Rainy Day (2)

DIS_

Chapter-Lagu 2

♫ Foster the People – Pumped Up Kicks

“Mau nebeng pulang?” tanya Tivo saat kami berenam berjalan cepat menuju ke pintu exit lobby sekolah. Zavan yang berdiri di sebelahku sedang bertelpon ria dengan seseorang menggunakan bahasa Inggris yang ditemani dengan aksen British. And dan Vick yang berjalan paling depan juga sedang sibuk saling mengobrol. Sedangkan Sid sedang mengetik sesuatu di BlackBerry nya. Aku yakin dia pasti sedang ber-chat hura dengan Adam. Berarti saat ini Tivo sedang bertanya padaku. Memangnya siapa lagi di antara kami yang tidak mempunyai kendaraan untuk pulang? Tentu saja aku.

“Boleh,” ujarku, aku menoleh ke arah Tivo dan tersenyum simpul.

Saat kami sudah berada di parkiran, aku melihat Bagas dan cewek barunya—iya, dia suka ganti-ganti pacar sejak aku menangis itu, dan setiap kali berita dia punya pacar baru kesebar, pasti aku hujan dan hujan. Entah itu hatiku, entah itu mataku. Menjengkelkan dan sangat-sangat bodoh memang. Kenapa aku harus menangis? Padahal tidak ada untungnya aku mengeluarkan air mata untuk orang itu. Tetapi ada sesuatu yang sakit di hatiku, rasanya seperti mengetahui kalau ternyata kau adalah anak pungut. Atau yang lebih parah dari itu.

Jika melihat Bagas sedang bercengkrama dengan pacarnya, aku biasanya langsung mengalihkan pandanganku ke arah mana saja—asal jangan ke dia. Ignore, ignore, ignore. Itu yang diajarkan Sid padaku. Abaikan orang-orang yang bisa menyakitimu. Tetapi—memang dasarnya aku bodoh ya—aku malah melirik kembali ke pasangan menjengkelkan itu. Rasa-rasanya aku ingin pergi ke Cilandak, duduk di depan Mbah Pea lalu menyuruh dukun satu itu untuk menyantet semua cewek yang menjadi pacar Bagas. Biar tahu rasa semua.

Oh, ya Tuhan, itu pemikiran yang jahat. Lupakan-lupakan!

“Kalo lo nggak mau sakit hati, jangan ngelihatin mereka!” Aku menoleh dan melihat Zavan yang sedang memperhatikanku lekat-lekat. Matanya yang biru melirik ke arah Bagas lalu ke arahku lagi. “Lo kan tau kalo dia itu seratus persen straight, jadi lebih baik lupakan dia Rev. Masih banyak tau kontol yang mau minta disepong. Seriously. Don’t waste your time just for him, kay. Lo itu ganteng, pasti banyak yang bakalan jatuh cinta dan pengen ngemut kontol gede lo.”

Aku tertawa pelan, Zavan memang selalu bisa membuat hatiku yang hujan merasa teduh. “Dia itu nggak seratus persen straight kok.” Aku berkata sambil melirik Tivo yang telah masuk ke dalam mobilnya. “Dia itu sembilan puluh persen.”

“Maksud lo, sembilan puluh persen gay, gitu?” tanya Zavan tidak percaya, dia menekan sesuatu di remote control yang ada di kunci mobilnya, membuat mobilnya yang mengkilap berbunyi kemudian pintunya terbuka lebar dengan perlahan.

“Bukan. Sepuluh persen harapan untuk aku bisa dapetin dia. Sembilan puluh persen lainnya, dia memang straight.” Aku mendesah panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Tivo yang beraroma sandalwood. Zavan tertawa lalu mengedipkan matanya padaku. Dia melambaikan tangannya, tak berapa lama kemudian dia menjalankan mobilnya hingga keluar dari compound area DIS. Sekali lagi, aku mendesah panjang dengan lelah.

Tivo menjalankan mobil dengan perlahan, deruman mesin yang saling bersahutan mengeram lembut di bawah kakiku. Kusandarkan punggungku, mencoba menghilangkan lelah yang menggerayangi tubuhku. Hari ini, Ibu bilang jangan datang ke rumahnya Bu Prakoso. Aku disuruh istirahat dulu. Tetapi Ibu sendiri malah terus-terusan kerja. Membuat dirinya sendiri lelah hanya untuk kami. Begitu pula dengan Ayah, selalu bekerja dan bekerja, di hari minggu pun Ayah tetap bekerja, untuk membayar hutang kami yang telah menumpuk di Pak Mardji.

Aku mengeluarkan iPhone 5 yang pernah Sid berikan padaku. Kalau mau ditanya, ini adalah barang pertama yang paling mahal yang pernah kupunya. Ketika aku memperlihatkan iPhone ini kepada Ibu dan Ayah, mereka langsung histeris. Menyuruhku mengembalikannya pada Sid. Tetapi saat aku mengembalikan iPhone ini, Sid malah murka. Dia merasa terhina. Dia bilang, barang yang sudah dia berikan tidak boleh dikembalikan. Dia bilang lagi, lebih baik dibuang saja daripada dikembalikan padanya. Saat aku memberitahukan hal ini ke Ibu dan Ayah, akhirnya mereka menyuruhku untuk menyimpan dan menjaganya.

Ibu dan Ayah melarangku minta apa-apa dengan flocksku. Karena kata Ibu dan Ayah, meskipun mereka baik, kita tidak boleh memanfaatkannya. Kata-kata nasihat pun keluar dari mulut mereka. Selama masih bisa bekerja, lebih baik jangan menyusahkan orang lain. Maka daripada itulah aku selalu menutupi segala sesuatunya dari flocksku. Bahkan dari And. Mereka sudah berkali-kali ingin melihat rumahku—walau Zavan sebenarnya tidak terlalu berminat—tetapi aku selalu menolaknya. Aku tidak mau mereka prihatin dengan keadaanku.

Tivo membuka kaca jendela mobil, mengeluarkan asap rokok—aku sangat benci baunya, penuh zat berbahaya bernama Nikotin yang juga ditemani oleh Tar serta banyak Karbon Monoksida, membuat hidungku gatal-gatal, seperti ada upil besar yang lagi nyangkut di ujung hidungku. Tivo menjentikkan rokoknya, lalu kembali menghisapnya. Di antara kami berlima, yang merokok hanya Tivo dan Zavan. Aku tidak tahu apa enaknya merokok, menghisap lalu dikeluarkan, menghisap lagi, lalu dikeluarkan lagi. Tidak seru sama sekali, malah buat diri sendiri kena penyakit. Lebih seru kalau aku menghisap dedeknya Bagas, terus mengeluarkannya lagi dari mulutku.

Oh, tidak. Aku kedengaran seperti Zavan. Hentikan, pikiran kotor!

“Tiv, kita mau ngapain sih ke rumah kamu?” tanyaku saat mobil yang Zavan kendarai masuk ke dalam perumahan yang ada di daerah Menteng.

“Ntar gue jelasin di rumah gue aja, nih bentar lagi bakalan nyampe kok.” Tivo mempercepat laju mobilnya. Tak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah bergerbang tinggi yang terlihat sangat mewah. Tivo membunyikan klaksonnya, lalu gerbang tinggi tersebut terbuka dengan lebar.

Jadi orang kaya memang seru, tinggal membunyikan klakson langsung ada yang membukakan gerbang. Kalau aku, klakson aja nggak punya. Apalagi gerbang tinggi. Tetapi bukan berarti aku tidak bersyukur ya, aku malah bersyukur bisa menjadi seperti ini. Meskipun aku tidak keberatan kalau menjadi orang yang cukup berada. Agar adik-adikku tidak sengsara lagi karena kemiskinan kami ini.

“Ayo masuk dulu,” ajak Tivo sembari mematikan mobilnya. Tivo membuka pintu mbilnya lalu keluar dengan luwes. Aku melihat sebentar layar iPhone ku dan melihat Facebook Bagas sebentar. Yah, masih sama saja. Status terakhirnya dua bulan yang lalu. Itu pun isinya hanya: Only You. Euh, pasti itu untuk ceweknya. Cowok straight memang menjengkelkan.

Aku membuka pintu mobil, lalu menyusul Tivo yang kini sudah berada di depan pintu rumahnya. Aku mendongak, dan tertegun melihat rumah Tivo yang sangat-sangat-sangat mewah. Pantas saja keluarganya dinobatkan orang kedua terkaya di seluruh Asia Tenggara. Jika aku diberikan rumah seperti ini, aku pasti akan menolaknya. Terlalu besar. Kata Nenekku, kalau rumah yang terlalu besar itu banyak hantunya. Hii, pasti ada tante kunti deh.

Ketika aku dan Tivo sudah berada di dalam rumahnya, tiba-tiba kami berdua dikejutkan dengan seorang cowok yang saat ini sedang duduk dengan kaki tertekuk di sofa panjang berbulu lembut. Aku nggak tahu juga sih, apakah bulunya lembut atau tidak. Tapi kayaknya lembut deh, kayak bulu ketiaknya Kak Dan kalau tertiup angin. Meskipun baunya sungguh-sungguh mematikan. Untung saja Kak Dan lagi ada di Queensland sekarang. Dari dulu, aku sangat suka kalau diajak main oleh Kak Dan, dia punya humor yang sangat jenaka.

“Ngapain lo di sini?” tukas Tivo dengan nada menakutkan. Seperti saat Tante Suzana lagi mengikik kalau dia jadi Kuntilanak di filmnya yang berjudul, Bang, Satenya Satu Tusuk, Bang. Sampai sekarang aku masih ingat film itu. Film yang sangat menakutkan. Sampai kapanpun, aku tidak akan menontonnya lagi. Never ever.

Peter berdiri dari posisi duduknya, dia melangkah pelan tapi pasti menuju ke arahku dan Tivo. Peter melirikku sebentar, sebelum matanya yang sendu-sendu intens itu kembali ke wajah Tivo. “Cuma mau ketemu aja.” Dia sekarang sudah berdiri di hadapan kami, aku yang mengerti siapa itu Peter—yep, mantannya Tivo, sahabatku yang pendiam itu pernah menceritakannya padaku—aku mulai berjalan menjauh sedikit demi sedikit dari jangakuan mereka. Takut mengganggu apapun hal yang ingin mereka bicarakan.

“Sekarang udah ketemu kan,” ucap Tivo tajam. “Pulang sana!”

Aku tidak pernah mendengar Tivo menggunakan intonasi suara tinggi seperti ini. Aku mengerti apa yang terjadi di antara mereka berdua, aku tahu rahasia masa lalu mereka berdua. Aku mengerti rasa sakit Tivo dan Peter, tetapi siapa sih aku kalau mau ikut campur. Mendingan sekarang ikutin saran Sid aja deh. Ignore ignore ignore. Pura-pura nggak denger terus ngacir keluar. Atau ke dapurnya Tivo, cari es krim terus makan dengan lahap.

“Lo jangan kemana-mana Rev!” sentak Tivo saat aku baru saja mau melangkahkan kaki menjauh. Refleks aku langsung terdiam dengan kaku di tempatku berdiri.

“Kenapa lo selalu nyiksa gue karena hal itu terus?” lirih Peter sayu. Wajahnya yang biasanya sangat arogan, dengan alis yang selalu bertaut jahat, kayak Firdaus si Raja Licik itu, kini berubah seperti wajah Spongebob kalau sedang sedih karena turun jabatan. Atau saat dia tidak lulus dari mendapatkan SIM mengemudinya.

Tivo terkekeh, kayak Minion lagi sakit perut. “I never do that. Bukannya lo sendiri yang nyiksa diri lo itu.” Tivo memberengutkan wajahnya, ada sesuatu yang akan hadir di matanya. Semacam badai kesedihan. “Lagian kenapa lo nggak nyari yang lain dan berhenti ngerecoki hidup gue!?”

“Karena gue masih cinta sama lo, bodoh!” seru Peter berapi-api. Kalau ini dunia animasi, pasti kepala Peter bakalan muncul semacam kobaran api. Kayak Naruto saat lagi menggunakan si ekor sembilan.

Tivo tersentak karena terkejut, dia mundur selangkah dan menatap wajah Peter dengan tatapan yang sangat-sangat tidak bisa kubaca. “Jangan ngomong hal itu terus! Gue muak. Kenapa lo nggak bilang itu ke orang lain aja!?” Tivo menarik tanganku, dia menatapku sebentar lalu kembali menatap Peter yang masih memasang wajah Spongebob sedihnya. “Mendingan lo pulang. Nggak ada gunanya lo nge-bluff di depan gue. Karena sampai kapanpun—catet di otak lo—gue nggak akan pernah peduli.

Wajah Peter berubah lelah, seperti diriku karena urusan si Bagas ini. “You should believe me. Gue cinta sama lo, Tiv. Itu nggak cukup ya buat perbaiki kesalahan gue di masa lalu?”

Kepala Tivo tertunduk, dia mengeratkan pengangan tangannya di tanganku. “Nggak perlu ada yang diperbaiki. Lo sama gue udah tutup cerita.” Tivo kembali menarik tanganku, mengajakku ke arah tangga rumahnya.

“Kalo gitu kita buat yang baru, kali ini gue bakalan janji nggak akan ngulangin masa lalu.” Tetapi Tivo sudah berlari duluan naik ke lantai dua. Dia melepaskan tangannya di tanganku. Aku berdiri di tangga kedua, bingung dengan kejadian drama barusan. Aku menoleh ke arah Peter yang sedang menunduk dalam, kayak Nobita yang gagal dapat sesuatu dari kantongnya Doraemon. Aku mendesah lalu menghampiri Peter.

“Yang tabah ya, Peter.” Aku tersenyum menyemangati, yang dibalas oleh Peter dengan anggukan kepalanya. Dia mendesah lalu keluar dari rumah Tivo yang super besar ini.

Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal sama sekali. Kupikir kisah cintaku akan lebih rumit dan penuh drama, ternyata kisah Tivo lebih parah dariku. Aku berbalik dan mulai menapaki tangga rumah Tivo yang jarang-jarang. Menatap seisi rumah Tivo yang sangat sepi. Kemana semua orang yang ada di ruma—tunggu sebentar! Sepi. Berarti… hiiii. Ntar ada tante Suzana keliaran di rumah ini. Tivo nyebelin. Kenapa pakek ninggalin aku sendirian sih. Mana aku nggak tahu yang mana lagi kamarnya.

Setelah berkeliling nggak jelas, akhirnya aku tahu yang mana kamarnya Tivo. Pintu bercat hitam, dengan tulisan FUCK OFF besar-besar itu pasti kamarnya. Siapapun bisa tahu kalau Tivo memang selalu diselimuti aura kegelapan. Tetapi Tivo orang yang baik. Sungguh, aku tidak bohong lho. Walaupun dia sangat pendiam dan tidak terlalu peduli dengan sekitarnya, Tivo itu sangat baik padaku dan yang lainnya. Dia pun sangat jarang membuat sesuatu yang menggemparkan sekolah, namun anehnya dia tetap saja populer.

Aku mengetuk pintu kamar Tivo pelan. cowok berwajah malas dan jutek itu membuka-kan aku pintu. Tatapannya tidak bisa dibaca. Dia kembali memasang wajah apatisnya. Aku mengerutkan keningku, ingin mencerna semua ekspresinya, namun tetap saja. Aku tidak bisa. Walaupun aku mendapatkan predikat best student di DIS, kalau masalah membaca wajah, tentang cinta dan mengendarai sesuatu, aku sangat payah. Malah bodoh. Yah, semua orang memang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

“Kamu mau bicarain hal apa sih?” tanyaku seraya duduk di atas kasurnya yang ternyata sangat empuk. Bahkan lebih empuk dari punya And dan Zavan.

“Gue mau buat sekolah kecil untuk anak-anak kolong jembatan,” ucap Tivo, membuatku terperanjat. Apa dia bilang tadi? Mau buat sekolah untuk anak-anak kolong jembatan? “Gue pusing mau kemanain uang si bajingan itu. Jadi… daripada gue pakek untuk hal nggak penting, lebih baik untuk hal itu.”

Aku mengernyitkan wajahku, merasa bingung dengan ceritanya. “Si bajingan ini siapa?”

Tivo mendengus malas. Biasanya dia sangat suka diam, tetapi sekarang tumben-tumbenan dia mau bicara banyak. “Bokap gue.”

