. Aku masih dendam.

Anak-anak grade 11 yang berada di dalam lift langsung terkejut saat mendapati kami ikut masuk ke dalam ruangan kotak tersebut. Sid mengangkat tangannya, menyuruh semua anak-anak grade 11 itu keluar. Dengan patuh, dan dengan langkah terbirit-birit mereka langsung keluar sambil menundukkan kepala. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding besi, menatap wajah Sid yang masih memasang ekspresi garang ke semua orang yang berada di luar lift. Setelah pintu lift tertutup, Sid kembali memasang wajah baik-baiknya. Meskipun muka songongnya masih menempel jelas di sana.

“Yang tadi lo usir itu anak-anak jelata, iya kan?” tanya Zavan, yang langsung Sid jawab dengan anggukan. “Pantesan ruangan ini bau jelata.” Zavan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemeja DIS nya. “Ini namanya pengharum ruangan mini. Kayak parfum gitu, tapi untuk ruangan.” Zavan menyemprotkan cairan berwangi eucalyptus itu di udara. “Nah, harumnya lebih baik daripada tadi. Bisa-bisa gue kena Asma kalo nyium bau jelata lama-lama.” Zavan kembali memasukkan botol itu ke dalam kemejanya. Dia merapatkan syalnya di leher, matanya yang biru menyipit untuk menatap dalam-dalam angka di panel lift.

Homeroom pertama kita homeroom Digital Arts kan?” tanya And saat kami sudah turun di lantai tiga. Cowok berbadan kekar itu melirik ke kanan dan ke kiri, pasti sedang mencari sosok pacarnya. Aku masih agak tidak percaya kalau sahabatku satu ini akan berpacaran dengan sahabatku yang lain. Vick memang tidak bersahabat lagi denganku sejak insiden aku putus dengan Peter, tetapi semenjak dia pacaran sama And. Kami kembali dekat seperti dulu.

“Iya,” sahut Revie, dia berjalan di depan kami dengan langkah jenjang. “Kalian udah selesain homework dari Mister Chris kan?” tanya Revie, ketika kami hampir sampai di depan pintu homeroom Digital Arts grade 12. “Jangan bilang sama aku kalo kalian belum nyelesainnya!? Aku kan udah buatin kerangkanya, tinggal kalian susun aja, terus kirim file homework itu ke e-mailnya Mister Chris.”

Revie mulai menjadi Mamah Dede lagi. Kalau soal pelajaran, cinta, kehidupan, jasmani dan rohani, tinggal tanya saja pada Revie. Dia akan menjawabnya dengan sangat bijak. “Gue udah buat beberapa bagian, tapi di sheet kedua gue bingung. Margin sama Headernya harus diapain lagi.” And mulai membela dirinya sendiri. “Tapi ntar deh aku kirimin ke Mister Chris yang sheet pertamanya dulu, yang kedua besok aja.”

“Gue udah selesai ngerjainnya.” Aku menyahut singkat, kemudian kembali berkutat dengan iPad yang ada di tanganku. Tadi malam aku memang sudah mengerjakannya di sela-sela kesibukanku. Digital Arts adalah salah satu pelajaran yang lumayan kusuka. Berkutik dengan elektronik adalah bidangku. Meskipun aku tidak tahu apakah Mister Chris akan menganggap hasil homework ku benar apa salah.

“Gue udah sih, tapi masih sampe sheet pertama aja, itupun  dibantuin Adam ngerjainnya. Gue bener-bener benci homework nggak jelas kayak gitu. Kenapa sih bukan pelajaran English aja? Yang pasti bisa gue kerjain dengan mudah, yah, meskipun masih minta bantuan Adam juga sih.” Sid mendesah panjang, benar-benar tidak suka jenis homework dalam bentuk apapun. Sama sepertiku, aku juga paling malas mengerjakan sesuatu ketika kerjaanku menumpuk dan sudah waktunya harus segera dikerjakan.

Zavan tiba-tiba maju selangkah, dia memegang pundak Revie dengan tatapan sedih. “Gue tadi malem udah usaha buat ngerjainnya, Rev. Tapi pas gue baca soalnya, gue langsung pusing kepala. Jadi, daripada gue masuk rumah sakit karena kena Vertigo, lebih baik nggak gue kerjain.” Zavan menaikkan pundaknya, memberikan pandangan memohon ampun ke arah Revie. “Santa Mia Farrow pun tau, bahkan Buddha dan Dewa Krisna pun juga ingin gue selalu menjaga kesehatan. Agar cowok ganteng di dunia ini nggak berkurang satu.”

Revie menggeleng-gelengkan kepalanya. Sid memutar bola matanya, dan And membuat ekspresi ingin muntah. Aku hanya menatap Zavan dengan pandangan malas. Dari dulu, memang dialah yang paling jarang membuat homework. Katanya, dia sudah niat mau ngerjain homework aja Tuhan pasti bakalan joget di Surga sana saking gembiranya. Tapi, tetap saja itu adalah alasannya agar Revie mau membantunya mengerjakan homework. Bahkan saat dia telat datang ke sekolah—kami masuk jam delapan, dan Zavan baru datang jam setengah dua belas—dan dia ditanya oleh Madam Dorothy atas keterlambatannya. Dengan santainya dia hanya menjawab dengan kata-kata tak berdosa.

“Madam, aku datang ke sekolah aja udah syukur lho. Daripada aku nggak dateng sama sekali, iya kan?” Terus dia ditanya soal Buku Pelajaran yang ternyata jarang dia bawa masuk ke dalam homeroom. “Lho, aku baru tau kalo kita harus bawa buku pelajaran ke dalam homeroom,” ujarnya polos, yang langsung menyulut kemarahan Madam Dorothy. Tapi bukan Zavan namanya kalau tidak melawan ucapan guru BP menyedihkan itu.

Kami berjalan cepat ke dalam homeroom, memilih tempat duduk yang berada di pojok kanan homeroom seperti biasa. Karena kami biasanya memang tidak pernah memperhatikan saat teacher mengajar. Kalau aku biasanya sibuk dengan iPad, Zavan akan sibuk membaringkan kepalanya kemudian tertidur dan baru akan bangun kalau bel telah berbunyi. Menandakan pelajaran telah selesai. Sedangkan And biasanya akan bercengkrama dengan Vick. Kalau Sid pasti sibuk BBM-an sama Adam. Hanya Revie saja yang paling suka memperhatikan teacher saat mengajar. Kami maklum, dia kan selalu ingin menjadi best student.

“Bantuin gue ya kerjain homework Digital Arts ini,” kata Zavan saat kami sudah duduk di kursi masing-masing. Aku duduk dengan Zavan, dan Revie dengan Sid. Kalau And tentu saja sama Vick, tapi sayang, Vick belum datang ke homeroom ini. “Kalo lo mau nolongin gue, ntar gue ajarin deh cara nyepong kontol yang bener itu gimana.”

Revie memukul pelan lengan Zavan, membuat wajah bule itu meringis dalam senyum. Revie menarik dua buah buku dari dalam tas-nya yang kucel. Zavan melihat tas itu dengan pandangan nista, seperti ingin merebutnya dari Revie lalu membakarnya sampai hangus. Mungkin karena dialah orang yang paling memperhatikan penampilan, makanya dia selalu berkomentar kalau kami menggunakan baju yang ‘biasa saja’ pada hari Jumat. Zavan memang sangat ingin menjadi pusat perhatian, aku juga tidak tahu kenapa dia bisa seperti itu.

Puh-lease, deh Rev! Gue udah berapa kali sih ngasih tau lo buat ganti tas? I mean, yeah you Mamayukero, lo itu udah kaya raya sekarang. Masa beli tas yang lebih layak pakai aja lo nggak bisa sih? Tas lo itu bahkan nggak cocok jadi alas buat Anjing peliharaannya Belinda tidur.” Zavan menatap sekali lagi tas Revie dengan pandangan ngeri. “Di dalem rumah gue, kalo ada barang yang udah lebih dari dua bulan, harus segera disumbangin ke para Darah Lumpur. Ups, maafin kata-kata Harry Potter gue. Maksud gue, harus secepetnya disumbangin ke para Rakyat Jelata yang lebih membutuhkan.”

“Kalo kamu hina orang-orang kelas bawah lagi, aku nggak bakalan ajarin kamu homework ini,” ancam Revie lembut, tetapi menusuk. Membuat bule itu langsung menganggukkan kepalanya dengan patuh. Namun baru satu menit Revie mengajari bule gila satu itu, dia telah memasang wajah orang yang seperti sedang terkena serangan jantung. “Kamu ngerti nggak Zav?” tanya Revie, yang langsung Zavan sahut dengan anggukkan. Walaupun aku yakin dia tidak mengerti sama sekali. Lihat saja gelagatnya yang seperti orang penyakitan itu!

“Zavan!” teriak seorang cewek dari depan pintu homeroom. Kami mengangkat kepala kami ke arah suara itu. Dan—kalau tidak salah namanya Anye—si empunya suara melambai-lambaikan tangannya ke arah Zavan. Bule itu hanya memasang senyuman malas ke arah Anye. Namun cewek itu sepertinya tidak mengerti, karena dia terus melihat ke arah Zavan terus-menerus. Seakan-akan Zavan adalah sarang lebah, dan dia adalah lebahnya.

“Kenapa sih tuh cewek selalu ngejer-ngejer lo Zav?” tanya Sid lekas, saat cewek itu telah memalingkan wajahnya ke arah Cliquenya. “Dari hari Kamis kemarin, dia selalu nguntit lo kemana-mana. Lo udah kayak bokapnya aja deh.”

Zavan mendengus kasar, homework yang sedang dia kerjakan langsung terlupakan begitu saja. “Dia dari kemarin nembak gue, nyatain perasaan cintanya ke gue. Padahal gue udah nolak dia secara halus, tapi tetep aja dia kayak parasit, ngejer-ngejer gue terus. Gue pengen banget ngasih tau dia kalo gue gay, tapi mau gimana lagi. Masih belum saatnya buat gue untuk coming out ke satu sekolah.” Zavan melirik Anye dengan tatapan sebal. “Tapi lama-lama gue risih juga sama tuh cewek. Ngedektin gue terus kayak cewek gatel aja. Kayaknya dia pengen deh gue garukkin pepeknya pakek linggis biar berhenti gatelnya.”

“Nggak usah digaruk, kasih Caladine aja pepeknya. Sekalian lo pijit-pijitin, siapa tau lo orgasme ngelihat pepeknya yang mungkin aja mirip kayak Mutiara.” Sid berkata sambil tertawa kencang. And yang duduk dua kursi dari hadapanku bahkan menimpali tawa Sid. Sedangkan Revie hanya terkikik pelan. Aku hanya mendesah panjang, lalu kembali berkutat dengan iPadku. Tidak ingin ikut bergabung dalam kata-kata tidak senonoh yang keluar dari mulut Sid dan Zavan.

“Sid, lo mau tau nggak yang ngebuat gue jadi gay apaan?” tanyanya sembari menatap wajah kami dengan pandangan serius. Perlahan, kami berempat mengangguk serempak. “Gue jadi gay karena pepek.” Mata kami melotot, benar-benar terkejut. “Nggak sepenuhnya juga sih. Tapi sebagian besarnya mungkin karena hal itu.” Zavan melepas syal yang melilit lehernya. “Pacar pertama gue dulu adalah seorang cewek. Namanya Eloise. Dia lebih tua empat tahun dari gue. Dan pas di ulang tahunnya yang ketujuh belas, dia ngajakkin gue ngeseks bareng. Karena gue nggak bisa nolak ajakkannya, akhirnya gue setuju. Malam itu, gue sama dia ngelakuin hal itu. Dia adalah orang pertama yang ngisep kontol gue, dan rasanya biasa aja.”

Zavan memasang wajah kecewa. “Dia ngisep kontol gue kayak lagi makan daging bacon. Nggak ada rasa nikmatnya sama sekali. Terus, setelah dia selesai berurusan dengan disco stick gue, akhirnya giliran gue lagi yang gerayangi tubuhnya dia. Gue hisep puting susunya, tapi rasanya kayak lagi gigit pentol. Terus, gue mulai turun ke bagian itunya, dan menemukan hutan Amazon yang sangat lebat di sekitaran pepeknya. Buat bulu hidung gue merinding. Tapi karena biar adil, gue—dengan terpaksa—mulai menjilati segala sudut pepeknya. Yang ternyata rasanya sangat asem. Beneran, gue nggak bohong, pepek ternyata rasanya asem.”

“EW!” seru Sid kencang. “Untung gue belum pernah nyoba. Thanks Jesus Christo.”

Lucky you!” desah Zavan cepat. “Kalo sama kontolnya nih ya, biasanya yang asem itukan sekitaran jembutnya, nah kalo pepek di bagian lubangnya. Lidah gue dengan terpaksa harus menjilat setiap sudut pepek Eloise. Dan pas gue nusuk dia sama kontol gue, masuknya susah. Ternyata oh ternyata, dia masih perawan. Oke, gue akui ngeseks sama cewek memang enak, tapi nggak bener-bener memuaskan.” Zavan menggeleng-gelengkan kepalanya, benar-benar benci mengingat masa lalunya. “Keesokan harinya, gue sadar kalo ternyata gue gay. Sorry to say, ternyata gue lebih suka masukkin kontol ke mulut gue ketimbang jilat pepek.”

“Tapi bentar deh!” seru Sid sambil mengangkat tangannya. “Tuh cewekkan umurnya udah tujuh belas tahun, kok masih perawan sih? Temen-temen cewek gue yang ada di New York aja, pas umur mereka empat belas tahun udah nggak perawan lagi.”

“Entahlah, mungkin cowok yang deket sama dia udah sakit hati duluan pas jilat pepeknya yang rasanya kayak Cuka untuk makan Pempek Palembang itu.” Zavan tertawa keras, yang langsung Sid, And dan Revie tanggapi sama kerasnya. “Yah, gue juga nggak pengen menghakimi cewek sih. Mungkin Eloise tipe cewek yang pepeknya mempunyai rasa asam. Mungkin aja di luar sana ada cewek yang pepeknya punya rasa Strawberry, Mangga, atau buah manis lainnya. Tapi, maaf, gue nggak mau nyoba lagi deh. Sekali aja cukup!”

Sid baru saja ingin membuka mulutnya saat tiba-tiba Peter dan flocksnya masuk ke dalam homeroom dengan gelagat sok berkuasa. Beberapa orang yang ada di flocks nya menatap kami dengan pandangan mencemooh. Tetapi langsung Sid balas dengan seringaian angkuh. Aku membuang tatapanku ke arah lain, namun aku tahu Peter sedang menatapku saat ini. Aku bisa merasakan matanya sedang menulusuri wajahku, dan itu membuatku gusar.

“Woy, kalian lihat deh di ujung sana, ada kumpulan homo!” teriak Nick si Homphobia bego.

Sid tersenyum licik. “Ngeri deh, guys! Anak-anak haramnya Iblis pada dateng sambil bawa muka jelek mereka ke sini. Oh, iya, kalian tau nggak, kalo di dunia ini manusia semakin banyak. Nah, gue sebagai Psikolog kalian, kalo boleh nyaranin, kenapa kalian nggak nembak kepala kalian sendiri sampe mati. Sekalian juga kan untuk mengurangi populasi orang jelek di dunia ini. Orang jelek udah banyak, jadi mendingan Va Va Voom deh! Atau kalo kalian nggak ngerti—yang gue yakin pasti begitu karena otak kalian ada di Zakar—artinya lenyap dari peradaban manusia! Kalian bernafas aja, Tuhan udah benci banget sama kalian.”

Noah dan Vico berdiri dari dudukan mereka, dengan tangan terkepal geram. And pun langsung ikut berdiri, apalagi ditambah Vick yang ikut bergabung dengan kami. Noah dan Vico kembali duduk di kursi mereka, tidak ingin mencari masalah dengan ketua Karate dan ketua Taekwondo. Yah, dari awal mereka hidup kan memang sudah dinobatkan sebagai pecundang menyedihkan, yang mereka andalkan hanya kekuatan, tetapi tidak pernah menggunakan otak. Seperti kata Sid, otak mereka ada di Zakar.

Zavan memundurkan sedikit badannya sambil memasang wajah menghina, lalu dia mulai menggoyangkan tangannya di depan selangkangannya. Seperti gerakkan orang yang sedang coli. Namun ketika Zavan menunjukkan gaya saat sperma muncrat, yang keluar dari tangannya adalah jari tengah yang langsung dia berikan ke arah flocks Homphobia yang tidak penting itu. Tatapan geram penuh kesumat mereka lemparkan ke arah kami. Yang tentu saja langsung dibalas dengan senyuman kemenangan oleh Sid dan yang lain.

***

Revie bergerak-gerak gelisah di sebelahku. Dia menatap kolam berenang dengan tatapan muram. Aku tahu, Revie paling tidak bisa jika sudah pelajaran Physical Education. Mana hari ini kami harus berenang lagi untuk mengambil nilai harian. Revie paling benci hal-hal yang bersangkutan dengan olahraga. Dengan tubuhnya yang pendek, dan badannya yang seperti Sailormoon versi cowok, dia selalu gagal jika melakukan olahraga yang Mister Ando perintahkan padanya. Dan setelah itu Revie akan  galau seharian karena nilanya jelek.

And dan Vick sedang sibuk meregangkan tubuh mereka di depanku. Tubuh mereka yang berotot bergerak liat seraya mengikuti gerakkan peregangan mereka. Sid yang berdiri di belakangku sedang sibuk menyesap Evian-nya sambil memandang kolam berenang dengan tatapan malas. Sedangkan Zavan, ya, tentu saja matanya sedang jelalatan saat ini. Bahkan dia melirik penuh nafsu ke arah Liam si cowok berwajah latin, yang mengingatkanku dengan wajah Enrique Iglesias.

Look at him, really like the boy next door!” ucap Zavan sambil tersenyum ceria ke arah Liam. “Dari dulu gue selalu pengen PDKT sama dia, tapi sayang, dia salah satu cowok yang ada di bawah naungan Bapa Athilius. Dia taat banget sama Agama. Jadi harapan gue untuk ngedapetin dia itu kayak nyuruh Tivo senyum.” Aku menyikut rusuknya, tetapi bule gila satu itu sudah pintar mengelak sekarang. “Damn you, sexy Liam! Buat bulu kontol gue meremang aja. Lihat tuh badannya yang kayak Dunkin Donuts, menantang minta dijilat!”

Sid terkekeh pelan, dia berjalan ke samping Zavan. “Lagi pula, jangan buang waktu lo buat ngebayangin tubuh lezatnya Liam, karena, maaf banget nih ya. Dia udah kebal dari godaan sepupunya Judas kayak lo.” Sid tersenyum mengejek ke arah Zavan.

“Enak aja! Jangan sembarangan buang nafas lo yang bau itu ya!” seru Zavan tak mau kalah. “Gue bukan sepupunya Judas, tapi gue ini adalah adik kandungnya Alejandro. Jadi, lo nggak usah ngomong sembarangan.”

“Alejandro, who?” tanya Sid dengan kerutan di kening, bingung.

Zavan memundurkan sedikit badannya, agak terkejut mendengar pertanyaan Sid. “Lo ini orang Kristen apa bukan sih?” tanya Zavan dengan kedua alis terangkat tinggi. “Gue aja yang Ateis gini tau isi alkitab lo.” Zavan menggeleng-gelengkan kepalanya, gelagat orang yang benar-benar menghina. “Makanya, kalo punya Kitab di rumah, dibaca Sid! Jangan jadi pajangan! Alejandro itu seseorang yang berwajah tampan, yang membantu Roberto ke gurun El Azhir. Kalo di Islam yang ganteng itukan Nabi Yusuf, kalo di Kristen ya si Alejandro.”

“Jadi, menurut lo, diri lo itu ganteng?” tanya Sid sarkas. Zavan menganggukkan kepalanya dengan pasti. Membuat Sid langsung memasang ekspresi muak. “Lo mendingan ngomong sama pepeknya Eloise aja deh, alih-alih sama gue.” Zavan dan Sid tertawa bersama, sampai akhirnya Sid menghentikan tawanya dan melihat sesuatu di dekat garis selangkangan Zavan. “Lo punya tato ya, Zav?” tanya Sid sambil menurunkan sedikit celana dalam renang bule itu dengan gerakan pelan. “Gambar apa nih?”

Revie dan yang lain juga langsung ikut bergabung bersama kami. Mata mereka menatap lekat tato yang terukir di dekat garis selangkangan Zavan. Bule gila satu itu tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang putih. “Kalo kalian perhatiin lebih teliti pasti kalian tau ini gambar apa!” Tapi kami berlima benar-benar buta dengan ukiran panjang yang ada di kulit Zavan. “Ick, ini tuh gambar kontol.” Aku dan yang lain langsung saling melemparkan pandangan takjub. Bule satu ini benar-benar deh! “Kenapa gue milih kontol, itu karena kalo gue kangen sama kontol, gue tinggal lirik tato gue aja. Lagi pula, gue kan Ateis, dan gue menganggap cowok adalah Agama gue, dan kontol adalah kitab gue.”

“Dan bisa dipastiin lo bakalan masuk neraka!” seru Sid dengan ekspresi menantang.

Zavan mengernyitkan wajahnya. “Emang neraka bakalan nerima gue nanti?” tanyanya dengan wajah sok lugu. “Tapi, ya sudahlah ya! Sebenernya gue lagi mencari jati diri dan sedang memutuskan ingin masuk agama apa kelak. Saat gue ulang tahun yang ke-22 atau saat gue menemukan hidayah, barulah gue milih salah satu dari beberapa agama itu.”

“Kalo lo mati duluan gimana?” sergahku sembari menaikkan alisku tinggi-tinggi.

“Kata orang, yang banyak dosanya biasanya akan panjang umur. Soalnya Tuhan ngasih dia waktu buat Tobat.” Zavan menatapku dengan senyuman lebarnya. Matanya yang biru, seperti air kolam berenang, melirik ke kanan dan ke kiri. “Red alert, guys! Kayaknya Liam udah mau mulai berenang deh, gue mau deket-deket dia ah. Sambil pura-pura minta diajarin tekhnik renang yang bagus itu kayak gimana.” Zavan membenarkan tata letak celana dalam renang yang dia gunakkan. “Doakan gue biar berhasil mendapatkan Liam ya.” Zavan menarik nafas panjang. “Jesus, kabulkan permohonanku. Allah SWT, dekatkan Liam padaku. Buddha, berikan Liam pencerahan, agar dia mau denganku. Sang Hyang Widhi, buatlah Liam menyukaiku.” Zavan melirik ke arah Liam dengan pandangan menggoda. “Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, amin. Insyallah Ya Allah. Namo Buddhaya, Sadhu, Sadhu, Sadhu. Om Swasti Om!” Zavan menatap kami sebentar. “Ay, mi papito, biatch!”

“Dasar bule gila!” seru kami serempak saat dia berjalan cepat menuju ke arah Liam stay. Zavan berbalik kemudian memberikan kami jari tengahnya. Benar-benar gila bule satu ini!

“Penyakit Pelacurnya kayaknya kambuh deh,” desah Sid pasrah. Accepted that! Apalagi ketika Zavan sudah ikut bergabung dengan Liam di dalam air. Dengan senyuman penuh godaan, dia mulai mencoba untuk memikat cowok itu. Zavan melambaikan tangannya ke arah kami saat Liam menyembunyikan kepalanya di air. Cih, benar-benar kambuh kayaknya!

“Revie Ferdian!” Tiba-tiba suara Mister Ando bergemuruh di gedung kolam berenang ini. Revie berjalan gontai, tatapan wajahnya benar-benar lesu. “Renang gaya bebas ya, bolak-balik.” Msiter Ando menggerakkan tangannya, menyuruh Revie untuk mengikuti instruksinya. “Waktu yang saya kasih selama lima menit, kalau waktu kamu lebih dari itu, terpaksa saya ngasih kamu nilai lima. Mengerti?” tanya Mister Ando dengan suara beratnya.

Revie menganggukkan kepalanya, dia berjalan pelan menuju ke arah pinggiran kolam. “Aku boleh mulainya dari dalam air kan Mr. Ando? Soalnya aku nggak bisa kalo renang langsung loncat gitu. Takut nanti tiba-tiba ada Tante Suzana yang nyulik aku dari dalem air pas aku masuk makin ke dalem. Soalnya dulu dia pernah main jadi Nyi Roro Kidul.” Mister Ando hanya tersenyum singkat lalu mengangguk. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang Revie tempuh saat dia kembali ke atas, dengan seluruh badan yang basah. “Berapa Mister?”

“Empat menit dua puluh sembilan detik,” kata Mister Ando, membuat Revie langsung terlonjak gembira. Revie berjalan cepat ke arahku, sambil menggoyang-goyangkan badannya seperti Dora the Explorer yang baru saja selesai mengemban tugas penting. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, kemudian menatap Sid yang kala ini sedang bersiap-siap untuk berenang. “Waktumu tiga menit empat puluh dua detik.” Sid menyeringai bangga, dihempaskannya tubuhnya di sebelahku. Setelah menunggu lama, akhirnya namaku disebut.

Berenang bukan hobiku sama sekali, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik, main game online, dan catur. Oh, sama bernyanyi. Meskipun aku lebih suka bernyanyi saat di Acapella dan saat aku sedang sendirian di dalam kamarku. Aku menggerakan badanku segesit mungkin. Berharap kalau waktuku tidak akan lebih dari lima menit agar aku tidak dapat nilai lima. Saat aku memunculkan kepalaku untuk menarik nafas, aku bisa melihat Peter yang sedang duduk di pinggiran kolam sembari menatapku menggunakan senyumannya yang khas. Oh, shit! Buat aku kehilangan konsentrasi saja!

“Waktumu empat menit lima belas detik!” Damn you, maniak brengsek! Coba saja kalau aku tadi tidak melihat wajahnya yang lagi tersenyum itu, pasti waktuku akan lebih singkat lagi. Aku keluar dari dalam air, kulangkahkan kakiku menuju ke arah bangku tempat aku menaruh handuk, sabun dan kunci loker. Kukalungkan handuk itu di leherku, bersiap-siap untuk membilas diri. Aku malas berlama-lama di kolam berenang ini, tidak seperti semua orang yang masih betah bermain air. Aku lebih suka saat badanku kering.

Kututup pintu kamar mandi bilasku rapat-rapat. Kulepaskan celana dalam renangku kemudian menggantungkannya di dekat handukku. Aku baru saja selesai menyabuni tubuhku saat tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar mandi yang sedang kugunakan. Di tempat bilas ini kamar mandinya memang tidak menggunakan kunci sama sekali. Bagian minus yang harus segera diperbaiki. Karena hal itu sangatlah mengganggu, apalagi saat aku menatap Peter di hadapanku, dengan sorot matanya yang sayu.

Dia maju selangkah, dan aku mundur dua langkah. Sampai akhirnya badanku menempel di dinding kamar mandi. Peter menutup kembali pintu, matanya yang sayu menatapku dengan tatapan memohon, tatapan tersiksa—hal yang patut dia dapatkan. Perlahan Peter mulai menempelkan badannya ke badanku. Bisa kurasakan rasa suam tubuhnya yang menjalar pelan ke dalam tubuhku. Peter menyentuh pipiku dengan tangannya yang agak kasar. Aku memalingkan wajahku dari tatapannya, namun kerja otakku sedang menjadi Akatsuki sekarang. Semua sarafku berkhianat.

Stop, nyiksa perasaan kita berdua!” ujarnya parau, membuat telingaku merindukan bisikannya. “Jangan lari lagi! Kita harus ulang semuanya dari awal. Kita harus nyoba.”

Sudah berapa lama aku tidak merasakan bibir Peter di bibirku? Dua tahun, atau tiga tahun? Entahlah, aku benar-benar lupa. Pasti Peter berani menciumku karena tahu kalau aku akhir-akhir ini juga sering ikut-ikutan curi pandang ke arahnya saat dia sedang berada di lapangan Baseball, menjadi Manajer di Klub itu bareng Sid. Atau pada saat dia tanding SkateBoard di Monas beberapa pekan yang lalu. Dengan bodohnya, aku datang menonton. Entah dorongan dari mana aku melakukan hal itu.

Oh, mungkin karena aku merindukannya. Tidak-tidak! Jangan sampai itu terjadi!

Lidah Peter masuk ke dalam mulutku, bibirnya yang hangat, lembut dan menuntut membuat perasaan rinduku sirna seketika. Aku menginginkannya, tetapi aku masih sangat dendam padanya akibat kelakuannya waktu itu. Aku masih belum bisa memaafkannya, aku sudah mencoba untuk melupakan kesalahannya, tetapi aku tidak bisa. Aku terlanjur dendam, Peter telah menjadi orang yang sangat jahat untukku. Aku mungkin terdengar sangat muna-fuck! Tapi masa lalu kelamku itu sangat sulit untuk dihapuskan begitu saja. Tatapan Peter yang—

“Aku cinta sama kamu, Tiv,” bisiknya, dia mulai melepaskan celana dalam renangnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh berhubungan lagi dengannya, hubungan yang kemarin kulakukan hanya untuk menyiksanya. This is so undercover martyn, dan hal ini harus segera diselesaikan dengan cara kasar. Meskipun aku juga merasa sangat tersiksa ingin membalas ucapannya, kalau sampai kapanpun, aku juga mencintainya. Hubungan kami yang berlangsung dua tahun waktu itu kandas hanya karena rasa dendamku padanya. Tolol!

Kudorong badan Peter menjauh, dia menatapku dengan pandangan bertanya dan juga… terluka. “Maaf, gue nggak ngerti bahasa anjing!” Kuraih handukku lalu berjalan pergi dari dalam kamar mandi ini. Aku tidak boleh berdekatan lagi dengannya, aku tidak mau. Aku harus menyiksanya agar dia tahu perasaan sakit hatiku dulu.

Tetapi kenapa aku malah merasakan sakit hati yang sama seperti yang dia rasakan?

“Kenapa kamu kayak gini?” tanya Peter frustasi. Refleks aku menghentikan langkahku. “Kamu masih dendam sama aku karena hal itu? Kamu masih nggak bisa maafin aku? Harus berapa kali aku bilang maaf sama kamu biar kamu bisa nerima aku lagi di hidupmu? Aku kangen kamu Tiv. Aku kangen pengen ngabisin waktu sama kamu, dengerin lagu sampe subuh. Bicara ngalor-ngidul sama kamu dan Vick. Kamu inget nggak janji kita dulu, pas kita kelas dua SD? Kita bertiga janji bakalan selalu sama-sama apapun yang terjadi.”

