Gone


Comes And Go Series

Gone

Trivial Story By. Rendi Febrian

 

 

Wortel, cek. Tomat, cek. Cabai, cek. Kentang, cek. Dan yang lain-lainnya, cek.

Kumasukkan semua bahan-bahan itu ke dalam keranjang belanjaanku. Kemudian kembali menyusuri setiap lorong supermarket ini dengan kaki letih. Bahan-bahan masakan yang akan kubuat malam ini sepertinya sudah lengkap. Namun seperti masih ada yang kurang, hatiku berkata seperti itu. Aku berhenti sejenak di depan tumpukan Drink & Swallow. Kupicingkan mataku, menyelusuri setiap rak dengan hati-hati. Ah, benar… Sampanye Chardonnay. Kuambil Sampanye itu lalu kumasukkan ke dalam keranjang belanjaanku, botolnya yang terbuat dari kaca terbentur kecil dengan kotak mentega.

Dengan langkah panjang aku berjalan menuju ke kasir. Keranjang belanjaanku sudah penuh, malam ini aku dan Seth—pacar cowokku, yang sudah bersamaku hampir enam tahun lebih—mau merayakan hari di mana kami akan resmi menjadi pasangan. Dia melamarku dua hari yang lalu, tepat di depan patung Liberty dan ditonton hampir seluruh turis yang ada disana. Aku kaget, tetapi aku juga senang. Kami akan menikah besok, semua hal telah diurus oleh Seth. Undangannya, tempatnya, makanannya dan yang lain-lainnya.

Setelah wanita paruh baya yang menjaga kasir itu memasukkan semua belanjaanku ke dalam kantong kertas, aku langsung mengambilnya dan berujar terima kasih padanya. Kupeluk dengan erat kantong itu di lengan kananku, lalu membuka pintu supermarket dengan tangan kiriku. Baru saja aku berada di luar, tiba-tiba ponselku berdering. Kukeluarkan benda itu dari dalam saku celanaku, kemudian menatap layarnya.

Seth, calling

Pada dering ketiga, barulah kuangkat ponselku. Suara Seth yang serak-serak basah, selalu bisa membuatku merinding. Tetapi merinding dalam artian yang baik, tentu saja.

“Kau dimana Jun? Aku akan menutup kedaiku lima belas menit lagi. Kau jadikan memasak lasagna dan chicken pot pie with mashed potato untukku?” Dia berkata dan bertanya dengan cepat. Daridulu, dari pertama kali kami bertemu dan berbincang-bincang, dia selalu seperti itu cara bicaranya. Tetapi itulah yang membuatku mencintainya.

Kuhembuskan nafasku perlahan, menghirup udara dingin bulan Desember secara perlahan dan membiarkan udara itu masuk ke dalam paru-paruku. “Dua puluh lima menit lagi aku akan sampai di rumah. Ini masih di supermarket yang ada di St. Lucas Avenue. Dan ya, aku akan memasakanmu kedua makanan itu. Tunggu saja aku di rumah.”

Kekehan lembut meluncur lembut dari hembusan nafasnya, kemudian menerpa lemah gendang telingaku. “Kau yakin bisa Jun? Aku tidak akan memaksamu buat memasak makan malam untuk kita berdua jika kau terpaksa. Kau ingat terakhir kali ketika kau memasak untuk kita berdua? Oven rusak, semua pisau jadi tumpul, dan dapur lebih kotor daripada dapur yang ada di kedaiku. Jadi… jika kau ingin membatalkannya, aku akan menerimanya sekarang.”

“Tidak, aku tidak akan membatalkannya.” Aku berkata tegas, nada absolut dan tak terbantahkan terdengar di pita suaraku. “Aku tahu aku tidak bisa memasak, tetapi malam ini aku akan benar-benar mencoba. Sekarang yang harus kau lakukan adalah menyalakan lilin di tengah meja, gunakan tuxedo terbaikmu, dan ketika aku memasak… kumohon dendangkan aku lagu kita. Blonde On Blonde. Oke?”

“Baiklah sayang,” ujarnya lembut, selembut sutra yang menjadi selimut kami berdua di dalam kamar. “Kau cepat pulang ya, aku merindukanmu.”

Aku tersenyum mendengar nada menggodanya. “Baiklah. Aku juga merindukanmu.” Untuk beberapa saat, tidak ada yang berkata-kata. Keheningan hampir digantikan dengan kasak-kusuk di ujung sana. Seth ingin mematikan sambungan telpon, cepat-cepat aku mengatakan apa yang ingin kukatakan daritadi. “Seth, aku mencintaimu, kau tahu itukan?”

Dalam bayangan pikiranku, bisa kurasakan mata berbinar Seth yang menatapku penuh arti. Aku ingin melihat matanya itu menatapku. Sekarang. “Ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.” Hanya itu yang ingin kudengar malam ini.

“Seth,” aku berujar lagi. “Kalau aku punya salah, kalau aku pernah membuatmu jengkel dan sering menyusahkanmu, kumohon, maafkan aku ya.” Aku tidak tahu kenapa aku berkata begitu, aku hanya ingin mengatakannya saja. Sekarang. Padanya.

“June Wijaya Pradakso,” katanya, menyebutkan nama panjangku dengan canggung. Aksen Amerikanya terdengar aneh saat menyebut nama belakangku. Nama Indonesiaku. “Kau tidak pernah mempunyai salah apapun, kau tidak pernah membuatku jengkel, dan kau tidak pernah menyusahkanku. Jadi tidak perlu meminta maaf. Kau tidak salah apa-apa. Yang harus kau lakukan sekarang adalah… cepat pulang dan masak makanan yang ingin kau buatkan untukku. Oke? Aku merindukanmu.”

“Ya, sayang. Aku juga.” Aku memasukan kantong belanjaanku ke dalam mobil. “Sampai bertemu di rumah.”

“Baiklah. Sampai bertemu di rumah.” Kemudian sambungan telpon terputus.

Ketika aku baru saja menutup pintu mobil belakang, tiba-tiba suara teriakan memenuhi malam yang sunyi ini. Kuputar arah pandanganku dan melihat seorang nenek-nenek berteriak lirih sambil menunjuk-nunjuk orang bertudung kepala yang melesat cepat menuju ke arahku. Suara melengking nenek itu kembali terdengar memenuhi malam. “Rampok!” teriaknya kalut. “Tasku dirampok oleh orang itu!”

Tangan ringkih nenek itu menunjuk orang bertudung kepala yang berlari ke arahku. Reflek aku menggerakkan badanku untuk mencegatnya. Tas berwarna perak dan agak berkilauan berada di dalam pelukan perampok itu. Saat rampok itu mendekatiku, aku langsung menghadang jalannya dan mencoba untuk merebut tas itu dengan sekuat tenaga.

“Lepaskan tasnya sekarang!” perintahku dengan suara berdesis. Jantungku berdegup kencang, antara takut dan gugup.

Dari balik tudung itu aku melihat sepasang mata hijau yang menatapku dengan geram. “Kau yang lepaskan!” dia berujar kasar. “Ini bukan urusanmu!”

Dengan sentakan keras, akhirnya tas perak itu berada di dalam genggamanku. Suara orang berlarian menghampiri kami. Lelaki bertudung itu terlihat kuatir dan geram. Baru saja aku ingin pergi menjauh darinya, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah pistol dari dalam saku celananya. Senjata itu kecil, mirip sekali seperti yang dipunyai oleh Seth, untuk berjaga-jaga kalau ada yang mau merampok atau menyerang kami di rumah. Tetapi aku yakin senjata itu bisa membunuhku. Dan… semuanya terjadi dengan begitu cepat. Sebuah tembakan berdesing dan memekakkan telinga tiba-tiba mengenai dadaku. Atau yang bisa kurasakan, tepat mengenai sudut bawah jantungku. Nafasku tercekat dan aku langsung terjatuh ke jalanan yang dingin. Dan lelaki itupun berlari dengan gesit untuk kabur.

“Oh, Tuhan! Oh, Tuhan!” Seorang perempuan berujar ketakutan disebelahku. Dia berjongkok di dekatku untuk melihat keadaanku. “Telpon ambulans sekarang!” teriak orang itu panik. Tangannya yang gemetar ingin memegangku, tetapi dia takut.

Aku tidak bisa merasakan lagi kedua kakiku. Tangan kiriku tergeletak lemas di depan wajahku. Sedangkan tangan kananku berada di atas kepalaku. Tidak ada rasa sakit di tubuhku. Hanya rasa pusing dan kekosongan yang tak berujung. Tiba-tiba aku bisa merasakan ciuman lembut Seth di bibirku, aku bisa merasakan pelukan hangatnya di kulitku dan aku bisa merasakan tawa renyahnya di telingaku. Aku mengangkat kepalaku dan menatap cincin silver yang melingkari jari manisku, menatap cincin yang diberikan oleh Seth dua hari yang lalu. Cincin untuk pernikahan kami nanti. Kugerakan jempol kananku, mengelus lemah cincin ber-tekstur halus itu. Aku bisa merasakan Seth ada disana untukku.

Aku mencintaimu Seth. Aku benar-benar mencintaimu, kau harus tahu itu.

Kemudian, aku pun memudar. Aku… pergi.

***

Ini adalah cerita sebelum aku pergi. Bagaimana aku dan Seth bisa bertemu pertama kali. Bagaimana kami bisa saling mengenal dan saling mencintai. Sebenarnya ceritanya simpel… atau bisa juga dibilang sangat janggal. Ah, jika aku mengingatnya, aku pasti akan tersenyum lebar dan berandai-andai ingin kembali ke masa itu lagi. Kami berdua adalah kedua orang asing yang sudah pernah saling melihat namun tidak pernah bicara.

Hari itu, aku baru saja selesai menonton konser Nada Surf di Central Park, Manhattan. Awalnya aku pergi dengan Jay dan Emily, tetapi mereka terpaksa pulang duluan karena masih banyak kerjaan. Sedangkan aku, well, aku bukan orang yang rajin. Kerjaanku juga banyak, tetapi kalau Nada Surf—penyanyi favoritku—konser, oh no! Aku pasti akan datang dan melupakan semua pekerjaan tidak penting itu.

Namaku June Wijaya Pradakso. Umurku sekarang sekitar 22 tahun. Kami sekeluarga—aku, Ayah dan Ibuku—pindah ke Manhattan sekitar lima tahun yang lalu. Tetapi sekarang Ayah dan Ibuku sudah pulang ke Indonesia lagi karena kerjaan mereka disini sudah selesai. Tetapi aku tidak ikut pulang karena aku ingin menghabiskan masa kuliahku disini. Aku lulus kuliah sekitar enam bulan yang lalu. Kemudian aku langsung masuk kerja di salah satu perusahaan majalah yang sangat terkenal disini. Oh, iya, aku mengambil jurusan tulis-menulis saat kuliah, kalau kalian ingin tahu.

Sebab pekerjaanku itulah aku tidak pulang-pulang ke Indonesia. Lagipula Ayah dan Ibuku kadang berkunjung kesini kalau mereka ada rezeki lebih. Kami bukan orang kaya, namun kami mempunyai cukup uang untuk menyokong kehidupan kami dan kuliahku serta biaya tinggalku disini. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil—sangat kecil—nan nyaman yang ada di dekat St. Fargo Avenue. Tidak terasa sudah hampir lima tahun aku berada disini. Di kota Manhattan. Kota yang penuh dengan daun berguguran dan tawa di setiap jalan yang kulewati. Aku suka cuacanya, aku suka ketika matahari menyapaku di pagi hari, aku suka ketika angin musim dingin menggigit kulitku, aku suka ketika melihat semua daun berwarna hijau itu berganti warna dan aku suka ketika melihat bunga-bunga bermekaran di setiap taman yang ada di semua sudut kota ini.

Konser sudah selesai lima menit yang lalu. Sekarang aku berada di belakang panggung, menggenggam sebuah buku kecil dan pulpen, ingin meminta tanda tangan Nada Surf. Sudah dari dua tahun yang lalu aku sangat mencintai suaranya. Aku bahkan membeli semua albumnya. Lagu-lagu orang lain yang dia bawakan-pun kusimpan di dalam iPod-ku. Dulu aku sering mengejek Ibuku karena dia sangat mengidolakan Spice Girls dan bersusah payah untuk mendapatkan tiketnya hanya untuk melihat sekumpulan wanita-wanita paruh baya tersebut. Namun sekarang aku mengerti bagaimana rasanya mengidolakan seseorang. Tetapi dalam kasusku, aku mengidolakan suaranya. Bukan orangnya.