“Berapa kali aku harus bilang ke kamu buat jangan manggil dia kayak gitu,” sahutku cepat. “Nggak baik lho Tiv. Dia kan sudah meninggal. Nanti Ayahmu nggak tenang di alam sana.”

Lagi-lagi Tivo mendengus. “Bagus dong. Kalau perlu siksa aja dia di neraka.”

“Maafin dia Tiv. Nggak baik dendam sama orang yang sudah meninggal.”

“Gue nggak peduli Rev,” sanggah Tivo. “Lagian gue ajak lo ke sini bukan buat bicarain si bajingan taik itu.” Tivo berjalan cepat menuju ke meja belajarnya yang super terlihat mahal. Dia mengambil sebuah buku kecil di atas meja itu. “Dua puluh juta buat modal kita bikin sekolah untuk anak-anak kolong jembatan cukup nggak Rev?” tanya Tivo sembari berjalan mendekatiku.

“Itu malah lebih dari cukup,” kataku. Melihat Tivo mencoret sesuatu di atas buku kecil yang ada di tangannya. “Memangnya kamu udah punya orang buat ngatur semua itu?”

Tivo mengangkat kepalanya, dia menatapku dengan pandangan datarnya. “Ya. Ntar orang-orang suruhan Nyokap gue bisa disuruh buat handle semuanya. Gue bawa lo ke sini itu buat ngomongin soal lo yang bakalan ajarin mereka. Di antara kami berlima kan, lo yang paling pinter. Tenang aja, gue bakalan gaji lo kok.”

Aku tersenyum, tidak percaya sesosok Tivo bisa berubah seperti ini. “Bukan masalah gajinya yang pengen aku omongin sekarang. Tapi tentang kamu yang tiba-tiba buka sekolah untuk anak-anak kolong jembatan ini. Kamu dapet ide dari siapa?”

“Nggak dapet dari mana-mana. Tiba-tiba kepikiran aja. Daripada uang si bajingan itu nggak dipakek-pakek, mendingan dipakek buat hal kayak gini. Sekalian biar dia diampuni dosa-dosanya.” Tivo merobek kertas yang ada di buku kecil tersebut. “Ntar lo bawa ini ke Bank ya. Cek ini buat narik uang tunai.”

Aku mengambil kertas itu dari tangan Tivo. Di kertas itu tertulis dua puluh juta. “Ih, nggak ah. Takut hilang kalau aku yang ambil Tiv. Kamu aja gih ya. Aku nggak berani. Mau aku taro mana juga uangnya.” Kukembalikan kertas itu kepada Tivo. Apa yang akan Ibu dan Ayahku katakan kalau anaknya tiba-tiba membawa pulang uang sebesar dua puluh juta. Uang yang paling banyak, yang pernah masuk ke dalam rumahku itu hanya lima juta. Itu pun tabungan Ibu dan Ayahku dari semenjak mereka lulus SMP.

“Tapi kan lo yang tau di mana letak strategisnya buat lo bisa ngajarin anak-anak itu. Uang itu buat lo beli perlengkapan. Sama buat semacam ngebangun kelas kecil-kecilan gitu. Ntar biar gue suruh pesuruhnya Nyokap buat yang ngerjain bangunannya. Lo tinggal beli-beli aja keperluan yang lo butuhin buat ngajar mereka.”

“Masalahnya Tiv, aku nggak berani pegang uang sebanyak ini. Gimana kalo dirampok orang?”

“Ya udah, lo minta aja lagi sama gue.”

Susah memang kalau ngomong sama orang yang beol uang kayak Tivo ini. Aku mendesah panjang, lalu menaruh kertas itu di atas pangkuan Tivo. “Kamu aja yang suruh seseorang buat ngatur semua perlengkapan buat ngajarin anak-anak itu. Aku nggak masalah kok kalau bentuknya jelek sekalipun. Selama mereka bisa belajar kan, itu udah bagus.”

“Kalo lo maunya gitu, oke deh.” Tivo berdiri lalu menaruh kembali buku kecil yang ada di tangannya ke atas meja belajarnya yang mahal tersebut. Dia kembali ke arahku, kedua tangannya terselip di dalam celana DIS nya. “Jadi… lo mau kan jadi salah satu pengajar di sekolah kecil-kecilan ini? Ngajarin mereka baca dan berhitung aja. Gue sama yang lain bakalan ikut bantu kok kalo lo sibuk di tempat lain.”

Aku mengernyitkan wajahku, lagi. Memang yang lain bakalan mau bantu? Bukannya aku meragukan ya, tapi…. And dan Vick pasti mau, Tivo juga. Tetapi Sid dan Zavan. Euh. No.

“Rev, lo mau kan?” tanya Tivo sekali lagi.

“Tentu dong aku mau.” Aku menyahut bersemangat. “Aku juga kasihan sama tetanggaku yang ada di kolong jembatan seberang rumahku. Mereka semua masih anak-anak, tapi pendidikannya kurang banget. Aku sama keluargaku untung masih bisa sekolah. Walaupun Ibu sama Ayah harus minjem uang sana-sini buat beliin kami buku.”

“Kalo gitu kita setuju ya.” Tivo mengulurkan tangannya padaku, yang kusambut dengan riang. “Seminggu gue gaji lo empat juta. Cukup nggak?”

Mataku melotot. Empat juta, gaji Ibuku di rumah Bu Prakoso aja cuman dua juta setengah. Itu pun sebulan. Ini empat juta seminggu. Padahal kerjaannya cuman ngajarin anak-anak baca dan berhitung aja. Ini terlalu berlebihan. “Banyak banget Tiv. Kan aku cuman ngajarin aja. Guru itu pekerjaan tanpa pamrih lho.” Meskipun di zaman sekarang kebanyakan dari guru-guru itu mengajar untuk mencari uang.

“Nggak apa-apa,” ujar Tivo, dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Anggep aja bonus.” Tivo berjalan cepat menuju ke pintu kamarnya. “Lo ngajar hari senin sampe kamis aja ya. Kelasnya kita mulai dari jam empat sore sampe setengah enam. Gimana menurut lo?” Aku hanya mengangguk untuk menyetujui ucapan Tivo. Di otakku, aku masih tidak percaya akan apa yang sedang Tivo bicarakan dan gaji yang aku terima selama seminggu aku mengajar. “Kita mulai buka sekolah itu sebulan lagi ya. Banyak hal yang harus gue siapin dulu sama suruhan-suruhan Nyokap.”

“Oki-doki!” seruku, aku tersenyum lalu mengikuti Tivo yang mulai melangkah keluar dari kamarnya. Ih, aura kamar Tivo juga penuh dengan kegelapan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada pocong yang keluar dari kamar mandinya itu? Atau Tuyul yang tiba-tiba muncul dari bawah kolong meja belajarnya? Atau-atau, Sundel bolong yang tiba-tiba keluar dari kolong tempat tidur Tivo yang besar ini? Hii, membayangkannya saja aku sudah merinding. Saatnya keluar dari sini, secepatnya.

“Gue anterin lo pulang sekarang,” kata Tivo, aku menutup pintu kamarnya. “Hal yang tadi lo denger—antara gue dan Peter—jangan dikasih tau siapapun. Bahkan sama yang lain. Oke?”

Aku mengangguk patuh. “Memangnya lo belum bisa maafin dia Tiv? Itukan bukan salahnya? Kasihan Peter, meskipun dia orang paling dicap nyebelin setelah Sid dan Zavan, tapi aku yakin dia memang tulus sama kamu.”

Tivo membalikkan badannya ke arahku, bibirnya terkatup rapat dan matanya memicing saat meneliti wajahku. Membuatku teringat akan salah satu musuhnya Samurai X yang rambutnya jambrik itu. “Gue lagi nggak mau ngomongin dia. So, don’t try, Rev!” Tivo kembali membalikkan badannya lalu berjalan cepat menuruni tangga. Aku menatap punggung Tivo yang bergerak-gerak gusar. Walaupun Tivo bilang dia tidak mau membicarakan tentang Peter, aku yakin dia ingin sekali mencurahkan isi hatinya. Haa, kisah cinta Tivo dan Peter memang lebih rumit dari kisahku sendiri.

***

Aku pernah bekerja sebelumnya. Tetapi secepat aku mendapatkan pekerjaanku, secepat itu juga aku dipecat dari kerjaan itu sendiri. Aku pernah jadi pelayan di Rumah Makan Padang. Tetapi setelah pekerjaanku selesai, aku dibayar lima puluh ribu lalu dipecat. Alasannya karena aku membuat beberapa pelayan yang ada di sana jadi tidak konsentrasi saat bekerja kalau aku ada di dekat-dekat mereka. Gara-gara wajahku, yang menurutku mengjekalkan ini.

Aku juga pernah bekerja di pencucian motor. Sorenya, aku memecat diriku sendiri. Kali ini karena bosnya yang ganjen itu. Megang-megang selangkanganku dengan kurang ajar. Secepat mungkin aku kabur dari sana, tidak akan pernah kembali lagi. Membayangkannya saja aku kembali jijik dengan momen itu. Setiap kali aku mengingat wajahnya, aku menjadi sangat jengkel padanya. Dan juga sangat jengkel dengan wajahku sendiri. Kenapa sih aku tidak dilahirkan dengan wajah biasa-biasa saja? Bukan berarti aku tidak berterima kasih, tetapi terkadang mempunyai wajah yang biasa-biasa saja hidupku akan lebih tenang.

Waktu itu, aku hampir mau melakukan tindakan kekanak-kanakkan. Aku berdiri di depan cermin yang ada di kamarku dan adik-adikku. Aku mengambil silet yang biasanya Ayahku gunakan untuk mencukur kumisnya kalau mulai tebal. Kutaruh silet itu di dekat pelipis mataku. Aku ingin menyayat sedikit saja wajahku, agar tidak terlalu berlebihan seperti ini. Namun saat aku baru saja ingin menggerakan silet itu, Ravilia masuk ke dalam kamar, membuatku terkejut dan mengurungkan niatku.

“Kakak mau ngapain?” tanyanya, dengan suara terkejut.

Aku berdeham, ingin menghilangkan gugup yang tiba-tiba hadir di dalam diriku. Sekarang aku baru sadar, hal yang tadi hampir kulakukan adalah tindakan super bodoh. “Ng-nggak mau ngapa-ngapain.” Namun suaraku bergetar saat berujar kepada adikku.

Ravilia maju selangkah, tangannya yang lebih kecil dariku meraih silet yang kupegang. “Kakak mau nyayat muka kakak sendiri?” tanya Ravilia, matanya nanar saat menatap mataku. “Kenapa kakak mau ngelakuin hal itu?” tanyanya lagi. “Kakak pikir, dengan nyayat muka kakak sendiri, semua masalah bakalan selesai?”

Wajahku menegang mendengar kata-kata adikku yang tajam, penuh amarah dan kesedihan. “Kakak—“ Tetapi aku tidak tahu harus berkata apa. Hal yang hampir kulakukan tadi memang tindakan senonoh, tindakan yang hanya dilakukan oleh orang-orang putus asa tidak punya otak. Aku malu, pada diriku sendiri dan adikku. Malu karena telah memperlihatkan sisi lemahku. Padahal selama ini adik-adikku selalu mendengarkan nasihatku.

“Hal-hal indah terjadi pada orang baik, Kak,” ujar Ravilia, dia menenggelamkan kepalanya di dadaku yang kurus. “Dan Kakak adalah salah satu orang baik itu.”

Aku membalas pelukan adikku, menunduk dalam-dalam untuk mencium rambutnya yang agak apak dan berbau daun kering. “Tetapi orang baik selalu kena cobaan dek. Kakak capek, keluarga kita capek kena hal itu terus. Kenapa Allah nggak buat keluarga kita hidup dalam ketenangan aja? Emang ada yang salah ya di keluarga kita?”

Ravilia memundurkan kepalanya, menatapku dengan tatapan sayunya. “Allah masih sayang sama kita, makanya kita dikasih cobaan. Orang-orang yang dikasih cobaan sama Allah itu tandanya dia unik, sehingga Allah akan menandai kita sebagai salah satu umat yang paling dia sayang. Dan Allah akan makin sayang sama kita, setelah kita bisa menghadapi cobaannya Kak. Allah itu adil, semakin besar cobaan yang kita dapat, semakin besar rasa sayang yang akan dia kasih ke kita.”

Kali ini, aku malah mendapatkan nasihat dari adikku sendiri. Aku kembali memeluk adikku, mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari rambutnya. Apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak mempunyai saudara-saudara seperti mereka. Kini aku mengerti, bersyukur adalah hal yang paling penting. Tidak perlu jadi raja, lalu pumped up kicks to everything I  see. Toh, semuanya akan kembali lagi kepada-Nya. Hari ini aku benar-benar belajar, dari sosok adikku yang cantik dengan caranya sendiri.

Maka daripada itulah, sekarang aku lebih bisa menerima keadaanku dan cobaan-cobaan yang sering menerpaku dan keluargaku. Tidak ada gunanya memgeluh, kata Ibu, itu tidak akan membuat masalah kita terselesaikan. Malah akan menumpuk dan membuat masalah yang lebih rumit lagi. Ibu dan Ayah telah melarangku untuk bekerja, mereka bilang, tugasku hanyalah sekolah dan sekolah. Mengejar cita-cita yang kuimpikan. Ibu dan Ayah tahu kalau aku mau menjadi seorang Dokter. Cita-cita klise memang, tapi itulah impianku.

Kata Ayah, jika kita memimpikan sesuatu yang baik untuk masa depan, kita harus mengejarnya. Kata Ibu, aku dan adik-adikku harus mengejar impian sampai setinggi langit.

Ibu dan Ayah pernah berucap seperti ini pada kami. “Jika Ibu, Ayah dan Kak Raffi hanya bisa mencapai langit-langit rumah, kalian bertujuh harus bisa mencapai langit yang sesungguhnya.” Dan sampai sekarang perkataan itu kuterpakan di dalam diriku. Belajar dan belajar, mencari beasiswa untuk meringankan beban keluargaku.

Karena Ibu tidak membolehkanku membantunya di rumah Bu Prakoso hari ini, dan pekerjaanku di rumah sudah selesai, aku ingin mengunjungi Kakakku. Yang kabarnya belum kudengar beberapa minggu ini. Kakakku satu itu memang sangat jarang memberitahukan kabarnya pada kami, membuatku kuatir setengah mati. Meski kata Kakakku yang harus lebih dikuatirkan itu diriku. Karena aku itu seperti magnet yang menarik mata orang jahat untuk menggangguku. Mana badanku lemah lagi. Aku pernah belajar karate dari And, tapi setelah selesai latihan, badanku seakan-akan remuk. Dan itu sudah cukup untukku buat ikut latihan karate lagi. Nggak deh, mendingan maraton nonton filmnya Tante Suzana aja.

“Lho, Rev, ngapain di sini?” tanya Kak Soni, saat aku sudah sampai di parkiran pasar. Wajah Kak Soni itu kayak salah satu Kakak kelasku yang ada di klub Buku. Garis rahangnya itu  agak tirus, tidak terlalu tampan tetapi otot lengannya itu besar. Seperti salah satu anak yang ada di Klub Rugby. Mungkin karena sering dorong-dorong motor kali ya. Makanya otot lengannya bisa sebesar itu.

“Mau ketemu sama Kak Raffi,” ujarku sambil memperhatikan wajah Kak Soni lekat-lekat. Seperti ada sesuatu yang berubah di wajahnya, tetapi apa ya. Kenapa aku payah sekali jika membaca wajah orang? “Kakak apa kabar? Kak Raffi mana?”

“Kabar baik kok. Lihat nih badan gue, masih sehat walalfiat.” Kak Soni tersenyum lebar, membuat wajahnya yang tidak terlalu tampan menjadi tampan. “Raffi mungkin lagi—“

“Gue di sini kok,” ujar Kak Raffi sambil berjalan mendekati kami. Wajah Kakakku itu seperti wajahku, tetapi versi lebih dewasa dan lebih keras. Badannya besar, seperti And, tetapi lebih besar sedikit lagi. Dia tinggi, tidak sepertiku yang hanya seratus enam puluh lima centimeter. Rambutnya disisir ke belakang, mirip rambut Tivo. Tetapi lebih panjang, dan agak kurang rapi. “Ada apa Rev?” tanya Kak Raffi saat dia sudah berdiri di hadapanku.

“Mau nanya kabar Kakak sama ada yang pengen aku omongin.”