Aku berbalik dengan perasaan marah di dalam diriku. “Tapi lo yang ngingkari hal itu. Lo pengecut, lo bahkan nggak pengen berbalik ke belakang. Lo ngebiarin gue jadi kayak gini. Lo yang harusnya sadar dengan apa yang udah lo lakuin! Lo nggak ada pas gue butuh lo! Jadi jangan salahin gue kalo gue ngejauhin lo, anjing!” Itu semua adalah kata-kata paling panjang yang keluar dari mulutku hari ini, dan aku merasa sangat kebas dan bersalah.

“Aku—“ Peter menatapku makin sayu. “Aku minta maaf.”

Aku tidak tahu itu permintaan maafnya yang sudah ke berapa kali. Saat kami berpacaran dulu, Peter juga selalu meminta maaf akan kejadian itu. Tetapi, aku selalu menjawabnya dengan anggukkan kepalaku, tidak sungguh-sungguh ingin memaafkannya. Aku hanya ingin memacarinya lalu membuatnya patah hati. Persis seperti dia yang sekarang, yang memohon-mohon padaku untuk pulang ke hatinya. Tetapi aku tidak mau, aku menolak. Begitu banyak luka dan dendamku untuknya.

“Aku minta maaf.”

Kuhembuskan nafasku peralahan, menatap wajahnya, lalu pandangan matanya yang lelah. “Sekali lagi maaf, gue nggak ngerti bahasa anjing.” Aku pun berbalik segera, tidak ingin melihat wajahnya yang pasti akan berubah terluka. Namun pada saat aku membalikkan badanku, Vick dan And berdiri di sana, mematung tak bergerak. Wajah And seperti salah tingkah, sedangkan Vick menatapku dan Peter secara bergantian dengan pandangan muram.

“Hmm, aku—“ And mengangkat tangannya, menyiratkan kalau dia ingin pergi dari tempat ini. “Aku tunggu kamu di luar aja ya,” kata And akhirnya kepada Vick. Sahabat lamaku satu itu hanya mengangguk tanpa memandang And. Langkah And panjang saat meninggalkanku, Peter dan Vick di ruangan bilas ini. Mata Vick masih saja menatapku dan Peter bergiliran, seakan-akan dia juga sama lelahnya sepertiku dan Peter.

Guys, kalian berdua bener-bener harus berhenti kayak gini! Di perjanjain kita dulu, kita nggak pernah buat kan untuk saling menjauh kayak sekarang?” Vick maju beberapa langkah, rambutnya yang basah membuat wajahnya yang dulu kekanak-kanakkan berubah dewasa. “Tiv, gue tau lo sakit hati sama Peter dengan apa yang udah dia lakuin ke elo. Tapi sampe kapan lo mau nyimpen dendam? Gue ngerti perasaan lo—“

“Nggak!” potongku cepat, menggunakan nada tinggiku. Nada yang sangat jarang kugunakan di dalam suaraku. “Lo nggak ngerti! Kalo hati gue pindah ke badan lo, lo pasti tau gimana rasa sakit hati gue sama dia!” Aku menatap Peter dengan tatapan menusuk, ingin menyuruh hatinya merasa bersalah. Walaupun aku tahu dia sudah merasakan hal itu bahkan sebelum aku memintanya. “Lo nggak usah ngomong seakan-akan lo tau gue—“

“Tapi gue tau lo!” seru Vick berapi-api. “Gue tau lo, gue tau Peter! Kita bertiga sahabatan. Lo sama Peter pernah pacaran. Gue tau masa lalu lo, gue tau yang ngebuat lo jadi gini karena apa. Gue tau lo sakit hati ke Peter gara-gara apa! Apa lagi yang nggak gue tau tentang kalian berdua!?” Vick menyentakkan lengannya, benar-benar geram. Di antara kami bertiga, saat kami bersahabat dulu, Vick lah yang paling kalem dan bisa menengahi perdebatan yang sering terjadi di antara aku dan Peter. Tetapi sekarang dia benar-benar berubah, dan di saat itu, aku tidak ada di sisinya sebagai sahabat. “Gue sahabat kalian, tetapi karena kalian begitu egois, persahabatan ini berantakan! Selama ini gue selalu pengen cerita ke kalian pas gue jatuh cinta, pas gue kecelakaan waktu itu. Tapi apa, kalian musuhan dan ninggalin persahabatan kita ini gitu aja. Kalian bahkan lebih parah dari pengkhianat. Fuck you!”

Vick berbalik dan pergi meninggalkan kami. Aku bisa melihat mimik kecewanya, aku bisa melihat tatapannya yang sangat marah. Ini semua salahku, andai saja dulu aku tidak begitu egois. Andai saja aku bisa memaafkan dendamku pada Peter, ini semua pasti tidak akan terjadi. Kami bertiga pasti akan tetap bersama. Aku dan Peter mungkin akan tetap menjalin hubungan lebih dari sahabat. Dan aku pasti akan bisa memberikan masukan ke Vick saat dia jatuh cinta, aku juga pasti bisa menjenguknya saat dia kecelakaan mobil saat kita kelulusan dulu. Tetapi semua itu kulewati, aku tidak mendengarkan ceritanya, aku tidak menjenguknya. Tetapi, entah bagaimana, aku masih belum benar-benar bisa menghapuskan dendamku pada Peter. Dia… mengkhianati persahabatan kami. Dia mengkhianati… perasaanku.

***

“Dek Tivo, Pak Hutagalung sudah nunggu di waiting room. Suruh dia ke sini aja atau Dek Tivo yang mau ke sana?” tanya Venia, Sekertarisku di kantor.

Kutengadahkan kepalaku dan menatap wajahnya yang cantik. “Suruh aja dia masuk ke sini!” Aku menutup kepala MacBook ku dan menyandarkan tubuhku yang lelah di sandaran kursi.

Ketukan di pintu terdengar langsam, aku menyahut menyuruh siapapun orang yang mengetuk itu masuk. Venia membuka pintu ruanganku lebar-lebar, mempersilahkan Alex Hutagalung masuk ke dalam. Cowok berbadan tinggi, berjas hitam dan bermata lebar itu menatapku sebentar sebelum akhirnya mengunci pintu ruanganku ketika Venia telah menutupnya. Dia berjalan mendekat, ditaruhnya tas kulit buayanya di atas mejaku. Setelah dia menarik sebuah berkas dari dalam tasnya, dia menyerahkannya padaku.

“Pak Rifat sudah setuju untuk ikut bergabung sama perusahaan kita. Penanaman modal yang kita taruh di perusahaan Crystal Bank berjalan cukup lancar. Kamu tinggal tanda tangan di sini untuk menyetujui penanaman modal yang perusahaanku dan perusahaanmu tanamkan.” Aku meraih berkas itu dari tangan Alex, membaca beberapa paragraf ke-empat dan kelima, melihat akankah ada keuntungan yang berdampak baik ke perusahaanku jika aku menerima ajakannya. Meskipun dari awal aku dan Alex gencar sekali untuk mengajak Pak Rifat bergabung bersama kami, tetapi bisa saja dia melakukan hal licik. Aku pernah mendapatkan kesan buruk ini dari salah satu developer jahanam yang pernah menipuku waktu itu.

Laba perbandingan dari penanaman modal yang kutaruh cukup menguntungkan, apalagi dengan adanya perjanjian ‘jalan modal’. Kata lainnya adalah perusahaanku akan tetap mendapatkan untung meskipun penanaman modal awal sudah selesai. Aku menarik pulpen yang kutaruh di dalam kotak yang berada di samping MacBook ku. Setelah menandatangani persetujuan itu, aku berdiri dan menghampiri Alex. “Ini, deal.”

Alex tersenyum singkat, dia memasukkan berkas itu ke dalam tas kulitnya, matanya yang lebar menengadah untuk menatapku. “Sekarang kita udah nggak sama urusan kerjaan lagi kan?” tanyanya halus, yang langsung kujawab dengan anggukan kepala. Alex menarik badanku, hingga terduduk di atas pangkuannya. Belum saja sempat aku protes karena kaget, tiba-tiba dia mencium bibirku. Kulingkarkan tanganku di lehernya, mengusap dagunya yang kasar karena belum bercukur dengan daguku. Baru saja aku ingin menyelam ke dalam ciumannya, tiba-tiba HP nya berdering. “Oh, sebentar,” ucapnya sambil meraih telponnya yang ada di dalam saku jasnya. Dia melirik sebentar nama penelpon kemudian berujar, “Istriku nelpon. Tunggu dulu, ya!”

Kumundurkan kepalaku, membiarkan Alex berbincang dengan istrinya. Aku sadar ini adalah tindakan bodoh, menjalin hubungan dengan cowok berumur tiga puluh enam tahun, punya istri yang jelas-jelas teman dekat arisan Mamaku dan punya dua orang anak. Yang satu SD kelas enam, yang satu lagi SMP kelas dua. Bahkan anaknya yang pertama hanya beda empat tahun dariku. Tetapi tidak apa-apa, aku memang keji. Selama ini bisa mengobati ketakutanku, dan bisa melenyapkan si bangsat dari kepalaku, aku akan terus melakukannya.

“Oke, nanti aku jemput Lina di tempat lesnya. Oh, iya, nanti malem aku kayaknya pulang larut.” Alex menatapku sebentar, dia menyapukan tangannya di pipiku. “Aku masih ada urusan kerjaan sama anaknya Bu Diatmika. Urusan kantor, jadi aku nggak bisa ikut makan malem bareng kalian. Iya, maaf ya, Sayang. Oke. Aku juga cinta sama kamu. Titip salam buat Melanie. Bilang Papanya bakalan cium dia pas dia udah tidur. Iya, Sayang. Aku nggak akan telat makan. Sudah dulu ya, Dek Tivo nungguin. Dah, sayang.” Alex menekan tombol merah dan menatap wajahku lama-lama.

“Jemput siapa kamu bilang tadi?”

“Jemput Lina, anakku yang pertama. Sepuluh menit lagi dia pulang dari tempat lesnya.” Alex menutup tas kulitnya, aku berdiri dari atas pangkuannya, membiarkan dia menjemput dulu anaknya itu. “Gimana kalo kamu ikut? Sekalian kita makan malam di Solaria?” usulnya.

“Nanti anakmu juga ikut?” tanyaku singkat. Kusandarkan tanganku di pinggiran meja. Alex berdiri, dia memegang tanganku dan meremasnya lembut. Aku kenal Alex sudah lama, dia adalah direktur dari salah satu perusahaan yang cukup terkenal. Si bajingan dan Alex sudah menjalin firma kerja sama selama sepuluh tahun. Ketika aku berulang tahun yang kesebelas saja saat itu dia datang. Aku bisa menjalin hubungan dengannya mungkin karena aku tidak sengaja—atau sengaja—mengajaknya untuk tidur bersamaku. Entah dorongan dari mana, dia mau melakukannya denganku. Alex dan Ferdi adalah kedua orang yang sudah sangat lama menjalin masa kerja bersama perusahaanku, dan mereka berdua berteman dekat.

Setidaknya itu yang kutahu. Lagi pula, aku suka Ferdi, aku suka Alex, aku suka Serly, aku menjalin hubungan dengan mereka semua. Selama mereka tidak saling mengetahui, aku tetap merasa aman-aman saja. Yang bodoh di sini sebenarnya bukan aku, tetapi mereka. Aku tidak meminta mereka untuk selalu bersamaku, namun mereka yang selalu mencariku. “Enggak, Lina kita anter pulang dulu,” kata Alex kemudian, setelah dia merapikan jasnya.

Kuanggukan kepalaku, kuraih tas selempangku yang berisi iPad dan dompetku. Ketika aku sampai di dalam mobilnya, dan saat mobil keluar dari pelantaran parkir, hari badai kembali datang. Dengan kilat dan guntur yang bergemuruh di atas langit. Kusandarkan tubuhku di sandaran kursi, kualihkan pandangan mataku ke arah rumbai-rumbai yang ada di dekat speaker DVD. Aku paling tidak suka melihat hal yang berbau kilat dan guntur, aku benci saat mereka meledak di langit. Membuat bulu kudukku berdiri, membuatku mengingat malam itu.

“Kemarin pas aku nonton berita, di daerah Kelapa Gading ada baliho jatuh dan nimpa dua mobil. Satu orang meninggal. Sekarang kita bener-bener harus hati-hati kalo cuaca badai kayak gini.” Alex melirik ke arah hujan dan angin yang bertiup kencang di luar sana. Bunyi petir menyambar terdengar sekali dan membuat telingaku pekak. “Ck! Kalo cuaca badai kayak gini pasti Jakarta banjir.”

Aku tidak menyahut, hanya terus duduk di kursiku sambil menatap seluruh mobil Alex yang sangat-sangat tidak modis. Jika Zavan naik mobil ini, bisa dipastikan dia akan meludah ke setiap sudut mobil saking terlalu katronya style di dalam mobil ini. Bagian luar boleh bagus, Porsche, tetapi di dalamnya. Benar-benar selera orang tua. Oh, aku lupa kalau dia memang sudah tua. Tiga puluh enam tahun. Baru saja aku memikirkan Zavan, tiba-tiba iPhone yang sedaritadi kugenggam bergetar, nama Zavan muncul di sana. Saat aku menekan tombol hijau, dan menempelkannya di telinga. Zavan berseru lantang di ujung sana.

You son of a bitch! Lagi di mana? Ikut gue ke party nya Tom yuk! Gue sendirian nih. Si Lonte, si Pecun dan si Sundal lagi sama pacarnya masing-masing. Lo nggak mau kan ngebuat Germo lo satu ini sedih dengan menolak ajakannya?” Zavan meracau cepat, kebiasaan yang harus dia rubah secepatnya. Walaupun terkadang aku sangat iri dengan caranya bisa bicara sebebas itu. Tidak sepertiku, aku hanya bicara ketika aku butuh saja. “Dan jangan bilang sama gue kalo lo nggak bisa karena lagi ada kencan!? Io litorne, itu nggak mungkin terjadi.”

Kudecakkan lidahku kasar, agar Zavan bisa mendengarnya. “Maaf, gue ada janji sama klien.” Dan cukup. Aku tidak ingin menjelaskan panjang lebar. Buat mulutku lelah saja.

“Tsah! You’re not fun!” serunya dengan suara menghina. “Kalian semua kejam, nggak ada yang bisa diajakkin jalan. Mentang-mentang pada sibuk semuanya, gue yang ganteng ini ditinggal sendirian.” Aku tidak mau komentar untuk yang itu. “Yada-yada-yada, you are so undercover martyn, you know that! Bleh! Berarti gue harus pergi sendirian nih ke party nya Tom? Gawd, I’m such a pathethic jomblo. Tapi iya deh, nggak apa-apa, Germo kalian satu ini maafin tingkah kurang ajar kalian. Gue pergi sama Rakel aja. Sekalian mainin kontolnya.”

Gee! Shut your sluteinsten mouth!” seruku, lama-lama bosan juga mendengar ucapannya yang selalu sangat kotor. Aku tidak tahu mulutnya terbuat dari apa sebenarnya bule ini!

Why? Ngomong kotor kan haknya manusia, ngelarang ntar lo kena hukuman HAM lho. Dipanggil Kak Seto, baru tau rasa!” Zavan menghentikan omongannya. “Iya deh, gue mau pergi pemotretan dulu kalo gitu. Untuk elo, semoga keberuntungan selalu menyertaimu. Ups, maafin kata-kata The Hunger Games gue.” Zavan tertawa seperti orang gila. “Oke-oke, I’ll go now. Adios, Jalang!” Aku hanya berdeham untuk menyanggah ucapan perpisahannya barusan. “Eh, tunggu!” serunya tiba-tiba. “Klien yang janjian sama lo ini ganteng nggak? Kalo ganteng kenalin dong!” Aku langsung mematikan sambungan telepon!

“Siapa?” tanya Alex, mobil telah berhenti di depan sebuah bangunan tinggi. Alex menekan klakson sekali, lalu matanya kembali teralihkan ke arahku. “Sahabatmu?” tanyanya, aku hanya mengangguk sambil memasukkan iPhoneku ke saku kemeja. Tak lama kemudian tiba-tiba pintu belakang terbuka, sesosok perempuan berbadan cukup tinggi dengan rambut diikat kuda masuk ke dalam mobil. Dia melirikku lalu ke Alex. “Kita langsung pulang ya, Papa masih ada kerjaan sama klien Papa yang satu ini.”

Coba saja anaknya tahu kalau aku adalah kekasih gelap Papanya. Pasti cewek ini akan langsung menampar wajahku, oh, atau mungkin melakukan hal yang lebih parah dari itu. Lihat saja mukanya anaknya Alex, songong. Kalau dia ikut casting untuk pemeran Bawang Merah, dia pasti bakalan langsung mendapatkannya dengan mudah. Meskipun masih lebih songong muka Sid. “Oke, Pa. Tapi aku nitip beliin buku Matematika terbitan Elex Media Komputindo ya. Kata Bu Nova tadi di Gramedia Matraman banyak.”

“Oke, ntar Papa mampir ke sana.” Kemudian hening. Dari spion yang ada di atas kepalaku, aku bisa melihat si Bawang Merah masih memperhatikanku dengan raut wajah bingung. Pasti dia merasa aneh kalau klien Papanya masih sangat muda. Ugh! Saat aku bertemu dengan para klienku yang dari luar negeri saja, mereka tidak percaya kalau aku yang akan memimpin meeting. Meskipun aku masih delapan belas tahun, tetapi aku sudah belajar selama enam tahun dalam dunia bisnis dan perusahaan yang ditinggalkan si bajingan.

“Papa hati-hati di jalan ya!” seru si Bawang Merah saat kami sudah sampai di depan rumahnya yang megah itu. “Dan jangan lupa titipanku, ya?”

“Iya, Sayang. Iya.” Alex tersenyum ceria ke arah anaknya, si Bawang Merah memeluk sebentar Papanya kemudian memberikanku sebuah senyuman singkat. Muka songongnya langsung berubah sedikit lebih baik. Dia membuka pintu mobil kemudian keluar dengan gesit karena badai di luar sana makin menjadi-jadi. “Kita jadi ke Solaria kan? Atau mau di SoHo aja?” tanya Alex saat mobil sudah kembali ke jalan raya.

Aku berpikir sejenak. Kalau makan di Solaria, penyajiannya sangat lama, meskipun makanan yang disajikan cukup enak. Kalau di SoHo terlalu absurd, banyak anak-anak DIS yang suka nongkrong di sana. “Solaria aja,” jawabku akhirnya. Alex menganggukkan kepalanya lalu melajukan mobil dengan cepat. Saat kami sudah sampai, dan lagi memparkirkan mobil, perasaanku berubah tidak enak.

Ketika aku telah keluar dari dalam mobil dengan Alex pun, perasaanku masih tetap sama. Dengan hati-hati Alex meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Sebentar aja, kalo udah di tempat rame ntar aku lepasin,” ujarnya sambil tersenyum, aku hanya mengangguk sekali.

Namun pada saat kami hampir sampai di kerumunan orang, tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. “Tivo!” Aku menoleh dan menatap Peter yang ada di samping kiriku.

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–

Peraturannya masih sama, nunggu sampe 40 komen dulu baru post chapter 3 nya. Hahahaha 😛

Stormy Day (1)

DIS_

Chapter 1

♂ Rendezvous

Mobil berhenti tepat di depan rumah berukuran super besar, dengan lampu warna-warni yang memancar dari balik jendelanya yang lebar. Beberapa orang cowok berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Rumah ini sendiri berada di paling belakang komplek, menyendiri dan tak mempunyai tetangga sama sekali. Suara musik yang sangat keras, berdentum-dentum dari balik pori-pori dinding. Membuat Zavan terlonjak bahagia di kursi belakang. Dia merapikan bajunya, sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar dengan gesit.

Aku mematikan mesin mobil, mengambil iPadku yang ada di atas dashboard mobilku. Sid yang duduk di sebelahku pun sudah ikut-ikutan keluar. Menyisakan aku dan Revie di dalam mobil. Setelah merapikan rambutku yang tadi tertiup angin saat aku membuka jendela mobil untuk membuang putung rokokku, aku keluar dengan luwes, didampingi Revie yang masih saja bergerak gelisah semenjak kita berlima pergi tadi. Dia bilang, party bukanlah hal yang paling dia sukai. Meskipun dia sangat jarang menolak ajakkan kami. Atau lebih tepatnya ajakkan Zavan. Zavan adalah seorang party lover sejati.

Kami berlima melangkahkan kaki menuju ke depan pintu utama rumah tersebut. Mobil-mobil yang terparkir tepat di dekat compound area membuat kami harus memutar jalan. Zavan yang berdiri di hadapanku hanya terus mengoceh tentang sesuatu yang tidak kumengerti dengan seseorang yang sedang ditelponnya. And dan Revie yang mengapitku hanya memandang rumah besar yang menjulang di depan kami dengan tatapan tak berminat sama sekali. Sedangkan Sid hanya sibuk dengan kancing kemeja bajunya yang sangat sulit dilepaskan bagian atasnya. Membuat lehernya yang jenjang agak sulit bergerak.

Sebenarnya hari ini aku ada pertemuan dengan seseorang, rendezvous yang memang sering kulakukan dari beberapa tahun yang lalu. Tetapi karena Zavan mengajakku ke sini, ke gay private party milik temannya ini, maka daripada itulah aku harus membatalkan rendezvousku dengan orang ini. Yang kalau boleh kukatakan, bukan masalah besar juga. Besok-besok aku masih bisa melakukan rendezvous lagi dengannya. Lagi pula, aku tidak bisa menolak ajakkan Zavan. Dia sahabatku, orang yang paling bisa membuatku tidak larut dalam kubangan masa lalu kelam. Meskipun aku jarang berbaur dengan ucapannya, tetapi aku selalu mendengarkan dengan seksama. Sejak kejadian waktu itu, aku bukan Tivo yang dulu lagi.

Scuse us, euh, by the way, kami berlima temennya Yogas.” Zavan berkata pada seorang cowok dengan badan besar seperti And yang sedang berdiri di depan pintu dengan wajah sangar. Matanya yang hitam meneliti kami berlima, bergulir ke kanan dan ke kiri, memperhatikan kami dengan tatapan menilainya. Apakah kami benar temannya Yogas.

“Tunggu sebentar!” kata cowok itu dengan suara berat ala orang lagi kena TBC. Dia mengeluarkan sebuah mini talkie dari balik badannya lalu menghubungi seseorang. Aku hanya berdiri saja sambil membuka lock iPadku. Kucek kurva perusahaanku yang ada di Bontang, Kalimantan Timur dan di Alas, Sumbawa Besar. Tidak ada penurunan, berarti perusahaan si bajingan masih baik-baik saja di sana. Aku masih bisa mendesah lega kalau begitu. “Oh, oke!” Si suara TBC menolehkan kepalanya ke arah kami lagi, tetapi kini dengan tatapan ramah ala orang penjual nasi Padang. “Kalian boleh masuk, tetapi sebelum itu saya periksa dulu. Jangan sampai ada benda tajam yang kalian bawa!”

Zavan mengibaskan tangannya di depan cowok berbadan kekar itu. “Kita nggak mungkin bawa gituan. Yang kami bawa hanya benda tumpul, dan benda tumpulnya masih bobok.” Zavan tersenyum dengan memamerkan gigi Pepsodent-nya. Cowok berbadan kekar itu tersenyum kecil kemudian membolehkan kami masuk. Aku dan yang lain langsung melesat masuk ketika cowok itu membukakan kami pintu. Suara musik berdengung-dengung di telingaku, membuat rumah yang sedang kumasukki ini seperti lagi kena gempa.

Core partynya ada di mana?” tanya Sid dengan suara keras. Kami berlima sedang berdiri di depan lounge hall sambil mencari-cari inti pestanya ada di mana. Kalau ditelaah lagi, sepertinya ada di lantai atas. Aku bisa mendengar suara itu dari atas sana. Lagi pula, banyak cowok-cowok yang sedang sibuk duduk di lounge hall kemudian pergi ke lantai atas.

“Di atas,” teriak Zavan, dia menarik tanganku dan Revie secara bersamaan. Dengan langkah panjang aku menaiki tangganya yang agak melingkar. Suara musik yang tadi berdengung, kini berubah menjadi pekikkan yang membuat gendang telingaku agak terganggu. Ketika kami berlima sudah berada di lantai atas, banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku. Pendaran lampu berwarna-warni membuat mataku agak silau. Meskipun aku sangat sering ke klub malam dengan Zavan, tetapi aku masih tidak terbiasa dengan cahaya warna-warni yang berpendar dari bola disko.

“Kita dapet tempat dudukkan?” tanya Sid, suaranya makin meninggi dari sebelumnya.

“Dapet lah,” sahut Zavan tak kalah kerasnya. “Come-come!” Dengan cahaya yang seminim ini, kami mengikuti langkah Zavan dengan tatapan mata yang sangat lekat. Tidak ingin kehilangan bule gila satu itu di keramaian yang sangat gila ini. Semua cowok, dengan bau keringat mereka yang khas, memenuhi ruangan ini. Bahkan daritadi ada beberapa orang yang menabrak badanku saat mereka sedang menari seperti kloningannya Justin Bieber gagal. Membuatku risih, tetapi malas kutanggapi. “Here we are!” seru Zavan, menunjuk sebuah sofa panjang yang ada di pojok ruangan. “Kata Yogas tadi kita duduk di sofa nomor 13.”

Sid kemudian meghempaskan tubuhnya di sofa tersebut, yang langsung kususul dengan lekas. Aku bukan tipe orang yang suka lama-lama berdiri, apalagi yang membuat badanku capek. Bukan berarti aku manja atau bagaimana, tetapi aku punya pengalaman buruk tentang berdiri lama-lama dan hal yang membuat badanku capek. Aku masih tidak bisa menceritakannya sekarang, nanti saja, tunggu saat yang tepat. Aku masih sangat membenci masa laluku, aku tidak ingin membuka luka lama.

“Kalian mau minum apa, gays?” tanya Zavan. Kutengadahkan kepalaku dari iPad yang berada di atas pangkuanku, menatap wajah Zavan yang seperti sedang bermandikan cahaya disko. Bule itu merogoh saku kemejaku lalu menarik rokok yang ada di sana. Dia menyulutnya kemudian mulai menghisapnya sambil melirik ke arah on the floor dengan wajah berminat, tetapi masih kalem ingin berdiam diri di sofa ini.

“Jus jeruk,” jawab Revie, dia tersenyum simpul. Membuat wajahnya yang sudah sangat tampan, makin memukau. Saat pertama kali aku berkenalan dengannya, kupikir dia malaikat yang dibuang Tuhan dari Surga. Sungguh, aku bukan mau lebay atau hal-hal alay lainnya, hanya saja menurutku itu benar. Aku bahkan sempat tertegun beberapa saat, bingung apakah orang yang sedang tersenyum kepadaku waktu itu sungguh-sungguh seorang manusia.

Puh-lease deh, Rev,” kibas Zavan, dia mendecakkan lidahnya kurang ajar. “Lo lagi ada di party. Gay party. Bukan lagi ada di Pengajian. Kenapa nggak minum Sampanye atau Brandy gitu? Tenang aja, minuman itu nggak akan ngebuat lo mabuk kok.” Zavan meracau cepat seperti biasa. “Yah, kalo lo minumnya nggak kebanyakkan sih,” tambahnya kemudian.

“Gue Cocktail aja deh,” sahut Sid, cowok itu menautkan kedua kakinya menjadi satu. Tangannya sedang sibuk mengotak-ngatik sesuatu di kamera Polaroid kepunyaan Zavan. Kamera yang akan menjadi sebuah saksi bisu akan kenangannya untuk party ini nanti.

“Kalo gue Gin,” ujar And yang duduk di sebelahku. Tangannya yang berotot itu menekuk di depan dadanya yang sama berototnya. Matanya masih saja menatap party ini dengan tatapan tidak berminat. Sid dan Revie juga sama. Mungkin karena mereka bertiga sudah punya pacar, makanya menatap pesta ini dengan tatapan seperti itu. Tidak seperti Zavan, yang akan memandang pesta seperti acara agama yang harus dia hadiri. Kalau aku, entahlah, aku bukan orang yang pintar memberikan suatu ekspresi. Ketika aku tertawa, aku akan memasang wajah datar. Ketika aku menangis, aku tetap memasang wajah datar. Ketika aku marah, aku masih saja teguh dengan wajah datar. Tetapi di dalam hati aku melakukan semua ekspresi itu dengan sangat baik.

“Gue Budweiser,” sahutku, kemudian kembali menurunkan kepalaku ke arah iPad. Aku memang selalu sibuk dengan iPadku, entah itu untuk bermain game online ataupun mengecek semua kurva perusahaan si bajingan yang ada di mana-mana. Aku tidak mungkin menyerahkan semua urusan perusahaan ke Mamaku, tentu saja dia membutuhkan asisten untuk mengurusi semua perusahaan si bajingan yang ada di mana-mana ini. Yang ternyata satu perusahaan saja bisa sangat merepotkan.

Zavan berdiri, aku bisa merasakan dia sedang berdiri di hadapanku. “Satu Jus Jeruk, satu Cocktail, satu Gin, satu Budweiser dan malem ini gue lagi mau minum Jack Daniel’s. Kalian nggak mau ganti lagi kan minuman kalian, atau mau nambah sesuatu?” Aku mendongakkan kepala dan melihat semua flocksku menggeleng. “Sip deh kalo gitu. Revie sama Tivo ikut gue yuk! Temenin.” Aku dan Revie berdiri dengan segera. Kutaruh iPadku di samping And.

Musik yang dimainkan oleh DJ-nya malam ini sungguh-sungguh enak didengar. Kalau dari jenisnya, aku bisa merasakan kalau ini adalah gabungan Retro dan Electronic. Oh, ada sedikit bagian Folk dan Rock-nya juga. Jadi semua lagu yang di-mix oleh DJ nya memang sangat cocok untuk dimainkan untuk pesta gay malam ini. Hobiku selain main catur adalah musik. Aku ikut Acapella di DIS. Bernyanyi membuatku lepas, menjadikanku orang yang bebas. Walaupun setelah aku bernyanyi aku akan kembali menjadi orang yang pendiam.

“Rev, lo pesenin minuman kita tadi ya. Lo masih ingetkan apa aja?” bisik Zavan ke telinga Revie, meskipun itu bisikkan aku masih bisa mendengarnya. Revie yang berdiri di sebelahku mengangguk pasti, dia berbalik lalu memanggil bartender yang sedang mengocok-ngocok minuman. Ini memang party gubahan seseorang, tapi tetap saja minumannya harus bayar. Kalau party ini un-private barulah minumannya gratis.