Untuk mendapatkan tanda tangan saja susah sekali, aku harus berdesak-desakan dengan sekumpulan cewek-cewek remaja yang selalu berteriak histeris seperti dia lagi terkena menstruasi. Atau sedang ingin diperkosa. Andai saja aku membawa alat setrum sekarang, aku pasti sudah membuat cewek-cewek gila ini pingsan. Sayangnya aku tidak membawanya, bahkan aku tidak mempunyainya. Ingatkan aku untuk membeli alat tersebut setelah pulang dari sini.

Seorang laki-laki berbadan tegap, dengan otot yang menonjol dimana-mana mendorong kami saat Nada Surf keluar dari dalam tenda isitirahatnya. Teriakan makin histeris. Sebisa mungkin aku tidak menutup telingaku. Yang harus kulakukan sekarang adalah fokus untuk melihat sosok Nada Surf. Aku mau meminta tanda tangannya. Aku harus punya, agar bisa kugayakan ke Jay dan Emily.

Dorongan makin kuat, aku terus berjalan mundur. Aku berada di posisi paling belakang, jadi aku santai-santai saja saat mundur. Tetapi ketika munduran makin mendesak, tiba-tiba aku mendengar suara erangan dari seseorang yang ada di belakangku. Aku memang merasa sedang menginjak kaki seseorang sekarang. Aku menelan ludahku dengan takut-takut sebelum akhirnya membalikkan badanku untuk meminta maaf.

“Kau tahu, rasanya sakit jika diinjak dengan sepatu kets seperti yang kau punya sekarang ini,” hardiknya langsam. Suaranya yang serak-serak basah membuatku merinding. Merinding karena aku suka mendengar suara itu menari-nari di indera pendengaranku.

Kudongakkan kepalaku hati-hati ke arah pandangan matanya. Badannya yang jangkung—sangat jangkung—berdiri menjulang di depanku. “Maa—“ kalimatku terpotong saat mataku melihat bibirnya yang sangat ranum. Saat dia menarik bibirnya, sudut-sudutnya tertarik dengan begitu lembut. Seakan-akan memberitahuku kalau dia adalah pencium terbaik di seluruh dunia. Kupindahkan mataku ke arah hidungnya yang panjang, berbintik-bintik seperti taburan remah roti. Kemudian aku melihat matanya, yang sangat biru, yang sangat mirip seperti samudera. Aku tahu aku akan bisa tenggelam di matanya itu. Oh, tidak! “Maaf.” Akhirnya aku bisa menyelesaikan kalimat itu setelah dia tersangkut di tenggorokanku.

Dia menyeringai, alisnya yang hitam menyatu di keningnya. “Tidak apa-apa,” katanya sambil menepuk pundakku. Kakiku yang tadi berdiri kokoh di atas tanah langsung termundur sedikit karena tepukannya yang super-duper kuat. Dia menghentikan tepukannya, lalu dia berjalan menjauh. Siluet tubuhnya menghilang saat dia melintasi pohon besar yang berada di sudut kiri panggung.

Lamunanku langsung buyar ketika ada seseorang yang menepuk punggungku. Aku berbalik dan menatap… yes! Nada surf sedang melihatku sambil tersenyum. Tangannya terulur mengambil buku dan pulpenku. “Kau ingin minta tanda tangan juga-kan?” tanyanya masih dengan senyuman ala artis baik-baik.

“Ya,” aku menyahut semangat.

Goresan halus terukir di atas bukuku. Saat dia sudah selesai memberiku tanda tangan, dia menyalami tanganku. Kemudian dia berlalu, pergi dengan orang berbadan besar yang tadi mendorong-dorong kami. Cewek-cewek yang tadi menjerit-jerit, kembali melakukan aktivitas mereka. Berlari-lari kecil mengejar Nada Surf. Untung saja aku tidak mengidolakan orangnya. Jadi aku melangkahkan kakiku untuk kembali ke parkiran. Mengambil mobilku dan pulang ke apartemenku yang nyaman.

Parkiran sepi seperti biasa, hanya ada tiga mobil yang terparkir disini. Aku mempercepat langkahku, aku pernah diganggu oleh orang-orang mabuk delapan bulan yang lalu. Mereka memegang-megang badanku, menggerayangiku. Dan rasanya itu sangat mengerikan. Walaupun aku sudah melawan, mereka malah makin buas. Untung saja ada polisi yang lewat kala itu. Aku terselamatkan. Makanya aku masih agak trauma sampai sekarang. Semua hal buruk terjadi di parkiran.

Kukeluarkan kunci mobilku dari dalam saku jaketku, kumasukkan kunci itu ke dalam lubangnya. Namun karena aku gugup, tiba-tiba kunci itu terjatuh ke bawah mobil. Dan aku tidak sengaja menendang kunci itu sehingga dia makin masuk ke dalam bawah mobil. Aku mendesah berat, sebelum akhirnya aku memundurkan badanku sedikit. Suara erangan yang tadi kudengar beberapa puluh menit yang lalu, sekarang kembali terdengar. Kini aku langsung berbalik, menghadap ke arah suara tersebut. Dan benar saja, itu memang cowok yang tadi kuinjak kakinya.

“Maaf,” aku berujar lancar kali ini. “Aku minta maaf sekali lagi. Aku tidak melihatmu.”

Kunci mobil yang dipegangnya bergemerincing saat dia dekap di tangannya. “Kalau kau menginjak kakiku sampai tiga kali, aku berjanji akan menciummu.”

Aku tersentak kaget, dan dia hanya menyeringai sambil menunjukkan deretan giginya yang putih. Apakah dia bercanda? Orang Amerika memang blak-blakkan, tetapi ini terlalu blak-blakkan. “Tidak akan ada yang ketiga kali,” kataku kemudian. “Aku minta maaf.”

Dia hanya tersenyum kecil. Bibirnya yang ranum berkedut. “Tidak apa-apa. Hanya jangan sampai ada yang ketiga kali saja.” Kemudian di berjalan cepat menuju ke mobilnya yang berada di belakang parkiran seberang. Langkahnya yang panjang membuatnya seperti terbang di kesunyian malam ini. Saat dia sudah berada di dalam mobilnya dan menyalakan lampu mobilnya ke arahku, dia melambaikan tangannya ringan ke arahku sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

Cepat-cepat aku menundukkan badanku untuk mengambil kunci mobilku yang ada di bawah mobil. Tidak sampai satu menit, aku sudah menemukan kunci itu. Kemudian aku masuk ke dalam mobilku dan berlalu meninggalkan parkiran.

Dari Central Park sampai ke apartemenku tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Aku memarkirkan mobilku di belakang gedung apartemenku. Saat mobilku sudah benar-benar terkunci dengan rapat, aku langsung masuk ke dalam apartemenku. Seperti biasa, apartemenku mempunyai wangi salada segar yang kusuka. Setiap hari, menu makananku hanya salad selada dan makanan kotak yang kubeli di replika China Town yang ada di sudut jalan apartemenku ini.

Tanpa menyalakan lampu lagi, aku langsung berjalan cepat menuju ke kasurku dan tertidur disana dengan nyaman. Aku terbangun secepat aku tertidur. Sepertinya aku baru memejamkan mataku sekitar beberapa menit yang lalu. Tetapi tiba-tiba matahari sudah menyilaukan mataku. Cahaya berwarna kekuningan itu masuk melalui celah ventilasi lalu menyerang mataku yang terpejam. Dengan malas aku membuka mataku dan membangkitkan badanku dari pembaringan. Kukucek mataku perlahan sebelum melihat jam digital yang kutaruh di atas meja kecil yang ada di sudut kanan atas kasurku. Mataku yang tadi masih mengantuk, langsung terbelalak lebar saat mengetahui kalau sekarang sudah jam setengah delapan pagi.

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke kamar mandi. Tidak! Aku terlambat pergi kerja. Aku terlambat. Gajiku akan dipotong kalau begini. Sebenarnya belum terlambat. Aku masuk kerja sekitar pukul delapan. Tetapi jarak kantorku dan kemacetan yang akan kuhadapi pasti akan memakan waktu lebih dari setengah jam. Berarti terpaksa aku tidak membawa mobil hari ini. Kantorku memang tidak terlalu jauh dari apartemenku, aku berjalan kaki lima belas menit saja bisa sampai di gedung kantorku yang besar itu. Tetapi aku benci jalan kaki. Membuat kakiku pegal-pegal. Mana aku harus mondar-mandir lagi nanti saat di kantor. Menjadi seorang Proofreader itu sangat melelahkan.

Kemeja merah gelap sudah tersampir di tubuhku, tas kerja sudah kupegang dengan erat, rambut sudah kusisir rapi, celana sudah terpasang di kakiku, dan aku sudah siap pergi kerja sekarang. Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung berlari ke depan gedung pintu apartemenku dan melesat cepat ke jalanan yang padat. Namun sebelum itu, aku harus memulai hariku dengan meminum kopi. Atau Caffé Americano. Pokoknya yang sejenis itu.

Di depan apartemenku, sekitar sembilan puluh meter ada kedai kecil yang lumayan ramai pengunjung. Kedai itu telah dibuka sekitar enam bulan yang lalu. Namun baru tiga kali aku datang kesana. Yang pertama saat peluncuran pertamanya, ada diskon besar-besaran. Yang kedua saat aku kelaparan dan otakku hanya mampu berpikir untuk mendatangi kedai itu. Dan yang ketiga saat aku dengan pacar—sekarang mantan—ku pergi kesana untuk membeli kopi. Alasanku dan Matt putus adalah karena dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai polisi. Iya, benar sekali. Dia adalah polisi yang menolongku saat aku diganggu oleh segerombolan orang-orang mabuk delapan bulan yang lalu.

Kedainya penuh, antriannya panjang. Aku melirik jam tanganku, masih ada waktu sekitar sembilan belas menit lagi untuk terlambat. Setelah mengantri sekitar tiga menit, akhirnya tiba juga giliranku. Aku memesan Caffé Americano, tidak lebih dari satu menit, kopi panas itu sudah berada di tanganku. Aku langsung berbalik untuk segera pergi ke kantorku. Namun pintu keluar dipenuhi dengan orang-orang. Aku mencoba menyelinap dari sebelah kiri, ada seorang kakek-kakek dengan kursi rodanya yang menghalangiku. Aku mencoba menyelinap dari sebelah kanan, ada dua orang yang sedang berkelahi. Membuat pintu keluar menjadi tersendat gara-gara mereka.

Aku mendesah berat dan menghampiri salah satu pelayan yang sedang melayani meja yang ada di dekat pintu menuju ke arah dapur. “Permisi, pintu belakangnya ada dimana?” tanyaku cepat sambil melirik ke jam tanganku.

Pelayan perempuan berambut kemerahan itu menatapku dengan senyuman sebelum akhirnya berujar. “Tinggal masuk saja ke dapur, nanti kau akan melihat ada pintu keluar disana.”

“Terima kasih,” ucapku cepat.

Kulangkahkan kakiku menuju ke arah dapurnya. Wangi masakan yang lezat membuat perutku lapar saat aku sudah berada di dalam dapur tersebut. Langkahku terhenti seketika saat melihat ada udang panggang yang tertaruh dengan rapi di atas piring berukuran kecil. Aku suka udang, apalagi udang buatan Ibuku. Sampai berapa banyak-pun aku diberi udang, aku pasti akan menghabiskannya. Dengan nakal, aku memajukan tanganku untuk mengambil satu udang panggang yang ada di piring itu. Kumasukkan udang itu ke mulutku dan rasanya benar-benar nikmat. Aku mundur sedikit dari meja itu, untuk kabur dari dapur ini sebelum ditangkap oleh kokinya ataupun pelayan kedai ini. Namun baru saja aku memundurkan langkahku, erangan yang tadi malam kudengar memasuki telingaku lagi.

Ketika aku berbalik, aku melihat laki-laki itu lagi. Tetapi kali ini dia tidak menggunakan baju santainya seperti tadi malam. Dia mengenakkan pakaian koki berwarna putih dan bergaris hitam. Matanya membulat lebar saat menatapku. Aku cepat-cepat berujar sebelum dia memarahiku. “Maaf, aku benar-benar tidak senga—“

Perkataanku terpotong saat dia menempelkan bibirnya ke bibirku. Dan ternyata dugaanku benar, baru tiga detik saja dia menciumku, aku bisa merasakan bagaimana nikmatnya bibir ranum tersebut. Sentuhannya yang halus menyapu bibir atas dan bawahku. Membuatku lupa kalau aku sedang berdiri di atas tanah sekarang. Ciumannya memabukkan, seperti Tequila yang pernah diberikan Jay untukku.

Ciuman akhirnya terselesaikan. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan memegang dinding dengan kalut untuk menjaga keseimbanganku. Aku serasa ingin pingsan sekarang. Ciumannya terlalu heboh. Bagaimana bisa dia mencium bibirku dengan begitu lembut seperti tadi. Tanpa lidah-pun dia sudah membuatku sempoyongan seperti ini. Bagaimana kalau dia menggunakan tekhniknya yang lain, mungkin aku akan meleleh seperti lilin yang tersulut api.