Kak Raffi mengernyitkan keningnya, jika dia melakukan tindakan itu, aku seperti melihat diriku sendiri. “Kakak baik-baik aja kok. Emangnya apa yang pengen Revie omongin?”

“Euh, ngomongnya nggak di sini Kak. Soalnya hal yang pengen aku omongin ke Kakak ini agak bersifat… pribadi.” Aku menarik tangan Kakakku yang kokoh. Aku melirik sebentar ke Kak Soni dan tersenyum simpul.

“Ya udah, ngomongnya di pos tempat Kakak dan Soni biasanya istirahat aja.”

Kami berjalan cepat menuju ke sebuah ruangan kecil, yang mirip seperti pos Satpam yang ada di belakang DIS. Kak Raffi membukakanku pintu lalu menyuruhku masuk. Dia menunagkan aku satu gelas air putih, lalu menyerahkannya padaku. Aku menatap wajah Kakakku yang memperhatikanku dengan dahi berkerut. Menungguku untuk membuka mulut, tetapi aku tidak tahu harus mulai darimana. Aku bingung ingin mengatakan apa terlebih dahulu padanya.

“Jadi nggak ngomongnya dek?” tanya Kak Raffi, membuatku tersentak dari lamunanku.

Aku menggaruk daguku, menaruh gelas yang diberikan Kakakku tadi di dekat kakiku. “Aku mau ngomongin… hmmm. Gimana ya mulainya, takutnya ntar Kakak nggak akan ngerti dengan apa yang mau aku omongin ini.” Aku menatap wajah Kak Raffi dengan hati-hati, melihat perubahan yang mungkin terjadi di wajahnya.

“Walopun Kakak cuman lulusan SMP, kalo Revie ngomong dengan jelas, pasti Kakak bakalan ngerti kok Revie bakalan ngomong apa.” Kak Raffi menatap mataku dalam-dalam, dia menaruh kedua tangannya di dadanya yang bidang. Aku meringiskan wajahku, karena Kak Raffi malah salah paham dengan apa yang kukatakan tadi.

“Bukan Kak, maksudku itu bukan Kakak nggak akan ngerti ucapanku. Tapi inti dari ucapanku itu, apakah Kakak bakalan ngerti aku setelah Kakak ngedenger ucapanku nanti.” Aku kembali melihat wajah Kak Raffi, melihat perubahan wajahnya dari datar yang langsung berubah bingung. Dia menelengkan kepalanya dan kembali mengerutkan keningnya. “Kakak dengerin baik-baik aja ya penjelasanku nanti. Semoga habis Kakak tau siapa aku yang sebenernya, Kakak nggak akan menjauh.”

Kak Raffi menghela nafas panjang. “Nggak dek, ngapain Kakak jauhin kamu.” Dia bernajak dari tempat duduknya, lalu duduk di sebelahku. “Emang kamu mau ngomongin apaan sih?”

Aku menarik nafas panjang-panjang. Jantungku yang semula hanya berdegup perlahan sekarang malah menghentak-hentak. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat wajah Kak Raffi yang diam dalam kebingungan. “Aku… nggak suka sama cewek.” Nah, aku akhirnya sudah mengatakannya. Dari dulu aku selalu ingin memberitahukan hal ini pada Ibu dan Ayah. Serta Kak Raffi juga, tapi dulu aku belum punya keberanian. Sekarang sudah saatnya jujur pada salah satu anggota keluargaku.

“Jadinya… kamu suka sama perempuan gitu?” tanya Kak Raffi, malah memutar balikan kembali kata-kataku. Ck! Sudah kuduga Kak Raffi nggak akan mengerti.

“Bukan itu maksud—“

“Kakak ngerti kok,” potongnya cepat. “Jadi… kamu sukanya sama cowok?” Kak Raffi memperhatikan wajahku lekat-lekat, alisnya bertaut menjadi satu.

“Iya. Tapi cuman satu cowok aja kok yang aku suka. Nggak ada yang lain lagi selain dia.”

Alis Kak Raffi makin bertaut. “Oh, ya?” tanya Kak Raffi, mencoba menyembunyikan rasa keterkejutannya atas coming out yang barusan kuberitahukan padanya. “Siapa emang cowok yang Revie suka?” tanya Kak Raffi, tangannya bergerak-gerak aneh di sampingku. Aku menyipitkan mataku, melihat ada sesuatu yang berubah di rona wajahnya. Kenapa tiba-tiba Kak Raffi juga ikut-ikutan gugup.

“Anaknya Bu Prakoso Kak.” Mata Kak Raffi melotot. “Aku suka sama Bagas.”

Mata Kak Raffi yang tadi melotot, kini berangsur-angsur kembali normal. Dia menatapku dengan pandangan aneh. “Bagas… yang mukanya kayak salah satu karakter di kartun yang sering kamu tonton sama adek-adek. Yang warnanya kuning terus tingkahnya kayak orang bego gitu. Siapa sih namanya?”

“Spongebob?” ujarku, yang langsung Kak Raffi setujui dengan anggukan kepalanya. “Jadi… maksud Kakak, Bagas mirip sama Squidward gitu?”

“Nah, itu dia!” seru Kak Raffi cepat. “Kamu suka sama kembarannya Squidward ini?”

Aku memukul lengan Kakakku, meski aku tahu pukulanku tidak akan membuatnya merasa kesakitan. “Dia nggak mirip Squidward tau!” Aku mengerucutkan bibirku. Kak Raffi hanya tertawa lalu menarik bibir bawahku yang kumajukan karena sedang pura-pura ngambek. “Mukanya Bagas itu kayak sahabat deketnya Naruto tau!”

Wajah Kak Raffi mengernyit lagi. “Emang siapa sahabat deketnya Naruto?”

“Itu si Sasuke. Nah, mukanya Bagas itu kayak Sasuke, tapi dalam versi Indonesia. Sasuke itukan dingin, terus gagah, selalu bisa buat semua cewek jatuh cinta dengan wajahnya. Kayak gitu juga Bagas.” Aku menggaruk mulutku yang tiba-tiba gatal. “Tangan Kakak banyak kuman tuh, buat bibirku jadi gatel-gatel gini.”

Kak Raffi malah langsung menempelkan seluruh telapak tangannya di mulutku. Aku langsung memberontak dan memukul lengannya keras. Dia hanya tertawa lalu menarik lengan bajuku, menyuruhku duduk di sampingnya lagi. “Dia mah bukan dingin dek, tapi kaku. Kayak kayu yang mau dibakar. Diem aja kerjaannya. Kayak orang autis.” Kak Raffi menyandarkan tubuhnya di dekatku, aku mendorongnya pelan, jengkel karena dia menghina Bagas. Dasar Kakak menyebalkan!

“Dia nggak autis, dia itu memang pendiam orangnya. Diakan nggak suka ngomong kalo nggak ada yang pengen dia omongin.” Aku menaruh kedua tanganku di pinggang, menatap wajah Kak Raffi yang sedang tertawa dengan tatapan sengit.

“Iya-iya, maaf. Ya olloh, gitu aja marah.” Kak Raffi menarik badan ringkihku lalu memelukku ke dalam pelukannya yang hangat. Wangi Kak Raffi itu kayak wangi beras, harum, dan membuatku merasa tenang. “Kamu sejak kapan suka sama Bagas? Kakak pikir kamu sukanya malah sama Aldrian itu. Secara kan, kalian suka keluar bareng. Kakak ngeduganya kamu malah suka sama dia.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Euh, aku suka sama Bagas itu udah lama. Dari semenjak pertama kali Ibu kerja di rumahnya Bu Prakoso.” Aku ingin saja memberitahukan juga perihal ciuman yang kulakukan pada Bagas ke Kak Raffi, tapi kuurungkan niatku. Toh, Kak Raffi tidak perlu tahu juga kan. “Kalo suka sama Kak Al sih, mungkin aku suka. Tapi cuman suka sebatas jadi kakak aja. Peganti Kak Raffi kalo Kakak nggak jenguk-jenguk aku dan yang lain di rumah.”

“Kakak kan sibuk cari duit dek,” ucap Kak Raffi defensif. “Kalo Kakak ada waktu, pasti Kakak pulang buat jenguk kalian kok.”

“Iya-iya, aku ngerti kok.” Aku berdiri, berencana ingin ke rumahnya Bu Prakoso. Meski Ibu melarangku datang, aku akan tetap ke sana. Ingin membantu Ibu sama mengambil bonusku, menatap Bagas yang pasti sedang melamun di balkon kamarnya. Setiap sore, dia pasti duduk di sana, menopang dagu dan menatap langit. Atau terkadang sedang memotret-motret nggak jelas. Aku suka melihat Bagas jika sedang berkutat dengan kamernya, matanya akan setengah terbuka, tatapannya sangat serius, seakan-akan hal yang sedang dia lakukan adalah hal yang penting.

“Dek,” panggil Kak Raffi, saat aku baru saja ingin membuka pintu pos tempat Kakakku dan Kak Soni istirahat. “Kamu nggak suka sama cewek, bukan karena ikut-ikutan Kakak kan?”

Aku berbalik, dan menatap wajah Kakakku yang berubah resah. Badannya yang masih menyandar di dinding, bergeming kaku. “Maksud Kakak apa?” tanyaku, kembali duduk di sampingnya. Kak Raffi menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi.

“Maksud Kakak, kamu nggak niru Kakakkan, nggak suka sama cewek?” Kak Raffi menggeser badannya ke dekatku, dia menaruh tangannya yang kokoh itu di pundakku. Aku mengernyitkan wajahku karena tidak mengerti. Namun saat aku mencernanya baik-baik, kini aku paham apa yang dia maksud. Oh, jadi Kak Raffi juga—HAH! Tidak mungkin, masa Kak Raffi juga sepertiku sih? Aku menggeser tubuhku darinya kemudian menatap wajahnya yang masih resah tersebut.

“Jadi… Kakak juga kayak aku gitu?” tanyaku masih tidak percaya. “Kakak juga suka sama cowok?”

Kak Raffi menggeleng cepat, rambutnya bergoyang-goyang saat dia melakukan hal itu. “Kakak nggak suka sama cowok,” ujarnya, membuatku menghembuskan nafas lega. “Kakak cuman suka sama laki-laki.”

Aku memutar bola mataku, meniru gaya Zavan kalau dia sedang diceramahi oleh guru karena dia mendengarkan lagu saat pelajaran sedang berlangsung. “Sama aja kali, Kak.” Aku menggeser badanku ke depan Kak Raffi. Dia tersenyum masygul, membiarkan sudut bibirnya menekuk ke atas. “Jadi, kita berdua sama-sama… gay dong?” Aku berujar dengan nada takjub. “Ayah sama Ibu bakalan bilang apa kalo mereka tau kita berdua sama-sama nggak suka sama cewek?”

Kak Raffi menaikkan pundaknya, kepalanya kembali menggeleng, tidak bisa membayangkan reaksi yang akan muncul di wajah Ayah dan Ibuku. Aku pun juga begitu. Meskipun Ayah dan Ibu menerima kami, pasti di dalam hatinya ada rasa kecewa. “Kakak juga nggak ada niatan sih dek buat ngasih tau mereka. Kan Revie tau, Ayah itu orangnya keras, dan Kakak adalah pedoman untuk adik-adik Kakak. Ngebayanginnya aja udah ngeri banget.”

Aku mengangguk setuju. “Iya sih. Ya udah deh Kak. Kita nggak usah pikirin. Jalanin aja dulu semuanya. Semoga semuanya bakalan baik-baik aja Kak.” Aku merangkul pundak Kakakku yang lebar, membiarkan keresahan yang dia rasakan menguar di udara dan menghilang. Kak Raffi menepuk punggungku pelan. “Aku masih nggak percaya lho kalo Kakak nggak suka cewek juga kayak aku?”

“Yee, Kakak juga nggak percaya kalo kamu ikut-ikutan Kakak buat nggak suka cewek.”

“Enak aja, Kakak tuh yang ikut-ikutan aku.”

“Yang lahir duluan siapa?”

“Yang jatuh cinta duluan sama cowok siapa?”

Kak Raffi mendengus, raut wajahnya berubah jenaka. “Kita lagi ngomongin apa sih sebenernya? Kok kedengerannya aneh banget ya?”

Aku tertawa dan duduk di atas pangkuan Kak Raffi. “Jadi… Kakak pernah pacaran sama cowok belum?” tanyaku, sambil memperhatikan rahangnya yang runcing. “Oh, jangan bilang kalo Kak Soni itu pacarnya Kakak?”

Kak Raffi menjitak kepalaku. “Enak aja. Bukanlah. Soni itu ya sahabat Kakak. Kamu ini ada-ada aja. Kakak sih sekarang masih pacaran sama cewek.”

“Lho, katanya nggak suka sama cewek?”

“Nggak suka bukan berarti kita nggak nyoba buat pacaran sama mereka kan? Siapa tahu mereka bisa ngebuat Kakak jatuh cinta dan ngerasain hal yang kayak Kakak rasain ke—“ Kak Raffi menggantung ucapannya. Dia menurunkanku dari pangkuan dan menatap mataku dalam-dalam. “Revie nggak perlu tau lah siapa cowok yang Kakak suka.” Kak Raffi lalu berdiri, dia menarik tanganku untuk membantuku berdiri juga. “Nanti juga Revie tau siapa cowok yang Kakak suka.”

“Kakak mah jahat, aku udah cerita siapa yang aku suka, tapi Kakak nggak mau cerita siapa cowok beruntung yang Kakak suka.” Aku memberengutkan wajahku lagi, kulangkahkan kakiku menuju ke pintu keluar pos. “Ya udah deh, aku mau ke rumahnya Bu Prakoso dulu. Mau bantuin Ibu di sana. Kasihan Ibu kalo nggak dibantuin.”

“Kakak anterin deh kamu ke sana. Pasar juga tenang kok kalau jam segini. Preman-preman seperjuangan bareng Kakak pasti juga ikut ngejagain.” Kak Raffi mengikuti langkahku yang panjang. “Kakak nggak mau ngebiarin kamu keliaran sendirian di jalanan. Kamu itu bisa narik orang jahat. Soalnya mukamu itu muka penarik orang jahat mendekat.” Aku hanya terus memasang wajah cemberutku, yang Kak Raffi komentari dengan tawanya. Sial!

***

Kami sampai di rumah keluarga Prakoso saat matahari baru saja ingin terbenam di ufuk barat. Pak Sudar—supir pribadi keluarga Prakoso—membukakan kami gerbang. Kak Raffi ingin bertemu Ibu sebentar, ada yang ingin dia bicarakan makanya Kak Raffi ikut masuk bersamaku. Saat aku sudah berada di perkarangan yang menuju ke teras rumah keluarga Prakoso, Kak Al tiba-tiba keluar dari mobil Porsche nya. Dia tersenyum lebar saat melihatku.

“Hai, Rev,” sapanya, saat aku melangkahkan kakiku untuk menyapanya juga. “Hai, juga Raf.” Kak Raffi yang berdiri di sebelahku menegang, matanya yang biasanya selalu fokus, berubah aneh. Seperti ada… cinta di sana. Cinta yang dia tunjukkan untuk Kak Al. HUH! Cinta? Tidak mungkin, tidak mungkin.

“Hai, juga Kak,” sapaku masih bingung dengan situasi yang terjadi di antara kami.

“Ayo, masuk!” ajak Kak Al, saat awkward moment terjadi di antara kami bertiga. Aku baru saja ingin melangkahkan kakiku saat Kak Al menyerukan suaranya. “Bagas, udah mau maghrib, ayo masuk, shalat. Jangan foto hal-hal nggak jelas terus di sana.”

Aku mengikuti pandangan Kak Al. Bagas yang sedang sibuk dengan kameranya langsung menoleh ke arah kami. Matanya yang hitam itu terbelalak saat melihat… Kak Raffi. Dia menundukkan kepalanya dan berjalan cepat melewati kami begitu saja. Saat dia menoleh sekali lagi ke arah Kak Raffi, aku tahu pandangan apa itu. Oh, tidak! Bagas tidak mungkin…

Aku mencintai Bagas, Bagas mencintai Kak Raffi, Kak Raffi mencintai Kak Al, dan Kak Al mencintaiku. Ya Tuhan, kisah cintaku ternyata memang lebih rumit dari punya Tivo. Darn it!

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–

Rainy Day (1)

DIS_

Prolog

 

Hari ini hujan.