Ketika cowok bartender yang mempunyai tato bergambar naga di lengan kanannya menghampiri kami, Revie langsung menyebutkan semua minuman yang ingin kami pesan. “Satu Jus Jeruk, satu Cocktail, satu Gin, satu Budweiser, dan satu botol Jack Daniel’s.”

“Jangan lupa senyum ke cowok bartender itu Rev!” bisik Zavan lagi. Yang kali ini langsung Revie lakukan dengan segera. Dia tersenyum lebar, membuat wajahnya berubah memikat, membuat cowok bartender yang tadi menatapnya takjub berubah terhenyak. Cowok bartender itu balas tersenyum lalu mulai mengisi semua gelas yang ada di atas tatakkan. Setelah selesai, cowok bartender itu menyerahkannya kepada Revie.

“Berapa semuanya?” tanya Revie, sambil mengeluarkan dompetnya. Semenjak dia kaya mendadak waktu itu, dia sangat jarang meminta kami untuk mentraktirnya lagi. Bahkan dia sudah punya supir pribadi. Ya, siapa lagi kalau bukan pacarnya itu. Bagas.

“Gratis,” sahut cowok bartender itu dengan senyuman lebar. “Dan ini khusus buat kamu,” kata cowok bartender itu sembari menaruh satu gelas Sampanye di samping Jus Jeruk.

Revie memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana. “Makasih ya,” ucap Revie, kali ini senyumannya makin mengembang lebar, membuat cowok bartender itu memasang wajah seakan sedang lupa diri. Tetapi akhirnya cowok bartender itu mengangguk sekali. Zavan meraih tatakkan dan mengajak kami untuk kembali ke sofa. Senyuman Zavan juga tak hilang-hilang dari bibirnya.

“Lihat, itulah gunanya jadi orang ganteng!” ujar Zavan sambil menyenggol lengan Revie dan lenganku. “Hanya dengan senyuman, semua orang itupun menuruti apa yang lo mau. Makasih buat Anna dan Matt yang ngebuat muka gue jadi ganteng kayak gini.” Zavan terkekeh pelan, dia menatap kerumunan orang yang berada di lantai dansa. “Party nya nggak heboh ya. Ntar deh gue buat heboh, gue mau minum dulu. Setelah itu, this party will be mine.” Zavan menaruh semua minuman itu di atas meja yang berada di hadapan sofa kami.

“Ehm, ngomong-ngomong, di sekolah yang flocks nya nggak punya nama cuman kita aja lho,” kata Sid setelah kami bertiga duduk di sofa. Matanya yang tajam menatap ke arah kami secara bergantian. Dia mengulurkan tangannya lalu mulai menyesap Cocktailnya. “Kalo flocks yang lain kan ada namanya tuh. Kayak Homphobia, d’Barbadas. Heinzen dan lain-lain. Jadi yang nggak punya nama cuman flocks kita aja, meskipun hal itu nggak penting-penting amat. Tapi, kalo misalnya kita buat nama untuk flocks kita ini, cocoknya apa?”

Mereka semua langsung membuat ekspresi berpikir keras, sedangkan aku hanya menatap mereka semua dengan tatapan tidak berminat sama sekali. “Gimana kalau Fivesome? Ew, jangan deh, kedengarannya kayak kita berlima mau seks bareng.” Zavan menganjurkan dan menjawab sendiri anjurannya. “Gimana kalo Bloody Lock? Kepala kontol ew! Jangan deh, kedengerannya kita berlima malah kayak pembunuh sadis.” Zavan mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, sedang sibuk mencari nama untuk flocks kami ini.

“Gimana kalo Goggle V?” usul Revie setelah hening selama setengah menit.

“Lubang pepek ew! Revie, dude, Goggle V itukan Power Rangers yang dari Jepang itu. Ngapain kita berlima jadi Power Rangers, emang siapa yang mau diberantas?” Sid dan And tertawa pelan, membuat wajah Revie menekuk cemberut. “Gimana kalo Idiotisme? Lubang pepek double ew! Kedengerannya kok kita berlima ini malah kayak orang bego ya kalo pakek nama itu, jadi nggak usah.” Kemudian kembali hening, mereka masih sibuk mencari nama yang cocok di kepala mereka. “Nah!” seru Zavan kencang. “Gue nemu. Gimana kalo Government Hookers. Atau kalo di Bahasa Indonesia-in jadi: Pemerintahan Para Pelacur.”

Great idea!” sahut Sid. “Dan lo sebagai Presiden Pelacurnya.”

Zavan terlonjak senang di kursinya. “Kalo begitu kita buat pelantikkan aja gimana,” kata Zavan, matanya menelusuri kami satu-satu. “Sebagai Presiden Pelacur di Pemerintahan ini, gue telah memutuskan untuk menobatkan Sid menjadi Lonte si berwajah seram.” Mereka tertawa keras, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami, aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. “Dan And dinobatkan menjadi Pecun si berbadan kekar.” Kini tawa mereka makin keras. Membuatku sungguh ingin menyumpal tawa mereka dengan tutup botol. “Sedangkan Revie dinobatkan menjadi Sundal si berpenampilan Ibu Peri.” Mata Zavan yang biru kini beralih menatapku. “Kalau Tivo gue menobatkan dia sebagai Jalang si bersifat autis.” Zavan menatap kami dengan senyuman lebarnya. “Dan gue sebagai Presiden Pelacur kalian, menobatkan diri sebagai Germo si cowok berwajah super unyu.”

And dan Sid langsung membuat gaya orang yang sedang ingin muntah. Membuat Revie terpingkal-pingkal dalam tawa. “Lo unyu kalo dilihat dari lubang pantat!” seru Sid sarkas.

Zavan mendengus kesal ke arah Sid, tangannya terulur ke arah botol Jack Daniel’s nya. Setelah dia menyesapnya, dia menatap on the floor yang terlihat sangat monoton. “Party nya lame banget ya,” ujarnya sambil berdiri. Dia menyulut rokok untuk yang kedua kalinya. “Tiv, ntar foto gue pakek kamera Polaroid gue ya, ambil dari sudut yang paling bagus. Gue mau memeriahkan party ini dulu.” Zavan mengambil Jack Daniel’s nya kemudian berlalu dari dari hadapan kami. Langkahnya panjang saat menuju ke arah Lounge Bar.

Aku mengernyitkan wajahku, bingung kenapa dia menyuruhku untuk memfotonya, namun tetap saja aku mengambil kamera Polaroid-nya yang berada di atas meja. Kunyalakan kamera itu lalu mulai membidikannya ke arah Zavan, yang masih berdiri sambil menyesap sekali lagi Jack Daniel’s nya. Dia menghembuskan nafasnya, kemudian memanjat ke atas meja yang ada di Lounge Bar. Aku bisa merasakan flocksku yang lain juga ikut memperhatikan Zavan dengan tatapan bingung. Tetapi setelah itu kebingungan kami terjawab.

“HEI!” teriak Zavan kencang, bahkan mengalahkan musik yang sedang dimainkan. Membuat semua kepala menoleh ke arahnya dengan segera. Seperti adegan di film, semua orang itu membeku dan menatap Zavan dengan pandangan bertanya. “HISEP KONTOL GUE, BITCH!” serunya dengan nada kencang, dia mengangkat tangannya ke udara, membuat botol Jack Daniel’s yang berada di tangan kirinya dan rokok yang ada di tangan kanannya tertimpa cahaya lampu disko.

“YEAH!” seru semua orang dengan tawa yang membahana. Suara musik pun kembali menghentak, membuat Zavan menari-nari di atas meja Lounge Bar itu dengan heboh. Sid dan yang lain tertawa kencang melihat aksi gila Zavan barusan. Bahkan saat dua orang berbadan bidang ikut bergabung dengan Zavan di atas meja itu, lalu menari bersamanya. Yang satu berada di belakang tubuhnya, sambil memegang bokong Zavan dengan tangannya yang besar. Sedangkan yang satu lagi mencium bibir Zavan dengan rakus. Aku mengangkat kamera, lalu memfotonya. Tidak mengerti juga, buat apa sebenarnya foto ini.

Aku menarik keluar slide kertas yang keluar dari bawah kamera Polaroid. Aku menggoyang-goyangkan slide kertas itu, hingga munculah gambar Zavan yang sangat absurd. Aku menaruh foto itu di atas meja, kemudian kembali membidikannya ke arah Zavan, namun ternyata bule gila satu itu sedang berjalan cepat ke arah kami. Di dahinya mengalir beberapa butir keringat, isi Jack Daniel’s nya juga tinggal setengah. Dia menghempaskan tubuhnya saat sudah berada di hadapanku. Tangannya terulur ke arah slide kertas yang menampilkan fotonya yang sangat absurd tadi.

Gaddamn! Gue beneran kayak pelacur di foto ini,” katanya sambil memperlihatkannya ke arah Sid dan yang lain. “Tapi sayangnya pelacur yang satu ini nggak dijual.” Dia terkekeh sembari mengelap keringatnya. “Nah, lihatkan, partynya akhirnya nggak lame lagi. Party ini memang harus dikasih sedikit bumbu baru bisa asyik kayak sekarang.” Zavan menyandarkan tubuhnya, foto yang dipegangnya tadi ditaruhnya di atas meja. “Dua cowok yang sama gue tadi itu namanya Jun dan Jo. Gue lebih suka sama ciumannya Jo, lebih hawt. Tapi sayang, gue nggak suka nama mereka. Yang ternyata adalah Junaidi dan Joko. Demi semua lubang pantat dan lubang pepek yang ada di dunia ini, itu EW banget!”

Aku menyeringai, benar-benar ingin tertawa tetapi tidak tahu bagaimana caranya. “Bagus kali tuh nama, Jun dan Jo a.k.a Junaidi dan Joko.” Sid berkata dengan kekehan mengejek.

“Bagus dari mananya, masa ntar gue teriak, oh, fuck me Junaidi and Joko. Tusuk kontol imut kalian ke lubang pantat gue! Oh, Junaidi dan Joko!” Zavan memasang wajah horor. “Yang ada gue langsung terjangkit Flu Babi setelah itu karena nama mereka yang—uhuk—jelata.”

“Lebay!” seru Sid cepat, cowok itu melempar Zavan dengan gelasnya yang telah kosong. “Emang ada orang kena Flu Babi hanya karena nama mereka yang—hoamm—jelata? I mean, Flu Babi itu disebarkan oleh orang-orang berwajah jelek dan belagu, makanya gue alergi sama mereka. Cowok ganteng, deket-deket gue, cowok jelek, hisep kontol lo sendiri!” Zavan dan Sid tertawa bersama. “Eits, tapi maaf, gue udah punya Adam. Jadi, sorry to say, gue nggak bisa lagi sama kalian wahai para cowok ganteng.”

Pity who you are!” kata Zavan sambil memasang wajah sedih. “Untung gue belum punya cowok yang satu untuk selamanya di hati gue. Jadi gue masih bisa berpetualang di dunia ini. Lagi pula gue kayaknya nggak akan pernah bisa nemu yang forever and always di hati gue deh. Soalnya, menu makanan gue tiap hari itu kan cowok. Sarapan pagi, gue makan bibir mereka. Makan siang, gue makan puting mereka. Makan malem, gue makan kontol mereka. Dan untuk minumannya, gue minum sperma mereka. Ugh, that’s feel fucking good eva!”

Gross you goon!” seru Sid, dia memasang wajah mengernyit super mengerikan untuk bule gila satu itu. “Lo kayak kanibal aja. Makan setiap jengkal tubuhnya cowok.” Zavan hanya tertawa mendengar ucapan sarkas dari Sid. Bule itu malah makin menggila, dia mengaum lalu meremas selangkangan Sid. “Stop it, you stupid bitch! Ini punya Adam.” Zavan, Revie dan And tertawa kencang. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. “Kok bisa-bisanya ya kita punya temen gila kayak lo Zav? Eh, bukan gila. Tapi penuh dengan nafsu birahi yang sangat-sangat—dicamkan di otak udang lo itu—sangat menakutkan.”

Zavan tersenyum lebar. “Makasih, lo baik banget sih sampe muji-muji gue kayak gitu. Gue aja baru tau kalo ternyata gue punya otak udang. Gue kira gue nggak punya otak sama sekali. Sini cipok dulu kepala kontolnya!” Zavan memajukan bibirnya ke arah selangkangan Sid, yang langsung Sid dorong menjauh dengan kekuatan penuh. Zavan hanya tertawa sambil menyesap habis Jack Daniel’s nya. “Eh, kalian tau nggak kalo—wait-wait, itu bukannya Dylan ya?” Zavan menyipitkan matanya, membuatku dan yang lain mengikuti arah matanya. “Yang duduk di deket meja bulet kayak teteknya Jupe itu.”

Yes, that’s him!” seruku, wajah Dylan sangat terlihat jelas. Itu pasti memang Dylan, salah satu sahabat si maniak bajingan: Peter. Yang juga ada di flocks Homophobia yang selalu bisa membuatku tertawa dalam hati, karena isinya ternyata adalah gay-gay yang mengaku straight. Tidak semuanya gay memang, tetapi aku tahu beberapa dari mereka yang gay. Peter, Dylan, Leone, dan entahlah. Aku tidak terlalu hafal menyebut jenis-jenis nama anjing.

I know that, he is gay. Dari caranya ngedip dan ngupil aja gue tau kalo dia gay.” Zavan menarik kamera Polaroidnya, lalu mengarahkannya ke arah Dylan yang lagi sibuk bicara bersama dua orang cowok dengan gelagat mesra. “Gotcha you idiot homophobic!” Zavan menjepretnya, slide kertas keluar dari bawa kamera Polaroid tersebut. Zavan menggoyang-goyangkannya sebentar sebelum akhirnya wajah Dylan terlihat di slide kertas itu. “Gue baru tau kalo ternyata dia gay muna-fuck.”

“Aku nggak kaget-kaget amat sih,” tutur Revie tiba-tiba. “Pas kita di grade 11, dia pernah nembak aku di belakang sekolah.” Revie meraih Jus Jeruknya, diminumnya jus itu hingga tandas sampai ke dasar gelas.

Zavan mendecakkan lidahnya kurang ajar. “Puh-lease deh, Rev. Emang siapa sih cowok di sekolah yang nggak pernah nembak lo? Hanya dengan kekuatan Ibu Peri lo itu, lo bisa ngebuat cowok straight menjadi gay secara tiba-tiba tanpa harus melakukan sesuatu yang wicked dulu. Walopun setelah lo tolak, mereka bakalan jadi straight abal-abal lagi.” Zavan memasukkan foto Dylan ke saku celananya. “Kenapa gue nggak bisa punya muka kayak lo?”

“Aku malah pengen punya muka yang biasa-biasa aja,” sergah Revie, dia mengedikkan bahunya sedikit. “Punya muka kayak gini, bener-bener bisa ngebuat masalah besar. Sumpah deh, kamu nggak tau aja hal-hal mengerikan yang pernah terjadi sama aku gara-gara muka ini. Tapi ngeluh juga nggak bakalan ngerubah mukaku kan. Jadi, yah, tetap harus bersyukur.” Revie menaruh gelas bekas Jus Jeruknya ke atas meja. “Oh, iya, untuk ngejawab pertanyaan yang kamu lontarin tadi adalah: enggak. Ada beberapa orang cowok di sekolah yang nggak pernah nembak aku selain kalian. Contoh: Kepala sekolah kita, Vick, Kak Adam, Peter, Mukhlis, Akira, Dumai, Liam, Rafael, Kak Petra, Coach Wayan, Bapa Athilius, Ustadz Akbar dan Ozayn. Mereka semua nggak pernah nembak aku kok.”

“Tentulah mereka nggak nembak lo. Maksud gue, kepala sekolah kita itu aja parfumnya udah bau tanah gitu. Vick cintanya sama And. Adam punyanya Sid. Peter karena dia Homophobia sejati.” Aku mendengus kasar, untung saja tidak ada yang memperhatikanku. “Sedangkan yang lo sebutin itu semuanya pada taat sama Agama. Sedangkan Ozayn, demi Tuhan, cowok cupu kayak dia mana berani nembak lo. Lagi pula, bukannya lo temenan deket ya sama dia?”

Revie menganggukkan kepalanya. “Ngomong-ngomong, kamu bakalan terkejut beberapa bulan ke depan dengan apa yang bisa aku kasih ke Ozayn nanti. Dulu aku pernah janji sesuatu sama dia kalo aku udah punya duit lumayan banyak, dan aku yakin banget kamu bakalan nelen ucapan cupumu lagi ke dalam mulut.” Aku mengerutkan keningku, yang lain juga memasang ekspresi yang sama.

“Emang apaan?” tanya Zavan, berpura-pura tidak tertarik, padahal matanya menunjukkan kalau dia sangat penasaran. Revie hanya memasang senyuman misterius, dia mengedikkan bahunya lagi kemudian menatap pesta yang sekarang mulai heboh. “Lo sok-sok tertutup gitu ya, mau kayak Tivo. Nggak cocok kali Rev.” Tapi Revie tetap bertahan. “But, gue juga nggak peduli dengan apa yang akan terjadi sama si cupu aneh itu.” Zavan mengulurkan tangannya ke arah Sampanye gratisan yang di kasih cowok bartender tadi untuk Revie. “Gue minta ya?” kata Zavan, bule itu mengangkat gelas itu ke dekatnya saat Revie mengangguk. “Wait up!” serunya lagi, membuat kami menoleh. Zavan menyipitkan matanya ke arah tulisan yang ada di pinggir gelas. “Call me maybe. Adji. 08976500164.” Zavan tertawa kencang, dia menyerahkan gelas itu ke Revie. “Nih, lo disuruh cowok bartender itu nelpon dia.”

Revie menggeleng tegas. “Maaf, Bagas udah terlalu penuh di dalem hati aku. Jadi, buat kamu aja Zav.” Revie menyodorkan gelas itu kembali ke arah Zavan.

“Nggak ah, cowok itu bukan tipe gue.” Kami langsung menatap Zavan dengan tatapan tidak percaya. Zavan mengernyitkan wajahnya ke arah kami. “Hei, nafsuan gini gue punya tipe juga kali. Gue nggak suka sama cowok gondrong kayak cowok bartender itu, mau seganteng apapun mukanya. Gue ngeri sama yang rambutnya gondrong. Padahal dulu gue suka lho, gue bahkan sering nonton film serial Meteor Garden pas masih tinggal di London dulu. Para pemainnya kan rambutnya pada kayak cewek setengah jadi gitu. Tapi sekarang kalo gue nonton mereka lagi, kontol gue langsung menyusut dua sentimeter karena ngeri.”

Mereka tertawa serempak, membuat beberapa orang menoleh lagi ke arah kami dengan pandangan bertanya. Tiba-tiba musik yang semula beraliran mellow, berubah menjadi beraliran dance. “Aku suka lagu ini,” kata Revie, tangannya mengikuti instrumental awal musik dengan gerakan pelan. “Feel So Close-nya Calvin Harris.”

Zavan menarik tangan Revie dan yang lain, termasuk tanganku. “Then we have to go to the dance floor, rite?” Kami ber-empat hanya bisa pasrah mengikuti tarikan Zavan yang lumayan memaksa. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa memegang tangan kami secara bersamaan seperti ini. Aku melirik iPadku yang berada di atas sofa. Untung saja iPad itu isinya hanya beberapa game yang biasa-biasa saja. Jadi kalau hilang tidak akan masalah.

“Minggir kalian para orang aneh!” seru Zavan dengan suara keras, membuat kerumunan orang yang menghalangi jalan kami langsung terbuka lebar. Kami sampai di dance floor hanya dalam waktu setengah menit. Tanpa harus berdesak-desakkan terlebih dahulu. “C’mon, guys! Tonite, we are young, jadi nikmati pestanya!” Zavan menggerak-gerakkan badannya dengan heboh. Membuat beberapa orang menatapnya dengan pandangan kagum. Sid, aku dan And mulai menggerakkan badan ketika musik yang sedang bergema di sekitar kami mulai makin menggila. Aku memejamkan mataku dalam-dalam, menikmati musik dance yang ditemani dengan sedikit retro masuk ke dalam kepalaku. “Ayo, Rev, nari! Kenapa lo malah diem aja?” seru Zavan kencang.

Aku membuka mataku dan melihat Revie hanya berdiri di sampingku, tanpa menggerak-gerakkan badannya sama sekali. Dia menatap Zavan dengan pandangan grogi. “Aku nggak bisa nari kalo di party yang rame banget kayak gini,” katanya keras namun agak malu-malu. Membuat Zavan menaikkan alisnya tinggi-tinggi. “Aku balik aja ke sofa ya, nunggu kalian di sana. Aku lama-lama jengah, malu karena cuman aku sendiri yang kayak kecebong hanyut.”

“Semua orang bisa nari!” kata Zavan, dia memegang pundak Revie dengan tegas. “Ayo gerakkin badan lo! Nikmati musiknya, biarin setiap nada yang lagi lo dengerin ini masuk ke pembuluh darah lo dan ngebuat lo rileks. Terus goyangin badan lo!” Zavan memperintahkan Revie dengan sungguh-sungguh. Tak berapa lama kemudian Revie mulai menggerakkan badannya. “Ya ampun Rev! Gue nyuruh lo nari, bukan senam poco-poco!” Revie langsung menghentikan gerakkan badannya. “Nari kayak Jagger, oke!” Sekali lagi, Revie mengangguk kemudian mulai bergoyang. “Stop it, Rev! Gue suruh lo nari kayak Jagger, bukan nari Aserehe!” Zavan menatap wajah Revie dengan pandangan putus asa. “Lo mau lihat nggak nari kayak Jagger itu gimana? Nih ya, gue tunjukkin sama lo. Watch and learn!”

Zavan membuka kemejanya, menyisakan singlet putihnya yang sangat menantang. Dia merilekskan punggungnya yang mulai berotot itu. Langkahnya panjang saat berjalan cepat menuju ke kerumunan orang. Awalnya Zavan hanya menari pelan di depan seorang cowok—euh, aku tidak benar-benar bisa melihat wajahnya. Tak berapa lama kemudian, Zavan membalikkan badannya dan mulai menggoyangkan bokongnya di selangkangan orang tersebut. Zavan dan orang itu bergerak lincah seraya mengikuti beat yang muncul di lagu Feel So Close-nya Calvin Harris. Sampai akhirnya—sekitar dua menit lebih sedikit, dan lagu Feel So Close telah selesai—Zavan berjalan kembali ke arah kami.

“Itu yang namanya nari kayak Jagger!” seru Zavan ke arah Revie. Dia memasang senyuman terbaiknya ke arah kami. “Oh, by the way, tuh cowok yang jadi temen dance gue tadi mukanya hawt banget tau nggak. Tapi sayang, pas gue lagi asyik-asyiknya nempelin pantat gue di kontolnya yang mengeras, tiba-tiba tuh kontol berubah lesu. Pas gue masukkin tangan gue ke dalem celananya, ternyata dia udah muncrat. Nih, lihat spermanya!” Zavan mengangkat tangan kirinya ke arah kami, dan cairan putih nan aneh itu menempel di jari-jari Zavan. “Tuh cowok cepet banget ejukulasinya. Ngebuat muka hawt nya jadi nawt!”

“Ew! Disgusting!” Sid mengibaskan tangannya, menyuruh Zavan menjauhkan tangannya yang terkena sperma itu menjauh.

Bule itu hanya tertawa, sambil mengangkat tangan kirinya ke arah lain. “Hei!” sapa Zavan sok akrab ke orang yang ada di depannya. Sperma yang tadi ada di tangan kirinya kini telah menempel di kemeja cowok yang disapanya barusan. Dasar bule kurang ajar! Asal ngelap.

Cowok yang disapa oleh Zavan berbalik, dari balik keremangan lampu disko, aku bisa melihat kalau wajahnya dipenuhi oleh kerikil-kerikil neraka. Atau yang biasa disebut oleh kebanyakkan orang adalah jerawat. Cowok itu baru saja ingin membuka mulutnya, ingin bicara dengan Zavan, namun langsung Zavan bungkam mulut cowok itu dengan menaruh tangannya di depan muka cowok itu. Sekali lagi cowok itu ingin membuka mulutnya, namun Zavan kembali mengangkat tangannya, menyiratkan untuk cowok itu jangan bicara. Akhirnya, setelah tahu hasilnya akan tidak berguna, cowok itu mengeloyor pergi.

“Gue bukan mau milih-milih cowok sebenernya,” kata Zavan sambil berbalik ke arah kami. “Tapi, Gawd, mau seganteng apapun dia kalo mukanya ada bintik-bintik mengganggu kayak gitu… sorry to say, Phral! Gue nggak bisa sama lo. Maksud gue, masa sih nggak bisa pergi ke Singapur, terus laser muka lo biar mulus. Lagi pula sekali laser harganya murah, cuman delapan juta doang. Kayak uang jajan gue tiga hari.” Zavan meracau tidak penting, matanya melirik ke arah kami kemudian ke arah sofa. Tiba-tiba Zavan beranjak pergi dan kembali lagi bahkan sebelum aku dan yang lain sempat bicara. “Kita foto berlima yuk!” ajaknya, sambil mengangkat kamera Polaroidnya tinggi-tinggi. Kami merapatkan badan ke dekatnya sembari memasang ekspresi. Meskipun aku yakin ekspresiku akan tidak ada sama sekali. “Katakan, Anjing!” usulnya kencang.

“Anjing!” seru kami serempak dibarengi dengan blizt dari kamera Polaroid tersebut. Zavan menarik slide kertas yang muncul lalu mulai menggoyang-goyangkannya. Saat gambar wajah kami muncul, aku langsung mendesah panjang, karena wajahku sangat-sangat datar. Bahkan bibirku menekuk seperti orang yang lagi kecanduan ganja. Aku memang benar-benar harus belajar lebih giat lagi agar bisa menunjukkan ekspresi yang bagus.

We look good!” kata Zavan, dia memasukkan foto itu ke dalam saku celananya. “Sekali lagi yuk! Tapi kali ini kita harus ciuman berlima.” Aku belum saja sempat bertanya, tetapi Zavan sudah menarik kepalaku mendekat ke arahnya. Bibirku menempel di bibirnya yang sangat bau alkohol, bibir Revie juga menempel di sebelah bibirku. Kemudian bibir kami berlima menyatu seperti tali. Lampu blizt berpendar terang, aku memundurkan badanku dan melap bekas bibir Zavan di bibirku. “Wow!” seru Zavan sambil memandangi foto itu lekat-lekat.

And tertawa di samping Revie. “Gue selalu penasaran gimana rasanya bibir Revie, ternyata rasanya biasa aja. Masih enakkan bibirnya Vick.” And menoleh jahil ke arah Revie. Yang langsung Revie balas dengan pukulan pelan di perut.

“Karena kamu nyiumnya dari samping, coba kalo nyiumnya dari depan. Pasti kamu bakalan ketagihan kayak Bagas.” Mereka berempat tertawa nyaring. Aku hanya mendecakkan lidahku, menatap jam tangan yang berada di tangan kiriku. Sudah jam setengah empat subuh, dan besok pagi aku harus ke kantor untuk mengurus berkas-berkas saham kepunyaan clientku. Aku berjalan cepat menuju ke arah sofa kami, mendorong setiap orang yang menghalangi jalanku. Setelah aku duduk di sana, ternyata Revie, And, dan Sid mengikutiku dari belakang. Mereka menyandarkan tubuh dan menatap pesta dengan malas.

Ketika jam sudah menunjukkan jam empat subuh, dan aku sudah menghabiskan dua Bir Heineken, akhirnya Zavan mendatangi kami. Tetapi—yang tentu saja akan terjadi—dia tidak datang sendirian. Dia datang dengan seorang cowok berpundak lebar dan berwajah tirus yang kalau boleh kukomentari lumayan tampan. “Hei, guys! Kalo kalian mau pulang, pulang aja duluan. Gue bakalan pulang sama…” Zavan melirik cowok itu. “Euh, entahlah gue nggak tau namanya. So, see you at Sunday dusk.” Zavan melambaikan tangannya, tetapi Sid menahan bule gila satu itu. Dari pandangan Sid, Zavan tahu apa yang dipikirkan teman kami yang sombong satu itu. “Tenang aja, gue yakin dia orang baik, bukan kayak si Rian Jember.”

“Jombang,” koreksiku cepat.

Zavan mendesah biadab. “Oke, makasih Tivo atas pembenarannya. Gue yakin kok cowok ini nggak kayak si Rian Jombang. Jadi… just relax, guys! Ntar gue kabarin deh kalo ular Phytonnya dia udah masuk lubang.” Kami berempat langsung melemparnya dengan gelas kosong. Zavan hanya tertawa sambil melambaikan tangannya lagi. “Ciwikeke, para pelacur!”

Dengan gerakkan gesit, Zavan langsung naik ke punggung cowok-yang-namanya-masih-tidak-diketahui-itu. Cowok itu tertawa, kemudian memegang kedua paha Zavan agar gendongannya tidak mengendur. Langkah cowok itu panjang saat berjalan ke arah tangga. Aku menggelengkan kepalaku, masih bingung dengan diriku sendiri. Kok bisa-bisanya dulu aku mengiyakan ajakkannya untuk berteman dengannya waktu itu?

***

Kukenakkan kembali pakaianku, hingga menutupi seluruh badanku yang tadi terekspos jelas. Cewek yang sedang berbaring di atas kasur, dan meringkuk di dalam selimut menatapku dengan pandangan puas tetapi masih ingin aku berada di sampingnya. Setelah aku mengenakkan kemejaku, aku meraih tas selampangku, yang berisi iPad dan dompet. Aku menolehkan kepalaku lagi ke arah cewek—atau kalau bisa dibilang dia bukan cewek, tetapi wanita. Yang sudah sangat dewasa.

“Habis ini mau kemana lagi, Sayang?” tanya wanita itu manja. Dia tersenyum kecil, rambut panjangnya yang awut-awutan jatuh di depan dadanya yang telanjang. Nama wanita itu adalah Serly, dia adalah tetanggaku. Dia adalah wanita yang cantik, dengan senyuman yang sangat menggoda. Bibirnya merah, bahkan tanpa menggunakan lipstick sekalipun. Dan umurnya sekitar tiga puluh tiga tahun. Ya, dia lebih pantas disebut tanteku ketimbang wanitaku. Inilah yang kusebut Rendezvous.

Aku berdeham pelan, agar tidak mengeluarkan suara lirih saat bicara. Biasanya, setelah aku agak kelelahan, suaraku pasti berubah lirih dan serak. “Mau ke kantor,” ucapku singkat, kuraih sepatuku yang berada di depan pintu kamar mandi. Mengenakkannya secara gesit, aku memang ada meeting beberapa jam lagi di kantor. Belum lagi, aku masih banyak urusan lainnya. Aku sebenarnya tidak suka menjadi orang sibuk seperti ini, namun karena Mamaku memang membutuhkan bantuan, aku bisa apa?