“Sesuai janjiku, injakan ketiga kau akan mendapatkan ciuman dariku.” Dia berkata lemah.

Aku mendongakkan kepalaku, dan ternyata itu adalah kesalahan yang besar. Karena saat mataku tertumbuk ke wajahnya, dia sedang tersenyum lebar. Membuat wajahnya yang sudah rupawan makin menawan. Matanya yang bagaikan samudera menelanjangi hatiku. Aku cepat-cepat menjernihkan otakku dan berlari kencang menuju ke pintu keluar. Suaranya yang serak memanggilku, tetapi aku tidak menggubrisnya. Yang ingin kulakukan sekarang adalah cepat-cepat pergi menjauh darinya. Secepat mungkin.

Ketika aku berada di kantor, aku tidak konsentrasi sama sekali. Jay dan Emily yang selalu datang ke kubikel-ku-pun kesal karena setiap kali mereka mengajakku bicara, aku tidak memberikan mereka masukan di cerita mereka. Otakku benar-benar blank, yang ada di dalamnya hanya ciuman itu. Ciuman memabukkan yang dilakukan laki-laki itu ke bibirku. Aku daritadi mengelus bibirku untuk menyadarkanku kalau aku baru saja dicium oleh orang asing. Dan aku suka ciuman orang asing tersebut di bibirku.

Saat istirahat makan siang, otakku sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi. Dengan langkah panjang aku pergi menuju ke kedai itu. Ceritanya untuk makan siang, tetapi yang sebenarnya adalah untuk melihat laki-laki itu lagi. Itupun kalau ada kesempatan untuk melihatnya. Lagipula aku hanya penasaran tentang laki-laki itu. Pokoknya aku hanya penasaran saja. Tidak lebih dari itu. Yah, meskipun aku tidak akan menolak juga kalau dia mengajakku bicara ataupun lebih dari itu. Ya, ya, aku tahu aku agak jalang.

“Aku memesan omelette dan Skinny Cinnamon,” kataku ke arah pelayan yang tadi menunjukkanku pintu keluar yang ada di belakang kedai ini.

Dia menulis dengan cepat di buku kecil yang ada di tangannya, kemudian dia membacakan ulang pesananku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Saat dia pergi dari hadapanku, mataku langsung tertuju ke pintu dapur yang terbuka sebelah. Pertama aku tidak melihat siapa-siapa. Hanya kepulan asap dari kompor dan pelayan yang berlalu-lalang. Aku menyipitkan mataku, untuk bisa melihat lebih jelas, dan… peek-a-boo! Dia sedang berdiri di sebelah oven, raut wajahnya yang serius sedang menatap oven tersebut.

Pesananku datang, namun mataku masih menatap sosoknya. Badannya yang bergerak dengan luwes selalu bisa membuat mataku untuk mengikuti sosoknya. Sudah lebih dari tiga menit aku menatapnya, tetapi mataku tidak juga bosan-bosannya melihat badannya yang tinggi tersebut. Saat aku baru saja ingin tersenyum karena hal konyol yang sedang kulakukan ini, tiba-tiba dia menengok ke arahku. Aku langsung menundukkan kepalaku cepat-cepat. Berpura-pura sedang sibuk dengan omelette yang ada di hadapanku.

Kumasukkan omelette manis itu ke dalam mulutku, lalu aku mencoba untuk melirik sedikit-demi-sedikit ke arahnya lagi. Namun bukan suasana dapur yang aku lihat, tetapi laki-laki itu. Dia duduk di kursi yang ada di depanku, matanya menatapku dengan satu alis terangkat dan tangannya tersampir di depan dadanya. Aku langsung tersedak omeletteku karena kaget. Aku meraih Skinny Cinnamonku, tanpa pikir panjang aku langsung meminumnya. Namun aku langsung memuntahkannya ke atas meja, karena airnya yang panas membakar lidahku. Aku mengipas-ngipas mulutku, bukan hanya lidahku yang terbakar, tetapi wajahku juga. Tuhan! Aku sangat malu sekarang, rasa-rasanya aku ingin kabur saja dari hadapan laki-laki itu.

“Apakah kau menatapku daritadi?” tanyanya kemudian. Suaranya yang serak-serak basah membuatku menatap wajahnya yang oh-my-gorgeous. Matanya yang biru seakan-akan tersenyum konyol ke arahku.

“Tidak,” aku menyahut cepat. Terlalu cepat.

Dia tersenyum. “Apakah kau ingin aku menciummu lagi?”

“Tidak!” Padahal dalam hati aku berseru, YA!

Dia tersenyum makin lebar. “Baiklah kalau begitu,” katanya sambil berdiri dari kursi yang ada di hadapanku. Ketika kursi itu terdorong ke belakang, tidak ada bunyi yang terdengar. Pantas saja aku tidak sadar kalau dia sudah duduk disana tadi. “Aku selesai kerja jam sembilan malam. Jika kau datang kesini sekitar jam segitu, aku akan mengajakmu kencan.” Kemudian, dia pun berlalu dengan cepat, langkah kakinya yang panjang membuatnya menghilang dari hadapanku.

Huh? Apa yang dia bilang tadi? Sumpah, aku tidak mengerti.

“Dan ngomong-ngomong, makanan dan minuman yang sedang kau santap itu kuberikan gratis untukmu,” ujarnya dari balik pintu dapur, senyumannya yang lebar terpampang jelas di bibirnya yang ranum.

Saat aku ingin menyahut, tiba-tiba dia sudah kembali hilang dari pandanganku. Aku makan dengan perasaan bingung dan antusias. Ketika aku ingin membayar makanan dan minumanku, ternyata laki-laki itu benar. Aku mendapatkan santapan gratis untuk siang ini. Aku hanya tersenyum lalu berlalu pergi dari kedai itu.

Aku pulang kerja sekitar jam delapan malam. Dan sekarang aku sudah berada di apartemenku. Aku sudah mengenakkan kemeja kencan terbaikku. Tetapi aku masih bimbang, karena ini adalah hal yang paling konyol dan aneh. Masa aku mau pergi kencan begitu saja dengan cowok yang baru kukenal malam kemarin dan pagi dan siang tadi. Aku melepas kemejaku, tetapi kemudian aku memakainya lagi. Aku berjalan menuju ke pintu, lalu aku kembali ke kamarku lagi. Sumpah, aku bingung. Ini benar-benar hal paling janggal yang terjadi di hidupku.

Namun, toh, aku tetap pergi juga saat jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aku ingin melihat, apakah dia masih menungguku apa tidak. Aku yakin dia sudah pulang, mana mau dia menungguku sampai setengah jam. Lagipula dia baru mengenalku, dan aku juga baru mengenalnya. Tidak benar-benar mengenal sebenarnya. Aku tidak tahu namanya, dan dia juga tidak tahu namaku. Kami hanya pernah berciuman saja. Tetapi hanya satu kali. Yah, aku berharap sih ada yang kedua kali. Kalau malam ini kami benar-benar jadi pergi berkencan.

Ketika aku sampai di kedai tersebut, ternyata kedainya sudah tutup. Hanya lampu dari jalan saja yang menerangi kedai itu. Aku menatap tulisan ‘closed’ yang ada di depan pintu kedai tersebut. Berarti aku benar, laki-laki itu sudah pulang, lagipula untuk apa dia menungguku. Siapa tahu dia hanya bercanda saja tadi siang. Atau karena aku terlambat makanya dia sudah pulang sekarang. Siapa juga yang mau menunggu sampai setengah jam. Tentu saja dia tidak mau menunggu, lagipula buat apa aku memikirkannya. Aku saja yang dungu.

Aku berbalik, dan terkejut setengah mati saat menangkap sesosok cowok yang menjulang tinggi di belakangku. “Hello,” sapanya dengan suara seraknya. “Akhirnya kau datang juga,” katanya sambil mematikan rokok dengan kakinya.

“Aku…” kalimatku terputus saat dia menatapku dengan matanya yang biru itu. Aku ingin memberitahunya kalau aku hanya sedang jalan-jalan saja. Tetapi aku sadar, dia sudah lelah menungguku sampai setengah jam kalau aku mengatakan hal kejam tersebut. “Tentu saja aku akan datang,” ucapku akhirnya. “Maaf karena aku terlambat.”

“Tidak apa-apa,” katanya masih dengan senyuman. “Ayo! Aku akan mengajakmu ke restoran Brazil yang ada di St. Poteet Avenue. Kau sudah makan belum?”

Kami berjalan bersisian, wangi parfumnya yang seperti buah persik membumbui indera penciumanku. “Belum,” aku menggeleng sambil mencoba untuk tersenyum. “Kau?”

Dia tersenyum. “Belum.”

Kemudian kesunyian menggelanyut diantara kami. Aku bingung dengan keadaan yang sedang terjadi di hidupku malam ini. Aku sedang meyakinkan diriku kalau aku sedang melakukan kencan dengan orang yang tidak kukenal sama sekali. Dan kenapa bisa-bisanya aku melakukan hal tersebut? Mungkin karena aku penasaran dengan laki-laki yang ada disebelahku ini. Atau mungkin karena aku memang tertarik dengannya. Apakah aku menyukainya pada pandangan pertama, atau yang ketiga saat dia menciumku tadi siang?

“Ini restorannya,” katanya sambil menunjuk restoran yang lumayan ramai. Dia membukakanku pintu tersebut, menyilahkanku untuk masuk duluan. Aroma Maqueca dan Vatapa membuat perutku menjadi sangat lapar.

Kami duduk di tengah-tengah restoran. Karena hanya tempat duduk ini yang tersisa. Saat laki-laki itu menyuruhku memesan duluan, aku langsung mengatakan kalau aku ingin makan Vatapa malam ini. Sebenarnya aku mau Maqueca juga, tetapi aku malu kalau memesan dua. Andai saja aku sudah mengenalnya lama, aku pasti tidak akan malu-malu lagi untuk memesan dua makanan sekaligus.

Setelah kami selesai memesan makanan dan pelayan bertopi aneh itu meninggalkan kami, laki-laki itu berbalik ke arahku sambil menjulurkan tangannya. “Namaku Seth,” katanya agak keras, karena kebisingan yang ada di restoran ini bisa menyerap suara kami.

Aku menyambut tangannya yang besar. Tanganku benar-benar tenggelam di dalam genggamannya. “Namaku June. Tetapi panggil saja aku Jun.” Aku memindahkan tatapanku dari jabatan ke wajahnya. “Terima kasih karena sudah mau mengajakku kesini.”

“Ya, sama-sama.” Dia menyahut cepat. “Jadi kenapa kau tadi melihatku terus-menerus?”

Wajahku langsung memanas karena malu. “Aku tidak melihatmu terus-menerus,” kataku berbohong. “Buat apa aku melihatmu?” tanyaku defensif.

Dia menyilangkan kedua tangannya di atas meja. “Aku tahu kau melihatku. Jadi jangan berbohong.” Hening sesaat. “Kenapa kau melihatku? Apa kau ingin aku menciummu lagi?”

Aku mendengus sekuat mungkin, untuk menghilangkan rasa gugup dan rasa malu yang tiba-tiba menyerang diriku saat ini. “Aku hanya ingin melihatmu. Bukan untuk hal yang lain.” Aku juga ikut-ikutan menaruh tanganku di atas meja. “Aku tidak mau kau menciumku lagi. Dasar kau orang sesat!”

Seth tertawa, saat tertawapun nadanya tetap serak. “Baiklah-baiklah.” Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Ngomong-ngomong, jempol kakiku agak bengkak karena kau sudah menginjaknya sampai tiga kali. Apa kau mau bertanggung jawab akan jempol kakiku?”

Aku langsung melirik ke bawah meja. “Benarkah?” tanyaku tidak enak. “Aku akan membelikanmu kompres sekarang. Tunggu, oke!” Aku baru saja berdiri, namun Seth menahanku, suaranya yang serak menyuruhku kembali duduk.

“Tidak perlu,” katanya sambil tertawa kecil. “Kencan inikan sudah kuanggap pertanggung jawaban-mu.”

Makanan kami datang, Seth dan aku hanya menatap makanan itu tanpa ada niat untuk memakannya sama sekali. Aku mengangkat tanganku lalu menyesap Lemon Tea-ku. “Ini aneh ya. Kau dan aku berkencan. Padahal aku baru melihat wajahmu sekitar…” aku melirik jam tanganku. “Dua belas jam.”

“Tidak juga,” sahutnya. “Aku pernah melihatmu datang ke kedaiku tiga kali.”

“Kedaimu?” tanyaku dengan dahi berkerut. “Apakah kedai itu punyamu?”

“Ya, itu punyaku,” dia menyetujui sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Rambutnya yang pirang, yang hampir mendekati putih melambai-lambai tertiup kipas angin yang ada di atas kepala kami.