Seperti hari-hari yang lainnya. Aku duduk termenung di bawah pondok kecil berkayu rapuh sembari menatap rintikan hujan yang turun dari langit kelabu. Kusisir rambutku yang basah karena percikan air yang jatuh dari seng bolong yang ada di atas kepalaku ini dengan jari-jariku. Aku menundukkan kepala, melihat lumpur yang bergumpal di bawah kaki. Sendal jepit yang aku gunakan terpercik oleh noda-noda lumpur, membuat sendal jepitku yang bersih menjadi sangat kotor.

Di sekelilingku, orang-orang berlalu lalang. Ada yang menggunakan payung, ada yang menggunakan tas, ada yang menggunakan tudung jaketnya, semua hal itu untuk menghalau hujan. Aku suka berjalan di bawah hujan tanpa menggunakan penutup kepala sama sekali, membiarkan tetesan demi tetesan air mengaliri pipiku. Tetapi hari ini aku sedang tidak ingin berada di bawah hujan. Karena hatiku sedang mengalami hujannya sendiri.

Seseorang yang kucintai, ternyata mencintai orang lain.

Aku kini tahu apa itu rasa sakit hati. Seperti ada jarum yang tak kasat mata menghujam hati, lalu menorehkan luka yang tak terlihat. Sid bilang, air mata adalah keringat dari hati. Dan aku benci mengakuinya, karena setiap hari hatiku selalu berkeringat, menyebabkan mataku mengeluarkan air mata. Sungguh, aku sudah berusaha untuk melupakan rasa sakit itu. Tetapi setiap kali aku melihat wajahnya, jarum itu kembali menghujam dan hatiku kembali berkeringat. Menghasilkan hujan di langit dan pelupuk mataku.

Kurapatkan jaket yang kugunakan, bagian lengannya bolong, mungkin karena jaket ini sudah kugunakan selama lima tahun. Jaket yang dibelikan oleh And saat dia dan keluarganya liburan ke Singapura. Hadiah pertamaku dari luar negeri. Hadiah yang sampai sekarang tidak akan pernah kulepaskan. Hadiah yang akan selalu kugunakan. Aku menyukai jaket ini, selalu melindungi kulitku dari teriknya matahari dan dinginnya cuaca.

Hari ini aku kembali memperhatikannya, hal yang selalu kulakukan setiap hari. Yang kini baru kusadari kalau hal seperti itu hanya membuang-buang waktuku saja. Namun, sekuat apapun aku mengutuk diriku untuk menghentikan apa yang sedang kulakukan untuknya, aku tidak bisa berhenti. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk terus melakukan hal itu. Hal yang bodoh, hal yang gila.

Aku mendesah panjang, kutengadahkan kepalaku dan kembali melihat rintikan hujan. Airnya yang bening jatuh ke tanah dan membasahi kota Jakarta. Kota keras yang telah menjadi tempat tinggalku selama ini. Aku mengeluarkan walkman tua dari dalam kantong jaketku. Memasang headseat ke dalam lubangnya, lalu memasang kedua bundalan speaker itu ke dalam telingaku.

Satu buah kaset yang telah kuisi dua belas lagu kesukaanku sudah terpasang di dalam walkman tua kesayanganku ini. Dua belas lagu yang telah membuat bibirku tersenyum ketika hatiku mengatakan hal yang lain. Dua belas lagu yang selalu kudengarkan. Lagu-lagu yang membuaiku, lullaby untuk tiap dendangan hatiku yang bersedih.

Aku merapatkan walkman tuaku ke dada, lalu mulai menekan pelan tombol play.

Chapter-Lagu 1

♫ Lenka – Heart Skips a Beat

Tanpa diberitahu pun aku tahu kalau Ozayn jatuh cinta pada Zavan. Teman akrabku satu itu selalu memperhatikan gerak-gerik Zavan, tersenyum lebar ketika mendengar nada-nada kotor yang keluar dari mulut cowok berwajah bule itu. Jika aku melihat Ozayn, aku melihat diriku sendiri. Yang sedang menatap Bagas dengan tatapan memuja, ingin menyuruh cowok dingin itu untuk mencintaiku. Meskipun aku tahu dia tidak akan pernah melakukannya.

Kini aku telah berada di grade 11, semester dua. Beberapa bulan lagi, Bagas akan lulus dan tidak akan ada di sekolah ini lagi. Itulah bedaku dengan Ozayn, jika aku beberapa bulan lagi tidak akan melihat Bagas, sedangkan Ozayn masih punya banyak waktu untuk menganggumi sosok Zavan yang memang kusadari sangatlah tampan. Dengan mata biru, tubuh yang kini makin tinggi dan rambut acak-acakkan.

“Bilang aja ke Zavan kalo kamu suka sama dia,” ucapku, aku duduk di sebelah Ozayn saat di homeroom Physics. Zavan duduk dengan Sid, sedangkan Tivo duduk dengan cewek yang kini telah menjadi pacarnya. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa jadian. Tivo bilang, cewek itu menembaknya dan dia kasihan jika menolaknya. Aku sebagai sahabat karibnya hanya bisa mengangguk dan tak ikut campur. Kalau And pastinya duduk dengan Vick, cowok yang sering diajak And berkelahi—dulu. Aku tidak terkejut saat mereka jadian, aku sudah menyadari kalau ada cinta di setiap makian yang mereka saling lontarkan.

“Siapa yang bilang aku suka sama Zavan?” tanya Ozayn, berbisik di telingaku.

Aku tersenyum kecil, kutolehkan kepalaku ke arahnya dan melihat kulitnya yang hitam agak berpendar saat tertimpa cahaya matahari. “Aku kenal kamu itu udah hampir dua tahun. Setiap gelagat yang kamu tunjukkin untuk sahabatku itu kelihatan banget Oz. Aku ngelihat diriku sendiri di dalam diri kamu.”

Ozayn menangkupkan wajahnya di kedua tangannya. “Seharusnya aku sadar diri ya Rev,” ucap Ozayn dari sela-sela tangannya. “Mana mau Zavan sama cowok jelek kayak aku ini.” Ozayn menurunkan kedua tangannya dan menatapku dengan mata penuh kesedihan. Sekali lagi, aku melihat diriku sendiri di dalam dirinya.

“Kamu nggak jelek,” sahut cepat, aku mengeluarkan buku paket Physics dari dalam kolong meja. “Nggak ada orang yang jelek di dunia ini. Semua orang sama aja di mata Allah. Nggak ada yang jelek, nggak ada yang ganteng.” Aku menolehkan kepalaku ke arahnya, lalu tersenyum simpul. “Kamu ganteng Oz, dengan jadi diri kamu apa adanya.”

Senyuman kecil muncul hati-hati di bibirnya yang penuh. “Kamu memang temenku yang paling baik Rev.” Ozayn menepuk pundakku pelan, mengucapkan terima kasih dalam sudut pandang tepukannya.

“Kamu juga temenku yang paling baik.”

***

Mari kuceritakan saat aku mengenal Ozayn untuk pertama kali. Dia itu salah satu anggota di Student Organization, atau dalam bahasa Indonesia nya adalah OSIS. Dia menjabat sebagai seksi keamanan. Karena badannya yang besar dan kokoh. Agak-agak mirip And, karena dia bilang, badannya bisa sebesar itu karena suka bantu Bapak dan Datuk nya di truk pengangkut pasir saat dia masih tinggal di Lahat, Palembang. Namun cara berjalan Ozayn itu jelek, agak membungkuk, yang memberikan kesan cupu untuknya. Apalagi dengan kacamata besar dan rambut yang terlalu banyak dibubuhi minyak rambut. Dibelah pinggir ke kanan lagi gaya rambutnya. Makin mencolok kecupuan yang ada di dalam dirinya.

Namun Ozayn adalah orang yang baik. Cerdas dan sangat rendah hati. Jika dia bicara, dia akan menghiasi bibirnya dengan senyuman hangat. Dia tidak cepat marah seperti And, dia tidak sombong seperti Sid, dia tidak serakus aku, dia tidak sependiam Tivo dan dia tidak sejorok Zavan. Kekuarangan yang ada di dalam dirinya hanyalah sifat mindernya itu. Selalu bilang kalau wajahnya jelek, selalu bilang kalau dia tidak pantas sekolah di tempat se-populer ini. Itulah yang tidak kusuka dari Ozayn.

Masih banyak hal yang bisa kuceritakan tentang Ozayn, saking banyaknya aku tidak tahu harus mulai dari yang mana lagi. Intinya, Ozayn adalah teman akrabku. Orang yang sama-sama dipanggil jelata oleh Zavan. Entah mengapa, aku dan Ozayn suka-suka saja dengan sebutan itu. Mungkin karena Zavan yang mengatakannya, jadi tidak terdengar mengejek sama sekali.

Zavan adalah sahabat karibku yang sangat baik. Meski mulutnya mengucapkan kata-kata kotor dan senonoh, tetapi dia selalu ada untukku. Aku masih ingat saat dia menyanyikanku lagu perjanjian persahabatan waktu itu. Dia dengan suaranya yang kadang parau terus menyanyikan lagu itu untukku, membuatku tertawa dan merasa tidak kesepian lagi. Aku masih ingat lagu yang dia nyanyikan untukku waktu itu. Lagu yang benar-benar konyol.

“Lagu ini gue dedikasikan untuk sahabat-sahabat gue. Khususnya yang itu.” Zavan mengangkat jari telunjuknya lalu menunjukku. Sid dan And hanya tertawa-tawa saja di atas kasur Zavan yang sangat besar. Meski yang ada di ruangan ini kami berempat, tetapi gayanya sudah seperti artis besar lagi konser saja. Zavan menarik nafas panjang lalu mulai bernyanyi. “I could be your Fag Bad, and you could be my Gay. I’ll never make you feel sad, when you come out to play.” Suara Zavan memang tidak bagus, tetapi entah mengapa lagu yang dia nyanyikan terdengar harmonis. “We don’t give a fuck, what people are thinking. I know you’ll always look out for me, when we go out drinking. I can ask you things I can’t ask anyone, and you’ll give me direction. Apart from me, you’re the only other person I know, who reads the travel section.” Zavan menaikkan suaranya, membuat Sid, And dan Tivo menutup telinga.

I could be your Fag Bad, and you could be my Gay. I’ll never make you feel sad, when you come out to play.” Kemudian lagu terus bergulir, membuat aku terbuai olehnya. Ketika lagu berakhir, aku memberikan tepuk tangan untuknya. Sumpah, itu adalah hal terbaik yang pernah Zavan lakukan untukku. Bukan berarti aku tidak berterima kasih ya atas semua traktiran yang pernah dia berikan padaku. Hanya saja, hal ini lebih indah dari semua hal yang pernah dia berikan untukku.

Thanks,” kataku. Dan itu sudah cukup untuk menjadi sebuah perjanjianku dengannya.

Sid bangkit dari kasur, dia berjalan cepat menuju ke stereo yang ada di bawah TV plasma yang tertempel di dinding. “Fag Bad?” tanya Sid dengan nada suara sarkas. “Nggak ada kata yang lebih bagus apa?”

Zavan menaikkan pundaknya tinggi-tinggi. “Cuma itu aja yang ada di kepala gue. Lagi pula itu kan lagunya Lily Allen. Judul aslinya itu Fag Hag, nah… cuman Fag Bad aja yang nyambung sama nada di lagunya itu.”

“Tapi tetep aja. Fag Bad… banci nakal.” Sid mengernyit aneh. “Meski gue nggak terlalu kaget sih Zav. Lo kan rada gitu. Rada-rada banci nakal. Plus kegatelan.”

“Biarin aja gue banci nakal, daripada pura-pura macho kayak And.” Zavan mendelik ke arah Sid sengit. “Kalo lubang pantat gue gatel, gue suruh dong kontol buat garukin.”

Aku dan yang lainnya langsung tertawa kencang. Sedangkan Tivo hanya menyeringai kecil. Oh, aku sih tahu kenapa Tivo seperti itu. Saat di grade 10, semester dua, Tivo menyerahkan rahasianya padaku. Rahasia yang tetap akan kupegang sampai sekarang. Rahasia yang benar-benar membuatku terkejut. Aku tidak tahu kalau Tivo mempunyai rahasia sekelam itu. Jika aku menjadi dirinya saja, aku pasti tidak akan pernah bisa tersenyum lagi seperti dia. Namun aku yakin, suatu hari nanti Tivo kembali bisa tersenyum. Aku pernah bertanya padanya, apakah dia bisa tersenyum meski hanya senyuman palsu.

Jawabannya adalah… “Gue udah lupa gimana caranya tersenyum. Gue lupa gimana ngebuat bibir ini melengkung untuk jadi sebuah senyuman.” Tivo yang malang, mempunyai kisah hidup paling buruk dari kami berlima. Bahkan, kisah hidupku lebih beruntung daripada kisah hidupnya dia. Jika ada yang ingin diberi pelukan, Tivo lah yang paling membutuhkannya.

***

Aku mempercepat langkahku. Buku yang ada di kedua tanganku bergerak-gerak lincah seraya mengikuti hentakan langkahku yang panjang. Beberapa pasang mata menatapku, aku menolehkan kepalaku dan tersenyum lebar ke mereka. Yang mereka balas dengan raut wajah tertegun. And bilang, atau semua orang bilang, wajahku tampan. Aku seperti malaikat yang dibungkus dalam badan manusia. Tetapi itu pemikiran mereka. Bagiku, wajah yang menempel di mukaku ini adalah sebuah bencana. Aku tidak suka menggunakan wajah ini, karena banyak hal buruk yang terjadi padaku karena wajahku ini.

Sudah banyak hal yang berubah selama setahun ini. Adam—pacar Sid—kini telah berada di Universitas Indonesia. Rencananya, cowok itu akan berkuliah di luar negeri. Tetapi dia tidak mau menjalin hubungan jarak jauh dengan Sid. Sebab itulah dia akan menunggu Sid sampai dia lulus sekolah. Aku suka hal-hal berbau romantis seperti itu. Menunggu orang yang kau cintai, berbalik untuk mencintaimu. Sayangnya, aku tidak pernah mendapatkan hal itu untuk diriku sendiri.

Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam loker. Hatiku kembali hujan saat aku memasukkan nomor kombinasi lokerku. Bagaimana tidak, kombinasi yang kugunakan adalah ulang tahun Bagas. Terlihat bodoh, terlalu terobsesi, terlalu jauh mencintai, dan terlalu percuma. Aku membentak diriku sendiri untuk mengganti nomor kombinasiku. Hanya saja, setiap kali aku mau merubahnya, aku merasa bersalah pada Bagas. Aku tidak tahu merasa bersalah karena apa. Perasaan bersalah itu datang sendiri.

Setelah semua buku itu masuk ke dalam lokerku, aku melangkahkan kakiku cepat menuju ke lapangan sepak bola. Ingin melihatnya latihan pada siang hari ini. Klub sepak bola selalu mengadakan latihan hampir setiap hari, sepulang sekolah. Meskipun Bagas sudah berada di grade 12, dia tetap aktif di klub sepak bolanya.

Matahari tertutup awan hari ini, langit kelabu bertajuk mendung menghiasi kota Jakarta. Lihat saja, beberapa jam lagi pasti hujan. Kalau pun tidak hujan, langit akan selalu mendung. Atau berubah lagi menjadi cerah, membuat matahari yang panas makin panas. Aku mendesah panjang, lalu berjalan menuju ke bangku penonton yang searah dengan tiang gawang. Pandanganku meneliti saat aku sudah duduk. Beberapa teman klub Bagas sudah berada di lapangan, berlari-lari kecil ataupun peregangan. Aku mengangkat kepalaku, untuk melihat posisi Bagas saat ini.

Sebentar dulu, apa yang sedang kulakukan? Aku melakukannya lagi. Memperhatikan cowok yang bahkan tidak melirikku sama sekali. Seharusnya aku berhenti melakukannya, aku tidak boleh melakukan hal ini terus-menerus, ini tidak sehat. Dua belas tahun sudah cukup untukku memperhatikan sosoknya, saatnya mulai mencintai orang yang mencintaiku. Aku harus mencari kesibukkan yang lain. Yang lebih berguna. Belajar, contohnya.

Hanya saja, aku memang bodoh. Aku kembali duduk saat melihat Bagas sedang berlari kecil di hadapanku, bola yang ada di kakinya mengikutinya seperti Bagas adalah tuannya. Sosoknya yang tinggi, berpundak lebar, bermata tajam, bersuara berat, berambut lebih acak-acakkan dari Zavan dan berdada bidang membuat mataku berhenti berkedip. Keringat yang ada di dahinya jatuh ke sela-sela rambut yang ada di dekat telinganya. Turun sampai ke tengkuknya lalu masuk ke dalam jerseynya.