“Hati-hati ya di jalan,” ucapnya genit. Serly jalan mendekat ke arahku saat aku baru saja selesai mengenakkan sepatu. Perlahan dia menarik kepalaku dan mencium bibirku pelan. Aku masih bisa merasakan hawa nafasku di dalam mulutnya yang masih tersisa saat aku menciumnya menggebu-gebu beberapa puluh menit yang lalu. “Kapan lagi kita bisa ketemu?” tanyanya setelah dia melepaskan ciuman.

“Terserah, kamu atur aja waktunya. Kalo aku bisa, aku bakalan konfirmasi.” Aku merapatkan tasku di punggung. Kulangkahkan kakiku ke arah pintu keluar, namun sebelum itu aku berbalik ke arahnya. “Oh, iya, salam buat Mas Ferdi sama anakmu ya.” Ketika Serly mengangguk dengan gerakan nakal, aku langsung cepat-cepat mendorong pintu hingga terbuka. Tidak ingin lama-lama berada di dalam kamar hotel ini. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, dan aku ada meeting jam setengah dua.

Aku memang masih berumur delapan belas tahun, tetapi pekerjaanku sudah seperti orang dewasa lainnya. Mungkin sebab itulah aku lebih suka bersama orang dewasa ketimbang dengan anak-anak remaja seumuranku. Karena jika dengan para remaja sepertiku, mereka cenderung membosankan dan sangat memuakkan. Yang dewasa biasanya lebih lezat.

***

Di antara flocksku hanya Revie yang tahu tentang masa laluku. Aku pernah menceritakannya, entah kenapa waktu itu aku ingin sekali membeberkan hal itu ke satu orang yang ada di flocksku, dan pilihanku jatuh pada Revie. Karena aku tahu Revie adalah orang yang bisa dipercaya. Revie juga tahu kalau aku lebih suka menjalin hubungan dengan orang dewasa. Dan bagusnya lagi, Revie tidak menghakimiku sama sekali. Dia hanya menasehatiku tentang menjadi diri sendiri, tentang mencoba hidup di masa sekarang, dan melupakan masa lalu.

Revie selalu bilang padaku, lupakan hal yang telah menyakitimu, dan hiduplah dengan mencintai orang yang mencintaimu. Aku tahu, aku seharusnya melakukan hal itu. Melupakan si bajingan itu, memaafkan Peter, dan menjadi diri sendiri, bukan malah hidup di bawah tekanan seperti ini. Semula aku bukan orang yang pendiam, semula aku suka bicara, menghabiskan waktu berjam-jam dengan Peter dan Vick sambil membicarakan masa depan dan cita-cita. Tetapi karena si bajingan itu, hidupku berubah. Dan aku berharap, si bajingan atau yang seharusnya kusebut Papaku dibakar di Neraka dan membusuk di kuburannya. Dimakan belatung dan dikencingi oleh para Iblis.

“Kamu kenapa?” tanya seseorang yang duduk di sebelahku. Aku menolehkan kepalaku dan menatap wajahnya yang sedang menatapku dengan pandangan bertanya. Cahaya lampu yang ada di balkon membuat wajahnya agak berpendar. Aku menggeser dudukku lalu masuk ke dalam pangkuannya. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku, memelukku dengan penuh kasih sayang. Kutenggelamkan kepalaku di lehernya. Aku benar-benar butuh perhatian. Secuil apapun bentuknya, aku akan menghargainya.

“Aku nggak kenapa-kenapa, cuman lagi mikir aja, besok ada pelajaran apa aja di sekolah.” Aku bisa mencium wangi keringatnya, yang jatuh dengan perlahan di jambang rambutnya. Kueratkan tanganku di tangannya yang memeluk pinggangku. Malam ini, aku memang ada Rendezvous lagi dengan seseorang. Begitulah jika berhubungan dengan orang dewasa, aku bisa melakukan banyak Rendezvous tanpa ketahuan sama sekali. Karena yang sudah dewasa jarang ingin tahu urusan pasangannya.

“Hubungi aja temenmu, tanya sama mereka besok ada pelajaran apa aja.” Dia mendekatkan bibirnya di dekat telingaku, kemudian menggigitnya kecil, membuat sarafku menegang.

“Iya, nanti,” ucapku singkat, lalu menaruh bibirku di bibirnya. Kumisnya yang baru saja dia cukur membuat wajahku tergelitik. Dia menarik kepalaku makin medekat ke arahnya, dengan gerakkan cepat, dia mengangkat badanku kemudian mengajakku masuk ke dalam kamar hotel kami yang bercahaya redup. Perlahan, dia menjatuhkanku di kasur, kemudian mulai mencumbu bagian leher dan dadaku.

Aku memejamkan mataku dalam-dalam, ingin menikmati seluruh sentuhan yang dia berikan. Namun, entah bagaimana, yang selama ini kupikirkan selalu si maniak bajingan: Peter. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begitu mecandu tentang sentuhannya, tentang bagaimana dia menempelkan bibirnya di bibirku, atau pada saat dia mendekap kepalaku di lehernya yang selalu wangi sabun. Aku ingin melupakan semua hal itu, tetapi aku malah tidak bisa. Dan aku makin benci padanya karena hal itu.

Lelaki yang ada di atasku mulai mendorong kakiku hingga naik ke atas badannya. Aku sebenarnya sangat benci dengan tindakan itu, tetapi aku mencoba menahannya, dan mencoba berpura-pura untuk menikmatinya. Ketika aku memejamkan mataku lagi, sekelabat masa lalu kelamku muncul. Semua datang silih berganti, dan aku mencoba untuk menepisnya.

Yang ternyata gagal, aku memang belum bisa melupakannya.

Entah kapan semua hal ini berakhir, tiba-tiba lelaki yang tadi menikmati tubuhku merebahkan tubuhnya di sampingku. Dengan tangannya yang besar, dan dengan badannya yang hampir kehilangan bentuk, dia memelukku lagi. Aku mencoba meresapi hubungan intens kami tadi. Namun yang ada di pikiranku adalah kenangan akan masa lalu kelamku. Kata-kata si bajingan, wajah Peter yang tersakiti saat aku mengakhiri hubungan kami, dan wajah Mamaku yang menangis ketika tahu apa yang telah si bajingan lakukan padaku.

“Mau minum?” tanya lelaki itu dengan suara parau. “Aku tadi beli beberapa bir di Indomaret. Kamu mau nggak?” Dia menaruh kepalaku di atas bantal, jalannya cepat saat dia menuju ke arah kantung belanjaan berlogo Indomaret yang ada di samping TV.

“Satu aja,” kataku, kurubah posisiku hingga setengah duduk.

Lelaki itu kembali dengan dua kaleng botol bir Coors Light. Dia menyerahkan salah satunya ke tanganku. Kubuka penutupnya kemudian menyesap buih dari soda yang ada di dalam bir itu dengan lidah mengecap. Aku menarik rokok yang berada di dalam tas selempangku, kemudian mulai menyalakannya. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama, meskipun kamar kami ber-AC, aku tidak peduli. Lagi pula setelah ini kami akan pulang ke rumah masing-masing, tidak mungkin menginap di sini.

“Berkas saham yang atas nama Pak Hutabarat udah ada di atas mejaku kemarin. Kalo kamu mau ambil, tinggal hubungi Sekertarisku aja.” Aku menegak birku sekali lagi, sebelum akhirnya aku meremukkan kaleng itu dan membuangnya ke sembarang tempat.

“Oke, besok aku bakalan urus juga berkas-berkas kepunyaan Pak Akhlies.” Lelaki itu berdiri, langkahnya pelan saat menuju ke kamar mandi. Tak berapa lama kemudian, dia kembali dengan handuk yang melilit bagian pinggangnya. Lelaki itu mendekat ke arahku, tangannya yang besar meraih pakaiannya. Pakaian kerjanya. Dia mengenakkan celananya, merapikan sedikit kemejanya. “Aku mau pulang dulu. Kapan kita bisa ketemu kayak gini lagi?”

Aku menatap lelaki itu dengan pandangan datar. “Terserah.” Aku menjawab singkat, kuambil iPadku lalu melihat kurva perusahaanku yang ada di Dublin sana. Tidak ada perubahan, masih sama seperti dua hari yang lalu. Pasti Mama benar-benar meng-handle perusahaan yang ada di Dublin sana, karena kata beberapa pegawaiku, perusahaan kami yang ada di Dublin lagi sedikit bermasalah.

“Kalo gitu aku pergi dulu,” kata lelaki yang ada di hadapanku. Dia menundukkan kepalanya, mencium bibirku singkat. Rasa mint dari pasta gigi yang tadi dia gunakan masuk ke dalam mulutku secara laun.

“Oke,” jawabku singkat lagi. Lelaki itu mengangguk lalu mengambil tas kerjanya yang ada di samping kantung belanjaan berlogo Indomaret. Saat dia ingin keluar, aku berseru sesuatu untuknya. “Mas Ferdi, aku titip salam ya buat Mbak Serly dan anakmu.”

Mas Ferdi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Setelah aku mengunci iPadku, pintu pun tertutup. Aku menekan pelipisku dalam-dalam, dan mengutuk diriku sendiri. Di antara kami berlima, bukan Zavan yang paling mengerikan. Tetapi aku, akulah orang yang paling pantas untuk disebut sebagai manusia serakah. Dan semua Rendezvous ini, tidak diketahui oleh siapapun. Dengan kejinya aku mempermainkan pasangan suami-istri itu.

Aku tidur dengan istri lelaki tersebut, dan aku juga tidur dengan suami wanita tersebut.

 

–Ups, Bersambung to Chapter 2

Hahay, nggak nyangkakan Tivo bakalan kayak gitu. Hihihi, dari awal cerita Weather Series kebentuk, aku memang kepengen ngebuat si Tivo ini penjahat di dalam sebuah cerita. Di ketiga cerita sebelumnya, hanya Sid yang dominan songongnya. Kalo di cerita ke-empat ini, aku mau nunjukkin kalo sebuah cerita pemeran utama pun bisa menjadi antagonis. Meskipun ntar ada penjelsannya kenapa dia kayak gitu. Hihihi 😀 selamat membaca ya! Jangan lupa komen, nggak ada komen sampe 40, chapter 2 nggak dipost, karena chapter dua akan rampung beberapa lembar lagi.

Hasta la Vista, tetek Jupe! Love ya !!!

Rainy Day (1)

DIS_

Prolog

 

Hari ini hujan.

Seperti hari-hari yang lainnya. Aku duduk termenung di bawah pondok kecil berkayu rapuh sembari menatap rintikan hujan yang turun dari langit kelabu. Kusisir rambutku yang basah karena percikan air yang jatuh dari seng bolong yang ada di atas kepalaku ini dengan jari-jariku. Aku menundukkan kepala, melihat lumpur yang bergumpal di bawah kaki. Sendal jepit yang aku gunakan terpercik oleh noda-noda lumpur, membuat sendal jepitku yang bersih menjadi sangat kotor.

Di sekelilingku, orang-orang berlalu lalang. Ada yang menggunakan payung, ada yang menggunakan tas, ada yang menggunakan tudung jaketnya, semua hal itu untuk menghalau hujan. Aku suka berjalan di bawah hujan tanpa menggunakan penutup kepala sama sekali, membiarkan tetesan demi tetesan air mengaliri pipiku. Tetapi hari ini aku sedang tidak ingin berada di bawah hujan. Karena hatiku sedang mengalami hujannya sendiri.

Seseorang yang kucintai, ternyata mencintai orang lain.

Aku kini tahu apa itu rasa sakit hati. Seperti ada jarum yang tak kasat mata menghujam hati, lalu menorehkan luka yang tak terlihat. Sid bilang, air mata adalah keringat dari hati. Dan aku benci mengakuinya, karena setiap hari hatiku selalu berkeringat, menyebabkan mataku mengeluarkan air mata. Sungguh, aku sudah berusaha untuk melupakan rasa sakit itu. Tetapi setiap kali aku melihat wajahnya, jarum itu kembali menghujam dan hatiku kembali berkeringat. Menghasilkan hujan di langit dan pelupuk mataku.

Kurapatkan jaket yang kugunakan, bagian lengannya bolong, mungkin karena jaket ini sudah kugunakan selama lima tahun. Jaket yang dibelikan oleh And saat dia dan keluarganya liburan ke Singapura. Hadiah pertamaku dari luar negeri. Hadiah yang sampai sekarang tidak akan pernah kulepaskan. Hadiah yang akan selalu kugunakan. Aku menyukai jaket ini, selalu melindungi kulitku dari teriknya matahari dan dinginnya cuaca.

Hari ini aku kembali memperhatikannya, hal yang selalu kulakukan setiap hari. Yang kini baru kusadari kalau hal seperti itu hanya membuang-buang waktuku saja. Namun, sekuat apapun aku mengutuk diriku untuk menghentikan apa yang sedang kulakukan untuknya, aku tidak bisa berhenti. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk terus melakukan hal itu. Hal yang bodoh, hal yang gila.

Aku mendesah panjang, kutengadahkan kepalaku dan kembali melihat rintikan hujan. Airnya yang bening jatuh ke tanah dan membasahi kota Jakarta. Kota keras yang telah menjadi tempat tinggalku selama ini. Aku mengeluarkan walkman tua dari dalam kantong jaketku. Memasang headseat ke dalam lubangnya, lalu memasang kedua bundalan speaker itu ke dalam telingaku.

Satu buah kaset yang telah kuisi dua belas lagu kesukaanku sudah terpasang di dalam walkman tua kesayanganku ini. Dua belas lagu yang telah membuat bibirku tersenyum ketika hatiku mengatakan hal yang lain. Dua belas lagu yang selalu kudengarkan. Lagu-lagu yang membuaiku, lullaby untuk tiap dendangan hatiku yang bersedih.

Aku merapatkan walkman tuaku ke dada, lalu mulai menekan pelan tombol play.

Chapter-Lagu 1

♫ Lenka – Heart Skips a Beat

Tanpa diberitahu pun aku tahu kalau Ozayn jatuh cinta pada Zavan. Teman akrabku satu itu selalu memperhatikan gerak-gerik Zavan, tersenyum lebar ketika mendengar nada-nada kotor yang keluar dari mulut cowok berwajah bule itu. Jika aku melihat Ozayn, aku melihat diriku sendiri. Yang sedang menatap Bagas dengan tatapan memuja, ingin menyuruh cowok dingin itu untuk mencintaiku. Meskipun aku tahu dia tidak akan pernah melakukannya.

Kini aku telah berada di grade 11, semester dua. Beberapa bulan lagi, Bagas akan lulus dan tidak akan ada di sekolah ini lagi. Itulah bedaku dengan Ozayn, jika aku beberapa bulan lagi tidak akan melihat Bagas, sedangkan Ozayn masih punya banyak waktu untuk menganggumi sosok Zavan yang memang kusadari sangatlah tampan. Dengan mata biru, tubuh yang kini makin tinggi dan rambut acak-acakkan.

“Bilang aja ke Zavan kalo kamu suka sama dia,” ucapku, aku duduk di sebelah Ozayn saat di homeroom Physics. Zavan duduk dengan Sid, sedangkan Tivo duduk dengan cewek yang kini telah menjadi pacarnya. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa jadian. Tivo bilang, cewek itu menembaknya dan dia kasihan jika menolaknya. Aku sebagai sahabat karibnya hanya bisa mengangguk dan tak ikut campur. Kalau And pastinya duduk dengan Vick, cowok yang sering diajak And berkelahi—dulu. Aku tidak terkejut saat mereka jadian, aku sudah menyadari kalau ada cinta di setiap makian yang mereka saling lontarkan.

“Siapa yang bilang aku suka sama Zavan?” tanya Ozayn, berbisik di telingaku.

Aku tersenyum kecil, kutolehkan kepalaku ke arahnya dan melihat kulitnya yang hitam agak berpendar saat tertimpa cahaya matahari. “Aku kenal kamu itu udah hampir dua tahun. Setiap gelagat yang kamu tunjukkin untuk sahabatku itu kelihatan banget Oz. Aku ngelihat diriku sendiri di dalam diri kamu.”

Ozayn menangkupkan wajahnya di kedua tangannya. “Seharusnya aku sadar diri ya Rev,” ucap Ozayn dari sela-sela tangannya. “Mana mau Zavan sama cowok jelek kayak aku ini.” Ozayn menurunkan kedua tangannya dan menatapku dengan mata penuh kesedihan. Sekali lagi, aku melihat diriku sendiri di dalam dirinya.

“Kamu nggak jelek,” sahut cepat, aku mengeluarkan buku paket Physics dari dalam kolong meja. “Nggak ada orang yang jelek di dunia ini. Semua orang sama aja di mata Allah. Nggak ada yang jelek, nggak ada yang ganteng.” Aku menolehkan kepalaku ke arahnya, lalu tersenyum simpul. “Kamu ganteng Oz, dengan jadi diri kamu apa adanya.”

Senyuman kecil muncul hati-hati di bibirnya yang penuh. “Kamu memang temenku yang paling baik Rev.” Ozayn menepuk pundakku pelan, mengucapkan terima kasih dalam sudut pandang tepukannya.

“Kamu juga temenku yang paling baik.”

***

Mari kuceritakan saat aku mengenal Ozayn untuk pertama kali. Dia itu salah satu anggota di Student Organization, atau dalam bahasa Indonesia nya adalah OSIS. Dia menjabat sebagai seksi keamanan. Karena badannya yang besar dan kokoh. Agak-agak mirip And, karena dia bilang, badannya bisa sebesar itu karena suka bantu Bapak dan Datuk nya di truk pengangkut pasir saat dia masih tinggal di Lahat, Palembang. Namun cara berjalan Ozayn itu jelek, agak membungkuk, yang memberikan kesan cupu untuknya. Apalagi dengan kacamata besar dan rambut yang terlalu banyak dibubuhi minyak rambut. Dibelah pinggir ke kanan lagi gaya rambutnya. Makin mencolok kecupuan yang ada di dalam dirinya.

Namun Ozayn adalah orang yang baik. Cerdas dan sangat rendah hati. Jika dia bicara, dia akan menghiasi bibirnya dengan senyuman hangat. Dia tidak cepat marah seperti And, dia tidak sombong seperti Sid, dia tidak serakus aku, dia tidak sependiam Tivo dan dia tidak sejorok Zavan. Kekuarangan yang ada di dalam dirinya hanyalah sifat mindernya itu. Selalu bilang kalau wajahnya jelek, selalu bilang kalau dia tidak pantas sekolah di tempat se-populer ini. Itulah yang tidak kusuka dari Ozayn.

Masih banyak hal yang bisa kuceritakan tentang Ozayn, saking banyaknya aku tidak tahu harus mulai dari yang mana lagi. Intinya, Ozayn adalah teman akrabku. Orang yang sama-sama dipanggil jelata oleh Zavan. Entah mengapa, aku dan Ozayn suka-suka saja dengan sebutan itu. Mungkin karena Zavan yang mengatakannya, jadi tidak terdengar mengejek sama sekali.

Zavan adalah sahabat karibku yang sangat baik. Meski mulutnya mengucapkan kata-kata kotor dan senonoh, tetapi dia selalu ada untukku. Aku masih ingat saat dia menyanyikanku lagu perjanjian persahabatan waktu itu. Dia dengan suaranya yang kadang parau terus menyanyikan lagu itu untukku, membuatku tertawa dan merasa tidak kesepian lagi. Aku masih ingat lagu yang dia nyanyikan untukku waktu itu. Lagu yang benar-benar konyol.

“Lagu ini gue dedikasikan untuk sahabat-sahabat gue. Khususnya yang itu.” Zavan mengangkat jari telunjuknya lalu menunjukku. Sid dan And hanya tertawa-tawa saja di atas kasur Zavan yang sangat besar. Meski yang ada di ruangan ini kami berempat, tetapi gayanya sudah seperti artis besar lagi konser saja. Zavan menarik nafas panjang lalu mulai bernyanyi. “I could be your Fag Bad, and you could be my Gay. I’ll never make you feel sad, when you come out to play.” Suara Zavan memang tidak bagus, tetapi entah mengapa lagu yang dia nyanyikan terdengar harmonis. “We don’t give a fuck, what people are thinking. I know you’ll always look out for me, when we go out drinking. I can ask you things I can’t ask anyone, and you’ll give me direction. Apart from me, you’re the only other person I know, who reads the travel section.” Zavan menaikkan suaranya, membuat Sid, And dan Tivo menutup telinga.

I could be your Fag Bad, and you could be my Gay. I’ll never make you feel sad, when you come out to play.” Kemudian lagu terus bergulir, membuat aku terbuai olehnya. Ketika lagu berakhir, aku memberikan tepuk tangan untuknya. Sumpah, itu adalah hal terbaik yang pernah Zavan lakukan untukku. Bukan berarti aku tidak berterima kasih ya atas semua traktiran yang pernah dia berikan padaku. Hanya saja, hal ini lebih indah dari semua hal yang pernah dia berikan untukku.

Thanks,” kataku. Dan itu sudah cukup untuk menjadi sebuah perjanjianku dengannya.

Sid bangkit dari kasur, dia berjalan cepat menuju ke stereo yang ada di bawah TV plasma yang tertempel di dinding. “Fag Bad?” tanya Sid dengan nada suara sarkas. “Nggak ada kata yang lebih bagus apa?”

Zavan menaikkan pundaknya tinggi-tinggi. “Cuma itu aja yang ada di kepala gue. Lagi pula itu kan lagunya Lily Allen. Judul aslinya itu Fag Hag, nah… cuman Fag Bad aja yang nyambung sama nada di lagunya itu.”

“Tapi tetep aja. Fag Bad… banci nakal.” Sid mengernyit aneh. “Meski gue nggak terlalu kaget sih Zav. Lo kan rada gitu. Rada-rada banci nakal. Plus kegatelan.”

“Biarin aja gue banci nakal, daripada pura-pura macho kayak And.” Zavan mendelik ke arah Sid sengit. “Kalo lubang pantat gue gatel, gue suruh dong kontol buat garukin.”

Aku dan yang lainnya langsung tertawa kencang. Sedangkan Tivo hanya menyeringai kecil. Oh, aku sih tahu kenapa Tivo seperti itu. Saat di grade 10, semester dua, Tivo menyerahkan rahasianya padaku. Rahasia yang tetap akan kupegang sampai sekarang. Rahasia yang benar-benar membuatku terkejut. Aku tidak tahu kalau Tivo mempunyai rahasia sekelam itu. Jika aku menjadi dirinya saja, aku pasti tidak akan pernah bisa tersenyum lagi seperti dia. Namun aku yakin, suatu hari nanti Tivo kembali bisa tersenyum. Aku pernah bertanya padanya, apakah dia bisa tersenyum meski hanya senyuman palsu.

Jawabannya adalah… “Gue udah lupa gimana caranya tersenyum. Gue lupa gimana ngebuat bibir ini melengkung untuk jadi sebuah senyuman.” Tivo yang malang, mempunyai kisah hidup paling buruk dari kami berlima. Bahkan, kisah hidupku lebih beruntung daripada kisah hidupnya dia. Jika ada yang ingin diberi pelukan, Tivo lah yang paling membutuhkannya.

***

Aku mempercepat langkahku. Buku yang ada di kedua tanganku bergerak-gerak lincah seraya mengikuti hentakan langkahku yang panjang. Beberapa pasang mata menatapku, aku menolehkan kepalaku dan tersenyum lebar ke mereka. Yang mereka balas dengan raut wajah tertegun. And bilang, atau semua orang bilang, wajahku tampan. Aku seperti malaikat yang dibungkus dalam badan manusia. Tetapi itu pemikiran mereka. Bagiku, wajah yang menempel di mukaku ini adalah sebuah bencana. Aku tidak suka menggunakan wajah ini, karena banyak hal buruk yang terjadi padaku karena wajahku ini.

Sudah banyak hal yang berubah selama setahun ini. Adam—pacar Sid—kini telah berada di Universitas Indonesia. Rencananya, cowok itu akan berkuliah di luar negeri. Tetapi dia tidak mau menjalin hubungan jarak jauh dengan Sid. Sebab itulah dia akan menunggu Sid sampai dia lulus sekolah. Aku suka hal-hal berbau romantis seperti itu. Menunggu orang yang kau cintai, berbalik untuk mencintaimu. Sayangnya, aku tidak pernah mendapatkan hal itu untuk diriku sendiri.

Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam loker. Hatiku kembali hujan saat aku memasukkan nomor kombinasi lokerku. Bagaimana tidak, kombinasi yang kugunakan adalah ulang tahun Bagas. Terlihat bodoh, terlalu terobsesi, terlalu jauh mencintai, dan terlalu percuma. Aku membentak diriku sendiri untuk mengganti nomor kombinasiku. Hanya saja, setiap kali aku mau merubahnya, aku merasa bersalah pada Bagas. Aku tidak tahu merasa bersalah karena apa. Perasaan bersalah itu datang sendiri.

Setelah semua buku itu masuk ke dalam lokerku, aku melangkahkan kakiku cepat menuju ke lapangan sepak bola. Ingin melihatnya latihan pada siang hari ini. Klub sepak bola selalu mengadakan latihan hampir setiap hari, sepulang sekolah. Meskipun Bagas sudah berada di grade 12, dia tetap aktif di klub sepak bolanya.

Matahari tertutup awan hari ini, langit kelabu bertajuk mendung menghiasi kota Jakarta. Lihat saja, beberapa jam lagi pasti hujan. Kalau pun tidak hujan, langit akan selalu mendung. Atau berubah lagi menjadi cerah, membuat matahari yang panas makin panas. Aku mendesah panjang, lalu berjalan menuju ke bangku penonton yang searah dengan tiang gawang. Pandanganku meneliti saat aku sudah duduk. Beberapa teman klub Bagas sudah berada di lapangan, berlari-lari kecil ataupun peregangan. Aku mengangkat kepalaku, untuk melihat posisi Bagas saat ini.

Sebentar dulu, apa yang sedang kulakukan? Aku melakukannya lagi. Memperhatikan cowok yang bahkan tidak melirikku sama sekali. Seharusnya aku berhenti melakukannya, aku tidak boleh melakukan hal ini terus-menerus, ini tidak sehat. Dua belas tahun sudah cukup untukku memperhatikan sosoknya, saatnya mulai mencintai orang yang mencintaiku. Aku harus mencari kesibukkan yang lain. Yang lebih berguna. Belajar, contohnya.

Hanya saja, aku memang bodoh. Aku kembali duduk saat melihat Bagas sedang berlari kecil di hadapanku, bola yang ada di kakinya mengikutinya seperti Bagas adalah tuannya. Sosoknya yang tinggi, berpundak lebar, bermata tajam, bersuara berat, berambut lebih acak-acakkan dari Zavan dan berdada bidang membuat mataku berhenti berkedip. Keringat yang ada di dahinya jatuh ke sela-sela rambut yang ada di dekat telinganya. Turun sampai ke tengkuknya lalu masuk ke dalam jerseynya.

Jika kalian bilang aku mencintainya karena hal itu, kalian salah besar. Aku hanya kagum dengan apa yang dia tunjukkan dalam semangatnya itu. Dia dengan mudahnya berbaur di dalam keluarganya yang koleris. Memperhatikan sekeliling dengan seksama, baru bicara ketika ada yang ingin dia ucapkan. Selalu tenang jika ada yang mengganggunya. Semua hal itu, semua tingkah lakunya terlihat begitu plagmatis.

Swadee kha,” sapa seseorang dalam bahasa Bangkok di hadapanku. Aku mengalihkan tatapanku dari Bagas ke orang yang sedang mengajakku bicara. “Lagi ngapain di sini?” tanyanya dalam bahasa Indonesia yang sangat kaku.

Wajah Chookriat Skeraovukul yang sangat Bangkok tersenyum lebar ke arahku. Aku biasa memanggilnya Chook. Orang yang ramah, suka tersenyum karena dia memang berasal dari Bangkok. Kota berlesung pipit itu, kota yang memang diberi predikat dengan kota senyuman. Meskipun aku tidak terlalu suka dengan kota Bangkok. Oh, Chook salah satu teman akrab Bagas. Dia selalu datang ke rumah Bagas setiap malam minggu dengan teman satu klub sepak bola yang lain. Bercengkrama tidak jelas tentang klub-klub sepak bola.

“Revie?” panggilnya pelan. Tangannya yang besar bergoyang-goyang di depan wajahku.

Aku tersenyum simpul, Chook sedikit tertegun lalu balas tersenyum. “Lagi lihat kalian latihan.” Aku berujar sembari mencoba tenang saat Bagas melirik ke arah Chook lalu ke… aku. Meski dia tidak begitu memperhatikan wajahku seperti semua orang.

“Mau lihat gaya baruku tidak?” tanya Chook. “Aku punya beberapa tekhnik baru untuk permainan sepak bolaku.”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Chook mundur dari pagar pembatas lalu mengambil bola yang ada di bawah kakinya. Dia mulai melakukan tekhnik-tekhnik yang aku tidak mengerti sama sekali. To tell you the truth, aku tidak begitu suka sepak bola. Memperhatikan satu buah bola ditendang ke sana-kemari hanya untuk dimasukkan ke gawang. Kenapa merebutkan hal yang tidak penting, kenapa tidak merebutkan hal yang lebih masuk akal? Baiklah, tidak perlu mendengarkan apa yang kukatakan.

“Bagaimana, bagus tidak?” tanya Chook, dia maju ke depanku lagi. Keringat yang ada di dagunya meluncur jatuh ke lapangan berumput hijau tebal.

“Bagus,” ucapku, meski sebenarnya aku tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

“Chook!” Sarafku langsung terhenti saat mendengar suara itu, suara berat yang benar-benar bisa membuatku tertegun. “Rehearsal, now.”

“Oke!” Chook mengacungkan jempolnya ke arah Bagas. Cowok berwajah Bangkok itu menatapku sebentar, dia mengedipkan matanya lalu berlari kencang ke tengah lapangan.

Semua pemain bola itu duduk di sana, mendengarkan Coach Darren bergumam tentang sesuatu yang tidak aku mengerti. Bagas yang duduk di paling belakang mendengarkan dengan seksama, di tangannya ada Evian, sedangkan tangan yang satunya menopang dagu. Rambutnya yang berwarna hitam, terkibas-kibas karena tertiup angin. Membuat posturnya seperti salah satu cowok yang ada di iklan gel rambut.