Aku mendesah, antara kagum dan tidak percaya. Wajahnya masih muda, tidak mungkin dia yang mempunyai kedai itu. Mana kedai tersebut banyak pengunjungnya. Dan semua makanan yang dijual disana rasanya enak-enak. Meskipun aku baru merasakan satu udang panggang dan omelette. “Berapa umurmu?” tanyaku kemudian.

“Dua puluh tiga tahun,” ujarnya.

“Kau dua puluh tiga tahun dan sudah mempunyai kedai yang cukup sukses. Luar biasa!” Sebenarnya aku ingin menggunakan nada biasa saja, tetapi nada kekaguman malah meluncur lemah dari mulutku.

Seth mengibaskan tangannya ke arahku. “Tidak juga. Biasa saja,” katanya merendah. “Lebih baik kita ganti topik pembicaraan saja,” katanya sambil menyuap lasagna berbalut sambal yang ada di hadapannya. “Bagaimana kalau kita bermain sebuah permainan. Apakah kau pernah dengar permainan Kejujuran atau Tantangan?”

“Ya, aku pernah memainkannya dua tahun yang lalu dengan teman-temanku.”

“Nah, bagaimana kalau kita memainkan permainan itu malam ini?” tanyanya antusias.

“Sebenarnya aku sudah insyaf dari permainan konyol itu,” kataku antara ingin ikut dan takut. “Tetapi, yah… baiklah. Tidak masalah.”

Dia menepukkan tangannya dengan bangga. “Keren,” ujarnya sambil tersenyum lebar ke arahku. “Kalau begitu kau yang duluan. Silahkan tanyakan padaku ‘Kejujuran atau Tantangan.’”

“Baiklah,” aku menyesap sekali lagi Lemon Teaku sebelum memulai. “Kejujuran atau Tantangan?”

Keningnya berkerut, sedang memikirkan apa yang akan dipilihnya. “Kejujuran,” ucapnya akhirnya dengan nada jenaka.

Aku memikirkan sejenak pertanyaan apa yang ingin kutanyakan padanya. Dan aku mendapatkannya dengan segera di kepalaku. “Apakah kau gay?” tanyaku cepat sambil memasang wajah selugu mungkin.

“Tentu saja aku gay,” katanya dengan senyuman. “Kalau aku bukan gay, tidak mungkin aku mengajakmu berkencan malam ini.” Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku. “Kejujuran atau Tantangan?” tanyanya ke arahku.

“Kejujuran.”

“Aku tidak akan menanyakan apakah kau gay apa tidak. Soalnya aku sudah tahu kalau kau adalah seorang gay.” Aku menaikkan kedua alisku tinggi-tinggi, bagaimana mungkin dia bisa tahu. “Aku pernah melihatmu datang ke kedaiku dengan seorang laki-laki yang sedang memeluk pinggangmu dengan mesra. Jadi, aku yakin kalau laki-laki itu adalah pacar cowokmu.” Wajahku bersemu merah. Tentu saja, Matt dan aku pernah datang ke kedainya. Sepertinya aku pernah mengatakannya. “Sebagai gantinya aku akan bertanya hal ini,” dia memajukan badannya untuk menatapku lebih lekat. “Apakah kau single?”

Dan sekarang, barulah aku bisa tertawa kecil karenanya. “Ya, aku single.” Seth meninju udara dengan senang. Dia menatapku dengan begitu antusias. “Kejujuran atau Tantangan?”

“Sebentar dulu…” dia kembali menatapku lekat-lekat dengan mata samuderanya. “Berarti aku ada kesempatan untuk mendekatimu bukan?” Wajahku kembali bersemu merah, dengan malu-malu-mau, aku mengangguk ke arahnya. “Yes!” serunya senang. “Nah, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu.” Dia menyisir rambut pirangnya ke belakang dengan jari-jarinya. “Kejujuran.”

“Apakah kau sudah sunat?” Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya seperti itu.

Mulutnya ternganga, tetapi senyuman tidak meninggalkan bibirnya. “Itu… pribadi. Dan kau harus mencari tahunya sendiri,” dia menaik-naikkan kedua alisnya, menggodaku. “Tetapi karena ini permainan, baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu.” Dia menarik nafas panjang. “Kedua orang tuaku menyuruhku untuk sunat. Tradisi di keluarga kami seperti itu. Katanya agar penisku bersih dari kuman. Aku sunat ketika aku berumur delapan belas tahun. Well, saat dokter itu menggerayangi penisku, tiba-tiba dia berdiri dan aku dimarahi oleh dokternya karena hal itu.”

Aku tertawa keras mendengar penuturannya. “Konyol,” ujarku di sela-sela tawa.

“Ya, aku tahu,” katanya cepat. “Lanjut, Kejujuran atau Tantangan?”

Kuhentikan tawaku. Mataku menatap Seth dengan takut-takut. “Kejujuran.” Aku berharap dia tidak bertanya hal-hal yang aneh terhadapku.

“Kau Top atau Bottom?”

“Bottom.” Aku menjawab cepat. “Kejujuran atau Tantangan?”

“Kejujuran.”

“Kau Top atau Bottom?”

“Top,” dia menjawab dengan senyuman lebar. “Kejujuran atau Tantangan?”

“Tantangan.” Akhirnya aku memilih juga yang itu. Sebenarnya aku tidak mau memilihnya, namun sepertinya permainan ini tidak akan seru jika tidak ada tantangannya sama sekali. Lagipula aku sudah siap dengan tantangan yang akan diberikan oleh Seth untukku. Siapa tahu tantangannya tidak terlalu sulit. Mungkin saja.

Seringaian lebar mencuat di bibirnya. Aku langsung takut mendengar tantangan yang akan dia berikan untukku. Sepertinya ini akan buruk. “Aku menantangmu untuk pergi ke…” dia memutar kepalanya, untuk mencari bahan tantangan yang akan dia berikan untukku. “Sana, ke perempuan yang duduk di depan konter minuman,” aku melirik ke arah cewek berbadan gendut dengan raut wajah kuatir, “lalu menggelitiki tubuhnya.”

Aku menatap Seth dengan raut wajah horor. Dia menyuruhku untuk melakukan hal itu. Astaga! Dasar laki-laki menyebalkan. “Baiklah!” kataku sok hebat, dalam hati aku sangat ketakutan karena bisa jadi perempuan yang akan menjadi korban gelitikanku akan menampar atau bahkan meninjuku.

Seth tersenyum penuh kemenangan sambil menyuruhku mendatangi perempuan tersebut. aku berjalan cepat menuju ke perempuan itu dengan kaki gemetar. Jantungku makin berdegup kencang saat aku sudah berdiri di belakang tubuhnya. Dengan takut-takut aku mengangkat tanganku lalu kutaruh di pinggangnya. Aku menggelitiki tubuhnya yang gendut dengan perlahan. Saat gelitikan kelima, akhirnya perempuan itu menoleh ke arahku.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya agak marah. “Dasar orang gila!”

Aku hanya bisa tersenyum kecil lalu pergi meninggalkan perempuan itu sebelum dilumat di tempat. Seth tertawa kencang saat aku sudah duduk di kursiku. Dasar sialan! “Aku dipanggil gila,” kataku kepadanya, dan dia makin menjadi sialan lagi, dia mentertawaiku. “Kejujuran atau Tantangan?”

Dia langsung menghentikan tawanya. “Tantangan,” ujarnya ragu.

“Aku menantangmu untuk bergaya seperti monyet kelaparan di atas panggung itu,” aku menunjuk panggung yang kini sudah di datangi beberapa pemain band.

Wajahnya pucat, tetapi tidak gentar. “Baiklah!” serunya dengan nada tegas. “Tetapi kau harus tahu, kalau sekarang aku sudah menganggap ini adalah perang.” Aku hanya mengedikkan bahuku dan menyuruhnya untuk segera melakukan tantangan yang kusuruhkan padanya. Dan dengan menurut, dia langsung berjalan cepat menuju ke arah panggung. Ketika dia sudah berada di atas panggung tersebut, dia menatapku dengan raut wajah menantang dan agak malu. Kemudian dia-pun mulai bergaya seperti monyet sambil berteriak-teriak lirih. Mengundang semua mata yang ada di restoran ini ke arahnya. Aku dan orang-orang yang ada di restoran ini tertawa bersama. Ternyata permainan ini seru juga.

“Ternyata kau hebat?” kataku saat dia sudah duduk kembali ke kursi yang ada di hadapanku. “Kau cocok menjadi seekor monyet.”

Setelah itu kami menghabiskan makan malam kami dengan saling mentertawakan hal-hal konyol yang tadi kami lakukan. Lalu kencan berubah menjadi ke hal-hal yang lebih pribadi. Maksudnya, kami bertanya tentang diri kami. Yang kuketahui tentang Seth adalah… Namanya ternyata Seth Surf. Nada Surf adalah kakaknya, makanya dia ada di konser tersebut malam itu. Kebanyakan lagu-lagu yang dinyanyikan Nada adalah lirik dari buku diarinya. Aku tidak tahu kalau laki-laki ternyata suka menulis di buku diari.

Pada umur delapan belas tahun—setelah dia sembuh dari sunatannya—dia pergi ke Italia untuk kuliah menjadi seorang koki. Pada umur dua puluh dua tahun dia lulus dengan nilai terbaik di kelasnya. Kemudian dia membangun kedai yang sekarang ini. Kedua orang tuanya tinggal di Buffalo. Dia lahir di Louisiana. Dia tiga bersaudara dan dia anak tengah. Dia ternyata tinggal di gedung belakang apartemenku. Dia menyewa sebuah flat kecil. Tetapi rencananya dia akan membeli rumah yang ada di St. Quitman beberapa bulan lagi.

Kami pulang bersama, dia berkeras ingin mengantarku. Lagipula tempat tinggal kami searah. Dia tinggal memutar sedikit untuk menuju ke flatnya. Hanya saja, aku agak risih ketika dia melingkarkan tangannya yang kokoh itu di pundakku. Aku serasa sangat kecil di sampingnya.

“Terima kasih karena sudah mengantarku malam ini,” ujarku saat kami sudah berada di depan gedung pintu apartemenku. “Senang bisa berkenalan denganmu.” Kujulurkan tanganku ke arahnya.

“Sama,” ujarnya sambil menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum lalu berbalik untuk membuka pintu apartemen. Suaranya yang serak kembali berujar di belakangku. “Apakah aku tidak mendapatkan ciuman selamat malam? Biasanya aku mendapatkan ciuman dari cowok-cowok yang kukencani.”

Aku kembali berbalik ke arahnya dengan kedua alis terangkat. “Aku akan masuk sekarang. Sampai bertemu lagi kapan-kapan.”

Dia hanya tersenyum dan mengangguk. “Baiklah. Senang bisa berkencan denganmu Jun.”

Dia berbalik, kakinya yang panjang melangkah sekali untuk menuruni tangga. Aku memanggil namanya dengan suara parau. “Seth.” Dia kembali berbalik ke arahku, baru saja dia ingin membuka mulutnya untuk bertanya, aku langsung menempelkan bibirku ke bibirnya. Dia agak tekejut, tetapi memberikan kesan selamat datang di bibir kami yang terpaut. Saat dia ingin mendalami ciuman, aku langsung melepaskannya. “Selamat malam. Semoga mimpi indah.” Setelah aku berujar seperti itu, aku langsung masuk ke dalam gedung apartemenku. Tawanya yang serak memenuhi gendang telingaku.

“Ya, selamat malam. Kau juga… mimpi indah.” Kemudian dia pun berlalu sambil berseru senang di pinggir jalan. Aku hanya bisa tersenyum lebar dan berjalan cepat menuju ke kamar apartemenku dengan mendendangkan lagu kesukaanku. Ini benar-benar malam yang indah.

***

Kembali ke masa sekarang, kini aku sudah mati. Tubuhku tergeletak lemas di dalam peti. Mataku tertutup rapat, bibirku berkedut datar. Semua orang yang kukenal dan tidak kukenal memberikanku senyuman selamat tinggal. Mereka mengelus rambutku dan menganggukkan kepala mereka ke arahku. Sedangkan aku sendiri sedang berdiri di samping tubuhku. Aku menatap bulu mataku yang panjang, berharap kalau mata itu mau terbuka dan aku kembali ke dalam tubuhku. Tetapi sebesar apapun kemauanku, aku tidak akan bisa kembali lagi. Aku sudah pergi, namun belum benar-benar pergi karena aku masih di dunia fana ini.