Jika kalian bilang aku mencintainya karena hal itu, kalian salah besar. Aku hanya kagum dengan apa yang dia tunjukkan dalam semangatnya itu. Dia dengan mudahnya berbaur di dalam keluarganya yang koleris. Memperhatikan sekeliling dengan seksama, baru bicara ketika ada yang ingin dia ucapkan. Selalu tenang jika ada yang mengganggunya. Semua hal itu, semua tingkah lakunya terlihat begitu plagmatis.

Swadee kha,” sapa seseorang dalam bahasa Bangkok di hadapanku. Aku mengalihkan tatapanku dari Bagas ke orang yang sedang mengajakku bicara. “Lagi ngapain di sini?” tanyanya dalam bahasa Indonesia yang sangat kaku.

Wajah Chookriat Skeraovukul yang sangat Bangkok tersenyum lebar ke arahku. Aku biasa memanggilnya Chook. Orang yang ramah, suka tersenyum karena dia memang berasal dari Bangkok. Kota berlesung pipit itu, kota yang memang diberi predikat dengan kota senyuman. Meskipun aku tidak terlalu suka dengan kota Bangkok. Oh, Chook salah satu teman akrab Bagas. Dia selalu datang ke rumah Bagas setiap malam minggu dengan teman satu klub sepak bola yang lain. Bercengkrama tidak jelas tentang klub-klub sepak bola.

“Revie?” panggilnya pelan. Tangannya yang besar bergoyang-goyang di depan wajahku.

Aku tersenyum simpul, Chook sedikit tertegun lalu balas tersenyum. “Lagi lihat kalian latihan.” Aku berujar sembari mencoba tenang saat Bagas melirik ke arah Chook lalu ke… aku. Meski dia tidak begitu memperhatikan wajahku seperti semua orang.

“Mau lihat gaya baruku tidak?” tanya Chook. “Aku punya beberapa tekhnik baru untuk permainan sepak bolaku.”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Chook mundur dari pagar pembatas lalu mengambil bola yang ada di bawah kakinya. Dia mulai melakukan tekhnik-tekhnik yang aku tidak mengerti sama sekali. To tell you the truth, aku tidak begitu suka sepak bola. Memperhatikan satu buah bola ditendang ke sana-kemari hanya untuk dimasukkan ke gawang. Kenapa merebutkan hal yang tidak penting, kenapa tidak merebutkan hal yang lebih masuk akal? Baiklah, tidak perlu mendengarkan apa yang kukatakan.

“Bagaimana, bagus tidak?” tanya Chook, dia maju ke depanku lagi. Keringat yang ada di dagunya meluncur jatuh ke lapangan berumput hijau tebal.

“Bagus,” ucapku, meski sebenarnya aku tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

“Chook!” Sarafku langsung terhenti saat mendengar suara itu, suara berat yang benar-benar bisa membuatku tertegun. “Rehearsal, now.”

“Oke!” Chook mengacungkan jempolnya ke arah Bagas. Cowok berwajah Bangkok itu menatapku sebentar, dia mengedipkan matanya lalu berlari kencang ke tengah lapangan.

Semua pemain bola itu duduk di sana, mendengarkan Coach Darren bergumam tentang sesuatu yang tidak aku mengerti. Bagas yang duduk di paling belakang mendengarkan dengan seksama, di tangannya ada Evian, sedangkan tangan yang satunya menopang dagu. Rambutnya yang berwarna hitam, terkibas-kibas karena tertiup angin. Membuat posturnya seperti salah satu cowok yang ada di iklan gel rambut.

“Udah gue duga lo ada di sini,” sergah seseorang di sampingku. Aku menoleh dan melihat Zavan yang kini sudah duduk di sebelahku. Tivo yang sibuk dengan iPadnya duduk di sebelahku yang satu lagi. “Nggak bosen apa lihatin Bagas?” tanya Zavan, dia menyesap Pocari Sweat yang ada di tangannya.

“Maunya sih bosen, tapi aku nggak bisa.” Aku tidak bisa berbohong, setiap kali aku berbohong, mereka pasti akan tahu.

Tivo menaruh iPadnya di atas paha. “Gue udah putus dari Belle.”

Belle adalah cewek yang menjadi pacarnya itu. Cewek cantik, salah satu ketua di Clique yang sering sekali berteriak-teriak nggak jelas kalau lihat Robert Pattinson shirtless di majalah. “Putus kenapa?” Aku menyandarkan punggungku di sandaran semen yang ada di belakangku. Bagas berdiri dari posisi duduknya, dia berlari kecil untuk mengambil bola yang ada di pinggir lapangan.

“Dia nggak suka karena gue terlalu cuek.” Kemudian Tivo kembali diam, tidak menjelaskan lebih detail. Aku sudah tahu dengan cara apatisnya seperti ini. Dia bilang, berbicara itu membuang-buang tenaga. Dia lebih suka bicara saat dia ingin melakukannya.

“Baguslah kalo lo putus dari si Belle-k mata. Gue nggak ngerti deh sama cewek itu. Selalu ngegosipin hal sampah. Ngomong ini, ngomong itu. Gawd! Coba aja gue bawa penutup Brandy Fazaik, pasti bakalan gue sumpel mulutnya. Sekalian sama pepeknya.” Zavan memajukan badannya, menatap satu-satu semua pemain sepak bola yang sedang bersiap untuk memulai latihan yang sesungguhnya. “Lihat deh asistennya Coach Darren. Ganteng ya. Kalo dia senyum itu lho, buat bulu kontol gue merinding. Namanya siapa ya… gue lupa?”

“Taquitos.” Aku dan Tivo menjawab bersamaan.

Major ew! Namanya kayak makanan menjijikan dari Texas deh.” Zavan memundurkan badannya. “Cari yang lain lagi deh kalo gitu. Nggak enak banget, masa pas gue sama dia lagi gituan nanti, gue bakalan mendesah sambil teriak-teriak: Oh, Taquitos, fuck me harder, yeah, harder. Ngebayanginnya aja gue ngerasa kayak lagi nge-seks bareng sama makanan menjijikan itu.”

Aku tertawa pelan, karena kata-kata jorok yang meluncur dari mulut Zavan barusan. “Ya udah, ganti namanya aja. Jadi Ito atau Taq gitu.”

“Oh, Taq, fuck me harder!” seru Zavan kencang, membuat beberapa pemain sepak bola yang sedang serius latihan menoleh ke arah kami. “Hai, guys!” Zavan melambaikan tangannya ke orang-orang yang menatap ke arah kami, termasuk Bagas. “Nice move.” Zavan mengedipkan matanya, membuat beberapa pemain sepak bola itu tertawa-tawa nggak jelas. Bagas mengalihkan kembali matanya ke bola, lalu mulai bermain serius lagi. “Semua keringat yang mengucur dari kening mereka itu seksi-seksi ya. Pengen deh gue diperkosa sama mereka.”

“Waktu itu lo pengen minta diperkosa sama anak-anak klub Rugby, sekarang sama anak-anak pemain sepak bola. Biatch!” Tivo mendengus, dia kemudian kembali sibuk dengan iPadnya.

Zavan menjulurkan lidahnya. “Biarin. Selama lubang gue masih bisa menampung berbagai jenis kontol, dari yang kecil hingga yang besar, gue akan selalu siap. Oh, Mister Kontol, datanglah ke lubangku.” Zavan berujar khidmat. Membuatku kembali tertawa geli.

Dengan sahabat seperti Zavan, sebenarnya memikirkan cinta itu tidak perlu. Iya kan? Hanya saja Bagas selalu mendengung di telingaku, masuk ke celah-celah Cepalusku lalu menyelusup masuk ke dalam hatiku. Bagas sialan! I love him so much. Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada someone like him. Kenapa kisah cintaku tidak seberingas Sid? Kenapa kisah cintaku tidak seperti And dan Vick, yang diawali dengan pertengkaran?

Hidup memang tidak adil. Ralat, hidup memang tidak akan pernah adil.

***

Kukeluarkan uang dua ribu rupiahku dari dalam kantong seragam DIS ku. Hanya uang ini yang masih tersedia untukku. Mbak Wati, penjaga warung yang berada di dekat rumahku menatapku dengan tatapan baik. Setiap aku mau membeli bahan makanan, aku selalu ke warungnya. Dia pasti membiarkan aku mengutang, boleh membayarnya kapan saja ketika aku sudah punya uang. Tetapi tidak, aku bukan orang yang suka mengutang apapun dengan orang lain. Meskipun aku jelata seperti yang Zavan bilang, hidup tanpa hutang itu lebih baik daripada dihantui rasa ingin menebus hutang itu. Seperti yang sering menyerang Ayah dan Ibuku.

“Kecap manis bungkusannya dua Mbak.” Aku menunjuk kecap manis ABC bungkusan yang digantung di dekat kepalanya. “Sama krupuknya satu.” Mbak Wati menyerahkanku kedua bahan penyedap makanan itu ke tanganku. Kuulurkan uang dua ribu yang ada di tanganku kepadanya. “Makasih Mbak.”

Aku baru saja ingin beranjak pergi saat Mbak Wati menahan tanganku. “Ini untuk Revie,” ucapnya dengan senyuman. Satu bungkus krupuk putih terulur untukku. “Mbak kasih gratis untuk kamu.”

Aku tersenyum, lalu berujar cepat. “Makasih Mbak.” Dia mengangguk, lalu aku cepat-cepat pergi dari sini. Adik-adikku pasti sudah lapar di rumah. Ravina pasti sudah masak nasi, dan aku lah yang bertugas membawakan lauknya. Setiap hari itu yang kami lakukan. Ayah berkerja jadi buruh bangunan. Pulang sekitar jam delapan malam. Kalau Ibu kerja di rumahnya Bagas, jadi pembantu di sana. Baru pulang ke rumah juga saat selesai maghrib. Sebab itulah, aku, Ravina dan Ravilia bertugas menjaga adik-adik kami.

Ravina yang memasak nasi, Ravilia yang membersihkan rumah, aku yang mencuci pakaian dan membelikan mereka lauk untuk makan. Setiap hari itu yang kulakukan. Namun jika pekerjaanku sudah selesai, aku biasanya pergi ke rumah Bagas, untuk membantu beban Ibuku jadi pembantu di sana. Membersihkan kolam berenang, menjemur semua pakaian yang telah Ibuku cuci, atau menyiram taman depan dan belakang rumah keluarga Prakoso.

Aku mempunyai kakak, namanya Raffi. Selalu ada untukku saat aku lelah, menjagaku dari orang-orang yang suka menjahatiku saat aku pergi ke pasar untuk menemuinya. Dia menjadi preman di sana. Menjaga pasar dari semua preman jahat yang akan mengganggu tempat mangkalnya. Kakakku bukan jenis preman jahat seperti preman kebanyakan. Semua orang yang ada di pasar malah segan dengan kakakku, memberikan kakakku uang tiap bulan karena dia yang menjaga semua pedagang itu dari palak liar.

Raffi jarang pulang ke rumah, tetapi sekalinya pulang, dia akan membawakan kami makanan. Seperti yang sering kulakukan kalau aku baru pulang dari rumah And. Meskipun aku tidak sering-sering melakukannya. Raffi tinggal dengan temannya yang preman itu juga. Yang menjaga parkiran di pasar. Kalau tidak salah namanya Kak Soni. Dia sebenarnya anak orang kaya, sayang orang tuanya korupsi. Makanya dia jadi preman seperti itu. Kak Soni awalnya hanya gelandangan, lalu kak Raffi menolongnya. Menyuruhnya tinggal di rumah kami untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kak Raffi membuat rumah di kolong jembatan untuk dia dan kak Soni.

Revin duduk di depan pintu saat aku sudah sampai di rumahku. Baiklah, tempat tinggalku tidak layak jika disebut rumah. Mungkin lebih cocok gubuk. Jendelanya hanya satu, triplek tipis menghiasi setiap sudutnya, atapnya terbuat dari seng-seng yang sudah berkarat, kardus-kardus yang rapuh karena air menjadi alas untuk kami.

“Assalamualaikum,” sapaku ke Revin. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Giginya yang ompong terlihat jelas, matanya yang lebar sepertiku berbinar-binar.

“Kak, aku dapet nilai sepuluh lho,” ujarnya sambil berlari masuk ke dalam rumah, lalu kembali lagi ke hadapanku. “Nih, kata bu Guru, cuman aku aja yang nilai matematikanya bagus.” Dia kembali tersenyum, membuat wajahnya yang tembam mengembung seperti Boboho.

Aku tersenyum, kuacak-acak rambutnya pelan. “Hebat dong adik kakak,” kataku seraya melepaskan sepatu Converse ku yang dibilang Zavan harus segera dibakar dan dikubur sedalam mungkin saking sudah tak layak pakai. “Tapi dek, walopun Revin udah dapet nilai sepuluh, bukan berarti Revin harus berhenti belajar lho.”

“Enggak. Revin bakalan belajar terus. Biar pinter kayak kakak, terus dibawa ke luar negeri.”

Revin memeluk pinggangku, aku hanya tertawa dan mengajaknya masuk ke dalam rumah kami yang temaram. “Revandi mana?” tanyaku pada Ravilia, yang sedang melipat-lipat baju.

“Diajak main sama Rita dan Rati ke kolong jembatan sebelah,” jawab Ravilia.

“Kamu jemput mereka ya, Ra. Bilang kalo kita mau makan siang bentar lagi.” Aku menaruh tasku di dalam kamarku dan adik-adikku. Kamar kecil yang sangat nyaman. Kalau sudah malam, aku dan adik-adikku akan berkumpul lalu belajar bersama. Kemudian kami akan tidur desak-desakkan, meskipun aku tidak keberatan sama sekali.

Ravilia mengangguk, dia berdiri lalu menaruh semua pakaian yang sudah dia lipat ke lemari plastik berwarna kusam yang ada di dekat pintu kamar. Dia beranjak pergi, rambutnya yang panjang bergoyang-goyang saat dia berjalan. Aku masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu yang terbuat dari triplek dua lapis. Kubuka bajuku, dan melepaskan semua pakaian DIS ku dari tubuh. Aku mengambil pakaian yang ada di dalam lemari kecilku, dan menganakannya. Pakaian yang terlalu sering dicuci ini masih terlihat bagus di tubuhku.

Aku keluar dari kamar, lalu duduk bersila di atas kardus, alas pengganti lantai marmer seperti lantai yang ada di rumah And dan Bagas. “Rav, bawain nasinya ke sini ya. Kita makan siang dulu.” Revina menyahut dari arah dapur. Revin duduk di sebelahku, sambil menatap kecap manis bungkus yang ada di tanganku.

Ravina menaruh nasi di dalam piring besar di tengah-tengah ruangan. Dia duduk dan menaruh semua piring plastik di dekat nasi tersebut. Adikku, Revandi datang dengan wajah berbinar saat melihat krupuk yang kutaruh di tengah-tengah nasi dan piring. Dia tersenyum lebar, lalu duduk di pangkuanku.

“Kita makan pakek krupuk hari ini?” tanyanya. Ravina menyendokkan nasi ke atas piring. “Hore. Revan kira kita cuman makan pakek kecap aja hari ini.” Kami semua tertawa mendengar nada gembira yang meluncur dari suara adik terakhirku itu. Aku mengambil piring plastik yang Ravina berikan untukku, menuangkan kecap manis ke atas nasiku. Inilah menu makanan kami siang ini, kecap manis dan krupuk. Kalau ada uang lebih, aku biasanya membeli makanan yang lebih layak. Namun, seperti ini saja adik-adikku terlihat gembira. Hanya saja, suatu hari nanti, aku akan memberikan yang terbaik untuk mereka.

Setelah selesai makan, aku beranjak berdiri. Ravina membereskan semua piring bekas kami makan, sedangkan Ravilia menyapu tempat kami baru saja makan. “Kakak mau ke rumahnya Bu Prakoso ya. Mau bantu Ibu di sana. Ravina sama Ravilia jagain adek-adek ya.” Adik-adikku mengangguk serempak. Aku mengambil jaket yang kugantung di dekat lemari plastik, mengenakkannya lalu berjalan cepat menuju ke pintu. “Revin, Rita, Rati jangan main ke jalan ya. Revan dijagain. Kalo diajak sama siapa-siapa jalan jangan mau. Ntar diculik.”