“Udah gue duga lo ada di sini,” sergah seseorang di sampingku. Aku menoleh dan melihat Zavan yang kini sudah duduk di sebelahku. Tivo yang sibuk dengan iPadnya duduk di sebelahku yang satu lagi. “Nggak bosen apa lihatin Bagas?” tanya Zavan, dia menyesap Pocari Sweat yang ada di tangannya.

“Maunya sih bosen, tapi aku nggak bisa.” Aku tidak bisa berbohong, setiap kali aku berbohong, mereka pasti akan tahu.

Tivo menaruh iPadnya di atas paha. “Gue udah putus dari Belle.”

Belle adalah cewek yang menjadi pacarnya itu. Cewek cantik, salah satu ketua di Clique yang sering sekali berteriak-teriak nggak jelas kalau lihat Robert Pattinson shirtless di majalah. “Putus kenapa?” Aku menyandarkan punggungku di sandaran semen yang ada di belakangku. Bagas berdiri dari posisi duduknya, dia berlari kecil untuk mengambil bola yang ada di pinggir lapangan.

“Dia nggak suka karena gue terlalu cuek.” Kemudian Tivo kembali diam, tidak menjelaskan lebih detail. Aku sudah tahu dengan cara apatisnya seperti ini. Dia bilang, berbicara itu membuang-buang tenaga. Dia lebih suka bicara saat dia ingin melakukannya.

“Baguslah kalo lo putus dari si Belle-k mata. Gue nggak ngerti deh sama cewek itu. Selalu ngegosipin hal sampah. Ngomong ini, ngomong itu. Gawd! Coba aja gue bawa penutup Brandy Fazaik, pasti bakalan gue sumpel mulutnya. Sekalian sama pepeknya.” Zavan memajukan badannya, menatap satu-satu semua pemain sepak bola yang sedang bersiap untuk memulai latihan yang sesungguhnya. “Lihat deh asistennya Coach Darren. Ganteng ya. Kalo dia senyum itu lho, buat bulu kontol gue merinding. Namanya siapa ya… gue lupa?”

“Taquitos.” Aku dan Tivo menjawab bersamaan.

Major ew! Namanya kayak makanan menjijikan dari Texas deh.” Zavan memundurkan badannya. “Cari yang lain lagi deh kalo gitu. Nggak enak banget, masa pas gue sama dia lagi gituan nanti, gue bakalan mendesah sambil teriak-teriak: Oh, Taquitos, fuck me harder, yeah, harder. Ngebayanginnya aja gue ngerasa kayak lagi nge-seks bareng sama makanan menjijikan itu.”

Aku tertawa pelan, karena kata-kata jorok yang meluncur dari mulut Zavan barusan. “Ya udah, ganti namanya aja. Jadi Ito atau Taq gitu.”

“Oh, Taq, fuck me harder!” seru Zavan kencang, membuat beberapa pemain sepak bola yang sedang serius latihan menoleh ke arah kami. “Hai, guys!” Zavan melambaikan tangannya ke orang-orang yang menatap ke arah kami, termasuk Bagas. “Nice move.” Zavan mengedipkan matanya, membuat beberapa pemain sepak bola itu tertawa-tawa nggak jelas. Bagas mengalihkan kembali matanya ke bola, lalu mulai bermain serius lagi. “Semua keringat yang mengucur dari kening mereka itu seksi-seksi ya. Pengen deh gue diperkosa sama mereka.”

“Waktu itu lo pengen minta diperkosa sama anak-anak klub Rugby, sekarang sama anak-anak pemain sepak bola. Biatch!” Tivo mendengus, dia kemudian kembali sibuk dengan iPadnya.

Zavan menjulurkan lidahnya. “Biarin. Selama lubang gue masih bisa menampung berbagai jenis kontol, dari yang kecil hingga yang besar, gue akan selalu siap. Oh, Mister Kontol, datanglah ke lubangku.” Zavan berujar khidmat. Membuatku kembali tertawa geli.

Dengan sahabat seperti Zavan, sebenarnya memikirkan cinta itu tidak perlu. Iya kan? Hanya saja Bagas selalu mendengung di telingaku, masuk ke celah-celah Cepalusku lalu menyelusup masuk ke dalam hatiku. Bagas sialan! I love him so much. Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada someone like him. Kenapa kisah cintaku tidak seberingas Sid? Kenapa kisah cintaku tidak seperti And dan Vick, yang diawali dengan pertengkaran?

Hidup memang tidak adil. Ralat, hidup memang tidak akan pernah adil.

***

Kukeluarkan uang dua ribu rupiahku dari dalam kantong seragam DIS ku. Hanya uang ini yang masih tersedia untukku. Mbak Wati, penjaga warung yang berada di dekat rumahku menatapku dengan tatapan baik. Setiap aku mau membeli bahan makanan, aku selalu ke warungnya. Dia pasti membiarkan aku mengutang, boleh membayarnya kapan saja ketika aku sudah punya uang. Tetapi tidak, aku bukan orang yang suka mengutang apapun dengan orang lain. Meskipun aku jelata seperti yang Zavan bilang, hidup tanpa hutang itu lebih baik daripada dihantui rasa ingin menebus hutang itu. Seperti yang sering menyerang Ayah dan Ibuku.

“Kecap manis bungkusannya dua Mbak.” Aku menunjuk kecap manis ABC bungkusan yang digantung di dekat kepalanya. “Sama krupuknya satu.” Mbak Wati menyerahkanku kedua bahan penyedap makanan itu ke tanganku. Kuulurkan uang dua ribu yang ada di tanganku kepadanya. “Makasih Mbak.”

Aku baru saja ingin beranjak pergi saat Mbak Wati menahan tanganku. “Ini untuk Revie,” ucapnya dengan senyuman. Satu bungkus krupuk putih terulur untukku. “Mbak kasih gratis untuk kamu.”

Aku tersenyum, lalu berujar cepat. “Makasih Mbak.” Dia mengangguk, lalu aku cepat-cepat pergi dari sini. Adik-adikku pasti sudah lapar di rumah. Ravina pasti sudah masak nasi, dan aku lah yang bertugas membawakan lauknya. Setiap hari itu yang kami lakukan. Ayah berkerja jadi buruh bangunan. Pulang sekitar jam delapan malam. Kalau Ibu kerja di rumahnya Bagas, jadi pembantu di sana. Baru pulang ke rumah juga saat selesai maghrib. Sebab itulah, aku, Ravina dan Ravilia bertugas menjaga adik-adik kami.

Ravina yang memasak nasi, Ravilia yang membersihkan rumah, aku yang mencuci pakaian dan membelikan mereka lauk untuk makan. Setiap hari itu yang kulakukan. Namun jika pekerjaanku sudah selesai, aku biasanya pergi ke rumah Bagas, untuk membantu beban Ibuku jadi pembantu di sana. Membersihkan kolam berenang, menjemur semua pakaian yang telah Ibuku cuci, atau menyiram taman depan dan belakang rumah keluarga Prakoso.

Aku mempunyai kakak, namanya Raffi. Selalu ada untukku saat aku lelah, menjagaku dari orang-orang yang suka menjahatiku saat aku pergi ke pasar untuk menemuinya. Dia menjadi preman di sana. Menjaga pasar dari semua preman jahat yang akan mengganggu tempat mangkalnya. Kakakku bukan jenis preman jahat seperti preman kebanyakan. Semua orang yang ada di pasar malah segan dengan kakakku, memberikan kakakku uang tiap bulan karena dia yang menjaga semua pedagang itu dari palak liar.

Raffi jarang pulang ke rumah, tetapi sekalinya pulang, dia akan membawakan kami makanan. Seperti yang sering kulakukan kalau aku baru pulang dari rumah And. Meskipun aku tidak sering-sering melakukannya. Raffi tinggal dengan temannya yang preman itu juga. Yang menjaga parkiran di pasar. Kalau tidak salah namanya Kak Soni. Dia sebenarnya anak orang kaya, sayang orang tuanya korupsi. Makanya dia jadi preman seperti itu. Kak Soni awalnya hanya gelandangan, lalu kak Raffi menolongnya. Menyuruhnya tinggal di rumah kami untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kak Raffi membuat rumah di kolong jembatan untuk dia dan kak Soni.

Revin duduk di depan pintu saat aku sudah sampai di rumahku. Baiklah, tempat tinggalku tidak layak jika disebut rumah. Mungkin lebih cocok gubuk. Jendelanya hanya satu, triplek tipis menghiasi setiap sudutnya, atapnya terbuat dari seng-seng yang sudah berkarat, kardus-kardus yang rapuh karena air menjadi alas untuk kami.

“Assalamualaikum,” sapaku ke Revin. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Giginya yang ompong terlihat jelas, matanya yang lebar sepertiku berbinar-binar.

“Kak, aku dapet nilai sepuluh lho,” ujarnya sambil berlari masuk ke dalam rumah, lalu kembali lagi ke hadapanku. “Nih, kata bu Guru, cuman aku aja yang nilai matematikanya bagus.” Dia kembali tersenyum, membuat wajahnya yang tembam mengembung seperti Boboho.

Aku tersenyum, kuacak-acak rambutnya pelan. “Hebat dong adik kakak,” kataku seraya melepaskan sepatu Converse ku yang dibilang Zavan harus segera dibakar dan dikubur sedalam mungkin saking sudah tak layak pakai. “Tapi dek, walopun Revin udah dapet nilai sepuluh, bukan berarti Revin harus berhenti belajar lho.”

“Enggak. Revin bakalan belajar terus. Biar pinter kayak kakak, terus dibawa ke luar negeri.”

Revin memeluk pinggangku, aku hanya tertawa dan mengajaknya masuk ke dalam rumah kami yang temaram. “Revandi mana?” tanyaku pada Ravilia, yang sedang melipat-lipat baju.

“Diajak main sama Rita dan Rati ke kolong jembatan sebelah,” jawab Ravilia.

“Kamu jemput mereka ya, Ra. Bilang kalo kita mau makan siang bentar lagi.” Aku menaruh tasku di dalam kamarku dan adik-adikku. Kamar kecil yang sangat nyaman. Kalau sudah malam, aku dan adik-adikku akan berkumpul lalu belajar bersama. Kemudian kami akan tidur desak-desakkan, meskipun aku tidak keberatan sama sekali.

Ravilia mengangguk, dia berdiri lalu menaruh semua pakaian yang sudah dia lipat ke lemari plastik berwarna kusam yang ada di dekat pintu kamar. Dia beranjak pergi, rambutnya yang panjang bergoyang-goyang saat dia berjalan. Aku masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu yang terbuat dari triplek dua lapis. Kubuka bajuku, dan melepaskan semua pakaian DIS ku dari tubuh. Aku mengambil pakaian yang ada di dalam lemari kecilku, dan menganakannya. Pakaian yang terlalu sering dicuci ini masih terlihat bagus di tubuhku.

Aku keluar dari kamar, lalu duduk bersila di atas kardus, alas pengganti lantai marmer seperti lantai yang ada di rumah And dan Bagas. “Rav, bawain nasinya ke sini ya. Kita makan siang dulu.” Revina menyahut dari arah dapur. Revin duduk di sebelahku, sambil menatap kecap manis bungkus yang ada di tanganku.

Ravina menaruh nasi di dalam piring besar di tengah-tengah ruangan. Dia duduk dan menaruh semua piring plastik di dekat nasi tersebut. Adikku, Revandi datang dengan wajah berbinar saat melihat krupuk yang kutaruh di tengah-tengah nasi dan piring. Dia tersenyum lebar, lalu duduk di pangkuanku.

“Kita makan pakek krupuk hari ini?” tanyanya. Ravina menyendokkan nasi ke atas piring. “Hore. Revan kira kita cuman makan pakek kecap aja hari ini.” Kami semua tertawa mendengar nada gembira yang meluncur dari suara adik terakhirku itu. Aku mengambil piring plastik yang Ravina berikan untukku, menuangkan kecap manis ke atas nasiku. Inilah menu makanan kami siang ini, kecap manis dan krupuk. Kalau ada uang lebih, aku biasanya membeli makanan yang lebih layak. Namun, seperti ini saja adik-adikku terlihat gembira. Hanya saja, suatu hari nanti, aku akan memberikan yang terbaik untuk mereka.

Setelah selesai makan, aku beranjak berdiri. Ravina membereskan semua piring bekas kami makan, sedangkan Ravilia menyapu tempat kami baru saja makan. “Kakak mau ke rumahnya Bu Prakoso ya. Mau bantu Ibu di sana. Ravina sama Ravilia jagain adek-adek ya.” Adik-adikku mengangguk serempak. Aku mengambil jaket yang kugantung di dekat lemari plastik, mengenakkannya lalu berjalan cepat menuju ke pintu. “Revin, Rita, Rati jangan main ke jalan ya. Revan dijagain. Kalo diajak sama siapa-siapa jalan jangan mau. Ntar diculik.”

Sekali lagi, adik-adikku mengangguk serentak. Aku mencium pipi Revan, kemudian berjalan menjauh menuju ke rumah cowok yang selalu membuat hatiku hujan dan berdegup kencang.

Jika dalam keadaan krisis keuangan begini, aku biasanya akan jalan kaki menuju ke rumah Bu Prakoso. Tidak terlalu jauh jarak rumah Bu Prakoso dari rumahku. Sekitar delapan kilo meter. Aku sudah biasa melakukannya. Saking biasanya, aku bahkan tidak pernah lelah sama sekali. Mungkin itulah alasanku rakus, suka makan apa saja yang flocksku berikan. Semua kalori yang ada di dalam tubuhku terbakar, makanya aku tidak pernah gemuk sama sekali.

Semua flocksku bilang, aku rakus. Tidak, aku tidak rakus. Aku hanya suka makan. Kata Ibu, tidak boleh menyia-nyiakan makanan. Zavan dan Sid sangat suka memesan banyak makanan, tetapi mereka suka sekali membuang-buangnya. Sangat mubazir. Sebab itulah aku yang menghabiskannya. Aku mau saja membawa semua makanan itu pulang ke rumah, tetapi aku malu. Tentu saja aku masih punya malu. Tidak mungkin kan, makanan yang sudah disentuh disuruh bungkus lagi. Lagi pula Sid akan murka, dia bilang menyuruh seseorang memasukkan makanan bekas ke dalam plastik untuk dibawa pulang itu sangat merendahkan diri sendiri.

Tetapi kalau aku bersama And dan keluarganya, aku tidak pernah malu untuk membungkus makanan yang sudah kami sentuh. Mama—aku memanggil Mamanya And dengan sebutan itu alih-alih tante, dia sendiri yang menyuruhku—juga menjunjung tinggi-tinggi memakan makanan sampai habis. Jangan menyisakan makanan, itu mubazir.

Ya… selama ada makanan, nikmatilah. Sungguh, kau tidak akan pernah tahu kapan kau akan kelaparan. Itu motto hidupku yang kedua. Yang pertama, cintai Bagas. Aku tolol ya?

***

Rasanya seperti selamanya. Itulah yang kurasakan saat melihat And. Dia adalah sahabatku, aku mengenalnya saat dia tiba-tiba datang menghampiriku dan memberikanku setengah mainannya untukku. And orang yang baik, cepat marah jika ada yang menggangguku, perhatian dan sangat suka memberiku es krim, makanan/minuman kesukaanku. Aku jatuh cinta pada es krim saat And membelikanku dua belas tahun yang lalu.

Aku tahu And mencintaiku. Aku bisa merasakannya saat dia menatapku, saat dia menyuruhku rebah di dadanya, atau pada saat dia mengecup keningku setiap kali aku menginap di rumahnya. Namun aku tahu, cinta And untukku tidak akan pernah cocok. Kami sahabat, dan selalu berjanji untuk menjadi seperti itu. And bilang, Que Sera, Sera, whatever will be, will be. Tetapi lihat, Que Sera itu memang tidak berlaku untuk kami. Aku dan dia akan selalu ditakdirkan untik menjadi sahabat selamanya. And adalah sahabat serta kakak dan mentorku di dalam hidup. Yang akan selalu membuka tangannya untuk memelukku saat aku sedih. Dia selalu ada untukku. Aku mencintai And, dengan caraku sendiri.

And selalu menebak, alasan aku bisa jatuh cinta pada Bagas karena dia pernah menyelamatkan kami dari anjing cowok itu. Tetapi tidak. Alasan aku mencintai Bagas bukan karena hal itu. Aku mencintai Bagas secara tiba-tiba, saat Ibuku sedang melamar bekerja di rumah bu Prakoso. Bagas tiba-tiba datang di tengah-tengan pembicaraan, dan… BOOM! Aku langsung jatuh cinta padanya, kepada cowok berumur enam tahun, bermuka masam dan tatapan tajam yang menakutkan. Tetapi… aku jatuh cinta. Aku tidak tahu bagaimana, aku tidak tahu kenapa, aku hanya mencintainya. Sangat mencintainya.

Semua kenangan, semua gelagat, semua senyuman, dan semua yang ada di dalam dirinya selalu kusimpan di dalam memoriku. Mendamba suatu hari nanti dia ingin berbagi kesenangan itu bersamaku. Walau pada kenyataannya Bagas bahkan tetap tidak mengacuhkanku sampai sekarang.

“Tadi Revie beliin apa adik-adiknya buat makan?” tanya Ibu menarikku dari lamunan. Ibu sedang mencuci piring, sedangkan aku sedang mengelap semua piring itu.

“Kecap manis sama krupuk,” ucapku, sambil menyelipkan rambut yang ada di dahi Ibuku ke belakang telinga. Semburat lelah muncul di matanya. Ibu menatap wajahku, tersenyum penuh rasa cinta. Bagiku, Ibu adalah segalanya, Ayah juga. Aku hidup di dunia ini untuk mereka, membuat mereka bahagia.

“Maaf ya, nanti kalau Ibu sama Ayah gajian, Ibu bakalan masak ayam goreng kesukaan kalian.” Ibu mengelap keringat yang ada di dahinya dengan ujung tangan.

Aku tersenyum, lalu memeluk Ibuku singkat. “Nggak usah dipaksain Bu kalau memang nggak punya uang. Ayam goreng memang lezat, tapi makan tanpa beban hutang sama sekali lebih nikmat lagi.”

Ibuku tertawa, dia membalas pelukan singkatku. “Besok Ibu bakalan bayar hutang di Pak Mardji kok. Tinggal bunganya ajanya aja yang harus Ibu dan Ayan lunasi.”

Pak Mardji itu renternir jahat. Ibu dan Ayahku tahu itu, tetapi mereka tetap saja meminjam di pak tua berkumis tebal itu. Bahkan dulu, saat kami kesulitan untuk membayar hutang, Pak Mardji menyuruh Ayahku untuk membiarkannya menikah dengan Ravina. Yang tentu saja langsung kami tolak dengan tegas. Besok-besok aku harus menyuruh Ibu dan Ayahku berhenti meminjam di pak tua berpenis loyo itu. Pak Tua menjijikan.

“Revie tolong ambilin baju kotor ya di kamarnya Den Bagas,” tutur Ibu seraya mematikan keran air. Dia berjalan cepat menuju ke ruangan cuci, lalu kembali keluar dengan satu keranjang kecil. Aku mengambil keranjang itu dan mengangguk untuk menyetujui apa yang Ibu perintahkan untukku.

Aku melirik jam di dinding yang ada di ruang makan, Bagas pasti ada di kamarnya jam segini. Jantungku tiba-tiba berdebar. Selalu seperti ini, my heart skips a beat.

Kuhela nafas panjang, lalu mulai melangkah cepat menuju ke lantai dua. Ke kamar Bagas yang dihiasi dengan poster-poster pemain sepak bola. Aku tahu klub kesukaan Bagas. Dia sangat suka Chelsea. Dia juga suka warna biru, suka mendengarkan lagu-lagu dari Coldplay dan Letto. Setiap kali aku masuk ke dalam kamarnya, wangi maskulin yang berbaur dengan potpurri gardenia mendominasi ruangan itu. Membuatku merasa tenang, dan senang untuk berada di kamar itu berlama-lama.

Bagas sangat suka makan Marcaroons. Dia sangat suka yang rasa Taro. Minuman favoritnya adalah Cappucino yang dibubuhi banyak krim cokelat. Selain hobi bermain bola, Bagas suka memotret dengan kamera Canon nya. Mungkin darah gemar memotretnya itu dari Papanya. Yang memang mempunyai banyak Studio Foto terkenal di Jakarta. Masih banyak hal yang kutahu tentang Bagas, tetapi jika aku menyebutkannya, aku akan terdengar seperti psikopat yang terlalu terobsesi dengan seseorang. Bahkan Zavan pernah memanggilku Stupido Beyotch. Yang mencintai orang yang tidak mencintaiku balik.

Ketika aku sudah sampai di lantai dua, aku bertemu dengan Kak Aldrian, kakak kedua Bagas. Aku biasanya memanggil Kak Aldrian dengan sebutan Kak Al. Dia agak mirip Bagas, meski badannya lebih tinggi dan lebih besar. Kak Al berumur dua puluh tiga tahun, seorang Polisi muda yang sangat disegani oleh teman-temannya. Kak Al orang yang sangat baik, suka membantuku di dapur, suka membantuku saat aku membersihkan kolam berenang dan sangat suka mengajakku keluar untuk makan.

Dan yang paling parah adalah… dia mencintaiku. Tatapan yang dia berikan untukku persis seperti And. Entah mengapa, aku tidak terlalu suka ditatap penuh cinta seperti itu, karena aku merasa jahat sekali saat tahu kalau aku malah jatuh cinta pada adiknya. Kak Al pernah bilang padaku, dia sedang jatuh cinta dengan laki-laki. Dia bilang lagi, hanya laki-laki itu saja yang bisa membuatnya merasa begitu. Anehnya, aku sadar, omongan yang dia beritahukan padaku itu tertuju untukku.

“Kakak nggak tugas hari ini?” tanyaku sembari tersenyum ke arah Kak Al. Dia mengangkat kepalanya, dan membalas senyumanku.

“Aku masuk pagi,” ujarnya, dia mendekatiku lalu mengacak rambutku. Hal yang paling suka dia lakukan padaku. “Revie sudah makan?”

Apa kubilang, Kak Al sangat suka mengajakku keluar untuk makan. “Sudah tadi siang Kak.” Aku menengadahkan kepalaku, menatap rahang Kak Al yang dipenuhi oleh jenggot yang setengah dicukur. Dulu, dia sangat suka menghirup wangi di tengkukku, jenggotnya yang belum setengah tercukur itu selalu bisa membuatku kegelian. Dan Kak Al tahu, makanya dia sering melakukan hal itu padaku.

Kak Al tersenyum, membuat bibirnya yang penuh itu melengkung naik. “Ya udah, ntar malem aja kalo gitu kita keluarnya ya?”

Sebenarnya aku tidak mau, aku tidak ingin membuat Kak Al terlalu mengharapkanku. Namun aku tidak bisa menolaknya, Kak Al orang yang gigih, keras kepala dan harus mendapat apa yang dia mau. Aku cukup tahu tentang diri Kak Al. “Oke,” jawabku kemudian. “Aku mau ke kamarnya Kak Bagas dulu, mau ambil baju kotornya dia.”

Kak Al mengangguk, matanya sayu saat melihatku tersenyum. Tatapan cinta untukku itu kembali hadir di sana. Dan aku sangat-sangat-sangat membenci diriku sendiri karena hal itu. Andai Kak Al tahu, kalau aku tidak akan pernah bisa membalas cintanya. Karena aku malah mencintai adiknya. Adiknya yang tak akan pernah mencintaiku.

Aku melenggang pergi, mengeratkan keranjang kecil yang ada di tanganku ke dada. Jantungku kembali berdegup sangat kencang saat aku mengetuk pintu kamar Bagas. Suara beratnya yang khas menyahut dari dalam, menyuruhku masuk. Ketika aku memutar knop pintu, wangi maskulin dan potpurri gardenia itu kembali menyerbak masuk ke dalam hidungku. Kamarnya yang dingin, seperti wajahnya, selalu membuatku merinding. Kalau kata Zavan bulu penisnya yang suka merinding, kalau aku bulu hidungku yang merinding.

Bagas sedang duduk di depan TV layar datarnya. Di tangannya ada stick PS. Dia melirikku sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan permainan playstation bolanya. Aku meneguk air liurku dengan susah payah, aku ingin sekali mengajaknya bicara, tetapi lidahku kelu. Mungkin inilah yang dinamakan orang yang terlalu jatuh cinta, mau mengajaknya bicara saja sangat susah.

Aku berjalan cepat menuju ke keranjang tempat baju-baju kotornya menumpuk. Saat aku melewati kasurnya, aku kembali teringat akan masa lalu. Waktu itu aku masih berumur sembilan tahun, dan Bagas sepuluh tahun. Ibuku menyuruhku untuk mengambil baju kotor Bagas, dan aku melaksanakannya. Setelah sampai di depan pintunya, aku mengetuk berkali-kali, tetapi tidak ada sahutan. Dengan lancang, aku masuk sendiri ke dalam kamarnya tanpa seizinnya. Dan pada saat aku sudah berada di dalam, aku melihat dia sedang tertidur di atas kasurnya, dengan badan telentang dan tangan yang tertangkup di depan dada.

Rencananya aku hanya ingin mengambil baju kotornya lalu pergi, karena Raffi juga sedang menungguku di luar kamar Bagas. Kakakku satu itu selalu menemaniku kalau aku membantu Ibu di sini. Tetapi dia jarang berbincang dengan kakak-beradik Prakoso. Dia hanya diam saja sambil membantu ini-itu.

Mataku memicing saat berada di dekatnya yang waktu itu sedang tertidur. Takut-takut, aku duduk di sampingnya, melihat raut wajahnya yang terlihat begitu damai. Dan… lagi dan lagi. My heart skips a beat. Selalu seperti ini. Aku mengangkat tanganku yang gemetar, lalu menaruhnya di atas pipi Bagas yang hangat. Kutelusuri kulit wajahnya dengan ujung jari manisku, berlama-lama melihat bulu matanya yang panjang namun tidak lentik itu. Aku tersenyum, jantungku kembali berdegup dua kali lebih keras dari sebelumnya.

And bilang, dia adalah pangeranku, dan aku adalah Putri Saljunya. Sedangkan Bagas, dijuluki sang penjahat oleh And. Sebisa mungkin, And selalu menjauhiku dari jangkaun Bagas karena dia adalah sang penjahat. Putri Salju harus dijaga, kakak And—Dan—pun sangat setuju akan hal itu. Kak Dan tidak menjulukiku Putri Salju, tetapi Putra Salju. Aku hanya tertawa dengan julukkan yang dia berikan untukku. Sampai sekarang, predikat Putra Salju masih melekat di diriku. Sama seperti Bagas, yang masih mendapat julukkan sang penjahat dari And.

Kucondongkan badanku sedikit, menatap lebih dekat bulu mata Bagas yang benar-benar lebat dan panjang. Kuturunkan pandanganku, dan menatap bibirnya yang penuh. Aku mengatupkan mulutku, lalu menciumnya pelan, seperti bunga Sakura yang jatuh ke tanah. Berharap Putra Salju bisa membangunkan sang Penjahat dari tidurnya.

Hangat bibir Bagas menyeruak masuk ke dalam diriku, menelanjangi hatiku dengan penuh cinta. Aku melepaskan ciuman dan beranjak pergi dari kamarnya dengan wajah yang memanas karena menyukai ciuman itu. Ciuman pertamaku, yang tidak seindah seperti yang ada di dongeng-dongeng yang pernah kubaca.

Bagaimana mungkin, seorang Putra Salju malah jatuh cinta pada sang Penjahatnya? Variasi cerita yang sangat aneh. Benar-benar aneh.

 

–Ups, Bersambung to Chapter 2–

Sketsa Karakter by. Andystar dan Trivia by. Rendi Febrian

Karakter Sid and the Flocks

Sketsa By. Andystar

Holla, guys, kali ini aku mau memperlihatkan kalian sketsa dari para karakter yang ada di cerita Weather Series, atau yang lebih tepatnya adalah Sid and the Flocks. Waktu itu banyak banget yang minta penggambaran kelima Flocks atau bahasa kasarnya ‘BoyBand’ itu gimana sih. Jujur, aku juga sebenarnya nggak pernah mikirin tuh muka mereka gimana. Selama proses menulis waktu itu, aku nulis aja, ngalir karena memang kayak nyeritain kisah hidup sendiri. Like a water, so flow and calm. Karakter-karakter yang ada di ceritaku itu, sifat-sifatnya itu baru mirip sahabat-sahabat dekatku. Tapi wajahnya ya enggak dong. Malah aku mikirnya, wajah mereka itu ya gitu. Wajah-wajah anak sekolah sange, ngesok, dan serampangan (kecuali Revie, of course).

Nah, kemarin itu aku minta tolong salah satu bos Authorku untuk minta gambarin sketsa mereka. Aku kasih ciri-ciri mereka ke dia dan akhirnya sudah jadi. Mau tahu hasilnya, ooh la la, aku puas banget. Beneran bagus deh. Menurutku sih gitu, nggak tau kalau pendapat kalian gimana. Sekarang sudah jelas gimana gambaran mereka di kepalaku. Meskipun Overcast Day masih dalam tahap pembuatan. Tapi aku bakalan post kok, as soon as possible deh.

Di Postingan kali ini aku akan menceritakan sifat-sifat mereka itu. Kenapa aku buat mereka menjadi seperti orang-orang nggak jelas.

Sid yang sombongnya nggak ketulungan.

And yang pengen banget bisa melindungi sahabatnya, dan sifatnya yang mudah marah.

Revie yang baik hati, sederhana dan rakusnya minta ampun.

Tivo yang sebegitu pendiem dan cueknya.

Zavan yang ughso nafsuan banget setiap ngeliat cowok ganteng dan kaya.

Dari itu semua, aku buat karakter mereka kayak begitu karena memang ada alasannya sih.

Solet’s check this out:

SID

Nama Panjang: Sid Kovlean

Nama digong-gong orang: Sid

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Pride (Sombong)

Trivia tentang karakter ini:

Dulu banget, pas aku masih kelas dua SMA, aku buat suatu cerita dari nama-nama gang anak sekolahan yang ada di Imajinasiku. Aku tulis cerita itu dulu cuman untuk main-main aja. Nama awalnya bukan Sid dulu, tapi Luis. Tapi karena ada beberapa faktor, jadi aku nggak pakek lagi deh nama Luis tersebut. Nama Sid aku ambil dari salah satu teman pertukaran pelajarku dulu dari Samarinda. Nama aslinya sih Rossid, tapi karena aku nggak suka nama itu, jadinya aku potong deh Ros-nya. Sisa Sid. Jadilah karakter Sid ini. Dan kenapa sifat Sid ini sombong banget? Sebenarnya sudah dari si karakter Luis itu memang sih karakter ini sudah sombong. Aku sengaja, soalnya aku mau ngambil sifatku yang paling dibenci sama temen-temenku. Mereka bilang, aku kentut aja bunyinya sudah sombong, apalagi bicara. Ini nih yang buat kesel, jadinya itu deh. Sid memegang salah satu dari 7 dosa mematikan, yaitu sombong. Sampai sekarang dia memang belum mau berubah, well, karena aku nggak terlalu suka sih merubah sifat orang. Meskipun itu hanya fiksi. Biarlah dia begitu, kan yang masuk neraka nanti dia, bukan kita. LOL.