Jay menghampiriku dan menaruh bunga melati di dalam dekapan tanganku sebelum akhirnya peti ditutup. Seth hanya berdiri saja di pinggir jendela sambil memegang cincin pernikahan yang seharusnya kami saling pakaikan hari ini kalau aku masih hidup. Matanya tidak berkedip sama sekali, hanya menatap lurus ke petiku dan berharap kalau aku bangun dari tidurku. Tetapi sebenarnya dia tahu kalau aku tidak akan pernah bangun lagi. Dan dia juga tahu kalau kami tidak akan pernah menikah sampai kapanpun.

Yang memberitahu Seth kalau aku meninggal adalah Jay. Pertama dia berteriak marah pada Jay karena mengeluarkan candaan yang tidak lucu. Namun ketika dia pergi ke rumah sakit dan melihat jasadku, barulah dia percaya. Semalaman dia tidur di rumah sakit bersama jasadku. Dia memelukku erat, tidak ingin melepaskanku. Wajahnya yang letih masih tidak mengeluarkan air mata, namun aku tahu semua tetesan air itu akan keluar juga dari pipinya suatu saat nanti. Dan aku tahu, aku tidak akan sanggup untuk melihatnya.

Aku pernah bertanya-tanya pada diriku sendiri, akan seperti apa pemakamanku nanti. Dan ternyata pemakamanku cukup ramai. Orang-orang yang menjadi saksi di tempat aku meninggal-pun datang. Mereka memberikanku kehormatan terakhir. Nenek-nenek yang kuselamatkan menangis tersedu-sedu di bawah pelukan tubuh Seth. Dia meminta maaf pada Seth karena menyuruhku untuk merebut tasnya dari perampok yang akhirnya malah membunuhku. Namun Seth tidak menyalahkan nenek itu. Akupun begitu, karena ini memang sudah ajalku. Seperti inilah jalan aku akan pergi meninggalkan dunia.

Air mata Jay makin membasahi wajahnya ketika dia melemparkan tanah ke dalam makamku. Ketika dia memberikan ucapan terakhir, dia berkata dengan nada lirih yang panjang. “Kau sahabat terbaik yang pernah ada. Kau tidak akan pernah kulupakan. Terima kasih karena sudah pernah menjadi sahabatku. Selamat jalan Jun. Aku menyayangimu.”

Ketika giliran Seth yang maju, dia hanya berkata sederhana dan memang ingin kudengar dari bibirnya. “Aku mencintaimu.” Dan selesai, dia lalu mundur dan kembali memeluk tubuh ringkih nenek itu. Saat makamku ditutup, Seth menundukkan kepalanya, kukira dia akan menangis, ternyata dia sedang mengucapkan sesuatu. Mengucapkan hal yang tidak kumengerti. Dia seakan-akan marah, tetapi aku bingung dia marah dengan siapa.

Pusaraku dan pusara Emily bersebelahan. Oh, iya, aku lupa memberitahu kalau Emily sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kanker rahim yang dideritanya. Tetapi sampai sekarang aku belum bertemu dengan Emily. Aku saja bahkan belum pergi dari dunia ini. Seakan-akan masih ada urusan yang belum kuselesaikan. Padahal aku yakin tidak ada hal yang belum kuselesaikan.

Kenapa aku dikuburkan disini? Di Amerika? Itu karena tidak ada satu orangpun di Indonesia yang bisa dihubungi. Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Yang memberitahuku berita itu adalah Moses, sepupuku. Aku dan dia mempunyai nasib yang sama, kami sama-sama gay. Dia memberitahuku saat aku dan Seth pulang ke Indonseia untuk menghadiri upacara pemakaman kedua orang tuaku. Aku memberitahunya kalau Seth adalah pacarku, dan dia langsung memberitahuku kalau dia juga gay. Tetapi sekarang dia berada di Austria. Jadi dia tidak bisa dihubungi.

Pemakaman akhirnya selesai. Semua orang pergi meninggalkan pusaraku. Tetapi Seth diam saja dan berjongkok di depan nisanku. Awalnya Jay ingin menemaninya, tetapi Seth bilang kalau dia akan baik-baik saja. Jay memang sangat peduli dengan Seth. Karena dia mencintai Seth sama sepertiku. Pertama aku tidak tahu kalau Jay adalah gay, tetapi dia memberitahuku saat dia bilang padaku kalau dia jatuh cinta dengan Seth. Dengan laki-laki yang selalu ada di lingkaran persahabatan kami. Aku memberitahu Jay kalau Seth adalah pacarku, dia terkejut lalu mencoba untuk menjauhi Seth, agar rasa cintanya ke Seth sirna. Namun aku tahu kalau Jay masih mencintai Seth sampai sekarang.

Apakah aku marah saat Jay memberitahuku kalau dia jatuh cinta dengan Seth? Aku tidak akan munafik, aku memang marah dengan Jay. Namun hanya beberapa hari, karena aku tidak bisa menyalahkan Jay. Cinta memang seperti itu, suka datang tiba-tiba. Membuatmu terkejut dan menjadikan dunia yang kau pijak tidak akan pernah sama lagi.

“Kenapa kau pergi?” aku terkejut ketika mendengar suara Seth yang bertanya langsam ke arah namaku yang terukir di batu nisan. “Seharusnya kita menikah hari ini.” Dia memandang tajam namaku. Mata samuderanya meneliti tajam seluruh tekstur batu nisanku. “Kenapa kau pergi?” dia bertanya sekali lagi sebelum akhirnya dia bangkit dan meninggalkan pusaraku dengan mata yang diselimuti sedih.

Aku kuatir saat dia berkeliling di jalanan. Sampai akhirnya dia pergi ke supermarket tempat aku meninggal. Dia mengambil pistol yang ada di dalam bagasi kecil yang ada di dekat kemudi. Matanya yang tajam dan penuh amarah menatap keluar. Menunggu perampok yang telah membunuhku. Nafasnya terus menderu dengan tidak teratur. Setelah dia menunggu sekitar sepuluh jam lebih, dan malampun tiba, akhirnya dia menaruh kembali pistol itu ke dalam bagasi. Dia melajukan mobil menuju ke rumah.

Saat dia sudah berada di rumah kami, dia langsung pergi ke kamar mandi. Membersihkan badannya dari semua hal yang terjadi hari ini. Setelah dia selesai mandi, dia langsung mengenakkan tuxedo yang kubelikan untuknya saat ulang tahunnya yang ke dua puluh enam. Dia menyisir rambut pirangnya ke belakang. Parfumnya yang wangi persik dia semprotkan ke tubuhnya. Kemudian, dia berjalan menuju ke arah dapur. Dia menyalakan lilin lalu ditaruhnya di tengah meja. Kini aku sadar, dia melakukan tindakan yang kuperintahkan padanya sebelum aku meninggal.

Dia lalu duduk dan mulai menatap ke arah dapur. Suaranya yang serak mulai berdendang langsam. “Cats and dogs are coming down, fourteenth street is gonna drown, everyone else rushing round,” dia berhenti sejenak sebelum menuju ke reff. Matanya tertuju ke dapur, berharap kalau aku sedang memasak disana. “I’ve got Blonde On Blonde, on my portable stereo, it’s a lulaby, from a giant golden radio.”

Akhirnya matanya berpindah ke undangan pernikahan kami. Dia mengambil undangan itu, lalu dia menggenggamnya dengan erat. Kemudian hal itupun terjadi, hal yang paling tidak ingin kulihat di wajahnya. Satu, dua, tiga, empat bulir air mata berjatuhan dari mata samuderanya. Dia meremas kuat undangan itu di tangannya. Cincin yang dia gunakan di jari manisnya terkena tetesan air matanya. “Kumohon…” ujarnya parau. “Pulanglah Jun. Aku benar-benar merindukanmu.” Air mata terus mengalir di wajahnya. “Kumohon, kembalilah lagi padaku. Kumohon, pulanglah. Aku mencintaimu Jun. Kumohon, pulanglah.”

Dia terus merapalkan kalimat itu dengan air mata yang menemaninya. Undangan yang ada di tangannya kini sudah remuk tak terbentuk. Aku maju ke arahnya, untuk memeluk tubuhnya, namun aku tidak bisa. Aku malah menembus tubuhnya. Dia tidak tergapai olehku. Dia sulit untuk kuraih. Dia begitu jauh dariku. “Kumohon, pulanglah.” Saat dia mengatakan kalimat tersebut untuk terakhir kalinya, kedengarannya seperti rapalan mantra. Beberapa menit kemudian, akhirnya dia tertidur bersama dengan kesedihan yang mendalam.

***

Kembali lagi saat aku masih hidup. Setelah kami berkencan selama sebulan penuh, akhirnya kami berpacaran. Aku masih tidak mengerti apa arti dari kata “Pacaran”. Bersama dengan Seth menurutku melebihi dari itu. Dia orang yang baik, penuh perhatian, romantis, jenaka, dan sangat pintar masak. Setiap hari, dialah yang memasakiku makanan. Sekarang tidak ada lagi salad selada. Tidak ada lagi makanan kotak yang selalu kubeli di replika China Town. Setiap hari aku bisa memakan apa saja yang kumau. Seth akan membuatkannya untukku.

Di bulan ke-enam kami bersama, akhirnya Seth dan aku membeli sebuah rumah bergaya Victoria yang ada di dekat St. Quitman. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Intinya, rumah itu sangat nyaman. Ada dua kamar di rumah tersebut, perkarangannya asri dan tetangga-tetanggaku adalah orang yang baik. Saat kami pindahan, mereka membantu mengangkatkan barang-barang kami ke dalam rumah.

“Geser sedikit,” kataku saat Seth sedang memasang jam dinding. “Geser sedikit lagi,” kataku sambil memperhatikan lekat-lekat jam itu, apakah sudah terlihat seimbang di dinding apa belum. “Dan, pas.”

Seth turun dari atas bangku, dia memperhatikan jam yang sudah menempel dengan lekat di dinding. Tangannya yang kokoh melingkari pundakku. Kepalanya menunduk sedikit ke kepalaku lalu dia mencium ubun-ubunku. “Kau wangi,” katanya dengan suara menggoda. “Aku suka wangi rambutmu.” Kemudian dia memutar tubuhku, dia menunduk sedikit lalu bibir ranumnya menyentuh halus bibirku.

Kami mempunyai masa-masa yang indah dan juga masa-masa yang buruk. Semua hal itu datang silih berganti, jika kemarin aku mempunyai masa yang indah, lusa aku pasti akan mendapatkan masa yang buruk. Dan itu benar adanya. Dua hari sebelum aku meninggal, Seth melamarku. Lalu dua hari kemudian, akupun meninggal dunia. Roda kehidupanku selalu seperti itu. Berputar, berbelok dan akhirnya patah tak bersisa.

Rabu pagi, beberapa tahun yang lalu aku mendapatkan telpon dari sepupuku, Moses. Berita yang sangat tidak mengenakkan yang pernah menyerang telingaku. Kedua orang tuaku meninggal. Karena kecelakaan lalu lintas, kepala mereka terbentur dasbor mobil. Terjadi gegar dan pendarahan di otak mereka. Ibuku masih hidup saat dibawa ke rumah sakit, namun meninggal saat dokter baru saja mau menanganinya. Sedangkan Ayahku langsung meninggal di tempat. Moses yang menceritakan hal itu padaku. Dalam sekerlip mata aku menjadi Yatim-Piatu. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali Seth dan Moses.

Selasa pagi, beberapa tahun setelah kedua orang tuaku meninggal, Seth-pun mendapatkan berita yang sama. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku dan Seth pun kini mempunyai nasib yang sama. Kami tidak mempunyai orang tua lagi, tetapi kami bersyukur karena pernah mengenal mereka. Telah dapat dipeluk ketika dingin datang, diberikan senyuman selamat datang saat kami berada di dekat mereka. Intinya, mereka meninggalkan kami dengan cinta mereka. Jadi kami berdua tidak akan kekurangan apapun meskipun mereka meninggalkan kami untuk selamanya.

Aku juga masih ingat saat kami berkelahi beberapa bulan yang lalu. Yang disebabkan karena hal sepeleh. Aku juga tidak mengerti kenapa Seth bisa semarah itu. Dalam beberapa tahun kami bersama, dia tidak pernah semarah sekarang. Wajahnya yang panjang mengeras saat kami sudah berada di dalam rumah. Bibir ranumnya terkatup rapat, mata samuderanya menatapku dengan tajam.

“Jangan pernah tersenyum semanis itu padanya! Aku tidak suka!” Dia membanting pintu kamar saat kami sudah berada di dalamnya.

“Apa maksudmu?” aku bertanya berang. Dia menyulutkan emosiku juga, aku tidak pernah merasa se-berang ini terhadapnya sebelum-sebelum ini.

Dia melepaskan kemeja hitamnya, setelah dia sudah tidak mengenakan apapun kecuali celana dalamnya, dia langsung terjun ke atas tempat tidur. “Aku tidak suka kau tersenyum semanis itu kepada mantanmu tersebut!” Dia menarik selimut hingga menutupi seluruh badan telanjangnya. Meninggalkanku sendirian dengan kemarahan yang menggantung.