Sekali lagi, adik-adikku mengangguk serentak. Aku mencium pipi Revan, kemudian berjalan menjauh menuju ke rumah cowok yang selalu membuat hatiku hujan dan berdegup kencang.

Jika dalam keadaan krisis keuangan begini, aku biasanya akan jalan kaki menuju ke rumah Bu Prakoso. Tidak terlalu jauh jarak rumah Bu Prakoso dari rumahku. Sekitar delapan kilo meter. Aku sudah biasa melakukannya. Saking biasanya, aku bahkan tidak pernah lelah sama sekali. Mungkin itulah alasanku rakus, suka makan apa saja yang flocksku berikan. Semua kalori yang ada di dalam tubuhku terbakar, makanya aku tidak pernah gemuk sama sekali.

Semua flocksku bilang, aku rakus. Tidak, aku tidak rakus. Aku hanya suka makan. Kata Ibu, tidak boleh menyia-nyiakan makanan. Zavan dan Sid sangat suka memesan banyak makanan, tetapi mereka suka sekali membuang-buangnya. Sangat mubazir. Sebab itulah aku yang menghabiskannya. Aku mau saja membawa semua makanan itu pulang ke rumah, tetapi aku malu. Tentu saja aku masih punya malu. Tidak mungkin kan, makanan yang sudah disentuh disuruh bungkus lagi. Lagi pula Sid akan murka, dia bilang menyuruh seseorang memasukkan makanan bekas ke dalam plastik untuk dibawa pulang itu sangat merendahkan diri sendiri.

Tetapi kalau aku bersama And dan keluarganya, aku tidak pernah malu untuk membungkus makanan yang sudah kami sentuh. Mama—aku memanggil Mamanya And dengan sebutan itu alih-alih tante, dia sendiri yang menyuruhku—juga menjunjung tinggi-tinggi memakan makanan sampai habis. Jangan menyisakan makanan, itu mubazir.

Ya… selama ada makanan, nikmatilah. Sungguh, kau tidak akan pernah tahu kapan kau akan kelaparan. Itu motto hidupku yang kedua. Yang pertama, cintai Bagas. Aku tolol ya?

***

Rasanya seperti selamanya. Itulah yang kurasakan saat melihat And. Dia adalah sahabatku, aku mengenalnya saat dia tiba-tiba datang menghampiriku dan memberikanku setengah mainannya untukku. And orang yang baik, cepat marah jika ada yang menggangguku, perhatian dan sangat suka memberiku es krim, makanan/minuman kesukaanku. Aku jatuh cinta pada es krim saat And membelikanku dua belas tahun yang lalu.

Aku tahu And mencintaiku. Aku bisa merasakannya saat dia menatapku, saat dia menyuruhku rebah di dadanya, atau pada saat dia mengecup keningku setiap kali aku menginap di rumahnya. Namun aku tahu, cinta And untukku tidak akan pernah cocok. Kami sahabat, dan selalu berjanji untuk menjadi seperti itu. And bilang, Que Sera, Sera, whatever will be, will be. Tetapi lihat, Que Sera itu memang tidak berlaku untuk kami. Aku dan dia akan selalu ditakdirkan untik menjadi sahabat selamanya. And adalah sahabat serta kakak dan mentorku di dalam hidup. Yang akan selalu membuka tangannya untuk memelukku saat aku sedih. Dia selalu ada untukku. Aku mencintai And, dengan caraku sendiri.

And selalu menebak, alasan aku bisa jatuh cinta pada Bagas karena dia pernah menyelamatkan kami dari anjing cowok itu. Tetapi tidak. Alasan aku mencintai Bagas bukan karena hal itu. Aku mencintai Bagas secara tiba-tiba, saat Ibuku sedang melamar bekerja di rumah bu Prakoso. Bagas tiba-tiba datang di tengah-tengan pembicaraan, dan… BOOM! Aku langsung jatuh cinta padanya, kepada cowok berumur enam tahun, bermuka masam dan tatapan tajam yang menakutkan. Tetapi… aku jatuh cinta. Aku tidak tahu bagaimana, aku tidak tahu kenapa, aku hanya mencintainya. Sangat mencintainya.

Semua kenangan, semua gelagat, semua senyuman, dan semua yang ada di dalam dirinya selalu kusimpan di dalam memoriku. Mendamba suatu hari nanti dia ingin berbagi kesenangan itu bersamaku. Walau pada kenyataannya Bagas bahkan tetap tidak mengacuhkanku sampai sekarang.

“Tadi Revie beliin apa adik-adiknya buat makan?” tanya Ibu menarikku dari lamunan. Ibu sedang mencuci piring, sedangkan aku sedang mengelap semua piring itu.

“Kecap manis sama krupuk,” ucapku, sambil menyelipkan rambut yang ada di dahi Ibuku ke belakang telinga. Semburat lelah muncul di matanya. Ibu menatap wajahku, tersenyum penuh rasa cinta. Bagiku, Ibu adalah segalanya, Ayah juga. Aku hidup di dunia ini untuk mereka, membuat mereka bahagia.

“Maaf ya, nanti kalau Ibu sama Ayah gajian, Ibu bakalan masak ayam goreng kesukaan kalian.” Ibu mengelap keringat yang ada di dahinya dengan ujung tangan.

Aku tersenyum, lalu memeluk Ibuku singkat. “Nggak usah dipaksain Bu kalau memang nggak punya uang. Ayam goreng memang lezat, tapi makan tanpa beban hutang sama sekali lebih nikmat lagi.”

Ibuku tertawa, dia membalas pelukan singkatku. “Besok Ibu bakalan bayar hutang di Pak Mardji kok. Tinggal bunganya ajanya aja yang harus Ibu dan Ayan lunasi.”

Pak Mardji itu renternir jahat. Ibu dan Ayahku tahu itu, tetapi mereka tetap saja meminjam di pak tua berkumis tebal itu. Bahkan dulu, saat kami kesulitan untuk membayar hutang, Pak Mardji menyuruh Ayahku untuk membiarkannya menikah dengan Ravina. Yang tentu saja langsung kami tolak dengan tegas. Besok-besok aku harus menyuruh Ibu dan Ayahku berhenti meminjam di pak tua berpenis loyo itu. Pak Tua menjijikan.

“Revie tolong ambilin baju kotor ya di kamarnya Den Bagas,” tutur Ibu seraya mematikan keran air. Dia berjalan cepat menuju ke ruangan cuci, lalu kembali keluar dengan satu keranjang kecil. Aku mengambil keranjang itu dan mengangguk untuk menyetujui apa yang Ibu perintahkan untukku.

Aku melirik jam di dinding yang ada di ruang makan, Bagas pasti ada di kamarnya jam segini. Jantungku tiba-tiba berdebar. Selalu seperti ini, my heart skips a beat.

Kuhela nafas panjang, lalu mulai melangkah cepat menuju ke lantai dua. Ke kamar Bagas yang dihiasi dengan poster-poster pemain sepak bola. Aku tahu klub kesukaan Bagas. Dia sangat suka Chelsea. Dia juga suka warna biru, suka mendengarkan lagu-lagu dari Coldplay dan Letto. Setiap kali aku masuk ke dalam kamarnya, wangi maskulin yang berbaur dengan potpurri gardenia mendominasi ruangan itu. Membuatku merasa tenang, dan senang untuk berada di kamar itu berlama-lama.

Bagas sangat suka makan Marcaroons. Dia sangat suka yang rasa Taro. Minuman favoritnya adalah Cappucino yang dibubuhi banyak krim cokelat. Selain hobi bermain bola, Bagas suka memotret dengan kamera Canon nya. Mungkin darah gemar memotretnya itu dari Papanya. Yang memang mempunyai banyak Studio Foto terkenal di Jakarta. Masih banyak hal yang kutahu tentang Bagas, tetapi jika aku menyebutkannya, aku akan terdengar seperti psikopat yang terlalu terobsesi dengan seseorang. Bahkan Zavan pernah memanggilku Stupido Beyotch. Yang mencintai orang yang tidak mencintaiku balik.

Ketika aku sudah sampai di lantai dua, aku bertemu dengan Kak Aldrian, kakak kedua Bagas. Aku biasanya memanggil Kak Aldrian dengan sebutan Kak Al. Dia agak mirip Bagas, meski badannya lebih tinggi dan lebih besar. Kak Al berumur dua puluh tiga tahun, seorang Polisi muda yang sangat disegani oleh teman-temannya. Kak Al orang yang sangat baik, suka membantuku di dapur, suka membantuku saat aku membersihkan kolam berenang dan sangat suka mengajakku keluar untuk makan.

Dan yang paling parah adalah… dia mencintaiku. Tatapan yang dia berikan untukku persis seperti And. Entah mengapa, aku tidak terlalu suka ditatap penuh cinta seperti itu, karena aku merasa jahat sekali saat tahu kalau aku malah jatuh cinta pada adiknya. Kak Al pernah bilang padaku, dia sedang jatuh cinta dengan laki-laki. Dia bilang lagi, hanya laki-laki itu saja yang bisa membuatnya merasa begitu. Anehnya, aku sadar, omongan yang dia beritahukan padaku itu tertuju untukku.

“Kakak nggak tugas hari ini?” tanyaku sembari tersenyum ke arah Kak Al. Dia mengangkat kepalanya, dan membalas senyumanku.

“Aku masuk pagi,” ujarnya, dia mendekatiku lalu mengacak rambutku. Hal yang paling suka dia lakukan padaku. “Revie sudah makan?”

Apa kubilang, Kak Al sangat suka mengajakku keluar untuk makan. “Sudah tadi siang Kak.” Aku menengadahkan kepalaku, menatap rahang Kak Al yang dipenuhi oleh jenggot yang setengah dicukur. Dulu, dia sangat suka menghirup wangi di tengkukku, jenggotnya yang belum setengah tercukur itu selalu bisa membuatku kegelian. Dan Kak Al tahu, makanya dia sering melakukan hal itu padaku.

Kak Al tersenyum, membuat bibirnya yang penuh itu melengkung naik. “Ya udah, ntar malem aja kalo gitu kita keluarnya ya?”

Sebenarnya aku tidak mau, aku tidak ingin membuat Kak Al terlalu mengharapkanku. Namun aku tidak bisa menolaknya, Kak Al orang yang gigih, keras kepala dan harus mendapat apa yang dia mau. Aku cukup tahu tentang diri Kak Al. “Oke,” jawabku kemudian. “Aku mau ke kamarnya Kak Bagas dulu, mau ambil baju kotornya dia.”

Kak Al mengangguk, matanya sayu saat melihatku tersenyum. Tatapan cinta untukku itu kembali hadir di sana. Dan aku sangat-sangat-sangat membenci diriku sendiri karena hal itu. Andai Kak Al tahu, kalau aku tidak akan pernah bisa membalas cintanya. Karena aku malah mencintai adiknya. Adiknya yang tak akan pernah mencintaiku.

Aku melenggang pergi, mengeratkan keranjang kecil yang ada di tanganku ke dada. Jantungku kembali berdegup sangat kencang saat aku mengetuk pintu kamar Bagas. Suara beratnya yang khas menyahut dari dalam, menyuruhku masuk. Ketika aku memutar knop pintu, wangi maskulin dan potpurri gardenia itu kembali menyerbak masuk ke dalam hidungku. Kamarnya yang dingin, seperti wajahnya, selalu membuatku merinding. Kalau kata Zavan bulu penisnya yang suka merinding, kalau aku bulu hidungku yang merinding.

Bagas sedang duduk di depan TV layar datarnya. Di tangannya ada stick PS. Dia melirikku sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan permainan playstation bolanya. Aku meneguk air liurku dengan susah payah, aku ingin sekali mengajaknya bicara, tetapi lidahku kelu. Mungkin inilah yang dinamakan orang yang terlalu jatuh cinta, mau mengajaknya bicara saja sangat susah.

Aku berjalan cepat menuju ke keranjang tempat baju-baju kotornya menumpuk. Saat aku melewati kasurnya, aku kembali teringat akan masa lalu. Waktu itu aku masih berumur sembilan tahun, dan Bagas sepuluh tahun. Ibuku menyuruhku untuk mengambil baju kotor Bagas, dan aku melaksanakannya. Setelah sampai di depan pintunya, aku mengetuk berkali-kali, tetapi tidak ada sahutan. Dengan lancang, aku masuk sendiri ke dalam kamarnya tanpa seizinnya. Dan pada saat aku sudah berada di dalam, aku melihat dia sedang tertidur di atas kasurnya, dengan badan telentang dan tangan yang tertangkup di depan dada.

Rencananya aku hanya ingin mengambil baju kotornya lalu pergi, karena Raffi juga sedang menungguku di luar kamar Bagas. Kakakku satu itu selalu menemaniku kalau aku membantu Ibu di sini. Tetapi dia jarang berbincang dengan kakak-beradik Prakoso. Dia hanya diam saja sambil membantu ini-itu.

Mataku memicing saat berada di dekatnya yang waktu itu sedang tertidur. Takut-takut, aku duduk di sampingnya, melihat raut wajahnya yang terlihat begitu damai. Dan… lagi dan lagi. My heart skips a beat. Selalu seperti ini. Aku mengangkat tanganku yang gemetar, lalu menaruhnya di atas pipi Bagas yang hangat. Kutelusuri kulit wajahnya dengan ujung jari manisku, berlama-lama melihat bulu matanya yang panjang namun tidak lentik itu. Aku tersenyum, jantungku kembali berdegup dua kali lebih keras dari sebelumnya.

And bilang, dia adalah pangeranku, dan aku adalah Putri Saljunya. Sedangkan Bagas, dijuluki sang penjahat oleh And. Sebisa mungkin, And selalu menjauhiku dari jangkaun Bagas karena dia adalah sang penjahat. Putri Salju harus dijaga, kakak And—Dan—pun sangat setuju akan hal itu. Kak Dan tidak menjulukiku Putri Salju, tetapi Putra Salju. Aku hanya tertawa dengan julukkan yang dia berikan untukku. Sampai sekarang, predikat Putra Salju masih melekat di diriku. Sama seperti Bagas, yang masih mendapat julukkan sang penjahat dari And.

Kucondongkan badanku sedikit, menatap lebih dekat bulu mata Bagas yang benar-benar lebat dan panjang. Kuturunkan pandanganku, dan menatap bibirnya yang penuh. Aku mengatupkan mulutku, lalu menciumnya pelan, seperti bunga Sakura yang jatuh ke tanah. Berharap Putra Salju bisa membangunkan sang Penjahat dari tidurnya.

Hangat bibir Bagas menyeruak masuk ke dalam diriku, menelanjangi hatiku dengan penuh cinta. Aku melepaskan ciuman dan beranjak pergi dari kamarnya dengan wajah yang memanas karena menyukai ciuman itu. Ciuman pertamaku, yang tidak seindah seperti yang ada di dongeng-dongeng yang pernah kubaca.

Bagaimana mungkin, seorang Putra Salju malah jatuh cinta pada sang Penjahatnya? Variasi cerita yang sangat aneh. Benar-benar aneh.

 

–Ups, Bersambung to Chapter 2–

Sketsa Karakter by. Andystar dan Trivia by. Rendi Febrian

Karakter Sid and the Flocks

Sketsa By. Andystar

Holla, guys, kali ini aku mau memperlihatkan kalian sketsa dari para karakter yang ada di cerita Weather Series, atau yang lebih tepatnya adalah Sid and the Flocks. Waktu itu banyak banget yang minta penggambaran kelima Flocks atau bahasa kasarnya ‘BoyBand’ itu gimana sih. Jujur, aku juga sebenarnya nggak pernah mikirin tuh muka mereka gimana. Selama proses menulis waktu itu, aku nulis aja, ngalir karena memang kayak nyeritain kisah hidup sendiri. Like a water, so flow and calm. Karakter-karakter yang ada di ceritaku itu, sifat-sifatnya itu baru mirip sahabat-sahabat dekatku. Tapi wajahnya ya enggak dong. Malah aku mikirnya, wajah mereka itu ya gitu. Wajah-wajah anak sekolah sange, ngesok, dan serampangan (kecuali Revie, of course).