Kenapa dia sama Adam? Aduh, aduh, aku juga nggak tau kenapa. Awalnya aku mau buat Sid ini jatuh cinta sama Bams, dan Adam serta Peter itu pengganggu terberat mereka. Tapi pas aku telaah lagi, ewww, nih cerita kok malah kayak sinetron ya. Makanya nggak jadi. Aku buat simpel-simpel aja. Ngapain juga sih ribet-ribet, enakkan gitu. Biar mudah berpindah ceritanya ke scene selanjutnya. Sid juga sudah merasa jatuh cinta kok sama Adam, jadi buat apa lagi dipanjang-panjangin. Capek ih ngetiknya. Haha :p :p

Next

AND

Nama Panjang: And Darhamukmana

Nama digong-gong orang: And (En) Kalo Revie (An)

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Wrath (Marah)

Trivia tentang karakter ini:

Sebenarnya nama And yang asli itu adalah Andy. Tapi karena nama Andy sudah banyak (contoh: Andystar) jadinya aku cuman buat And aja. Keren gitu lho aku nyebutnya di mulut. And oh And, hahaha. LOL. Karakter ini kubuat sebenarnya nggak sengaja gitu deh, dari awal cerita sebenarnya And ini kayak kacungnya si Luis atau yang bertranformasi jadi Sid. Tapi pas aku lihat-lihat lagi di Imajinasiku, nggak ah. Kasihan, aku nggak suka lihat orang dijadiin kacung gitu. Kasihan, manusia kok dijadiin kacung sama manusia. Nggak banget deh. Jadinya karakter And hidup sendiri deh. Aku mau buat And ini awalnya so cool banget. Lebih suka ngomong dengan cara mukul daripada ngomong berdesis pakek mulut. Tapi, Gawd, ini cerita apaan ya? Masih kelas satu SMA aja sudah belagu gitu, jadinya nggak jadi deh. And aku buat kuat dan pemarah.

Kenapa sih And nggak sama Revie aja? Wuih, banyak banget yang nanya hal ini sama aku di e-mail, Facebook, BoyzForum, WeChat, KakaoTalk, Line, dan Whatsapp. Oh, iya, sama blog ini juga. Dan jawabannya tetep sama dong: sahabat masa kecil saling jatuh cinta, ewww, klise banget. Jadinya nggak jadi deh. Mendingan dia sama orang lain. Lalu lahirlah Vick-Dick ini. Entah gimana, pas aku nulis itu tangan aku kepeleset dan munculah karakter Vick ini (maaf, sketsanya gak ada, haha LOL). Alhasil, dia aku mau jodohin sama And. Sama-sama strong, sama-sama pemarah. Semakin sama sifatnya, semakin berjodoh. Oh, iya, kemarin juga ada yang nanya, siapa yang Top siapa yang Bot. Haha, yang kayak gini dipikirin, nggak usah ding. Intinya: biarlah cinta tumbuh di antara mereka dulu, oke 🙂

Next

REVIE

Nama Panjang: Revie Ferdian

Nama digong-gong: Revie atau Rev

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Gluttony (Rakus)

Trivia tentang karakter ini:

Kalau kalian baca namanya pasti kalian tahu deh itu siapa. Haha, iya bener banget. Nama Revie Ferdian itu sebenarnya Rendi Febrian. LOL! Tahu kenapa sifatnya kayak begitu, baik, ganteng banget, dia senyum aja buat orang lain meleleh, polos dan lugu, suka hal-hal sederhana tapi rakus. Iya, teman-teman, aku itu pengen banget bisa kayak begitu. Aku pengen jadi orang yang karakternya mirip Revie. Tapi ternyata nggak bisa. Aku sangat mirip Sid dan Zavan. Jadinya gitu deh, aku hanya bisa menyalurkan keinginanku melalui karakter Revie ini. Lagi pula, buat apa berubah menjadi hal yang bukan diri kita yang sesungguhnya, itu sangat munafik tau. Jadi yaudahlah, aku adem ayem aja sama sifatku yang sekarang ini, meski aku mau menjadikan sifatku ini berguna bagi nusa dan bangsa Amerika. Hahaha :p :p

Next

TIVO

Nama Panjang: Tivo Diatmika

Nama digong-gong: Tivo atau Tiv (Bukan Tivi lho)

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Sloth (Malas)

Trivia tentang karakter ini:

Dari semua karakter yang aku buat, aku paling susah mengekspresikan si Tivo ini. Tapi itulah yang menjadi hal pemacuku buat belajar tentang karakter yang bukan di bidangku. Aku mau belajar, bisa nggak sih jadi orang super malas dan super cuek kayak Tivo nanti pas sudah digiliran untuk membuat cerita ini. Soalnya aku kalau di debat sama orang selalu pengen menjawab, nah kalau Tivo ini enggak. Dia lebih suka diam dan diam. Malas meladeni. Sifat cuek sih mungkin aku sama kayak dia, tapi nggak terlalu. Aku kalau dicerca dikit tentang kehidupanku, aku langsung nyahut dong. Aku paling nggak suka sama orang yang nilai-nilai kehidupanku padahal dia nggak kenal aku. Ewww, orang yang kayak gini harus kena kutukan Crucio atau nggak Avada Kedavra deh. Nama Tivo Diatmika memang sudah lahir dari sananya. Dulu aku buat karakter ini kayak anak kecil yang oon-oon gitu. Tapi kasihan ah, jadinya aku buat dia pemalas aja. Dan, boom! Habis Imajinasi, terbitlah karakter ini. Horeee!

Awalnya aku mau jodohin dia sama tetangganya yang polisi itu, yang suka banget gangguin hidupnya dia (Tivo). Tapi karena kemarin kepeleset (lagi) tanganku. Jadinya dia sama Peter deh. Dari beberapa komen juga banyak banget yang suka sama poor Peter ini. Aku juga suka sih. Auranya itu wow banget menurutku. Akhirnya, nanti Tivo sama Peter, tapi bagaimana dengan kisah mereka? Saksikan di SCTV jam tiga belas malam tanggal tiga puluh dua desember dua ribu dua ratus satu. LOL.

Next

ZAVAN

Nama Panjang: Zavan McKnight

Nama digong-gong orang: Zavan atau Zav

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Lust (Nafsu)

Trivia tentang karakter ini:

Nama awal Zavan sebenarnya Zink. Tapi pas aku baca lagi, walah, nih nama kok kayak nama Shampoo ya. Jadi nggak jadi deh. Kenapa namanya Zavan? Itu karena aku mau buat karakter yang huruf depannya Z. Karena Z jarang banget digunakan. Padahal Z itu bagus lho. Kalau ada ulangan terus manggil nama sesuai absen, pasti Z ini terakhir. Jadi punya waktu buat belajar dulu (pengalaman nggak pernah belajar pas besoknya mau ulangan, hahaha). Dan kenapa sih Zavan nafsuan, well, itu ngambil sifatku dikit sih. Tapi tenang aja, aku nggak senafsuan Zavan kok. Aku hanya mau sama orang yang mau sama aku, membuat beberapa Straight menjadi gay seperti yang nanti Zavan lakukan. Well, mungkin alasan cowok Straight benci sama gay gara-gara itu ya. Cowok gay itu juga menggoda mereka, selain cewek-cewek. Haha. Tapi memang bener lho, dulu aku baca artikel tentang hal itu, kenapa cowok Straight bisa jadi gay. Itu karena cowok gay lebih pintar memuaskan mereka, lebih tau letak dimana mereka akan cepat Turn On, dan cowok gay bisa mengimbangi permainan. Nggak kayak cewek, Straight harus memuaskan cewek-cewek itu dulu, dan lama banget. Pas cowoknya sudah capek, baru deh ceweknya Turn Onpuh-lease deh. Hahaha. Sebab itulah aku menggunakan Zavan ini sebagai pengalir dari sifat buruk yang kini sudah (aamiin) hilang dari dalam tubuhku.

Nanti Zavan akan berpasangan dengan Ozayn. Nggak tau juga kenapa sih, aku cuman mau aja. Ozayn itu aku ngambil dari namanya Zayn Malik. Sial, tuh cowok One Diretion ganteng amir ya. Wow deh, tipe-tipe kesukaanku. Maka daripada itulah, karena aku nggak kesampaian punya pacar kayak Zayn Malik, aku mau menyalurkannya melalui Zavan. Enak banget lho Zav, dapet Zayn Malik. Hahaha. Karena aku nggak mau namanya terlalu mirip Zayn, jadi aku tambahin O di depannya, jadilah Ozayn. Haha, aneh banget sih. Yang tau cerita Zavan juga hanya Onew. *Jaga rahasia ini juga New* Hihi, so, kalian tunggu aja ya. Mungkin bakalan rampung sekitar dua tahun lagi. Hahaha :p

Itu aja deh, makasih ya sudah membaca, terima kasih sudah mengikuti Sid and the Flocks. Apakah kalian sadar, kalau kalian itu juga sudah menjadi bagian dari Dominiquert International School? Kalau nggak sadar juga nggak apa-apa, soalnya aku cuma bercanda aja. Buahahaha :p :p 🙂

Eits, ada bonus nih dari Andy, gambarnya Adam.

Aku suka banget lihat gambar ini. Otot-ototnya itu lho. Menggiurkan lidah. Uh La La 🙂

Check this out:

ADAM

Nama Panjang: Adam Abrakadijaya (Abrakadabra)

Nama digong-gong orang: Adam atau Dam

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan:Unknown. Aku juga nggak tau apaan. Hahaha, tebak aja sendiri ya 😀

Trivia tentang karakter ini:

Sudah aku jelasin di bagian Sid. Baca aja ya sendiri, capek mah ngetiknya.

Dadah, thanks sudah mau baca. Love you all guys, or gays or fujo or fudan.

Itu dia semua hal-hal menyangkut mereka, serta sketsa dari gambar Sid and the Flocks by. Andystar, sekarang waktunya buat nge-godain Andy lagi, elus-elus dadanya, elus-elus tangannya, mau minta dibuatin karakternya: Vick, Bagas, Peter dan Ozayn juga. Semoga aja dia terpengaruh dengan tulisanku ini, dan akhirnya dia mengiyakan permintaanku. Hihihi, aamiin yaa olloh o:)

Oke-oke, itu aja. Untuk Overcast Day Chapter 6 di tunggu aja ya, semoga aja pas belum masuk puasa 😀

–To Be Tamat–

HAHAHA

Overcast Day (2)

DIS_

Chapter 2

Society

Setelah MOS berakhir—terima kasih ya Allah—kami akhirnya resmi menjadi siswa Dominiquert International Schlong. Tau schlong itu apakan? Kalau tidak tahu, schlong itu artinya kontol—eh, penis. Schlong adalah bahasa Irlandia. Well, I don’t really like this school at all ya. Jadi jangan salahkan aku kalau aku menghina sekolah ini. Aku berada disini karena untuk melindungi Revie. Dia itu mudah menarik mata penjahat, makanya selalu harus diawasi dengan ketat. Lengah sedikit, dia pasti akan digerogoti macan berwajah Medusa. Jadi aku harus selalu siaga, ketat menjaga dan selalu ada untuknya.

Hari ini kami sedang dikumpulkan di aula super besar yang ada di samping DIS. Mau diberikan pengarahan tentang sekolah membosankan ini. Dari beberapa hari yang lalu, semenjak MOS, jarang sekali kami saling mengenal. Hanya saling menatap dan tersenyum simpul. Selebihnya kami hanya akan diam dan terus melaksanakan semua perintah. Saat MOS tiga hari yang lalu, kelompokku mendapatkan Nama Cantik yang benar-benar mengerikan. Kami diberikan nama: Tempenyol. Atau yang artinya: anak-anak telat mikir. Atau telmi. Tempenyol itu saudara dekatnya Telmi. Orang brengsek mana sih yang berani-beraninya mengecapku Tempenyol?

Dan sekarang, saat berkumpul begini, tetap saja tidak ada tanda-tanda kalau kami akan mau saling berkenalan. Kecuali Revie yang selalu menyapa orang yang menatap ke arahnya. Dia akan memasang senyuman terbaiknya, membuat orang yang menatapnya paralyzed. Sedangkan kalau aku yang memberikan senyuman kepada orang yang menatapku, dia akan cepat-cepat membuang muka menjauh. Euh, takut jatuh cinta padaku, mungkin!

Setelah mendengarkan bla bla bla yang panjang lebar, akhirnya kami dibolehkan untuk beristirahat sejenak. Nah, sekaranglah ada beberapa anak yang saling berjabat tangan saling mengenal. Beberapa orang—baik cewek maupun cowok—mendatangi Revie dan mengajaknya berkenalan. Sedangkan aku yang berdiri di samping Revie tidak diajak berkenalan sama sekali. Benar-benar payah dan menyedihkan. Daripada aku makan hati terus nggak diajak kenalan, jadi aku menjauhi Revie. Mencari suasana baru.

Sampai akhirnya aku menemukan suara itu. Tepat di belakangku.

“Hei, lo,” dia mencolek pundakku. Aku berbalik dan menatap seorang cowok berwajah bule dengan mata biru agak gelap sedang menatapku dengan menilai. Aku mengernyit bingung, bule-bule kok bisa bahasa Indonesia ya? Meskipun dia baru bilang: ‘lo’ aja sih. Tapi tetap saja dia bisa bahasa Indonesia kan!?

“Ya,” kataku pelan.

Dia melipat kedua tangannya di dada. “Lo anak orang kaya bukan?” tanyanya.

“Huh?” seruku bingung.

“Iya,” ujarnya masih dalam posisi yang sama. “Kalo lo bilang lo orang miskin, mendingan lo nggak usah temenan sama gue.” What the fuck! “Gue alergi orang miskin.”

Aku mendengus, kukeluarkan beberapa gadget mahalku. Merendahkan sekali nada suaranya, memancing kemarahan di dalam hatiku. “Gue bukan orang miskin,” kataku dengan gigi bergemeletuk. “Walopun gue orang kaya juga, gue nggak bakalan mau temenan sama lo.” Aku memasukkan kembali gadgetku ke dalam kantong celana. “Jadi… sho sho!” Aku mengibaskan tanganku, menyuruhnya menjauh.

Tetapi dia malah tidak bergeming sama sekali dari tempatnya. “Nama gue Zavan,” ucapnya memperkenalkan diri. “Lo temen gue sekarang.” Dia memasang nada seceria mungkin. Nada merendahkannya menghilang. “Mumpung lo kaya, gue kaya, kita cari orang kaya yang lain.” Zavan menarik lengan bajuku. Aku mencoba melepaskannya, namun dia menariknya dengan sangat kuat. Jadi mau bagaimana lagi. “Oh fucking Vagina!” serunya dengan suara tertahan saat melihat Revie. “Gorgeous banget cowok itu.” Dia terlonjak senang. Aku mendengus kasar dan menatapnya tajam. Pasti dia mau dengan Revie, tidak akan kuizinkan.

“Dia Revie,” kataku cepat. “Sahabat gue, dan dia bukan anak orang kaya.”

Cowok bernama Zavan ini menghentikan langkahnya. “Bukan anak orang kaya ya?” Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. “Kasihan banget, ganteng-ganteng kok jelata.” Aku berdeham memperingatkan. Namun cowok bule gila ini tidak menangkap dehamanku. Sebagai gantinya dia malah berujar, “Ya udah deh, rekrut dia juga sebagai temen gue. Nggak apa-apa miskin dan jelata, yang penting dia gorgeous.”

Kami berjalan cepat menuju ke arah Revie, yang sedang dikerumunin oleh sekelompok cewek-cewek gila tidak tahu diri. Ada beberapa dari cewek itu yang mencubit-cubit pipi Revie, ada juga yang membelai-belai rambutnya. Gosh! Rasa marahku naik ke ubun-ubun, ingin sekali aku menendang semua bokong centil cewek-cewek gatel itu semua.

Bitch, fuck off!” seru Zavan kepada segerombolan cewek-cewek itu dengan suara berdesis tajam. Tidak mengerikan memang, tapi cukup membuat orang bergidik. Mereka juga menjauh karena melihatku. Badanku memang besar, bukan gendut, tapi banyak tonjolan otot. Aku juga tidak tahu kenapa badanku bisa sebesar ini sekarang. Yang aku ingat hanyalah: aku mau pergi nge-gym, lalu membuat badanku sekekar mungkin, agar aku bisa melindungi Revie. Dan sepertinya itu berhasil.

“Darimana aja sih!?” seru Revie dengan nada mengambeknya. “Dari tadi aku nyari-nyari kamu untuk minta diselamatin, tapi kamunya malah ngilang.” Revie memonyongkan bibirnya, membuatnya makin manis dan lucu. “Dan, hai,” ujarnya ke arah bule gila yang ada di sampingku dengan nada riang. “Temen barunya And ya?”

“And?” kata bule gila itu bingung. Dia melirikku sekilas. “Oh, nama lo And ya.” Dia cekikikan seperti orang mau minta digampar. “Gue lupa nanya nama lo tadi.” Dia memasang senyum kerucut. “Dan… lo siapa?” tanyanya, wajahnya mengagumi, tetapi juga mengernyit saat menatap Revie. Pasti dia mengernyit karena Revie anak orang miskin.

Revie tersenyum simpul. “Namaku Revie,” kata Revie sembari menyodorkan tangannya.

Bule gila itu menatap tangan Revie dengan takut-takut. Tetapi akhirnya dia menyambutnya juga. “Nama gue Zavan.” Bule gila itu tersenyum kecil. “Yah, walopun lo bukan anak orang kaya, tapi nggak apa-apalah temenan sama gue. Beruntung banget ya lo bisa kenal gue.” Dia melepaskan genggaman tangan, kemudian kembali menatapku. “Habis ini kita cari satu orang lagi. Gue nggak bisa temenan lebih dari lima. Untuk sekarang ini, kita cari satu aja lagi, yang satunya lagi kapan-kapan aja. Tunggu gue tau siapa orang kaya lainnya.”

Bule itu mengeloyor pergi. Tangannya mengibas-ngibas, mengajakku dan Revie untuk mengikutinya. Revie menatapku sejenak sebelum akhirnya mengikuti bule aneh itu. Kami berjalan bersisian, dengan bule itu yang ada di hadapan kami.

“Dia ngomong apaan sih And?” tanya Revie, berbisik pelan di dekat telingaku. Langkah kami yang panjang-panjang berbenturan dengan lantai aula yang terbuat dari marmer.

“Nggak tau, dia itu orang gila,” sergahku, dan Revie tertawa pelan di sampingku. “Seharusnya kalo mau ngajak kenalan ya nanya nama, ini masa dia nanya gue anak orang kaya apa bukan!” Aku mendengus kasar, sedangkan Revie hanya tergelak sembari menatap punggung bule gila bernama Zavan itu. Aku tidak mengerti deh, kenapa sih Tuhan menciptakan manusia seperti dia. Maksudku, kenapa otaknya di setting seperti itu. Benar-benar mengerikan, rite!?

“Tivo Diatmika,” panggil salah satu staff dari atas panggung aula. Zavan, aku dan Revie berhenti seketika saat seorang cowok, dengan headseat yang menggelanyut di lehernya berjalan melewati kami dengan cuek. Wajahnya yang pendiam dan kurang bersemangat melirik sekilas ke arahku sebelum akhirnya dia naik ke atas panggung aula.

“Tivo Diatmika, gue kayak denger nama itu deh,” ujar Zavan kemudian.

Revie menatap Zavan heran. “Pastinya pernah dengerlah,” kata Revie. “Kan Tivo Diatmika itu anaknya Wiratmadja Sultan Jaya Diatmika. Anak tunggal dan pewaris utama kekayaan orang tuanya. Dia itu anak orang kaya seluruh asia tenggara ke-berapa gitu setelah Bakrie.” Ya, itu dia. aku juga baru ingat tentang hal itu. Jadi itu toh yang namanya Tivo Diatmika, anak dari Wiratmadja si penghasil uang.

Zavan menyeringai lebar. Tangannya di taruhnya kembali di depan dada. Dia menatap ke arah Tivo yang sedang diajak bicara oleh orang yang memanggilnya tadi. Tak kurang dari tiga menit, akhirnya cowok itu kembali berjalan menuju ke tangga panggung. Cepat-cepat Zavan menghalanginya. “Hai,” kata Zavan dengan senyuman lebar. “Nama gue Zavan, ini And and Revie.” Zavan berbalik ke arahku. “Nama lo kok jelek banget sih. Susah jadinya pas ngomong And and.” Aku memasang wajah sesangar mungkin, namun Zavan malah hanya tersenyum lebar. Rambut agak kepirangannya terkibas saat dia mengalihkan kepalanya ke arah Tivo. “Mulai sekarang, lo temenan sama kita. Deal?”

Cowok bernama Tivo itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi, raut pemalasnya terlihat jelas. Matanya berpindah dari Zavan ke Revie, gesturnya cukup kentara karena kaget melihat Revie. Fark! Kenapa sih orang tidak bisa biasa saja kalau melihat Revie. Seperti Bagas dan… siapa cowok brengsek itu, yang namanya seperti merek obat batuk. Oh, iya, Vick! Kenapa mereka tidak bisa seperti Bagas dan Vick!? Exhausted!

Kemudian mata cowok bernama Tivo itu berpindah ke arahku, alisnya berkerut samar, meneliti wajahku. Setelah setengah menit dia menatapku, barulah dia memindahkannya ke Zavan lagi. Dia membetulkan jaketnya sebelum berujar. “Deal.”

WHAT!!! Dia mau gabung dengan kami. Maksudku, kalau aku punya pilihan, aku pasti akan menolak. Sedangkan kalau sudah berada di dalam society ini, cowok berwajah bule gila itu pasti tidak akan mengizinkan kami keluar. Apapun caranya, dia pasti akan terus merecoki. “Dia gila juga kayaknya Rev,” bisikku pada Revie. “Mau-maunya ikut gabung.”

Revie kembali tergelak. “Biarin ah. Seru tau punya geng kayak gini.”

Aku mendengus. “Kalo gue mah berdua sama lo aja udah cukup.”

Gelakkan Revie makin menjadi. Beberapa orang menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Nggak seru tapi kalo cuman berdua. SD berdua, SMP berdua… sekali-kali kita punya geng lah. Masa duo terus. Udah kayak T2 aja. Bilang saja… OK!” Revie menutup ucapan terakhirnya dengan lagu. Membuatku tertawa pelan bersamanya. Ah, andai dia tahu, berdua seperti ini saja sudah cukup. Tapi kalau Revie mau punya geng, ya sudah. Aku menurut saja.

***

Ternyata Zavan tidak seburuk apa yang kupikirkan pertama kali. Walaupun dia mempunyai sifat begitu, tetapi dia bukan orang yang suka pamer atau menyombongkan diri. Sisi lainnya, dia juga orang yang royal dan tidak pelit. Tiga bulan kami bersama, Zavan selalu membelikan Revie ini-itu, dan dia melakukannya dengan senang hati. Saat kutanya pada Zavan apakah dia mempunyai maksud terselubung pada Revie, dan jawaban yang dia berikan hanya tiga kalimat: diakan sahabat gue. Dari situlah aku merubah pandanganku tentang Zavan. He is a good bestfriend.

Bulan pertama kami berteman dan masuk di sekolah ini, kami berempat memang mengatur jadwal pelajaran kami secara bersamaan. Kecuali hari Jumat, tentu saja. Aku suka homeroom Physical Education, Revie suka homeroom Physics atau Chemistry atau Mathematics, pokoknya yang seputaran tentang rumus-rumusan. Euh, kalau aku mah lebih baik ditembak Hitler daripada mengambil pelajaran itu sebagai mata pelajaran tambahan.

Tivo lebih suka masuk homeroom Digital Arts. Sedangkan Zavan, dia akan masuk homeroom mana saja selama yang mengajar teachernya cakep, nggak tua, pantatnya seksi, bibirnya menggoda dan menggairahkan. Krik krik!

Astaga! Aku lupa bilang ya pada kalian kalau kami berempat sudah saling mengetahui orientasi seksual kami masing-masing. Itupun gara-gara Zavan sebenarnya. Orang paling suka blak-blakkan di seluruh dunia. Jika dia membuka mulutnya, dia akan mengucapkan semua kata dan kalimat yang ada di pikirannya. Entah itu ucapan yang bagus untuk di dengar telinga ataupun ucapan yang akan membuat telinga dapat dosa nantinya.

Satu bulan pertama kami bersama, kami cukup… well, katakan saja dikenal banyak orang. Mereka segan padaku karena saat di MOS hari terakhir aku membentak semua seniorku. Sorry ya, aku bukan orang yang suka dibentak-bentak terus, jadi aku membentak mereka balik. Alhasil, mereka takut padaku. Sedangkan Revie… sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Kalau Tivo, dia disegani karena dia orang kaya. Lagi pula, kata teman-teman SMP nya, Tivo itu jahat kalau sudah membuka mulutnya yang sering terkunci rapat. Aku tidah tahu jahat dalam bentuk apa. Kalau Zavan, euh, dia berlidah tajam… dan punya pikiran yang sangat kejam. Beware lah kalau sama cowok bule gila satu itu.

Kami membuka kedok orientasi seksual kami waktu di DisCaf. Zavan yang matanya suka jelalatan dengan riangnya melirik kesana-kemari. Kemudian matanya yang berwarna biru mengerikan itu berhenti di kumpulan anak-anak cowok grade 12.

Look at that!” serunya sembari menunjuk seorang cowok berotot besar sepertiku dengan dagunya. “I like him, gawd! Hawt!” Zavan tertawa kecil. Membuatku dan Revie saling bertukar pandang aneh. “Gue mau banget cipok bibirnya, terus ngerasain penisnya di dalem mulut gue. Ouch, pasti seru.”

Mulutku dan mulut Revie sontak menganga lebar. Tivo saja yang daritadi sibuk dengan sesuatu di iPadnya ikut mendongak menatap Zavan dengan raut wajah sangat-sangat kaget. Well, kan kami kala itu belum saling mengetahui orientasi seksual kami yang sebenarnya.

Sadar diperhatikan seperti itu, Zavan menatap ke arah kami dengan pandangan malas. “Why guys?” tanyanya santai, seolah-olah tadi dia sedang membicarakan hal yang tidak tabu. “Ngeliatin gue segitunya banget. Biasa aja kali.”

“Kamu…” Revie menggantung ucapannya.

“Ya, ya, ya,” ujar Zavan cepat. “I’m gay. And I’m gayhappy.”

Really?” tanyaku dan Revie bersamaan.

Zavan menyeringai. “Certainly,” sahut Zavan. “Ngapain gue bohong, nggak ada gunanya.” Zavan menyeruput Chip Mint-Lattenya. “So… what?”

Aku hanya menaikkan pundakku tinggi-tinggi, tidak tahu harus berkomentar apa. Tivo yang tadi menatap langsung ke arah Zavan kini sudah balik lagi ke iPadnya. Sedangkan Revie yang duduk di sebelahku tersenyum penuh arti ke Zavan. “Aku juga… gay. Kayaknya sih gitu.” Zavan terlonjak dari dudukannya dengan raut wajah ceria. Aku dan Tivo sontak langsung menatap ke arah Revie. Well, aku tidak kaget, tentu saja. Kan dia suka dengan Bagas. Dan Bagas itu laki-laki.

Enchanté!” seru Zavan. Bibirnya yang ranum tersenyum lebar. “Gue kira hanya gue sendiri yang…” dia menurunkan volume suaranya. “Gay.” Revie hanya tersenyum lebar sambil mengedikkan bahunya. “Jadi… gimana menurut lo cowok yang gue bilang tadi?”

Revie kembali menatap cowok yang penisnya ingin Zavan rasakan di dalam mulutnya. “Ganteng sih, tapi bukan tipe kesukaanku.” Revie memindahkan tatapannya ke society gabungan dari grade 11 dan grade 12. “Aku selamanya akan suka sama dia.” Kami bertiga serentak mengangkat kepala kami untuk menatap cowok yang ada di arah pukul jam dua. Dan… shit! Tentu saja dia menunjuk Bagas.

“Cowok yang itu?” tanya Zavan, menunjuk Bagas dengan dagunya. Revie mengangguk pasti. Mata Revie yang bulat dan hitam sempurna berubah lembut ketika menatap wajah Bagas. Kepalanya terteleng ke samping, bibirnya tersenyum lebar. “Menurut gue orang itu nggak ganteng-ganteng amat. Kok lo bisa suka sih?”

Tatapan Revie berpindah ke arah Zavan. “Walaupaun wajahnya nggak ganteng, tapi hatinya yang ganteng.” Revie berkata dengan nada teguh. “Aku… suka aja sama dia.” Pembicaraan pun selesai saat itu juga. Karena Tivo yang sedaritadi diam, tiba-tiba membuka mulutnya.

“Gue rasa… gue ini biseksual.” Karena kami capek daritadi kaget-kagetan terus, jadi kami hanya memasang wajah datar. Ingin menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan oleh Tivo, namun dia memang orang yang benar-benar pendiam. Meskipun kami sudah menatapnya lekat-lekat, dia tetap saja diam. Matanya menerawang, raut wajahnya berubah malas. Euh, memang susah kalau ngomong sama orang yang suka puasa bicara.

“Kayaknya gue juga bisek deh,” kataku cepat. Daripada tidak ada yang bicara.

Revie menatapku dengan dahi berkerut. “Masa sih?” tanyanya dengan suara terkejut.

Well… yeah.”

Zavan hanya menatapku sebentar, sebelum dia memainkan matanya ke arahku dan ke arah Revie secara bergantian. Aku mengerti siratan itu. Aku tahu kalau Zavan mengerti jika aku menyukai Revie. Jadi dia tidak terlalu kaget mendengar pengakuanku. Kakak cowokku saja dengan mudahnya menebak hal itu. Katanya aku terlalu kentara menunjukkan rasa sukaku pada Revie. Nenek-nenek katarak saja pasti bisa tahu arti tatapanku untuk Revie.