“Aku tidak tersenyum manis, tetapi aku tersenyum ramah padanya. Lagi pula Matt adalah temanku sekarang!”

Seth menyentakkan selimut, wajahnya yang keras menggeram ke arahku. “Jangan membuatku tertawa! Tidak ada orang yang di dunia ini bisa berteman dengan mantan mereka. Yang ada mereka akan saling jatuh cinta lagi. Lalu mereka akan mulai saling menyakiti kembali. Seperti itulah rantai kehidupan seseorang dengan mantannya!”

Mulutku ternganga lebar. “Aku bisa berteman dengan Matt. Aku tidak akan jatuh cinta padanya lagi. Aku sudah jatuh cinta padamu!”

Dia hanya mendengus dan kembali menutupi badannya dengan selimut. “Aku lelah Jun. Lebih kau diam sekarang!”

Apa yang dia bilang tadi? Berani-beraninya dia menyuruhku diam. “Kau cemburu buta, dasar idiot!” Aku menimpuknya dengan bantal, matanya yang biru langsung terbuka. “Matt dan aku hanya berteman. Tidak lebih dari itu. Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya lagi, aku sudah punya kau dan dia sudah punya istri sekarang!”

Seth hanya mendengus, dia kembali menutup matanya. Aku menekan pelipis mataku, antara kalut, marah dan sedih. Aku menarik selimut yang dia gunakan, kuambil bantal dan juga guling. “Kau mau kemana?” tanyanya saat aku sudah berada di depan pintu sambil menenteng-nenteng alat tidur.

“Tidur di luar,” desisku kesal. “Tidak perlu menahanku.”

“Siapa juga yang mau menahanmu!” hardiknya kejam.

Aku keluar dari kamar dengan perasaan yang benar-benar marah. Kubanting pintu sekuat mungkin. Lalu berjalan cepat menuju ke sofa yang ada di ruang tengah. Akhirnya, setelah berkutat dengan kekesalan selama tiga puluh menit, akhirnya aku tertidur. Namun saat aku baru saja ingin masuk ke dalam mimpi, tiba-tiba sentuhan hangat menyentuh pipiku. Aku membuka mataku dan melihat Seth sedang berada di hadapanku. Tatapannya sayu, senyumannya tipis namun menyesal. Dia mengelus rambutku lalu menciumnya dengan desahan lembut. Membuatku merasa aman dan ada.

“Maaf,” bisiknya lirih. “Aku sedang kalut dan benar-benar cemburu tadi.” Dia menatapku dengan mata samuderanya yang sangat kusuka itu. “Aku saja yang tidak sadar kalau senyumanmu memang akan selalu manis kepada siapapun.” Dia mengecup keningku halus. “Maafkan aku karena bersifat brengsek kepadamu. Maafkan aku karena bersifat—”

“Bajingan,” sahutku sambil mencari-cari matanya.

Dia tersenyum lebar. “Ya, itu. Dan juga karena sudah bersifat—“

“Jalang,” aku menyahut lagi, tetapi kali ini ditemani dengan senyuman.

Dia tertawa, tangannya yang kokoh menarikku ke dalam dekapannya. “Kau memang pintar menghinaku, ya kan?” ujarnya sambil mencubit pipiku. Aku tidak tahu kenapa dia suka sekali mencubit pipi kurusku. Maksudku, rasanya sangat sakit ketika tangannya yang besar itu menarik kulitnya. Tetapi meskipun begitu, rasanya sangat menyenangkan jika dia yang melakukan itu padaku.

“Namun meskipun kau bersikap brengsek, bajingan, dan jalang terhadapku, aku akan tetap mencintaimu. Selalu mencintaimu,” aku menarik kepalanya dan mencium lembut bibirnya. Dia membalas ciumanku dengan senyuman suka hati.

“Aku juga mencintaimu,” katanya sambil menarikku ke dalam gendongannya. Aku hanya bisa pasrah dan mengeratkan tanganku di lehernya. Rasanya sangat aneh jika digendong seperti sekarang ini, namun rasanya sangat menggembirakan kalau berada di dalam dekapannya. “Sekarang kau harus kembali ke tempat tidur bersamaku. Rasanya sangat aneh kalau tidak ada kau di sebelahku.”

Aku tersenyum dan menenggelamkan kepalaku di dalam dekapan dadanya. Saat dia membaringkanku di atas tempat tidur, dia merengkuhku di dalam pelukannya. Dan akhirnya, bersama-sama kami tidur sampai pagi.

***

Kembali ke kisah ketika aku sudah mati. Kini aku sudah lima bulan berada di bumi. Belum juga pergi-pergi ke akhirat. Setiap hari, yang kulakukan adalah menonton kehidupan orang-orang yang kusayangi. Berdiri di samping mereka ataupun di belakang tubuh mereka, melihat segala hal yang mereka lakukan. Menyakitkan rasanya, ketika aku melihat mereka menjalani hidup mereka dengan begitu lepas. Sedangkan aku masih ada di dunia ini dengan wujud arwah dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan disini.

Ini yang ke-empat kalinya aku masuk ke dalam mimpi Jay. Tetapi tidak pernah sekalipun aku mendekatinya. Aku tidak mau dia bersedih lagi karena melihatku. Aku tidak mau melihat sahabatku kembali berduka jika dia mendapati aku berada di dalam mimpinya. Jadi yang kulakukan hanya diam saja sambil memperhatikan mimpinya yang suka berganti-ganti, mirip sekali seperti channel TV.

Aku kaget saat Jay tiba-tiba bermimpi sedang berpelukan dengan Seth di pinggir pantai. Aku yang sedang duduk di atas batu karang hanya bisa melihat mimpi itu dengan perasaan getir. Kemudian mimpi Jay kembali berganti, sekarang dia berada di dalam rumah keluarganya sambil menikmati teh hangat yang ada di tangannya. Aku menatap tajam wajah Jay dari balik pintu rumahnya, mencari-cari hal kenapa aku bisa berada di dalam mimpinya. Kemudian saat Jay menyebut nama Seth dengan lirih dari balik gelas teh hangatnya, kini aku mengerti apa yang harus kulakukan untuknya. Tujuan kenapa aku berada di dalam mimpinya.

Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah; apakah aku sanggup?

Hanya saja inilah kesempatanku untuk membuat semua orang yang kusayangi bahagia. Agar mereka benar-benar bisa melepaskan siluet diriku di kehidupan mereka. Aku mengerti, aku mungkin akan terasa sakit awalnya. Namun aku akan mencoba, jika untuk kebahagiaan mereka, kenapa aku tidak mau melakukannya.

Kudorong pintu rumah Jay dengan perlahan, mata Jay yang mirip sekali seperti amber menatapku dengan kaget. Gelas teh yang dipegangnya meluncur jatuh dari tangannya. Tanpa terduga, tiba-tiba dia bangkit dan menerjangku dengan pelukan. Rasa hangat dari tubuh Jay tidak bisa meresap ke dalam diriku. Aku benar-benar merasa hampa sekarang. Seperti aku ini sudah tidak seharusnya berada di dekat mereka lagi.

“Hallo Jay,” sapaku dengan berbisik di telinganya. Kubalas pelukannya dan mengelus punggungnya saat dia mulai menangis di pundakku. “Bagaimana kabarmu?”

“Kenapa kau meninggal?” Jay malah bertanya balik padaku, alih-alih dia menjawab apa yang kutanyakan padanya. “Kenapa kau meninggalkanku sendirian di dunia ini? Emily sudah tidak ada, dan kau pun sudah tidak ada. Siapa orang yang akan mau mendengar ceritaku lagi jika kau dan Emily sudah pergi seperti ini? Kalian berdua benar-benar kejam.”

“Aku tidak benar-benar pergi,” kataku sembari melepaskan pelukan. Aku mengajaknya ke kursi yang tadi dia duduki. Kami duduk bersisian, sambil menyesap teh yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami. Ini mimpi, semua hal terjadi dengan begitu cepat dan tak terduga, jadi jangan terlalu kaget akan hal tersebut. “Aku masih berada di sekitarmu. Jika kau ingin bercerita apapun, kau tinggal mengatakannya saja. Aku mungkin tidak bisa menyanggah, tetapi aku akan selalu ada untukmu.”

Wajah Jay terlihat sangat terpukul. Dia meremas gelas teh-nya dengan erat. “Tetapi aku butuh sanggahanmu. Aku ingin kau memberikanku masukan di dalam cerita yang kuberitahukan kepadamu. Kau kan sahabatku.”

Aku hanya tersenyum ke arahnya. Aku menaruh gelas teh di atas tatakan. “Aku memang sahabatmu, dan kau akan selalu menjadi sahabatku.” Aku menatap lembut matanya, mencoba memberikan Jay kenyamanan. “Jay, ada yang ingin kutanyakan padamu. Boleh tidak?”

“Tentu,” kata Jay sedih. “Silahkan, aku senang bisa bertemu denganmu disini.”

“Apakah kau masih mencintai Seth?” tanyaku hati-hati.

Jay langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia terlihat gusar. “Maafkan aku,” katanya pelan.

“Kau tidak perlu meminta maaf,” ujarku sambil menepuk pundaknya. Jay menggadahkan kepalanya dan menatapku lekat-lekat. “Jika kau masih mencintainya, maka cintailah dia seperti aku mencintainya Jay. Buat dia tertawa, buat dia tersenyum lagi seperti dulu. Aku ingin kalian berdua bahagia. Aku ingin kalian berdua… bersatu.” Aku tersenyum teguh ke arah Jay. Kutetapkan hatiku. Aku harus melepaskan semuanya sekarang, aku ingin orang-orang yang kucintai bahagia.

“Bolehkah Jun?” tanyanya dengan mata berlinang.

Aku tersenyum lebar. “Tentu Jay. Kau dan Seth harus bahagia. Kalian berdua harus bahagia.”

Jay kembali menerjangku dengan pelukannya. Tangisan meluncur lancar di matanya, kini aku mengerti apa arti dari memberi. Apa arti dari melepaskan apa yang memang harus kulepaskan sekarang. Mungkin inilah sebabnya aku masih ada di dunia ini. Aku harus menyuruh mereka untuk bahagia walaupun aku sudah tidak ada di tengah-tengah mereka lagi.

“Jangan pergi!” ujar Jay saat badanku mulai memudar dengan perlahan.

Ku-elus kepalanya, memberikan tanda padanya kalau aku menyayanginya. “Berjanjilah padaku kalau kau akan menjaganya, mencintainya, dan akan selalu ada untuknya.”

Pelukan Jay terlepas, kakiku sudah pudar sepenuhnya, tanganku juga, badanku juga, dan seluruh tubuhku hampir menghilang. “Aku berjanji,” ujarnya sambil berlari mengejarku yang tiba-tiba pergi menjauh darinya. “Kita akan bertemu lagi-kan Jun?”

“Tentu saja Jay. Kau, aku dan Emily, kita bertiga akan saling berkumpul lagi suatu saat nanti. Tunggu saja. Aku dan Emily akan setia menunggumu.” Aku makin menjauh dari tubuh Jay yang berlari mengejarku. “Sampai jumpa lagi Jay.”

“Sampai jumpa lagi,” teriaknya nyaring dengan nada pedih.

Aku hanya tersenyum, lalu diapun terbangun dari tidurnya.

***

Bagaimana dengan nasib pembunuhku? Oh, dia baik-baik saja pastinya. Saat ini bahkan dia sedang merampok tas orang lagi. Kini aku bisa melihat wajahnya yang tirus, agak berantakan namun terlihat sangat bersemangat. Matanya yang hijau bagaikan daun, menatap tajam ke arah jalanan Manhattan yang ramai. Dia berlari dengan kencang, gerakan tubuhnya luwes saat melewati kerumunan orang yang bagaikan semut. Perempuan yang tasnya dirampok oleh orang tersebut hanya bisa berteriak dengan nada pasrah.

Lari pembunuhku sangat cepat, dia pintar memperkirakan kemana dia harus berlari dan kemana dia harus bersembunyi. Selama beberapa bulan ini aku memperhatikannya. Yang kuketahui tentang dirinya adalah… namanya Ramsay Bennet. Umurnya sekitar dua puluh sembilan tahun. Dia awalnya adalah orang baik-baik, dengan pekerjaan yang sama baiknya dengan dirinya sendiri. Namun karena dia dipecat dan istrinya meninggalkannya, dia melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dia lakukan.

Ramsay Bennet, aku suka menyebut nama pembunuhku. Namanya seperti nama-nama raja yang ada di London pada tahun 1700-an. Nama yang seharusnya menorehkan sebuah sejarah ataupun sebuah penemuan yang berharga. Bukan nama yang dicari-cari polisi karena kejahatan yang sering dia lakukan.