Nah, kemarin itu aku minta tolong salah satu bos Authorku untuk minta gambarin sketsa mereka. Aku kasih ciri-ciri mereka ke dia dan akhirnya sudah jadi. Mau tahu hasilnya, ooh la la, aku puas banget. Beneran bagus deh. Menurutku sih gitu, nggak tau kalau pendapat kalian gimana. Sekarang sudah jelas gimana gambaran mereka di kepalaku. Meskipun Overcast Day masih dalam tahap pembuatan. Tapi aku bakalan post kok, as soon as possible deh.

Di Postingan kali ini aku akan menceritakan sifat-sifat mereka itu. Kenapa aku buat mereka menjadi seperti orang-orang nggak jelas.

Sid yang sombongnya nggak ketulungan.

And yang pengen banget bisa melindungi sahabatnya, dan sifatnya yang mudah marah.

Revie yang baik hati, sederhana dan rakusnya minta ampun.

Tivo yang sebegitu pendiem dan cueknya.

Zavan yang ughso nafsuan banget setiap ngeliat cowok ganteng dan kaya.

Dari itu semua, aku buat karakter mereka kayak begitu karena memang ada alasannya sih.

Solet’s check this out:

SID

Nama Panjang: Sid Kovlean

Nama digong-gong orang: Sid

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Pride (Sombong)

Trivia tentang karakter ini:

Dulu banget, pas aku masih kelas dua SMA, aku buat suatu cerita dari nama-nama gang anak sekolahan yang ada di Imajinasiku. Aku tulis cerita itu dulu cuman untuk main-main aja. Nama awalnya bukan Sid dulu, tapi Luis. Tapi karena ada beberapa faktor, jadi aku nggak pakek lagi deh nama Luis tersebut. Nama Sid aku ambil dari salah satu teman pertukaran pelajarku dulu dari Samarinda. Nama aslinya sih Rossid, tapi karena aku nggak suka nama itu, jadinya aku potong deh Ros-nya. Sisa Sid. Jadilah karakter Sid ini. Dan kenapa sifat Sid ini sombong banget? Sebenarnya sudah dari si karakter Luis itu memang sih karakter ini sudah sombong. Aku sengaja, soalnya aku mau ngambil sifatku yang paling dibenci sama temen-temenku. Mereka bilang, aku kentut aja bunyinya sudah sombong, apalagi bicara. Ini nih yang buat kesel, jadinya itu deh. Sid memegang salah satu dari 7 dosa mematikan, yaitu sombong. Sampai sekarang dia memang belum mau berubah, well, karena aku nggak terlalu suka sih merubah sifat orang. Meskipun itu hanya fiksi. Biarlah dia begitu, kan yang masuk neraka nanti dia, bukan kita. LOL.

Kenapa dia sama Adam? Aduh, aduh, aku juga nggak tau kenapa. Awalnya aku mau buat Sid ini jatuh cinta sama Bams, dan Adam serta Peter itu pengganggu terberat mereka. Tapi pas aku telaah lagi, ewww, nih cerita kok malah kayak sinetron ya. Makanya nggak jadi. Aku buat simpel-simpel aja. Ngapain juga sih ribet-ribet, enakkan gitu. Biar mudah berpindah ceritanya ke scene selanjutnya. Sid juga sudah merasa jatuh cinta kok sama Adam, jadi buat apa lagi dipanjang-panjangin. Capek ih ngetiknya. Haha :p :p

Next

AND

Nama Panjang: And Darhamukmana

Nama digong-gong orang: And (En) Kalo Revie (An)

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Wrath (Marah)

Trivia tentang karakter ini:

Sebenarnya nama And yang asli itu adalah Andy. Tapi karena nama Andy sudah banyak (contoh: Andystar) jadinya aku cuman buat And aja. Keren gitu lho aku nyebutnya di mulut. And oh And, hahaha. LOL. Karakter ini kubuat sebenarnya nggak sengaja gitu deh, dari awal cerita sebenarnya And ini kayak kacungnya si Luis atau yang bertranformasi jadi Sid. Tapi pas aku lihat-lihat lagi di Imajinasiku, nggak ah. Kasihan, aku nggak suka lihat orang dijadiin kacung gitu. Kasihan, manusia kok dijadiin kacung sama manusia. Nggak banget deh. Jadinya karakter And hidup sendiri deh. Aku mau buat And ini awalnya so cool banget. Lebih suka ngomong dengan cara mukul daripada ngomong berdesis pakek mulut. Tapi, Gawd, ini cerita apaan ya? Masih kelas satu SMA aja sudah belagu gitu, jadinya nggak jadi deh. And aku buat kuat dan pemarah.

Kenapa sih And nggak sama Revie aja? Wuih, banyak banget yang nanya hal ini sama aku di e-mail, Facebook, BoyzForum, WeChat, KakaoTalk, Line, dan Whatsapp. Oh, iya, sama blog ini juga. Dan jawabannya tetep sama dong: sahabat masa kecil saling jatuh cinta, ewww, klise banget. Jadinya nggak jadi deh. Mendingan dia sama orang lain. Lalu lahirlah Vick-Dick ini. Entah gimana, pas aku nulis itu tangan aku kepeleset dan munculah karakter Vick ini (maaf, sketsanya gak ada, haha LOL). Alhasil, dia aku mau jodohin sama And. Sama-sama strong, sama-sama pemarah. Semakin sama sifatnya, semakin berjodoh. Oh, iya, kemarin juga ada yang nanya, siapa yang Top siapa yang Bot. Haha, yang kayak gini dipikirin, nggak usah ding. Intinya: biarlah cinta tumbuh di antara mereka dulu, oke 🙂

Next

REVIE

Nama Panjang: Revie Ferdian

Nama digong-gong: Revie atau Rev

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Gluttony (Rakus)

Trivia tentang karakter ini:

Kalau kalian baca namanya pasti kalian tahu deh itu siapa. Haha, iya bener banget. Nama Revie Ferdian itu sebenarnya Rendi Febrian. LOL! Tahu kenapa sifatnya kayak begitu, baik, ganteng banget, dia senyum aja buat orang lain meleleh, polos dan lugu, suka hal-hal sederhana tapi rakus. Iya, teman-teman, aku itu pengen banget bisa kayak begitu. Aku pengen jadi orang yang karakternya mirip Revie. Tapi ternyata nggak bisa. Aku sangat mirip Sid dan Zavan. Jadinya gitu deh, aku hanya bisa menyalurkan keinginanku melalui karakter Revie ini. Lagi pula, buat apa berubah menjadi hal yang bukan diri kita yang sesungguhnya, itu sangat munafik tau. Jadi yaudahlah, aku adem ayem aja sama sifatku yang sekarang ini, meski aku mau menjadikan sifatku ini berguna bagi nusa dan bangsa Amerika. Hahaha :p :p

Next

TIVO

Nama Panjang: Tivo Diatmika

Nama digong-gong: Tivo atau Tiv (Bukan Tivi lho)

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Sloth (Malas)

Trivia tentang karakter ini:

Dari semua karakter yang aku buat, aku paling susah mengekspresikan si Tivo ini. Tapi itulah yang menjadi hal pemacuku buat belajar tentang karakter yang bukan di bidangku. Aku mau belajar, bisa nggak sih jadi orang super malas dan super cuek kayak Tivo nanti pas sudah digiliran untuk membuat cerita ini. Soalnya aku kalau di debat sama orang selalu pengen menjawab, nah kalau Tivo ini enggak. Dia lebih suka diam dan diam. Malas meladeni. Sifat cuek sih mungkin aku sama kayak dia, tapi nggak terlalu. Aku kalau dicerca dikit tentang kehidupanku, aku langsung nyahut dong. Aku paling nggak suka sama orang yang nilai-nilai kehidupanku padahal dia nggak kenal aku. Ewww, orang yang kayak gini harus kena kutukan Crucio atau nggak Avada Kedavra deh. Nama Tivo Diatmika memang sudah lahir dari sananya. Dulu aku buat karakter ini kayak anak kecil yang oon-oon gitu. Tapi kasihan ah, jadinya aku buat dia pemalas aja. Dan, boom! Habis Imajinasi, terbitlah karakter ini. Horeee!

Awalnya aku mau jodohin dia sama tetangganya yang polisi itu, yang suka banget gangguin hidupnya dia (Tivo). Tapi karena kemarin kepeleset (lagi) tanganku. Jadinya dia sama Peter deh. Dari beberapa komen juga banyak banget yang suka sama poor Peter ini. Aku juga suka sih. Auranya itu wow banget menurutku. Akhirnya, nanti Tivo sama Peter, tapi bagaimana dengan kisah mereka? Saksikan di SCTV jam tiga belas malam tanggal tiga puluh dua desember dua ribu dua ratus satu. LOL.

Next

ZAVAN

Nama Panjang: Zavan McKnight

Nama digong-gong orang: Zavan atau Zav

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan: Lust (Nafsu)

Trivia tentang karakter ini:

Nama awal Zavan sebenarnya Zink. Tapi pas aku baca lagi, walah, nih nama kok kayak nama Shampoo ya. Jadi nggak jadi deh. Kenapa namanya Zavan? Itu karena aku mau buat karakter yang huruf depannya Z. Karena Z jarang banget digunakan. Padahal Z itu bagus lho. Kalau ada ulangan terus manggil nama sesuai absen, pasti Z ini terakhir. Jadi punya waktu buat belajar dulu (pengalaman nggak pernah belajar pas besoknya mau ulangan, hahaha). Dan kenapa sih Zavan nafsuan, well, itu ngambil sifatku dikit sih. Tapi tenang aja, aku nggak senafsuan Zavan kok. Aku hanya mau sama orang yang mau sama aku, membuat beberapa Straight menjadi gay seperti yang nanti Zavan lakukan. Well, mungkin alasan cowok Straight benci sama gay gara-gara itu ya. Cowok gay itu juga menggoda mereka, selain cewek-cewek. Haha. Tapi memang bener lho, dulu aku baca artikel tentang hal itu, kenapa cowok Straight bisa jadi gay. Itu karena cowok gay lebih pintar memuaskan mereka, lebih tau letak dimana mereka akan cepat Turn On, dan cowok gay bisa mengimbangi permainan. Nggak kayak cewek, Straight harus memuaskan cewek-cewek itu dulu, dan lama banget. Pas cowoknya sudah capek, baru deh ceweknya Turn Onpuh-lease deh. Hahaha. Sebab itulah aku menggunakan Zavan ini sebagai pengalir dari sifat buruk yang kini sudah (aamiin) hilang dari dalam tubuhku.

Nanti Zavan akan berpasangan dengan Ozayn. Nggak tau juga kenapa sih, aku cuman mau aja. Ozayn itu aku ngambil dari namanya Zayn Malik. Sial, tuh cowok One Diretion ganteng amir ya. Wow deh, tipe-tipe kesukaanku. Maka daripada itulah, karena aku nggak kesampaian punya pacar kayak Zayn Malik, aku mau menyalurkannya melalui Zavan. Enak banget lho Zav, dapet Zayn Malik. Hahaha. Karena aku nggak mau namanya terlalu mirip Zayn, jadi aku tambahin O di depannya, jadilah Ozayn. Haha, aneh banget sih. Yang tau cerita Zavan juga hanya Onew. *Jaga rahasia ini juga New* Hihi, so, kalian tunggu aja ya. Mungkin bakalan rampung sekitar dua tahun lagi. Hahaha :p

Itu aja deh, makasih ya sudah membaca, terima kasih sudah mengikuti Sid and the Flocks. Apakah kalian sadar, kalau kalian itu juga sudah menjadi bagian dari Dominiquert International School? Kalau nggak sadar juga nggak apa-apa, soalnya aku cuma bercanda aja. Buahahaha :p :p 🙂

Eits, ada bonus nih dari Andy, gambarnya Adam.

Aku suka banget lihat gambar ini. Otot-ototnya itu lho. Menggiurkan lidah. Uh La La 🙂

Check this out:

ADAM

Nama Panjang: Adam Abrakadijaya (Abrakadabra)

Nama digong-gong orang: Adam atau Dam

Sifat dari 7 Dosa yang paling Dominan:Unknown. Aku juga nggak tau apaan. Hahaha, tebak aja sendiri ya 😀

Trivia tentang karakter ini:

Sudah aku jelasin di bagian Sid. Baca aja ya sendiri, capek mah ngetiknya.

Dadah, thanks sudah mau baca. Love you all guys, or gays or fujo or fudan.

Itu dia semua hal-hal menyangkut mereka, serta sketsa dari gambar Sid and the Flocks by. Andystar, sekarang waktunya buat nge-godain Andy lagi, elus-elus dadanya, elus-elus tangannya, mau minta dibuatin karakternya: Vick, Bagas, Peter dan Ozayn juga. Semoga aja dia terpengaruh dengan tulisanku ini, dan akhirnya dia mengiyakan permintaanku. Hihihi, aamiin yaa olloh o:)

Oke-oke, itu aja. Untuk Overcast Day Chapter 6 di tunggu aja ya, semoga aja pas belum masuk puasa 😀

–To Be Tamat–

HAHAHA

Overcast Day (2)

DIS_

Chapter 2

Society

Setelah MOS berakhir—terima kasih ya Allah—kami akhirnya resmi menjadi siswa Dominiquert International Schlong. Tau schlong itu apakan? Kalau tidak tahu, schlong itu artinya kontol—eh, penis. Schlong adalah bahasa Irlandia. Well, I don’t really like this school at all ya. Jadi jangan salahkan aku kalau aku menghina sekolah ini. Aku berada disini karena untuk melindungi Revie. Dia itu mudah menarik mata penjahat, makanya selalu harus diawasi dengan ketat. Lengah sedikit, dia pasti akan digerogoti macan berwajah Medusa. Jadi aku harus selalu siaga, ketat menjaga dan selalu ada untuknya.

Hari ini kami sedang dikumpulkan di aula super besar yang ada di samping DIS. Mau diberikan pengarahan tentang sekolah membosankan ini. Dari beberapa hari yang lalu, semenjak MOS, jarang sekali kami saling mengenal. Hanya saling menatap dan tersenyum simpul. Selebihnya kami hanya akan diam dan terus melaksanakan semua perintah. Saat MOS tiga hari yang lalu, kelompokku mendapatkan Nama Cantik yang benar-benar mengerikan. Kami diberikan nama: Tempenyol. Atau yang artinya: anak-anak telat mikir. Atau telmi. Tempenyol itu saudara dekatnya Telmi. Orang brengsek mana sih yang berani-beraninya mengecapku Tempenyol?

Dan sekarang, saat berkumpul begini, tetap saja tidak ada tanda-tanda kalau kami akan mau saling berkenalan. Kecuali Revie yang selalu menyapa orang yang menatap ke arahnya. Dia akan memasang senyuman terbaiknya, membuat orang yang menatapnya paralyzed. Sedangkan kalau aku yang memberikan senyuman kepada orang yang menatapku, dia akan cepat-cepat membuang muka menjauh. Euh, takut jatuh cinta padaku, mungkin!

Setelah mendengarkan bla bla bla yang panjang lebar, akhirnya kami dibolehkan untuk beristirahat sejenak. Nah, sekaranglah ada beberapa anak yang saling berjabat tangan saling mengenal. Beberapa orang—baik cewek maupun cowok—mendatangi Revie dan mengajaknya berkenalan. Sedangkan aku yang berdiri di samping Revie tidak diajak berkenalan sama sekali. Benar-benar payah dan menyedihkan. Daripada aku makan hati terus nggak diajak kenalan, jadi aku menjauhi Revie. Mencari suasana baru.

Sampai akhirnya aku menemukan suara itu. Tepat di belakangku.

“Hei, lo,” dia mencolek pundakku. Aku berbalik dan menatap seorang cowok berwajah bule dengan mata biru agak gelap sedang menatapku dengan menilai. Aku mengernyit bingung, bule-bule kok bisa bahasa Indonesia ya? Meskipun dia baru bilang: ‘lo’ aja sih. Tapi tetap saja dia bisa bahasa Indonesia kan!?

“Ya,” kataku pelan.

Dia melipat kedua tangannya di dada. “Lo anak orang kaya bukan?” tanyanya.

“Huh?” seruku bingung.

“Iya,” ujarnya masih dalam posisi yang sama. “Kalo lo bilang lo orang miskin, mendingan lo nggak usah temenan sama gue.” What the fuck! “Gue alergi orang miskin.”