Mengapa aku bilang aku bisek? Itu karena aku pernah membuat sebuah hubungan dengan seorang cewek saat aku SMP. Rencananya sih untuk membuat Revie cemburu. Tapi, ternyata dia tidak menunjukkan rasa cemburu sedikit pun. Walaupun aku menyukai cewek yang kala itu menjadi pacarku, rasa sukaku pada Revie lebih besar. Daripada aku dan dia makan hati, jadi lebih baik kami putus. Dan sekarang, tujuanku hanya satu, membuat sahabatku jatuh cinta padaku. Meskipun sangat sulit melakukannya.

Baiklah, sekarang lupakan tentang cinta-cintaan. Mari kita bahas sekolah yang sudah menjadi tempatku belajar selama tiga bulan ini. Yang artinya disini adalah… sekolah ini mengajarkanku untuk menjadi orang yang kuat. Kuat ketika dilirik dengan dengki, kuat ketika mendengar nada-nada mencemooh, kuat dengan desisan the haters dan kuat untuk banyak hal lainnya. Sekolah sialan ini seperti perumahan setan. Semua orang yang ada disini berlomba-lomba untuk menjadi orang yang sangat populer. Yang disegani dan dihormati. Mereka akan melakukan segala cara… yang terpuji maupun yang ter-menjijikan sekalipun.

Ada beberapa golongan society di sekolah ini. Yang pertama adalah society untuk para cowok. Di sekolah ini kami menyebutnya dengan Flocks. Cowok-cowok yang beranggotakan lebih dari tiga orang. Sedangkan untuk yang ceweknya diberi nama Clique. Cewek-cewek yang tergabung di dalam Clique adalah sekelompok cewek yang akan saling berlomba-lomba untuk menunjukan fashion mereka. Sedangkan yang cowok… akan menunjukkan Flocks siapa yang lebih unggul. Yah, sekolah inikan memang bodoh!

Bagaimana dengan yang diluar Flocks dan Clique? Oh, mereka akan diberi nama Bevy. Gabungan dari sekumpulan cewek-cewek dan cowok-cowok. Aku hanya tahu beberapa Bevy di sekolah ini. Itupun Bevy yang—I hope they die young—sok alim. Yang akan menyebarkan brosur tentang indahnya damai dan bla bla bla fucking lainnya. Biasanya, Bevy yang sok alim seperti inilah yang akan menjadi musuh paling licik.

Jika Clique, bah, mereka lebih mementingkan gaya daripada cowok. Jadi… Clique tidak terlalu kuketahui. Palingan aku hanya tahu Sisyl, alpha Clique norak yang pernah nembak Revie di depan semua orang. Yang akhirnya ditolak dengan Revie secara halus. Ya, iyalah Revie nggak mau. Sama aku aja dia masih ogah, apalagi sama cewek. Fuck your Vagina off you stupid lass!

Flocks yang aku tahu hanya sekumpulan cowok-cowok tucky yang menamai diri mereka Homophobia. Atau yang lebih pantas disebut Bitch Parade. Euh, sekumpulan gigolo-gigolo tidak laku yang lebih baik segera dimusnahkan dari dunia ini. Alpha mereka, yang namanya Peter itu sangat menyebalkan. Hanya Flocks mereka saja yang suka mencari masalah. Walaupun tidak pernah mencari masalah secara langsung padaku dan Flocksku.

Selain Peter si manusia berwajah Satan itu, berhati-hatilah dengan double slut. Mereka berdua adalah cowok jahat yang akan mengintimidasimu di saat kamu lengah. Sudah ada beberapa cewek dan cowok lengah yang menjadi korban mereka. Biasanya korban double slut akan takut untuk menginjakkan kaki mereka ke sekolah ini lagi. Double slut terdiri dari Diaz dan Wira Priharto. Sebenarnya hanya Diaz yang jahat, sedangkan Wira orang yang baik tapi mudah dipengaruhi. Wira teman SMP ku. Aku cukup mengenalnya, makanya aku kaget ketika dia masuk di golongan double slut. Ckckck!

Lupakan semua itu lagi! Sekarang… aku ucapkan selamat datang kepada kalian yang sudah mengenal sekolah sialan ini. Sekolah yang sangat mirip reality show. Sebagian besar orang yang bersekolah disini ekonominya pasti tinggi. Hanya ada beberapa ratus, atau mungkin hanya ada beberapa puluh anak yang mendapatkan beasiswa seperti Revie. Yang pintar di sekolah ini, bisa kukatakan pasti hanya ada beberapa saja. Anak-anak beasiswa karena kepintaran benar-benar dituntut untuk menjunjung tinggi nama sekolah ini baik-baik. Agar sekolah mereka dikenal sebagai penghasil anak-anak pintar. Bukan bitch parade!

Tetapi jika ditanya, aku tidak akan menyesal karena bersekolah disini. Banyak pengalaman yang bisa kupelajari. Lagi pula, sistem pengajaran dan pelajaran di sekolah ini bagus. Guru-gurunya profesional, sudah seperti dosen-dosen di Universitas Wina yang kutemui beberapa minggu yang lalu. Saat Revie pergi ke Wina—dan dia boleh mengajak satu orang, kemudian dia memlihku—untuk beberapa hari buat mengikuti olimpiade Kimia dan Fisika disana. Dan… well, dia menang. Nama DIS, makin terkenal di Wina akibat hal tersebut.

Sekolah ini juga makin menarik ketika kami mendapatkan murid baru pindahan dari New York. Zavan bilang dia mengenal cowok itu saat kami sekelas di homeroom Biology. Kata Zavan cowok itu temannya di Manjam dan di Hornet. Situs gay dan chat. Aku tidak benar-benar mengerti sih buat apa Manjam dan Hornet, seperti orang desperate saja kalau sampai main di situs gay seperti itu. Meskipun kata Zavan itu adalah situs untuk mencari teman yang nasibnya sama. Bah, nasib apaan? Memangnya jadi gay bakalan nggak punya temen gitu?

Balik lagi. Murid baru itu sukses jadi sasaran Peter. Cowok berwajah satan itu mengganggunya, kemudian menguncinya di bilik WC yang ada di belakang sekolah. Untung saja kala itu Revie mengajak kami pergi ke belakang sekolah untuk mencari tanaman paku or whatever yang menjadi tugas kelompok di pelajaran Biology. Jeritan lirihnya lah yang akhirnya membuat kami menolongnya. Saat kami berkenalan dengan murid baru itu, kami tahu dari cara bicaranya kalau dia adalah orang yang sombong. Serta… wajahnya benar-benar terlihat kejam. Bahkan lebih kejam dari si Diaz double slut itu.

Namanya Sid, by the way. Zavan dan Revie merekrutnya sebagai Flocks kami. Akhirnya kami genap—atau ganjil—berlima. Meskipun aku tidak terlalu peduli. Tetapi adanya Sid di dalam Flocks kami, makin banyak orang yang bergunjing. Apalagi setelah mereka tahu siapa itu Sid. Hiii, aku saja merinding saat baca artikel panjang tentang cowok itu. Dia pernah membuat banyak orang sengsara… dan dia melakukan hal itu hanya untuk kesenangannya.

Tetapi aku salah, dia melakukan hal itu karena semua orang itulah yang mengganggunya terlebih dahulu. Dia hanya ingin menjaga harga dirinya. Kesombongan yang ada di dalam dirinya tidak mau dia jatuhkan begitu saja. Meskipun dia sudah agak melunak sekarang gara-gara dia dekat dengan musuh besarnya yang ternyata teman seks pertamanya. Adam. Sahabat dekat Bagas. Euh!

“Gue kira lo sama Vick bakalan ngancurin liftnya,” ujar Zavan tiba-tiba, menarikku kembali ke dalam duniaku yang sekarang.

Aku menghadapkan kepalaku ke arah lift. Oh, iya, kemarin aku dan Vick se-lift. Tapi tidak terjadi apa-apa di antara kami. Lagi pula itu sudah ke-empat kalinya aku se-lift dengannya. Vick dan aku tidak akan berkelahi jika di tempat sepi. Malas. Bisa-bisa nanti tidak ada yang melerai kami, dan kami berdua akan saling bunuh lalu rest in peace. Sorry ya, sebelum dapat Revie aku tidak mau mati dulu.

“Tapi baguslah, jadinya kita nggak bakalan naik tangga.” Sid berkata dengan nada sombongnya. Dia memang tidak sedang sombong, hanya saja nada suaranya memang seperti itu. Jadi, aku sudah terbiasa.

“Kok kalian berdua kemarin nggak berantem?” tanya Revie yang berdiri di sebelahku.

Semua orang tahu kalau aku dan Vick saling membenci. Suka berkelahi setiap kami melihat wajah masing-masing. Aku juga tidak tahu kenapa setiap kali aku melihat wajahnya, dia akan memasang raut jijik untukku. Tentu saja amarahku naik gara-gara ditatap seperti itu. Lagipula dia pikir dia siapa. Kami sudah beberapa bulan di sekolah ini, tapi aku belum dapat petunjuk apapun tentang mengapa dia bisa sebegitunya membenciku. Kalau dipikir-pikir lagi dengan seksama, apakah dia benci padaku karena aku pernah menabraknya dan menumpahkan Pop Ice ku ke bajunya. Euh, kayaknya enggak deh. Pasti ada hal lain.

“Lagi nggak kepengen berantem. Males.” Aku menyilangkan tanganku di depan dada.

SCUSE me?” seru Zavan tak percaya. “Emang bisa gitu kalian berdua nahan berantem kalian?”

Aku mendengus. “Well, ya.”

Congrat then,” celutuk Zavan. “Gue kira kalian nggak bakalan bisa. Secara kaliankan selalu berantem setiap kali ketemu muka. Udah kayak Tom & Jenny aja.”

“Jerry,” koreksi Tivo.

“Ya, ya, ya, whateva!” Zavan menekan kuat-kuat tombol lift. Pintu yang terbuat dari besi itu daritadi belum terbuka-buka juga. Lift sekolah ini memang agak lama. Mungkin karena banyak yang menggunakannya. Sedangkan lift yang satunya ukurannya kecil, mana muat untuk kami berlima. Itu lift hanya untuk tiga orang saja. Euh, seharusnya lift-lift yang ada di sekolah ini diperbesar dan dipercepat.

Suara baru tiba-tiba menghampiri telinga kami. “Hai, yank.” Aku dan yang lainnya langsung menengok ke arah Adam, yang kini sudah melingkarkan tangannya di pundak Sid. Wajah Adam yang sumringah menatap Sid dengan tatapan yang sangat-sangat… apa ya? Pokoknya tatapan orang yang sedang jatuh cinta. Apakah tatapanku ke Revie seperti itu juga? Haaa… bisa jadi. Mulai sekarang aku harus memasang ekspresi biasa saja untuk Revie. Agar tidak terlalu kentara aku menyukainya.

What is that ‘yank’?” tanya Sid bingung, raut wajahnya yang sombong beralih ke Adam.

Adam memain-mainkan alisnya. “Yank itu artinya sayang.”

Aku dan Zavan langsung membuat ekspresi pura-pura ingin muntah, sedangkan Revie tertawa kecil. Tivo menatap Sid dan Adam secara bergantian, lalu kepalanya menggeleng-geleng. Wajah sombong Sid bersemu merah. Sedangkan Adam malah mempererat lingkaran tangannya di pundak Sid.

Tawa Revie tiba-tiba terhenti saat seseorang dengan badan yang tinggi dan tegap berdiri di sampingnya. Badan Revie menengang, pegangngan tangannya yang tersampir di seragamku makin erat. Wajahnya lebih bersemu merah daripada Sid. Matanya yang lebar melotot salah tingkah dan kakinya agak gemetaran. Aku mengernyit bingung melihat ini, lalu kupindahkan tatapanku ke samping Revie. Krik, ternyata gara-gara itu toh.

Bagas dengan kaus jersey nya sedang berdiri di samping Revie dengan style sok berwibawa. Cowok bergaya dandy itu memasang raut wajah dingin. Wajahnya tidak tampan, tapi… ck, entahlah. Rambutnya yang hitam dan sedikit agak terurai sengaja diacak-acak, agar lebih bergaya zig-zag dan kewl. Ick, malasnya sama orang satu ini! Kenapa sih dia harus berdiri di samping Revie!? Kenapa dia tidak jauh-jauh saja dari kami!?

“Hari ini emangnya ada pertandingan ya Gas?” Suara Zavan tiba-tiba hadir untuk bertanya.

Wajah Bagas yang sinis berpaling ke arah Zavan, dia memasang senyum misteriusnya. “Ada. Lawan grade 12.”

“Wah!” seru Zavan kencang. “Gue sama Revie kayaknya bakalan nonton nih. Iya nggak Rev?” Zavan seketika langsung berdiri di depan Revie. Tangannya yang panjang itu menarik lengan Revie dengan antusias yang dibuat-buat. Aku menggeram tidak suka, namun Zavan tidak memperhatikan. “Gue sama Revie bakalan ngedukung lo pastinya. C’mon grade 11!” Zavan memasang senyuman lebar.

“Yeah!” kata Revie kaku.

Bagas menggerling Revie beberapa nano sekon. Wajahnya yang sok kewl itu kemudian berpindah ke Zavan lagi. “Oke. Wait you there.”

Ting!

Lift pun terbuka. Aku cepat-cepat menarik lengan Revie dan mengajaknya masuk ke dalam lift. Zavan dan Tivo mengikuti dari belakang. Kemudian disusul dengan Sid dan Adam. Sedangkan Bagas hanya berdiri di depan kami tanpa ada tanda-tanda ingin masuk. Saat ditanya, dia bilang akan naik lift yang satunya saja. Soalnya lift ini sudah penuh. Baguslah kalau begitu! Lebih baik dia pergi jauh-jauh saja sana.

Ketika lift tertutup, barulah Revie bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Zavan menepuk pundak Revie pelan. “Lo nyantai ajalah kalo deket Bagas Rev,” kata Zavan sok mendidik. “Jangan kaku dan salting gitu. Malah ngebuat lo kayak orang… dungu. Kan lo orangnya pinter. Selalu diajak kemana-mana kalo ada olimpiade tentang pelajaran. So, stop being so clumsy.”

“Nggak bisa Zav,” kata Revie. “Aku nggak bisa. Jantungku selalu deg-degan kalo Bagas ada di sekitarku. Aku nggak bisa mikir jernih.”

“Lo suka sama Bagas, Rev?” tanya Adam tiba-tiba.

Revie mengalihkan tatapannya ke arah Adam dengan takut-takut. “Hmm, iya. Jangan kasih tau dia ya. Ntar dia malah makin nggak suka sama aku.”

Kami berlima—termasuk Adam langsung menatap ke arah Revie dengan raut bingung. “Emang dia nggak suka sama lo ya?” tanya Sid kemudian.

“Mungkin aja. Soalnya dia nggak seneng gitu sama aku.” Revie berujar sedih. Tanganku gatal sekali ingin meninju wajah Bagas karena sudah membuat Revie sedih seperti ini.

“Nggak mungkin lah dia nggak suka sama lo.” Zavan mencoba menghibur, suaranya yang berisik menenangkan Revie. “I mean, lo itukan orangnya baik. Udah kayak Ibu Peri yang main di sinetron Kisah Sedih di Hari Senin.”

“Minggu,” koreksi Tivo.

Zavan berbalik ke arah Tivo. “Suka-suka gue dong. Mau Senin kek, Jumat kek.” Zavan menjulurkan lidahnya dengan gemas ke arah Tivo. Sedangkan Tivo hanya mengernyitkan wajahnya dan kembali ke pikirannya lagi. “Just be yourself ajalah Rev. Iya nggak And?” tanya Zavan seketika padaku.

Aku hanya menaikkan pundakku tidak peduli. Buat apa juga? Kalau aku peduli lalu Revie dan Bagas jadian bagaimana. Errrr, I won’t let do that.

Ting!

“Gue sama Adam turun disini, Flocks,” kata Sid membuyarkan lamunanku. “Mau ke klub  Baseball bentar, ada urusan penting. Ntar sekitar jam setengah sepuluh kita ketemu di DisCaf ya.” Kemudian Sid dan Adam mengelonyor keluar dari dalam lift.

“Gue juga. Mau ke klub Catur.” Tivo yang tadi berdiri diam dengan manis di belakang tubuhku tiba-tiba angkat suara. Tubuhnya yang agak kurus dengan lincah melewatiku.

See ya all,” kata Zavan sembari melambai-lambaikan tangannya. “Oh, by the way Sid and Adam, kalo ternyata klub Baseball kalian sepi dan kalian mau melakukan hal yang…” Zavan memasang wajah menggoda. Aku dan Revie tertawa pelan. “Pokoknya, safe sex ajalah ya.”

Ting!

Lift tertutup saat Sid baru saja ingin menghampiri Zavan ke dalam lift dengan raut wajah siap menerkam. “Sehari aja mulut lo diisolasi Zav, pasti dunia ini tenang dan damai sentosa.”

“Eww!” kernyit Zavan jijik. “Lo kedengeran kayak BevyBevy sok alim itu deh.” Revie tertawa kencang, sedangkan aku sedang mencoba menahan emosiku. Ah, percuma saja marah-marah dengan Zavan, dia pasti tidak akan mendengarkan amarahku.

Saat sudah sampai di lantai tiga, Revie melepaskan tangannya yang ada di seragamku. Aku merasa kehilangan, tetapi mau bagaimana lagi. Kami beda klub. Dia di anggota student organization, sedangkan aku di klub karate. “Kalian berdua bakalan nonton Bagas ya?” tanyaku pada saat berada di luar lift.

“Yep,” sahut Zavan. “Hari ini klub anggar gue lagi nggak ada pertemuan apa-apa. Jadinya, daripada bengong lebih baik ke lapangan sepak bola terus nonton cowok-cowok macho nendang bola.” Zavan merangkul pundak Revie. Biasanya aku akan cemburu, tetapi karena aku tahu Zavan tidak akan mau dengan Revie, jadi aku tidak merasakan sengatan cemburu sama sekali. “Setelah nganterin Revie ngasih proposal keuangan student organization-nya dulu, tentu.”

Nah, yang membuatku cemburu itu si Bagas ini. Revie akan menonton Bagas di lapangan sepak bola itu. Kenapa dia tidak menontonku latihan saja? Euh, sudahlah. Biarkan pertanyaan itu hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. “Have fun, then.”

Revie dan Zavan mengangguk serempak, sebelum akhirnya pintu lift tertutup dan menuju ke arah lantai empat. Damn, I’m so jealous rite now with that stupid guy! Bagas Prakos. Errr!

***

“Gue latihan sampe sore, kalian pulang duluan aja ya.” Aku berkata cepat di telpon saat Sid menelponku. “Kalo bisa Sid, anterin Revie pulang ya. Dia tadi sama gue, tapi karna gue masih sibuk di klub, jadi nggak bisa anterin dia pulang.”

“Sippo!” seru Sid. “Ntar gue sama Adam bakalan anter dia.” Kemudian suara berisik Zavan terdengar di telingaku. “Zavan bilang, tadi Revie dapet ciuman dari salah satu pemain sepak bola grade 12. Lo nggak cemburu kan?”

Tiba-tiba hatiku mendidih. “WHAT!!!” Aku berseru kencang. “Siapa cowok itu?”

Kemudian suara tawa menggema di ujung sana. Shit! “Kita cuman bercanda aja kali!” Suara tawa Sid dan Zavan terus berkumandang di telingaku. “Satu-kosong.” Lalu Sid mematikan sambungan telpon sebelum mendengar amarahku.

Aku membanting iPhoneku ke dalam handbag Adidas yang dibelikan Sid saat dia ke Bali kemarin. Aku mengacak-ngacak rambutku dengan rasa frustasi. Ada apa sih denganku? Mengapa aku terlalu suka seperti ini pada Revie? Aku sebenarnya suka atau hanya terobsesi menginginkan Revie untuk diriku sendiri? Ugh, hal ini benar-benar menyebalkan. Tidak baik menginginkan orang sampai sebuta ini.

Kulampiaskan semua amarahku ke latihan hari ini. Kutendang semua yang ada di depan mataku, kutinju semua yang berada di sekitarku. Aku benar-benar bingung. Jika aku menyukai Revie, aku pasti tidak akan merasa seingin ini menjadikannya milikku. Ini tidak sehat. Ini benar-benar bukan rasa suka… ini seperti obsesi pada sesuatu. Obsesi yang sia-sia. Dia menginginkan Bagas, bukan aku. Seharusnya aku segera menyerah. Aku melakukan hal yang tidak berguna. Menanti orang yang kumaui berbalik arah kepadaku.

Setelah selesai mandi dan membersihkan semua keringat yang menempel di badanku, aku segera menggunakan kaos Wallis-ku, celana Ted Barker-ku dan jaket FCUK ku lagi. Kulirik jam tangan E&M ku, shit! Mataku terbelalak saat mengetahui kalau sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Saking sibuknya emosi dan marah-marah, aku sampai lupa waktu. Teman-teman satu klubku sepertinya sudah pulang semua. Gosh! Harus cepat-cepat ini, sebelum dikunci disini. Pasti Pak Eko—satpam sekolah—lupa mengecek apakah ada anak yang masih di dalam sekolah. Eik, dia memang benar-benar satpam pelupa.

Kusampirkan handbag Adidasku di pundak, lalu segera berjalan ke arah pintu keluar klub Karate. Aku terhenyak saat baru saja membuka pintu. Si merek obat batuk sedang mengunci pintu klubnya. Klubku dan klubnya memang bersebelahan. Lihat dia! Bah, mentang-mentang dia penanggung jawab klub Taekwondo jadi dia harus selalu mengunci pintunya gitu. Klubku saja pintunya tidak dikunci. Lagipula siapa yang mau mencuri? Dasar aneh.

“Belum pulang Njing?” tanyaku sembari menepuk pundaknya dengan agak keras.

Dia terlonjak kaget, badannya yang hanya seukuran Revie berbalik ke arahku. “Belum Nyet!” ujarnya sambil menendang tulang kering kakiku.

Ouch! Sakit juga tendangannya. “Gue lagi males berantem ya,” ucapku, tanganku sibuk mengelus-ngelus tulang kering kakiku yang ditendang olehnya. “Mendingan gue pulang sekarang.” Lalu akupun berlalu dengan sesegera mungkin dari pandangannya.

Aku menekan panel lift dengan sekali sentak, satu menit lebih kemudian liftpun terbuka. Aku segera masuk dan menekan angka satu. Baru saja lift ingin tertutup, tiba-tiba si merek obat batuk masuk tanpa di undang. Baiklah, ini memang lift umum. Tapi… ahh, biarkan saja. Toh bukan sekali ini aku dan dia satu lift.

Kami terdiam beberapa saat, lalu pintu lift pun tertutup. Aku menekan kuat-kuat handbag Adidasku. Mataku sekali-sekali melirik ke arahnya. Wajahnya yang tegas namun lembut sedang menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya yang berwarna hitam dan agak panjang di depannya, jatuh ke keningnya lalu turun sedikit ke matanya. Tanganku gatal sekali ingin mengibas rambut tersebut. Namun aku cepat-cepat mengurungkan niatku saat dia mulai menggerakan badannya.

Lift baru sampai di lantai dua saat dia menatapku dengan mata sayunya. Mulutnya baru saja terkuak saat tiba-tiba lampu lift mati total dan lift bergoyang hebat. Tanpa aba-aba, tanpa sadar, dan seperti hipnotis, tangan kami terpaut menjadi satu. Tapi bukan itu yang kupikirkan.

Saat ini aku dan dia terjebak di dalam lift. Dan itu sangat berbahaya!

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–

Overcast Day (1)

DIS_

Chapter 1

Meet Myself

 

 

 

 

Kalau mau ditanya siapa itu Revie? Aku akan menjawabnya dengan lugas dan panjang.

Revie adalah sahabatku dari kecil. Sahabatku semenjak aku berumur lima tahun. Dia adalah anak kecil dengan senyuman paling sempurna yang pernah kulihat. Wajahnya persolen, matanya lebar, hidungnya sesuai dengan bentuk wajahnya, keningnya selalu berkerut ketika bicara, membuat wajahnya makin lucu dan tampan. Rambutnya hitam sempurna, tidak ada warna cokelat sedikitpun. Dan dia tidak pernah mencoba untuk mewarnai rambutnya seperti yang kakaknya lakukan. Dia lugu, polos dan selalu tersenyum walaupun sedang susah. Tingkahnya sederhana dan perkataannya halus serta sopan. Dia mirip sekali seperti malaikat versi manusia dan tanpa sayap.

Revie. Menyebut namanya saja selalu membuatku merinding karena mendambanya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku, tetapi aku sudah sangat jatuh cinta pada Revie ketika kami baru bertemu beberapa jam. Revie itu bisa membuat semua orang jatuh cinta padanya. Dia terlalu sia-sia jika tidak di jatuh cintai. Semua orang akan terkagum jika melihat wajahnya, semua orang akan berhenti bernapas jika melihat senyumannya, dan semua orang akan kelu lidahnya jika berbicara dengan Revie.

Aku masih ingat pertemuan pertama kali kami waktu itu.

Setiap pagi aku selalu bermain sendirian di depan rumah. Main Yo-Yo, main robot-robotan, main gasing dan lainnya. Tidak kusengaja, gasing yang kumainkan terlempar sampai ke depan gerbang rumah, dan ketika aku mau mengambilnya, aku melihat seorang anak laki-laki di depan gerbang rumah Pak Prakoso. Dia sedang memainkan kerikil-kerikil kecil. Wajahnya tersenyum, sinaran matahari pagi seakan-akan gembira bisa menari di atas wajahnya. Aku tertegun di tempatku, gasing yang tadi ingin kuambil terlupakan begitu saja.

Tanpa sadar aku sudah melangkahkan kakiku. Kedua robot yang kupegang di kedua tanganku ikut gemetar seperti kakiku saat ini. Langkahku yang pendek dan menghentak membuatnya mendongak dari kerikil-kerikil yang sedang dimainkannya. Tiba-tiba, senyumannya yang dikulum, berubah lebar ketika melihatku. Jantungku tiba-tiba rusak, seperti ada yang memompanya lebih cepat dari biasanya.

“La… lagi nga… ngapain?” tanyaku sedikit terbata.

Tangannya yang kecil menunjuk kerikil-kerikil itu. “Lagi main mobil-mobilan,” katanya ceria. “Ibu nggak bisa beliin aku mobil benelan. Makanya aku mainnnya pakek ini.” Aku terkejut dan ingin—hampir—tertawa secara bersamaan. Aku terkejut karena dia memainkan kerikil itu sebagai imajinasi mobil-mobilannya. Sedangkan aku ingin tertawa karena dia cadel. Dia sangat kaku mengucapkan huruf R. Yang seharusnya ‘beneran’ menjadi ‘benelan’.

“Kamu sendirian aja?” tanyaku, sekarang aku bisa agak santai di dekatnya. “Mana Ibumu?”

“Iya, aku sendilian,” ujarnya. “Ibu lagi kelja di dalem. Nyonya Plakoso nelima Ibu jadi pembantunya kemalin.”

Aku duduk di sebelahnya. Wajahku mengerut ketika dia menggeser-geserkan kerikil itu, dia benar-benar menganggapnya seperti mobil-mobilan. Aku terenyuh melihat ini, kemudian, “Ini buat kamu,” kataku sembari menyodorkan robot-robotan yang ada di tangan kananku untuknya. Sebenarnya aku sangat mencintai robot Power Rangers ku itu. Tetapi kalau itu untuk dia sepertinya tidak apa-apa.

Matanya yang lebar terbelalak kaget. “Buat…” dia menunjuk dirinya sendiri. Aku mengangguk absolut. “Makasih,” ucapnya dengan mata yang dihiasi baluran air yang hampir menetes, yang malah membuat wajahnya seperti mengeluarkan mutiara. Dia benar-benar sosok malaikat dalam balutan tubuh manusia.

“Sama-sama,” kataku, memasang senyum segagah mungkin. Dia lalu membalas senyumanku dengan berhiaskan gigi yang ompong. Dia mengangkat robot yang kuberikan padanya tinggi-tinggi di udara, dia menggoyang-goyangkannya. Seperti mengajak robot itu untuk terbang. “Nama robot itu Goggle V.” Aku memberitahunya, tanganku yang panjang menunjuk robot yang dia angkat tersebut. “Kalo yang ini namanya Rangers Saia.” Aku ikut mengangkat robotku ke udara.

Dia kembali memamerkan giginya yang ompong padaku. “Hiath!” serunya sambil menabrak robotku dengan robotnya pelan-pelan. Dia tertawa ketika mendapati aku terkejut, tak ingin kalah aku juga menyerang robotnya. Sepanjang pagi, yang kami lakukan adalah bermain bersama. Main gasing, main Yo-Yo, main kelereng, main petak-umpet berdua, main benteng-bentengan, main kartu Yu-Gi-Oh dan permainan seru lainnya. “Nama aku Levie,” dia menjulurkan tangannya, setelah enam jam kami bermain bersama baru sekarang dia memperkenalkan namanya. “Bukan L tapi L.” Aku tertawa, namun aku mengerti. Yang dia maksud adalah: bukan L tapi R. Jadi namanya adalah:

“Revie,” rapalku. Dan dia mengangguk. “Aku And.” Kusambut tangannya yang kecil. Kami berjabatan tangan lama. Kemudian saling melepaskan ketika Revie ingin bermain PS 1 ku di dalam rumah.

***

Sore harinya kami pergi ke depan komplek. Ingin membeli es krim yang sering berjualan disana. Mamaku tadi memberikan kami uang. Lalu dia menyuruhku dan Revie untuk pergi beli es krim. Mamaku senang karena aku bisa mempunyai teman. Biasanya aku akan sendirian, atau paling tidak main dengan kakakku yang cowok. Tapi sekarang umurnya sudah sembilan tahun, jadi dia tidak mau main denganku lagi. Yang masih berumur lima tahun. Alasan yang lain juga karena aku sering marah-marah padanya kalau aku kalah.

Tapi bersama Revie tidak. Meskipun aku kalah dalam permainan Gasing tadi, aku tidak mencak-mencak seperti biasanya. Ketika dia mengalahkanku telak di permainan Street Fighter—padahal aku sudah memakai karakter anadalanku, Ryu, dan Revie menggunakan karakter Chun-Li, bisa-bisanya Ryu-ku kalah dari cewek China sialan itu—aku juga tetap tidak marah atau langsung membanting stick PS seperti biasanya. Kalau dengan Revie… berbeda. Dia bisa menenggelamkan amarahku.

“Es klimnya abis,” ucap Revie datar. Mangkuk es krimnya sudah kosong melompong. Wajahnya penuh dengan usapan krim cair. Membuatnya makin lugu dan rupawan.