Aku masih mengikuti tubuhnya yang sedang berlari kencang. Dia mencoba menyeberang jalan, namun kerumunan orang selalu menghalanginya. Matanya yang hijau berkilat-kilat gila saat mendorong semua orang yang menghalangi jalannya. Sumpah serapah dia dapatkan dari orang-orang yang ditabraknya, namun dia mengabaikannya bagaikan tidak ada yang sedang menghujamnya dengan kalimat-kalimat tajam.

Dan akhirnya dia sudah berada di pinggir jalan, bersiap-siap untuk menyeberang. Sayangnya sebuah teriakan yang memekakkan telinga membuatnya terkejut. Dia mengira ada seseorang yang meneriakinya, padahal teriakan itu hanya berisi kekagetan seorang wanita karena tiba-tiba high heels yang dia gunakan patah.

Mataku masih terpaku ke arah pembunuhku saat dia sedang menyeberang jalan dengan gelagapan. Kemudian hal itupun terjadi, karena dia ling-lung, dia tidak sadar kalau ada sebuah van yang akan menyerempetnya. Dan ya, akhirnya dia benar-benar terserempet van itu. Dia terkejut, badannya sempoyangan sehingga dia terjatuh di tengah jalan. Baru saja dia ingin mengangkat kepalanya, tiba-tiba sebuah truk pembawa barang melindas kepalanya hingga gepeng. Bola matanya yang berwarna hijau bagaikan daun itu bergulir dengan lemah ke bawah kakiku.

***

Badan Seth sekurus jarum, pandangan matanya kosong, senyuman menghilang dari bibirnya, dan kini dia makin tenggelam dalam duka.

Jika keadaan ditukar, mungkin aku akan sama seperti Seth sekarang. Aku tidak pernah membayangkan hidupku tanpa Seth. Aku pernah bertanya-tanya pada diriku sendiri, akan seperti apa kehidupanku jika aku tidak pernah berkenalan dengan Seth. Apakah sekarang aku masih hidup? Apakah aku akan mempunyai laki-laki yang lebih baik darinya?

Namun kini aku tahu, kalau aku tidak pernah bersama dengannya, aku tidak akan pernah mengerti apa itu artinya mencintai seseorang tanpa meminta lebih darinya. Aku tidak akan pernah belajar bagaimana caranya bersabar dan tulus dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan aku juga yakin, tidak akan ada laki-laki lain yang bisa lebih baik darinya. Aku akan selalu bersyukur karena dia pernah hadir di hidupku. Lagi pula, dia mencintaiku. Dan itu cukup untuk segalanya.

“Aku pulang dulu Gale,” kata Seth sambil melepaskan celemek masaknya. Nada suaranya datar, mengundang tatapan iba dari beberapa mata pelayan yang sudah kukenal baik. “Kau saja yang tutup kedainya, aku harus pulang cepat sekarang. Jun menungguku di rumah. Kami ada dinner istimewa malam ini.”

Tatapan mata orang-orang itu makin mengiba. Sudah beberapa bulan ini Seth tidak mengakui kepergianku. Dia masih selalu bertindak seakan-akan aku masih ada di dunia ini. Dia dianggap gila oleh banyak orang. Bahkan kakaknya, Nada, menganggapnya terlalu terpuruk ke dalam duka. Namun aku mengerti perasaan Seth. Dia telah ditinggalkan kedua orang tuanya, dan juga kutinggalkan pergi untuk selamanya.

“Kau ingin makan apa malam ini?” tanyanya ke arah kursi yang biasanya kududuki. Senyumannya mengembang, namun tidak mengukir arti apapun. “Kau mau sup daging atau kepiting dugeness?” Dia berjalan cepat menuju ke kulkas. Meneliti isinya dengan serius. “Ah, bagaimana kalau udang goreng bumbu kecap? Makanan kesukaanmu.”

Aku berjalan pelan menghampirinya, namun tanganku masih tidak bisa meraihnya. Kami begitu dekat, tetapi angan kami begitu jauh. Dia menyiapkan makan malam itu untukku. Dia menyediakan segalanya, menuangkan segalanya, di atas piring yang tidak akan pernah kusentuh. Yang tidak akan pernah kunikmati apa yang terhidang di dalamnya. Seth menikmati makan malamnya sambil melirik ke arah piring yang masih dan akan selalu terisi penuh tersebut.

“Hari ini kedai banyak pengunjung seperti biasa,” ujar Seth sambil mengelap mulutnya. “Kalau kau, bagaimana keadaan di kantor? Bagaimana kabar Jay?” Dia diam beberapa menit, seakan-akan sedang mendengarkanku bercerita seperti saat aku masih hidup. “Nada akan menikah beberapa hari lagi dengan Beatrix di Pennsylvania. Kalau kau tidak sibuk di kantormu dan kau bisa ambil cuti, kita akan pergi kesana. Kau mau?”

Aku mengangguk, meskipun aku tahu Seth tidak akan melihatnya.

Seth tersenyum hambar. “Baiklah kalau begitu. Aku akan membeli tiket pesawatnya hari kamis.” Kemudian dia melanjutkan makan dalam diam. “Kau tidak suka dengan makanan yang kubuat?” tanyanya sambil menunjuk piring yang penuh dengan makanan yang tadi dia tuangkan di dalamnya. “Kau harus makan sesuatu, biar badanmu tidak sekurus lidi.” Dia menuangkan sampanye ke dalam gelas yang ada di samping piring yang ada di hadapanku.

Setelah itu, makan malampun selesai. Dia membereskan segalanya. Mencuci piring, mengelap meja, membersihkan dapur dan hal-hal yang sering dia lakukan. Ketika dia sudah selesai mengurus itu semua, dia kemudian berjalan cepat menuju ke kamar. Dan disinilah dia baru sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan tadi. Langkahnya pelan saat menuju ke tempat tidur. Kepalanya terkulai lemas saat dia membaringkannya di bantal. Untuk beberapa saat dia hanya menatap sisi tempat tidur yang selalu kutempati. Dia mengelus bantal yang sering kugunakan, menatap bantal itu seolah-olah itu adalah wajahku. Kemudian hal itupun berlangsung, beberapa bulir air matanya akhirnya mengalir lancar dari pelipis matanya.

“Kumohon Jun,” ujarnya parau, “kembalilah.”

Berikutnya, dia jatuh tertidur dengan air mata yang masih mengalir lancar di pipinya. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri di sampingnya, sambil mengamati wajahnya yang permai ketika tertidur seperti sekarang ini. Namun tiba-tiba pandanganku berubah, kini aku sudah berada di belakang tubuh Seth. Dia membelakangiku sambil duduk diam di teras rumah kami. Tangannya sibuk membolak-balikan koran.

Dengan hati-hati, aku menyentuh pundaknya dan kali ini benar-benar tersentuh. Kini aku tahu aku ada dimana, sekarang aku sedang berada di dalam mimpinya. Dalam beberapa bulan setelah kematianku, aku tidak pernah sekalipun masuk ke dalam mimpinya. Namun sekarang aku bisa masuk, dan aku mengerti apa tujuanku kenapa aku datang ke dalam mimpinya saat ini. Aku tahu apa yang Tuhan inginkan untuknya melaluiku.

“Seth,” aku memanggilnya lirih. Dia berbalik secepat kilat. Matanya yang biru melotot tajam ke arahku. Bibirnya bergetar, tidak bisa berkata apa-apa. Tetapi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku datang ke dalam mimpinya. “Aku mencintaimu, kau tahu itukan?”

Jika kau sudah mati, aku yakinkan kau kalau kau tidak akan pernah bisa menangis sama sekali. Aku sudah pernah mencobanya, tetapi aku tidak bisa menangis. Aku hanya merasa sedih, namun tidak ada air mata yang bisa keluar dari mataku. “Jun,” lirihnya. Suaranya yang terkejut tidak bisa dia sembunyikan. “Kau… ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu.”

Aku merengkuhnya dalam pelukan, merasakan kerinduan yang mengaliri tubuhnya ke dalam tubuhku. Aku merasa hidup lagi ketika dia membalas pelukanku. Air matanya yang dingin menetes pelan di pundakku. Deruan nafasnya menghembus di ubun-ubun kepalaku. “Kau seharusnya berhenti bersedih.” Aku memasukkan jari-jariku ke dalam rambutnya yang pirang. “Aku tidak suka melihatmu menangis untukku.”

Dia menjauhkan kepalanya dariku. “Aku tidak bisa menghilangkan sosokmu dari pikiranku. Aku ingin kau selalu ada disini, disisiku.”

“Aku akan selalu ada disisimu. Selalu Seth.”

“Jangan pergi,” katanya saat aku mulai menjauhi tubuhnya. “Kumohon, tetaplah bersamaku disini. Jangan pergi kemana-mana lagi. Aku merindukanmu.”

Kukecup bibirnya singkat, merasakan bibir ranum itu di bibirku. “Sebelum aku benar-benar pergi, maukah kau memenuhi satu permintaanku Seth.” Kakiku terus berjalan tanpa bisa kuhentikan. Seth mengikutiku dengan langkah panjang. Kepalanya mengangguk kuat saat kami sudah semakin jauh dari rumah kami. “Maukah kau mencintai Jay seperti kau mencintaiku? Aku ingin kau dan dia bahagia. Dia mencintaimu, dan kau bisa belajar untuk mencintainya. Kalian berdua harus hidup bahagia.”

Seth tampak terkejut, namun hanya beberapa saat. “Tidak, aku tidak mau mengkhianati cinta kita. Aku tidak mau bersama orang lain selain kau. Aku hanya mencintaimu, aku tidak bisa mencintai orang lain.”

“Kau bisa belajar untuk mencintainya,” kami semakin menjauh. Aku merasakan diriku mulai pudar dari mimpinya. “Aku harus pergi Seth. Kau baik-baik ya disini. Jaga Jay untukku. Aku mencintaimu.”

“Tidak!” pekik Seth sambil berlari mengejarku. “Aku tidak mau kau pergi. Aku tidak megizinkanmu untuk pergi. Kumohon Jun, hantui aku! Aku tidak keberatan. Kumohon, jangan pergi! Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

Kini aku sadar apa yang menahanku di dunia ini. Seth-lah yang menahanku. Dia masih tidak rela aku pergi. Dia masih ingin aku tinggal di dunia ini. “Biarkan aku pergi Seth.”

“Tidak akan pernah!” katanya marah yang dicampur sedih. “Kau tidak boleh pergi kemana-mana. Kau akan selalu berada disini untukku. Untuk cinta kita.”

Setelah dia berkata begitu, akupun menghilang dari mimpinya.

***

“Apakah kau bahagia Seth?” tanya Nada sambil melirik tajam ke arah Seth. Aku berdiri diantara mereka, sambil memperhatikan pergerakan tubuh mereka yang pelan. “Dan jangan bilang padaku kalau kau bahagia. Aku tahu kau tidak bahagia, dan kau seharusnya bisa bahagia. Aku tidak mengerti kenapa kau selalu bersedih. Jun meninggalkanmu bukan untuk selamanya, suatu hari nanti kau akan bertemu lagi dengannya.”

“Suatu hari itu kapan?” ujar Seth, mata samuderanya melamun.

“Suatu hari itu adalah ketika kau akhirnya juga pergi ke tempat yang lebih baik daripada tempat ini.” Suara baru itu membuatku dan kedua kakak-beradik itu menoleh ke belakang. Jay dengan senyuman hangatnya sedang menyapa Seth. “Halo Nada, Beatrix mencarimu. Dia bilang sudah saatnya kalian berdua untuk memotong kuenya.”

“Ah, terima kasih Jay atas pemberitahuannya,” Nada menaruh gelas sampanyenya di tangan Seth. “Sampai bertemu denganmu lagi adik kecil.” Nada menepuk pundak Seth sebelum akhirnya dia menghilang di kerumunan tamu undangan.

Seth dan Jay saling berpandangan lama. Mata birunya tenggelam di mata amber Jay. “Halo Seth Surf, apa kabarmu?” Jay membuka percakapan dengan sebuah senyuman yang terukir halus di bibirnya.

“Halo juga Jay MacCready,” sapa Seth sambil mencoba menggunakan nada cerianya. Namun malah nada hambar yang meluncur dari mulutnya. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat. Kalau kau bagaimana? Apakah Jun berkelakukan baik di kantor?”

Jay tersentak, matanya mengerjap-ngerjap cepat. “Aku juga baik-baik saja, seperti yang kau lihat.” Dia menghampiri Seth, lalu dia menjijitkan sedikit kakinya untuk berbisik ke telinga laki-laki itu. “Jun sudah meninggal Seth. Kapan kau akan menerima hal itu?”

“Dia tidak meninggal,” desis Seth marah. “Dia masih disini bersamaku.”