“Mau lagi?” tawarku, sembari menyodorkan es krimku.

Kupikir dia akan mengatakan: ‘tidak usah’ seperti anak sok polos lainnya, namun Revie beda. Wajahnya langsung cemerlang, bibirnya tersenyum lebar, tangannya yang kecil meraih mangkuk es krimku. “Makasih,” katanya dengan mulut penuh es krim.

Aku tertawa sendu. “Iya sama-sama.” Kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang. Badan Revie yang mungil mengikutiku dari belakang, tangannya masih sibuk mencolek es krim yang sudah habis. Wajahnya mengernyit saat dia sadar kalau es krimnya memang sudah tak bersisa sama sekali. “Habis ya?” tanyaku kemudian.

Dia mengangguk-anggukan kepalanya cepat. “Habis,” ujarnya. Dia menumpuk dua mangkuk es krim itu menjadi satu. Lalu dia berjalan cepat menuju ke tong sampah yang ada di taman komplek ini. Setelah dia memasukkan kedua mangkuk itu ke dalam tong sampah tersebut, dia berbalik pelan ke arahku. “Kata Ibu kita halus jaga kebelsihan.” Aku tergelak pelan, menatap wajah polosnya yang berumur lima tahun sepertiku. Sayangnya, badanku lebih besar darinya.

Ketika dia baru saja ingin berjalan menuju ke arahku, salakkan anjing terdengar nyaring. Dia langsung terhentak dari tempatnya berdiri. Wajahnya tertekuk ngeri, kakinya gemetaran, dan bibirnya menegang. Seketika itu juga aku tahu, dia takut dengan bunyi salakkan itu. Cepat-cepat aku berjalan menghampiri Revie yang sedang berdiri kaku. Kurangkul pundaknya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku memegang tangannya. Hembusan nafas Revie yang patah-patah menerpa wajahku.

“Atut,” lirihnya. Tangannya yang kecil menggenggam erat tanganku.

Seekor anjing terrier datang menghampiri kami. Salakkannya sangat kencang, moncongnya mencuat jahat, mulut panjangnya menyeringai, menunjukkan deretan gigi yang tajam. “Hush!” Aku mengusir anjing itu dengan takut-takut. Dan aku makin takut ketika anjing itu kembali menyalak. Revie langsung menaruh kepalanya di pundakku. “Pergi!” pekikku pada anjing itu. Namun tetap saja, anjing itu tidak bergeming sama sekali.

Sampai akhirnya. “Debbo,” seru seseorang, suaranya yang panjang memenuhi suasana sore ini. “Jangan ganggu!” Telinga anjing terrier itu berkedut, kemudian dia menghampiri sang suara. Salakkan anjing itu juga akhirnya sudah menghilang, membuat Revie menggadahkan kepalanya dari pundakku dengan takut-takut.

Akhirnya aku mengetahui siapa si empunya suara. Wajahnya hanya lebih tua setahun dariku. Dan dia adalah tetanggaku. Orangnya dingin, jarang tersenyum dan sinis. Bagas Prakoso. “Makasih,” seru Revie tiba-tiba, dengan wajah sumringah. Matanya yang bulat menyipit, bibirnya dipoles senyuman. Seakan-akan dia benar-benar berterima kasih dengan sangat-sangat tulus.

Bagas hanya menatap sebentar ke arah Revie. Alisnya yang berbentuk seperti musuh besarnya Power Rangers naik sebelah. Dia membuang pandangan dengan dengusan. Kemudian dia membawa anjing sialannya menjauh dari kami. Namun senyuman Revie dan wajah tergugahnya belum juga hilang. Seperti dia masih berharap penyelamat kami masih ada disini untuk menemani.

“Ayo, pulang!” ajakku cepat. Dengan hati-hati aku ingin melepaskan genggaman tangan kami, namun Revie malah mempereratnya.

“Aku nggak mau lepasin tangannya And,” serunya. Aku suka ketika dia memanggil namaku. Orang-orang biasanya memanggilku dengan sebutan ‘En’ sedangkan Revie memanggilku dengan sebutan ‘An’. Dia memberikanku nama panggilan lain dari yang lain. “Pokoknya aku nggak bakalan mau lepasin tangannya And. And halus ada disampingku telus. Levie nggak mau And lepasin tangan kita. Aku mau And selalu pegang tanganku.” Sesaat pandangan kami bertemu, pada detik itulah aku jatuh cinta padanya.

***

“Cerita yang lain aja Ma,” kataku, ketika Mamaku ingin membacakan kami dongeng Cinderella. Sudah tiga minggu ini aku dan Revie berteman, atau yang lebih tepatnya bersahabat. Malam ini dia menginap di rumahku, dan Mamaku sangat senang akan hal ini. Dari dulu dia ingin sekali aku punya adik. Paskah keguguran Mama beberapa bulan yang lalu akhirnya terobati ketika dia melihat Revie. Seketika itu pula Mamaku langsung jatuh hati pada Revie. Tapi memangnya siapa sih yang tidak akan terjerumus hal tersebut. Revie itu… bagaikan poros bumi. Menarik segala sesuatu yang ada di dunia.

“Yang mana? Pirates And Seven Seas?” kata Mamaku sambil memberikan Revie beberapa buku dongeng. “Atau Peterpan?” Mamaku mengacungkan buku bergambar cowok menggunakan baju hijau pekat tersebut ke hadapanku dan Revie. Sekali lagi, aku menggeleng bersamaan dengan Revie. “Terus yang mana?” kata Mamaku, suaranya agak frustasi, namun dia tersenyum ke-ibuan.

“Yang ini,” seru Revie tiba-tiba. Aku melongok dan terbelalak kaget ketika Revie menunjuk buku Snow White and the Seven Dwarfs. Itu sih sama saja seperti Cinderella. Sama-sama buku perempuan. Tetapi, apa boleh buat, aku selalu setuju kalau Revie yang menginginkannya. “Gambalnya bagus, ceweknya dicium.” Mamaku tergelak pelan. Sampul buku itu memang memasang gambar Snow White yang dicium si Pangeran.

“Kalau begitu yang ini ya,” kata Mamaku. Mulai membacakan dongeng tersebut dengan nada sangat halus. Benar-benar mirip seperti pendongeng. Revie memasang wajah tergugah, senyumannya mengembang. Namun wajahnya mengernyit ketika mendengar bagian Snow White yang dijahati oleh Ibu Tirinya. Dia memasang wajah kernyitan kasihan. Namun lambat-laun wajahnya berubah ceria ketika mendengar akhirnya, ketika mendengar Snow White dicium oleh pangeran berkuda putih, dan Snow sialan itu akhirnya bangun dari kematiannya. Pasti itu alasan Snow White saja, pura-pura mati agar dicium oleh pangeran. Ih, pangerannya juga genit, nyium sembarangan.

“Celitanya bagus!” seru Revie sembari menggenggam tanganku erat-erat. “Pasti Snow sama pangelan lagi hidup bahagia di kastil mereka sekarang. Snow sama pangelan itu tinggal dimana ya Ma?” tanyanya pada Mamaku. Yah, Mamaku memang menyuruh Revie untuk memanggilnya Mama.

“Itu bohongan,” sahutku. “Nggak beneran.” Memangnya, seberapa polos sih kamu Rev? Aku membantin kalimat tersebut.

“Tapi kalian bisa buat itu beneran,” kata Mamaku. “Hidup bahagia, itu pasti akan ada.” Mamaku tersenyum lebar ke arah Revie dan padaku.

Revie menyengir lebar. Giginya yang ompong menghiasi raut wajah terkagum-kagumnya. “Nanti kalau kita sudah besal kayak Snow dan pangelan, aku mau And yang jadi pangelanku ya,” serunya dengan nada antusias. Tiba-tiba wajahku bersemu merah, jantungku berdegup kencang. Sedangkan Mamaku hanya tergelak lembayung. “Pokoknya aku mau And yang jadi pangelanku, nggak mau yang lain.”

Wajahku makin bersemu merah, gelakkan Mamaku makin mengeras. “Aduh, Revie ini,” kata Mamaku, dia mengusap rambut Revie yang selembut satin. “Sudah ah. Sekarang waktunya tidur.” Revie mengangguk sembari tersenyum, sedangkan aku masih dengan rasa malu karena berdebar kencang. Pikiranku masih bergelanyut di: aku menjadi pangeran untuk Revie. Oh, gosh! “Selamat malam sayang,” ujar Momku sambil mengecup keningku dan Revie secara bergantian. Setelah Mamaku mematikan lampu, Revie menaruh kepalanya di dadaku. Dia tidur disana.

“Jantung And bunyinya besal banget. Aku suka dengelnya,” katanya lugu. Sedangkan aku panas-dingin menahan kegelisahanku. “Aku mau tidul di dadanya And ya. Bolehkan?”

Aku mengangkat tanganku dan mengusap pucuk kepalanya. “Bo… boleh.”

***

Setiap kami kemana-mana, tanganku dan tangan Revie akan selalu terpaut, dia tidak pernah ingin melepaskannya. Pagi hari kami bermain di perkarangan rumahku, siang hari kami berenang di belakang rumahku, sore hari kami jalan-jalan di sekitar komplek, malamnya dia pulang ke rumahnya. Namun, dari hal itu semua, tidak lupa kami untuk saling bergenggaman tangan. Kami… tidak terpisahkan.

Tetapi itu semua berubah ketika kami berumur sebelas tahun. Semua orang heran melihat kami yang kemana-mana selalu bergandengan tangan, Revie malu di cap sebagai anak penakut karena selalu menguntit di belakang tubuhku. Akhirnya, setelah lima hari ulang tahunnya, dia memberitahuku untuk tidak akan menggenggam tanganku lagi. Hanya saja, sebagai penggantinya, dia selalu memegang ujung kaos seragam atau bajuku.

Ketika kami SMP, dan pada Masa Orientasi Siswa, Revie pernah diganggu oleh kakak kelas. Semua orang yang melihatnya langsung terpana, dan menyuruhnya ini-itu, namun dengan nada menggoda dan mengelus-elus. Aku cemburu, aku marah. Setiap kali ada yang sok bermanis pada Revie, aku sangat marah. Aku tipikal orang yang pemarah, namun makin marah kalau Snow-ku digoda dan digelayuti orang lain.

Maka dari itu, setelah aku resmi menjadi anak SMP, aku memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler Karate. Supaya aku bisa menghancurkan dan meninju wajah orang-orang yang mau mendekati Snow-ku. Pokoknya, aku pangerannya. Tidak boleh ada yang lain.

Pada kenaikkan kelas dua, cadel Revie menghilang. Nada suaranya melembut dan ditemani dengan serak-serak basah. Makin menggoda beratus-ratus orang yang ada di SMP brengsek ini. Dia sangat sering tertawa, menyapa setiap orang yang tersenyum padanya. Selalu berbaik hati untuk menolong orang lain walaupun dia tidak dibutuhkan. Revie menjadi sangat populer, namun tetap, dia masih selalu mengekor di belakangku sambil menarik bajuku.

Pada hari Valentine saat kami kelas tiga SMP, Revie mendapatkan seluruh coklat dari penghuni sekolah ini. Aku dan Revie sampai-sampai harus menyuruh supir Papa untuk mengangkut coklat-coklat itu. Setelah coklat itu ada di rumahku, dia membagikan beberapa kepada keluarganya, lalu kepadaku, kemudian ke Dan—kakak laki-lakiku. Setelah itu dia menyelipkan coklat paling istimewa di kolong pintu kamar Bagas Prakoso bangsat itu. Setiap kali Revie melihat Bagas, dia selalu salah tingkah. Dan aku mengerti, sekarang Revie menginginkan sosok pangerannya adalah Bagas, bukan aku. Tetapi aku bukan orang yang suka menyerah, akan kudapatkan Snow-ku lagi bagaimanapun caranya.

Setelah coklat-coklat itu dibagikan, masih banyak coklat yang tersisa. Tetapi aku terkejut ketika mengetahui coklat itu habis dalam waktu empat belas jam, dengan Revie sendiri yang menghabiskannya. Aku tahu Revie memang rakus dan suka makan, tetapi ini… Tuhan! Aku benar-benar ternganga kagum.

“Lo makan semua coklatnya?” tanyaku masih tidak percaya.

Revie mengangguk polos. “Ini masih sisa satu,” katanya, sambil menyodorkankan sekotak coklat Cadburry. “Kamu mau?”

“Nggak ah,” kataku cepat. Aku tidak hobi makan coklat. Membuatku mual-mual.

Cengiran khas Revie menyeruak muncul di bibirnya. “Ya udah,” ujarnya, dia membuka plastik pembungkus coklat itu lalu memakannya dengan sangat lahap. Bahkan, setelah memakan puluhan atau malah ratusan coklat, dia masih kuat makan yang satu itu? Benar-benar unbelievable. Hanya saja, ketika dia mengunyah, wajahnya mengembung dengan begitu imut. Benar-benar membuatku mendamba dirinya.

***

Sebenanya aku ingin mendaftar di SMA Negeri Tuna Bangsa atau SMA Negeri Jayakarta. Tetapi, karena Revie mendapatkan beasiswa di Dominiquert International School—yang dikenal dengan sekolah-sekolah anak-anak sombong dan borjuis—aku juga terpaksa dan harus ikut bersamanya. DIS itu sekolah yang benar-benar megah dan besar. Tinggi dan luas. Dan jangan lupakan panjang. Sekolah itu sudah mirip seperti rumus matematika. Panjang kali lebar, tinggi kali luas. Dan itu benar adanya.

Revie mengekor di belakangku saat kami—atau yang lebih tepatnya aku—ingin mendaftar. Revie sudah diterima di sekolah Internasional ini. Jadi hanya tinggal aku yang mencoba peruntungan. Revie menunggu di aula saat aku melakukan tes pengetahuan dan interview dalam bahasa Inggris, sudah seperti mau melamar bekerja saja. Oh, iya, jangan lupakan juga saat salah satu staff sekolah ini bertanya berapa gaji Papa dan Mamaku, dan aku diwajibkan menjawabnya dengan jujur. Pasti ini ada hubungannya dengan kekayaan. Dimana-mana sekolah Internasional seperti itu. Kalaupun ada orang yang sederhana, itu pasti otaknya yang dicari. Seperti Revie. Agar sekolah ini tetap dipandang baik dalam artian munafik.

“Gimana tesnya?” tanya Revie saat aku sudah keluar dari ruangan.

“Susah,” ujarku cepat. Aku menekankan kedua jariku di pelipis mataku, mencoba menghilangkan lelah yang menggerayangin kepalaku. “Apalagi soal Matematika. Itu sebenernya soal apa rumus untuk buat seseorang stress sih?”

Revie tertawa renyah, mengundang beberapa mata yang tadi menatapnya makin tercengang karena terpana. “Berlebihan ah,” katanya lembut. “Ayo, kita ke kantin beli minum. Sambil nunggu pengumuman selanjutnya.” Revie menarik ujung kaosku pelan. “Tapi kamu yang traktir ya. Aku nggak punya uang.”

Setelah empat jam aku menahan senyumku, baru sekaranglah senyuman itu keluar. “Dasar,” kataku sembari mengusap rambutnya.

Revie memang bukan orang kaya, dia sangat miskin. Ayahnya hanyalah seorang buruh, hanya bekerja ketika ada proyek. Sedangkan Ibunya pembantu di rumah Bu Prakoso sampai sekarang. Kakak laki-laki Revie—yang wajahnya juga sangat tampan, tapi tidak setampan Revie—hanyalah seorang preman pasar muda. Namanya Raffi, orangnya urakkan, nakal dan mengerikan. Tetapi dia sangat peduli dengan keluarganya. Revie mempunyai enam adik. Dia delapan bersaudara, benar-benar keluarga yang besar, heh!? Dan dari semua keluarganya itu, mereka semua mempunyai wajah yang tampan dan cantik-cantik.

Adik ketiga Revie perempuan, namanya Ravina. Masih kelas dua SMP sekarang. Dia bisa sekolah karena dapat beasiswa. Adik Revie yang ke-empat perempuan, namanya Ravilia. Masih kelas enam SD. Dia bersekolah karena beasiswa juga. Adik Revie yang kelima seorang laki-laki, wajahnya benar-benar imut, namanya Revin. Kelas empat SD. Adik Revie yang ke-enam dan ketujuh—mereka kembar cewek-cewek—namanya Rita-Rati. Kelas dua SD. Sedangkan yang paling kecil masih berumur empat tahun, namanya Revandi. Uh, semua nama keluarganya berawalan huruf R. Ayah dan Ibu Revie juga. Nama mereka Rifky dan Riri. Benar-benar keluarga yang besar. Hanya saja, walaupun mereka keluarga yang besar, saudara-saudara Revie pintar-pintar semua. Kecuali Raffi dan Revandi, tentu saja.

Sedangkan aku, hanya mempunyai satu saudara. Adikku meninggal saat di kandungan. Sedangkan kakakku, si Dan menjengkelkan itu, sekarang kuliah di Queensland, Australia. Mengambil jurusan entah apa. Setiap kali dia pulang liburan ke Indonesia, dia pasti menggoda Revie. Menepuk bokong Revie, mencium pipi Revie, ck, benar-benar membuatku cemburu. Dan Revie, hanya diam saja dibegitukan. Dasar Snow White kegatelan. Pas kutanya, Revie hanya menjawab.

“Kak Dan lucu sih, suka deh pas dicium pipiku sama dia.”

Gosh! Dan! Lucu! Damn tralala-trilili. Muka Dan itu kayak sikat kloset, apalagi hidung Dan yang kelewat mancung, sudah seperti perosotan yang ada di TK ku dulu. Tapi aku tidak perlu cemburu, karena Revie hanya menganggap Dan kakak. Revie sadar kalau itu hanya candaan saja. Banyak cowok yang memang suka menggodanya, memegang wajahnya, mentoel dagunya, mengecup keningnya dengan kurang ajar. Pokoknya Revie seperti poros bumi—sepertinya aku pernah bilang.

“Pop Ice coklat satu sama Pop Ice vanilla blue satu,” kata Revie memesan minuman kami. Tidak lebih dari tujuh menit, minuman kami sudah jadi. Revie menyodorkanku Pop Ice coklat kepadaku, sedangkan dia Pop Ice vanilla blue. Revie itu suka dan sangat holic dengan warna biru, jadi dia suka mengendapkan warna biru di dalam tubuhnya.

Ketika aku baru saja berbalik, aku tidak sengaja—atau dia tidak sengaja menabrakku. Sehingga Pop Ice yang ada di tanganku tumpah di bajunya. “Shit!” serunya kencang. Suaranya bergetar karena jengkel.

Dia mendongakkan kepalanya kepadaku, dan aku juga menggadah untuk melihatnya. Pertama kali yang kulihat di dirinya adalah sudut bibirnya yang lancip dan tegas. “Sorry,” ujarku kemudian, masih sambil menatap sudut bibirnya. Aku penasaran, apakah rasanya enak saat aku menjilat sudut bibirnya itu dengan lidahku.

WOAH!!! Apa yang kupikirkan tadi? Gosh! Menjijikan. “Brengsek!” gerutunya padaku dengan penuh kebencian.

Kupindahkan tatapanku ke wajahnya. Rautnya tirus, tegas dan sedikit agak tajam. Tingginya hanya sebatas mataku. “Lo manggil gue apa?” tanyaku, kemarahanku mulai tersulut. Seperti api yang disulut bensin.

“Brengsek!” desisnya, tanpa memandangku, tetapi nada liciknya tertuju padaku.

“Lo…” kataku sembari mengangkat tanganku, gatal ingin meninjunya. Dan hebatnya lagi, dia tidak bergeming sama sekali. Hanya berdiri disana dengan gagah berani dan siap menerima terkamanku. Aku salut dengan keberaniannya.

“And,” tegur Revie dari belakangku. “Nggak usah pakek kekerasan. Ngomongin baik-baik aja.” Revie menurunkan tanganku, amarahku sirna seketika. Lagi pula, entah kenapa aku tidak sanggup ingin memukulnya. “Maaf ya,” kata Revie pada cowok yang masih diam di tempatnya berdiri. Matanya yang lebih lebar dari mata Revie menyipit. Aku terkejut ketika tidak mendapati tatapan tercengang cowok itu ke Revie. Biasanya cowok atau cewek yang disapa Revie akan tercengang dan terpesona. Tetapi cowok ini beda, seperti Bagas Prakoso bangsat itu.

“Ya,” katanya datar. Saat mata kami bertemu, dia cepat-cepat membuang wajahnya, begitu pula aku. Dari sorotannya, ada sesuatu yang menarikku. Entah apa, dia seperti… magnet bagiku. Dan aku adalah besinya.

Anjing! Aku ngomong apaan sih!

Cowok itu kemudian berlalu. Revie menuntunku ke meja kantin yang super-duper panjang. dia mengelus-ngelus punggungku, kebiasaannya untuk menghilangkan kemarahanku. “Serem amat sih, baru masuk kesini aja kamu udah mau nyari musuh.” Revie berkata sambil menyedot Pop Ice nya.

“Dia duluan sih. Manggil-manggil gue brengsek.” Aku menggerutu tidak jelas.

“Iya, iya, sabar-sabar.”

Kemudian, kemarahanku sirna. Bukan karena usapan dari Revie, tapi karena secara tiba-tiba perasaan itu menghilang sendiri. Aku juga bingung, biasanya aku marah akan sangat lama bisa disembuhkan oleh Revie. Sekitar lima belas menit atau dua puluh menit. Tapi ini, beberapa menit saja sudah menghilang. Cowok tadi… tidak bisa membuatku marah lama padanya. Dan sekarang aku bertanya pada diriku sendiri: kenapa bisa begitu?

***

MOS SMP sangat menyebalkan. MOS yang ini lebih menyebalkan lagi. Kami disuruh mencari koin yang disembunyikan di setiap sudut sekolah maha besar ini. Aku sudah kewalahan dari tadi karena tidak menemukannya. Sedangkan waktunya sisa beberapa menit lagi. Jika kami tidak menemukannya, kami disuruh memakai baju hula-hula ala penari Hawai, lengkap dengan batok kelapa sebagai BH nya. Dan… aku tidak mau melakukan hal memalukan tersebut di depan banyak orang.

Revie dijaga oleh senior-senior. Dia diperlakukan dengan begitu lembut. Dia tidak diizinkan melakukan apapun. Aku akan sangat senang jika menjadi Revie. Dia benar-benar beruntung. Tapi pas aku tanya padanya saat kami istirahat, dia bilang dia tidak suka diperlakukan begitu. Dia mau seru-seruan dengan yang lain. Dia benci diperlakukan istimewa. Sayangnya, sebesar apapun dia mencoba untuk ikutan bersama kami, dia tidak akan bisa. Semua senior cewek dan cowok itu menahannya. Kecuali Bagas Prakoso bangsat itu. Revie sangat senang—walaupun dia menyembunyikannya—saat tahu kalau Bagas juga bersekolah disini. Serta menjadi salah satu kakak senior kami. Ck!

Tapi lupakan itu dulu, sekarang kita harus fokus ke koin brengsek yang harus kucari. Namun tetap saja tidak ketemu. Karena sudah kewalahan, aku masuk ke dalam kelas ber-AC tiga yang menjorok ke arah tangga yang menuju ke lantai empat.

Aku merilekskan kakiku, memijat-mijatnya pelan. Menahan rasa pegal yang sudah menyinggahi lututku. MOS brengsek ini masih berlangsung dua hari lagi, dan selama itu aku akan terus tersiksa. Bukan karena disuruh-suruh yang tidak jelas. Tapi tersiksa karena melihat Revie yang dipeluk-peluk oleh senior-senior bajingan itu semua. Fark!

Kugadahkan kepalaku, untuk menghilangkan rasa marah dan lelah. Dan pada saat itu juga aku melihat sekeping koin yang berkilauan di dekat jendela kelas ini. Hatiku langsung melambung senang karena melihat koin itu. Aku cepat-cepat berdiri, lalu kujulurkan tanganku untuk mengambil koin tersebut. Dan pada saat tanganku menyetuh koin jahanam itu, ada tangan seseorang juga yang meraihnya.

Kupalingkan wajahku, lalu mendapati wajah cowok yang kemarin. Cowok yang memanggilku brengsek. Aku tidak mungkin melupakan wajahnya yang pas-passan dan tirus itu. “Lepasin!” desisku. “Gue duluan yang liat koin ini!”

Dia mendengus kasar. Wajahnya tidak menengadah ke arahku. Hanya terus terpaku pada koin yang kini sama-sama kami pegang. “Gue udah ngeliat koin ini sejak dari pas di tangga tadi.” Dia mendesis dengan penuh kebencian. Nada suaranya bergetar di dekatku, menahan emosi. Aku bisa merasakan kebenciannya padaku.

I’m sorry lewd!” seruku berang, namun tidak berteriak. “Gue udah ngeliat koin ini bahkan semenjak gue belum lahir.”

Lagi-lagi dia mendengus. “Gue udah ngeliat koin ini pas gue lagi sama Tuhan di Surga.”

Kemudian aksi saling dorong-doronganpun terjadi. Dia menjambak rambutku, aku menahan kepalanya. Dia menginjak kakiku, aku menggelitiki pingganya. Sampai akhirnya kami sama-sama terjatuh ke lantai dan terkurung di kolong meja. Dengan posisi aku yang berada di atasnya. Damn tralala-trilili, ini benar-benar menjengkelkan.

Karena badan kami terjepit, jadi kami tidak bisa bergerak sama sekali. Koin yang tadi kami rebutkan berada di gengaman tangan kami berdua. Dan hal ini sukses membuat nafasku memburu cepat. Kugelengkan kepalaku untuk mengusir rasa gusar. Lalu aku menatapnya. Aku terkejut ketika dia sedang menatapku. Tatapannya pertamanya berupa kebingungan. Berubah ke aneh lalu berubah ke tatapan kebencian kesumat. Di saat itu juga aku memasang tatapan yang sama. Dia pikir aku tidak akan membencinya juga.

Matanya yang lebar menyipit, membuat rongga paru-paruku menjadi sempit. Gosh! Dia menyetrum hatiku. Hangat tubuhnya mengaliri hangat tubuhku. Saat bibirnya terkuak, sudut bibirnya terangkat dengan begitu menggoda. Membuatku penasaran dengan rasa sudut bibirnya itu. Aku bahkan tidak pernah merasa sudut bibir Revie akan seindah cowok yang ada di bawahku ini.

Tetapi pikiranku buyar saat dia membenturkan kepalaku di alas meja. Ketika aku mengerang karena kesakitan, dia langsung meloloskan dirinya dengan berbagai cara. Dengan kepala yang masih pusing, aku mengejarnya dengan penuh kebencian dan kemarahan. Sumpah, rasanya benar-benar sakit.

Aku menarik kerah bajunya, membuatnya tersedak dengan sempurna. “Sakit Njing!” kataku dengan nada semarah mungkin. Meskipun aku tidak benar-benar merasakan kemarahan.

Dia kembali menginjak kakiku. Tanpa sadar aku melepaskan kerah bajunya. “Mampus lo Nyet!” Dia berteriak masih dengan nada yang sama. Nada penuh kebencian kesumat.

Saat dia berlari menuju ke pintu kelas, aku langsung mengejarnya. Walaupun kepalaku pusing dan kakiku nyeri karena perbuatannya, aku harus membuatnya sakit juga. Dia pikir aku tipe orang yang mudah menyerah. SALAH! Aku tidak akan menyerah sampai aku benar-benar puas.

Baru saja dia ingin keluar dari kelas, aku langsung menjerat lehernya dengan tanganku. Dan hebatnya, dia bisa meloloskan diri. Cepat-cepat aku memasang kuda-kuda, kemudian dia juga melakukan hal yang sama. Berarti dia bisa karate juga sepertiku. Atau mungkin yang lain.

“Gue nggak mau berantem,” ujarku kasar. “Kalo lo mau nyerahin koin itu sama gue, lo nggak bakalan luka sama sekali dan gue bakal maafin perbuatan keji yang udah lo lakuin ke gue.”

Wajahnya berkedut meremehkan. Tatapannya jatuh ke hidungku. “Lo pikir gue takut?” Nada suaranya teguh dan tegas. Oh, iya, jangan lupakan juga nada kebenciannya, yang mirip sekali seperti musuh besar Satria Baja Hitam.

Baru saja kami ingin saling menyerang, tiba-tiba bel berbunyi. Bel tanda kalau permainan menemukan koin ini sudah habis. Waktu kami hanya tiga puluh detik untuk kembali ke lapangan. Sedangkan aku berada di lantai tiga. Mana mungkin cukup waktunya sampai aku berlari menuju ke lapangan sambil menenteng-nenteng koin jahanam itu. Lagi pula koin itu masih ada di orang yang ada di hadapanku.

Dia juga sadar kalau kami berdua pasti akan kena hukuman. Jadi percuma saja daritadi kami berebutan koin jahanam tersebut. Benar-benar hari yang paling payah se-umur hidupku. Dibentak-bentak saat MOS, disuruh ini-itu, dan bertemu orang brengsek. Lengkap sudah daftar payahku untuk MOS hari ini.

Cowok brengsek itu berbalik, langkahnya panjang saat meninggalkanku. Di belakang badannya tertempel namanya yang tertulis di atas sehelai kardus. Kusipitkan mataku dalam-dalam, dan membaca namanya yang tertulis ringan di atas sehelai kardus tersebut. Dan namanya adalah: Vick Prapancanegara. Eik, namanya saja sangat jelek. Vick. Nama apa itu? Seperti nama obat batuk.

Tetapi aku sangat pensaran padanya, kenapa dia bisa begitu benci padaku. Benci yang penuh kesumat lagi. Memangnya apa yang telah kulakukan padanya. Pokoknya aku juga harus ikut-ikutan membencinya. Aku tidak mau berpura-pura baik di hadapannya. Toh, dia juga menunjukkan dengan jelas kebenciannya padaku. Bagaimana mungkin aku tidak melakukan hal yang sama. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku bukan orang yang mau mengalah.

Kuhembuskan nafasku sepanjang mungkin, sambil memikirkan cowok itu. Aku bingung sendiri dan merasa sangat frustasi. Sekali lagi kuhembuskan nafasku panjang-panjang, kemudian saat aku melangkahkan kakiku, hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah mencari tahu kenapa cowok bernama Vick itu sangat membenciku dengan penuh kesumat.

Dan risetpun dimulai!

–Ups, Bersambung to Chapter 2–

NB. Gak bakalan janji di update kapan. jadi pantengin terus ya Blogku. hahaha =D

thanks :*

Jangan lupa komen. Yang gak komen kusantet :p