Dengan perlahan, Jay mengambil tangan Seth, kemudian dia menaruhnya di dalam genggaman tangannya. “Dia memang akan selalu berada disini. Tetapi Seth, dia sudah meninggal dunia. Dan kau harus melanjutkan hidupmu. Aku telah berjanji pada Jun untuk menjagamu, dan aku akan melaksanakannya. Mau kau suka atau tidak, aku tetap akan melakukannya. Itu bukan untukmu, tetapi aku melakukannya untuk Jun. Dia ingin kau bahagia, dia ingin kau tertawa seperti dulu lagi. Dia ingin kau menjadi dirimu yang lalu.”

“Dia juga menyuruhku untuk mencintaimu, tetapi aku takut aku tidak akan bisa melakukannya. Hatiku hanya untuknya.” Seth melepaskan genggaman tangan Jay dari tangannya. Kemudian dia mencoba berjalan menjauhi Jay.

“Kau bisa belajar membuka hatimu,” ujar Jay. “Aku yakin Jun juga mengharapkan itu. Aku memang mencintaimu Seth, tetapi aku juga tahu, Jun lebih mencintaimu. Aku melakukan ini agar dia bahagia disana. Kau tidak ingin melihatnya bahagia Seth?”

Seth memberhentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya, menghadapkan wajahnya ke arah Jay. “Tentu saja aku ingin dia bahagia. Aku selalu ingin dia bahagia.”

“Maka kau harus memulai kebahagiaanmu terlebih dahulu.” Jay berjalan menghampiri Seth. “Aku akan membantumu untuk menemukan kebahagiaan itu. Ini semua harus kita lakukan demi Jun. Hanya untuknya.”

Seth tidak berkata apa-apa, tetapi dia meraih tangan Jay ke dalam dekapan tangannya. Aku tersenyum lebar melihat itu semua. Aku tahu, mereka berdua akan mencoba. Kini… semua duka itu akan mereka arungi. Seiring berjalannya waktu, aku yakin akan melihat orang-orang yang kukasihi melanjutkan hidup dengan mengarungi duka yang makin lama makin terobati. Aku mendekati mereka, mencoba untuk memeluk tubuh mereka, walau aku tidak bisa menyentuhnya, tetapi aku tahu rasa cintaku mengalir ke dalam tubuh mereka.

***

Aku benar, Seth akhirnya bisa mengarungi duka. Hatinya terbuka, dan Jay masuk ke dalamnya. Aku tidak perlu menceritakan detailnya untuk kalian, karena terkadang hal-hal indah tidak perlu diumbar-umbar. Yang harus kalian ketahui sekarang adalah; mereka berdua saling mencintai sekarang, aku memperhatikan kedekatan mereka selama hampir satu tahun. Ikut tertawa dengan mereka, ikut tersenyum ketika mereka saling melemparkan lelucon. Akhirnya Seth bahagia, dan entah mengapa aku juga merasakan hal yang sama. Namun terkadang aku agak cemburu melihat mereka, tetapi aku tahu kalau inilah yang seharusnya terjadi. Mereka berdua harus hidup bahagia bersama.

Aku masih mempunyai mimpi-mimpi yang belum terpenuhi, aku sangat ingin meraih mimpi-mimpi itu. Namun aku sekarang sudah tidak bisa melakukannya. Aku telah tiada, tetapi aku tidak menyesalinya. Aku baik-baik saja dengan itu semua. Jadi… untuk kalian yang masih hidup, hargailah waktu. Kejarlah mimpi kalian sebelum terlambat. Kita tidak tahu kapan kita akan pergi dari dunia ini. Tetapi sebelum itu semua terjadi, lakukanlah yang terbaik untuk hidup kalian. Jadilah diri kalian sendiri, cintailah kehidupan kalian. Semoga kalian semua panjang umur dan hidup bahagia.

“Jun,” ujar Seth di sela-sela tidurnya bersama Jay. “Kau sedang apa sekarang?” Mata samuderanya menerawang, tetapi aku bisa merasakan kebahagiaan disana. “Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku sudah bisa membiarkanmu pergi. Aku dan Jay akan baik-baik saja serta bahagia disini. Kami sudah berdua memenuhi janjimu. Sekarang kaulah yang harus bahagia.” Seth menutup matanya lalu tersenyum sendu. “Aku mencintaimu Jun. Sekarang kau boleh pergi. Aku tidak akan menahanmu lagi sekarang.”

Senyumanku mengembang. Aku berjalan menghampirinya dan mengelus pipinya. Walau tidak tersentuh, tetapi aku bisa merasakan ketulusannya. Sekarang dia bisa membiarkanku pergi. Aku bahagia karena akhirnya dia mau melakukan kerelaan itu untukku.

Cahaya terang yang menyilaukan menerangi kamar yang gelap ini. Aku menyipitkan mataku saat ada seseorang yang menghampiriku. Suaranya hanya berupa bisikan saat berujar lembayung kepadaku. “Apa kabar Jun? Akhirnya kita bertemu juga.” Emily, dengan rambut merahnya yang tergerai panjang sedang datang menghampiriku.

Aku menerjangnya, memeluk tubuhnya erat. “Akhirnya kita bertemu juga,” kataku sambil mencium rambut Emily yang wanginya selalu sama. Strawberry.

Tiba-tiba ada yang menyentuh tanganku, aku menggadah dari rambut Emily dan sangat terkejut ketika melihat wajah Ayah dan Ibuku. Mereka ada disini sekarang. Mereka sedang ada bersamaku sekarang. Emily menyingkir pelan, memberikanku akses untuk mendekati kedua orang tua yang sangat kurindukan. Aku meraih tubuh mereka, merasakan hangat cinta dan rasa sayang yang akan selalu mereka berikan padaku.

“Hai, Sayang,” sapa Ibuku sambil mengelus rambutku. “Bayi kecilku ternyata sudah dewasa sekarang.” Aku hanya tersenyum lebar padanya. Melihat wajah ke-Ibuannya dengan rasa merindu. Dia mengalihkan matanya ke arah Seth yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Dia tidak tahu kalau Seth adalah pacarku, tetapi aku mengerti mereka paham apa yang terjadi padaku dengan laki-laki yang sedang ditatap mereka sekarang.

“Kau sudah siap untuk pergi dari dunia ini, Nak?” tanya Ayahku. Senyuman yang selalu melekat di bibir tegasnya tertampil dengan halus disana.

Aku mengangguk cepat. “Tetapi ada yang ingin kusampaikan terlebih dahulu pada Seth. Kalian pergilah duluan.” Mereka semua lalu membalikkan tubuh, menuju cahaya terang yang ada di hadapan mereka. Setelah mereka sudah masuk ke dalam cahaya itu dengan sepenuhnya, aku langsung berbalik ke arah Seth dan Jay. “Kalian berdua, baik-baiklah disini. Aku mencintai kalian berdua. Dan aku sangat mencintaimu Seth, kau tahu itukan?” Aku tidak perlu mendengar jawabannya, karena aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. “Sampai jumpa lagi Seth. Aku akan menunggumu.” Ketika aku mengecup keningnya, entah kenapa sekarang aku bisa menyentuhnya. Rasa hangat yang ada di tubuhnya mengalir ke dalam tubuhku. Seakan-akan memberitahuku kalau dia akan selalu mencintaiku.

Kemudian akupun melangkah menjauh darinya, berjalan cepat menuju ke arah cahaya tanpa berbalik lagi ke arahnya.

Akhirnya aku pergi. Benar-benar… pergi.

 

–The End—Prettt!!!—

 

NB. Sebelum kalian hina duluan ceritaku, aku aja deh yang duluan bilang. Cerita ini jelek, aneh dan lain-lain. Idenya tuh dateng tiba-tiba ke otak konsletku. So, sorry ya kalo kalian nyesel baca cerita ini =D Wkwkwkwk. Love you like a dead song guys :p

Harus komen, yang nggak komen tititnya bakalan kejepit risleting celananya. Wekkk. :p Sedangkan yang Fujo bakalan dinikahin sama Eyang Dubur, eh Subur :p. Jadi kalian semua harus komen kalo udah baca cerita ini. HARUS 😀

Au Revoir.

24 komentar di “Gone

  1. Gw mw ngehina ini cerita! Akh parah parah paraahh! Gw benci ni cerita bikin gw termewek2 :3 becanda deng critanya keyen kok keyeen >.<d
    btw itu ga ada yg lebih absurd lagi dr eyang sumur apa?? -__-" amit2 1000 tanjakan dah..

  2. Astaga… Rendi ini cerita lu.. Berasa banget sedihnya.. D’baca berulang-ulangpun gag ngebosanin.. Aq uda beberapa kali loh ngulang baca nih cerita.. Gila,, menguras air mata.. Apalagi d’bagian Shet berkata kembalilah jun aq merindukanmu.. Aq sangat mencintaimu kembalilah padaku.. Pulanglah… Ish.. Sedihh gila.. Sampai (╥﹏╥) bombayy d’buatnya.. Buat rendi good luck lah.. Semoga makin banyak dapat inspirasi cerita seperti ini.. Nice story say.. (⌒_⌒)v

  3. so sweet bgt.. meskipun g akn pernh nyata.. aq iri sama jun yg bsa punya cinta yg sempurna untuk seth.. y meskipun alurny mju mundur kyak sinetron..

  4. rendi cerita mu selalu keren.
    dah beberapa hari ini w baca cerita lu.
    dan semua bekenang di benak aku.
    trus berkaya karna sekarang di blakang km ada penggemar mu.

  5. aku suka crita ini… cuma aja aku ngerasa aneh… ini mengandung sekitar 11.000 lebih kata deh kak… setau aku kalo cerpen tuh cma dari 5.000 sampe 15.000 character deh… klo ini udh termasuk novelet… ;etc

  6. Good story..
    Tapi ada beberapa adegan yang kesannya dipaksakan supaya ceritanya gak memanjang lebar..
    Seperti..
    1.tiba-tiba diceritakan emily meninggal dunia,hingga ceritanya akan tertuju pada tokoh jay saja di ending cerita.
    2.pembubuh Jay meninggal dilindas truck,yang menurut saya tidak terlalu penting.
    3.terus yang ketiga,setelah saya baca berulang kali ada keganjalan dicerita ini…yaaa di “waktu”nya..
    Coba koreksi lagi waktu tiap part-nya..memang cerita ini setiap part,menggambarkan waktu yang tidak berurutan (acak).tapi kalau pembaca yang jeli (kayak gue..hahah) pas menyusun cerita part dan waktu pasti nemuin keganjalan tersebut..
    Tapi overall you are the best writer…

    “salam dari pembaca setiamu”

    7391.

    • And what is that? Keganjalan waktunya? Seorang penulis butuh dikasih tau keganjalannya yg ada di tulisannya biar bisa dikoreksi. Kalo cuman dikasih tau yah semua org–bahkan pembaca yg nggak jeli sekalipun–bisa ngejabarin -,-

  7. Gw dah baca cerita ini berulang kali…mlm ini gw bca lagi…nangis lagi gw..huhuhuhuhuh..
    Mna nhe lanjutan cerita2 x..new day gak ada klanjutan..yg laen uga gtu…ayo donk dilanjutin..dah kangen neh

  8. Kak rendi gmana sech …
    Udh tau critanya jlek,gg mutu tp tetep aja di post
    Udh tau critnya jlek jgn d post donk …. Capek” in kta ” bca aja … Mna pakek suruh komentar lgy

  9. Hueeeeee.. tisu mana tisuuu 😭😭😭
    Mengharu biru gue jadinya. Btw gue ngomen gara2 takut kutukan lo ya, ren , bukan karena fav ceritanya :v wkwkwk
    Bercanda
    You did it as good as always!!!
    Nggak terlalu ndrama, tapi ngena. Hehehe
    Oiya, btw, maap ya, sebenarnya aku dengan otak agak somplakku ini sedikit berharap kalau si pria bermata hijau bakalan jadi hantu juga dan ketemu sama Jun. Kali aja dia minta maaf dan kemudian mereka deket -cieee- ehem, lupakan 😐
    Makasih yeeey

  10. Hueeeeee.. tisu mana tisuuu 😭😭😭
    Mengharu biru gue jadinya. Btw gue ngomen gara2 takut kutukan lo ya, ren , bukan karena fav ceritanya :v wkwkwk
    Bercanda
    You did it as good as always!!!
    Nggak terlalu ndrama, tapi ngena. Hehehe
    Oiya, btw, maap ya, sebenarnya aku dengan otak agak somplakku ini sedikit berharap kalau si pria bermata hijau bakalan jadi hantu juga dan ketemu sama Jun. Kali aja dia minta maaf dan kemudian mereka deket -cieee- ehem, lupakan 😐
    Makasih yeeey

Tinggalkan komentar