Aku mendengus, kukeluarkan beberapa gadget mahalku. Merendahkan sekali nada suaranya, memancing kemarahan di dalam hatiku. “Gue bukan orang miskin,” kataku dengan gigi bergemeletuk. “Walopun gue orang kaya juga, gue nggak bakalan mau temenan sama lo.” Aku memasukkan kembali gadgetku ke dalam kantong celana. “Jadi… sho sho!” Aku mengibaskan tanganku, menyuruhnya menjauh.

Tetapi dia malah tidak bergeming sama sekali dari tempatnya. “Nama gue Zavan,” ucapnya memperkenalkan diri. “Lo temen gue sekarang.” Dia memasang nada seceria mungkin. Nada merendahkannya menghilang. “Mumpung lo kaya, gue kaya, kita cari orang kaya yang lain.” Zavan menarik lengan bajuku. Aku mencoba melepaskannya, namun dia menariknya dengan sangat kuat. Jadi mau bagaimana lagi. “Oh fucking Vagina!” serunya dengan suara tertahan saat melihat Revie. “Gorgeous banget cowok itu.” Dia terlonjak senang. Aku mendengus kasar dan menatapnya tajam. Pasti dia mau dengan Revie, tidak akan kuizinkan.

“Dia Revie,” kataku cepat. “Sahabat gue, dan dia bukan anak orang kaya.”

Cowok bernama Zavan ini menghentikan langkahnya. “Bukan anak orang kaya ya?” Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. “Kasihan banget, ganteng-ganteng kok jelata.” Aku berdeham memperingatkan. Namun cowok bule gila ini tidak menangkap dehamanku. Sebagai gantinya dia malah berujar, “Ya udah deh, rekrut dia juga sebagai temen gue. Nggak apa-apa miskin dan jelata, yang penting dia gorgeous.”

Kami berjalan cepat menuju ke arah Revie, yang sedang dikerumunin oleh sekelompok cewek-cewek gila tidak tahu diri. Ada beberapa dari cewek itu yang mencubit-cubit pipi Revie, ada juga yang membelai-belai rambutnya. Gosh! Rasa marahku naik ke ubun-ubun, ingin sekali aku menendang semua bokong centil cewek-cewek gatel itu semua.

Bitch, fuck off!” seru Zavan kepada segerombolan cewek-cewek itu dengan suara berdesis tajam. Tidak mengerikan memang, tapi cukup membuat orang bergidik. Mereka juga menjauh karena melihatku. Badanku memang besar, bukan gendut, tapi banyak tonjolan otot. Aku juga tidak tahu kenapa badanku bisa sebesar ini sekarang. Yang aku ingat hanyalah: aku mau pergi nge-gym, lalu membuat badanku sekekar mungkin, agar aku bisa melindungi Revie. Dan sepertinya itu berhasil.

“Darimana aja sih!?” seru Revie dengan nada mengambeknya. “Dari tadi aku nyari-nyari kamu untuk minta diselamatin, tapi kamunya malah ngilang.” Revie memonyongkan bibirnya, membuatnya makin manis dan lucu. “Dan, hai,” ujarnya ke arah bule gila yang ada di sampingku dengan nada riang. “Temen barunya And ya?”

“And?” kata bule gila itu bingung. Dia melirikku sekilas. “Oh, nama lo And ya.” Dia cekikikan seperti orang mau minta digampar. “Gue lupa nanya nama lo tadi.” Dia memasang senyum kerucut. “Dan… lo siapa?” tanyanya, wajahnya mengagumi, tetapi juga mengernyit saat menatap Revie. Pasti dia mengernyit karena Revie anak orang miskin.

Revie tersenyum simpul. “Namaku Revie,” kata Revie sembari menyodorkan tangannya.

Bule gila itu menatap tangan Revie dengan takut-takut. Tetapi akhirnya dia menyambutnya juga. “Nama gue Zavan.” Bule gila itu tersenyum kecil. “Yah, walopun lo bukan anak orang kaya, tapi nggak apa-apalah temenan sama gue. Beruntung banget ya lo bisa kenal gue.” Dia melepaskan genggaman tangan, kemudian kembali menatapku. “Habis ini kita cari satu orang lagi. Gue nggak bisa temenan lebih dari lima. Untuk sekarang ini, kita cari satu aja lagi, yang satunya lagi kapan-kapan aja. Tunggu gue tau siapa orang kaya lainnya.”

Bule itu mengeloyor pergi. Tangannya mengibas-ngibas, mengajakku dan Revie untuk mengikutinya. Revie menatapku sejenak sebelum akhirnya mengikuti bule aneh itu. Kami berjalan bersisian, dengan bule itu yang ada di hadapan kami.

“Dia ngomong apaan sih And?” tanya Revie, berbisik pelan di dekat telingaku. Langkah kami yang panjang-panjang berbenturan dengan lantai aula yang terbuat dari marmer.

“Nggak tau, dia itu orang gila,” sergahku, dan Revie tertawa pelan di sampingku. “Seharusnya kalo mau ngajak kenalan ya nanya nama, ini masa dia nanya gue anak orang kaya apa bukan!” Aku mendengus kasar, sedangkan Revie hanya tergelak sembari menatap punggung bule gila bernama Zavan itu. Aku tidak mengerti deh, kenapa sih Tuhan menciptakan manusia seperti dia. Maksudku, kenapa otaknya di setting seperti itu. Benar-benar mengerikan, rite!?

“Tivo Diatmika,” panggil salah satu staff dari atas panggung aula. Zavan, aku dan Revie berhenti seketika saat seorang cowok, dengan headseat yang menggelanyut di lehernya berjalan melewati kami dengan cuek. Wajahnya yang pendiam dan kurang bersemangat melirik sekilas ke arahku sebelum akhirnya dia naik ke atas panggung aula.

“Tivo Diatmika, gue kayak denger nama itu deh,” ujar Zavan kemudian.

Revie menatap Zavan heran. “Pastinya pernah dengerlah,” kata Revie. “Kan Tivo Diatmika itu anaknya Wiratmadja Sultan Jaya Diatmika. Anak tunggal dan pewaris utama kekayaan orang tuanya. Dia itu anak orang kaya seluruh asia tenggara ke-berapa gitu setelah Bakrie.” Ya, itu dia. aku juga baru ingat tentang hal itu. Jadi itu toh yang namanya Tivo Diatmika, anak dari Wiratmadja si penghasil uang.

Zavan menyeringai lebar. Tangannya di taruhnya kembali di depan dada. Dia menatap ke arah Tivo yang sedang diajak bicara oleh orang yang memanggilnya tadi. Tak kurang dari tiga menit, akhirnya cowok itu kembali berjalan menuju ke tangga panggung. Cepat-cepat Zavan menghalanginya. “Hai,” kata Zavan dengan senyuman lebar. “Nama gue Zavan, ini And and Revie.” Zavan berbalik ke arahku. “Nama lo kok jelek banget sih. Susah jadinya pas ngomong And and.” Aku memasang wajah sesangar mungkin, namun Zavan malah hanya tersenyum lebar. Rambut agak kepirangannya terkibas saat dia mengalihkan kepalanya ke arah Tivo. “Mulai sekarang, lo temenan sama kita. Deal?”

Cowok bernama Tivo itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi, raut pemalasnya terlihat jelas. Matanya berpindah dari Zavan ke Revie, gesturnya cukup kentara karena kaget melihat Revie. Fark! Kenapa sih orang tidak bisa biasa saja kalau melihat Revie. Seperti Bagas dan… siapa cowok brengsek itu, yang namanya seperti merek obat batuk. Oh, iya, Vick! Kenapa mereka tidak bisa seperti Bagas dan Vick!? Exhausted!

Kemudian mata cowok bernama Tivo itu berpindah ke arahku, alisnya berkerut samar, meneliti wajahku. Setelah setengah menit dia menatapku, barulah dia memindahkannya ke Zavan lagi. Dia membetulkan jaketnya sebelum berujar. “Deal.”

WHAT!!! Dia mau gabung dengan kami. Maksudku, kalau aku punya pilihan, aku pasti akan menolak. Sedangkan kalau sudah berada di dalam society ini, cowok berwajah bule gila itu pasti tidak akan mengizinkan kami keluar. Apapun caranya, dia pasti akan terus merecoki. “Dia gila juga kayaknya Rev,” bisikku pada Revie. “Mau-maunya ikut gabung.”

Revie kembali tergelak. “Biarin ah. Seru tau punya geng kayak gini.”

Aku mendengus. “Kalo gue mah berdua sama lo aja udah cukup.”

Gelakkan Revie makin menjadi. Beberapa orang menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Nggak seru tapi kalo cuman berdua. SD berdua, SMP berdua… sekali-kali kita punya geng lah. Masa duo terus. Udah kayak T2 aja. Bilang saja… OK!” Revie menutup ucapan terakhirnya dengan lagu. Membuatku tertawa pelan bersamanya. Ah, andai dia tahu, berdua seperti ini saja sudah cukup. Tapi kalau Revie mau punya geng, ya sudah. Aku menurut saja.

***

Ternyata Zavan tidak seburuk apa yang kupikirkan pertama kali. Walaupun dia mempunyai sifat begitu, tetapi dia bukan orang yang suka pamer atau menyombongkan diri. Sisi lainnya, dia juga orang yang royal dan tidak pelit. Tiga bulan kami bersama, Zavan selalu membelikan Revie ini-itu, dan dia melakukannya dengan senang hati. Saat kutanya pada Zavan apakah dia mempunyai maksud terselubung pada Revie, dan jawaban yang dia berikan hanya tiga kalimat: diakan sahabat gue. Dari situlah aku merubah pandanganku tentang Zavan. He is a good bestfriend.

Bulan pertama kami berteman dan masuk di sekolah ini, kami berempat memang mengatur jadwal pelajaran kami secara bersamaan. Kecuali hari Jumat, tentu saja. Aku suka homeroom Physical Education, Revie suka homeroom Physics atau Chemistry atau Mathematics, pokoknya yang seputaran tentang rumus-rumusan. Euh, kalau aku mah lebih baik ditembak Hitler daripada mengambil pelajaran itu sebagai mata pelajaran tambahan.

Tivo lebih suka masuk homeroom Digital Arts. Sedangkan Zavan, dia akan masuk homeroom mana saja selama yang mengajar teachernya cakep, nggak tua, pantatnya seksi, bibirnya menggoda dan menggairahkan. Krik krik!

Astaga! Aku lupa bilang ya pada kalian kalau kami berempat sudah saling mengetahui orientasi seksual kami masing-masing. Itupun gara-gara Zavan sebenarnya. Orang paling suka blak-blakkan di seluruh dunia. Jika dia membuka mulutnya, dia akan mengucapkan semua kata dan kalimat yang ada di pikirannya. Entah itu ucapan yang bagus untuk di dengar telinga ataupun ucapan yang akan membuat telinga dapat dosa nantinya.

Satu bulan pertama kami bersama, kami cukup… well, katakan saja dikenal banyak orang. Mereka segan padaku karena saat di MOS hari terakhir aku membentak semua seniorku. Sorry ya, aku bukan orang yang suka dibentak-bentak terus, jadi aku membentak mereka balik. Alhasil, mereka takut padaku. Sedangkan Revie… sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Kalau Tivo, dia disegani karena dia orang kaya. Lagi pula, kata teman-teman SMP nya, Tivo itu jahat kalau sudah membuka mulutnya yang sering terkunci rapat. Aku tidah tahu jahat dalam bentuk apa. Kalau Zavan, euh, dia berlidah tajam… dan punya pikiran yang sangat kejam. Beware lah kalau sama cowok bule gila satu itu.

Kami membuka kedok orientasi seksual kami waktu di DisCaf. Zavan yang matanya suka jelalatan dengan riangnya melirik kesana-kemari. Kemudian matanya yang berwarna biru mengerikan itu berhenti di kumpulan anak-anak cowok grade 12.

Look at that!” serunya sembari menunjuk seorang cowok berotot besar sepertiku dengan dagunya. “I like him, gawd! Hawt!” Zavan tertawa kecil. Membuatku dan Revie saling bertukar pandang aneh. “Gue mau banget cipok bibirnya, terus ngerasain penisnya di dalem mulut gue. Ouch, pasti seru.”

Mulutku dan mulut Revie sontak menganga lebar. Tivo saja yang daritadi sibuk dengan sesuatu di iPadnya ikut mendongak menatap Zavan dengan raut wajah sangat-sangat kaget. Well, kan kami kala itu belum saling mengetahui orientasi seksual kami yang sebenarnya.

Sadar diperhatikan seperti itu, Zavan menatap ke arah kami dengan pandangan malas. “Why guys?” tanyanya santai, seolah-olah tadi dia sedang membicarakan hal yang tidak tabu. “Ngeliatin gue segitunya banget. Biasa aja kali.”

“Kamu…” Revie menggantung ucapannya.

“Ya, ya, ya,” ujar Zavan cepat. “I’m gay. And I’m gayhappy.”

Really?” tanyaku dan Revie bersamaan.

Zavan menyeringai. “Certainly,” sahut Zavan. “Ngapain gue bohong, nggak ada gunanya.” Zavan menyeruput Chip Mint-Lattenya. “So… what?”

Aku hanya menaikkan pundakku tinggi-tinggi, tidak tahu harus berkomentar apa. Tivo yang tadi menatap langsung ke arah Zavan kini sudah balik lagi ke iPadnya. Sedangkan Revie yang duduk di sebelahku tersenyum penuh arti ke Zavan. “Aku juga… gay. Kayaknya sih gitu.” Zavan terlonjak dari dudukannya dengan raut wajah ceria. Aku dan Tivo sontak langsung menatap ke arah Revie. Well, aku tidak kaget, tentu saja. Kan dia suka dengan Bagas. Dan Bagas itu laki-laki.

Enchanté!” seru Zavan. Bibirnya yang ranum tersenyum lebar. “Gue kira hanya gue sendiri yang…” dia menurunkan volume suaranya. “Gay.” Revie hanya tersenyum lebar sambil mengedikkan bahunya. “Jadi… gimana menurut lo cowok yang gue bilang tadi?”

Revie kembali menatap cowok yang penisnya ingin Zavan rasakan di dalam mulutnya. “Ganteng sih, tapi bukan tipe kesukaanku.” Revie memindahkan tatapannya ke society gabungan dari grade 11 dan grade 12. “Aku selamanya akan suka sama dia.” Kami bertiga serentak mengangkat kepala kami untuk menatap cowok yang ada di arah pukul jam dua. Dan… shit! Tentu saja dia menunjuk Bagas.

“Cowok yang itu?” tanya Zavan, menunjuk Bagas dengan dagunya. Revie mengangguk pasti. Mata Revie yang bulat dan hitam sempurna berubah lembut ketika menatap wajah Bagas. Kepalanya terteleng ke samping, bibirnya tersenyum lebar. “Menurut gue orang itu nggak ganteng-ganteng amat. Kok lo bisa suka sih?”

Tatapan Revie berpindah ke arah Zavan. “Walaupaun wajahnya nggak ganteng, tapi hatinya yang ganteng.” Revie berkata dengan nada teguh. “Aku… suka aja sama dia.” Pembicaraan pun selesai saat itu juga. Karena Tivo yang sedaritadi diam, tiba-tiba membuka mulutnya.

“Gue rasa… gue ini biseksual.” Karena kami capek daritadi kaget-kagetan terus, jadi kami hanya memasang wajah datar. Ingin menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan oleh Tivo, namun dia memang orang yang benar-benar pendiam. Meskipun kami sudah menatapnya lekat-lekat, dia tetap saja diam. Matanya menerawang, raut wajahnya berubah malas. Euh, memang susah kalau ngomong sama orang yang suka puasa bicara.

“Kayaknya gue juga bisek deh,” kataku cepat. Daripada tidak ada yang bicara.

Revie menatapku dengan dahi berkerut. “Masa sih?” tanyanya dengan suara terkejut.

Well… yeah.”

Zavan hanya menatapku sebentar, sebelum dia memainkan matanya ke arahku dan ke arah Revie secara bergantian. Aku mengerti siratan itu. Aku tahu kalau Zavan mengerti jika aku menyukai Revie. Jadi dia tidak terlalu kaget mendengar pengakuanku. Kakak cowokku saja dengan mudahnya menebak hal itu. Katanya aku terlalu kentara menunjukkan rasa sukaku pada Revie. Nenek-nenek katarak saja pasti bisa tahu arti tatapanku untuk Revie.

Mengapa aku bilang aku bisek? Itu karena aku pernah membuat sebuah hubungan dengan seorang cewek saat aku SMP. Rencananya sih untuk membuat Revie cemburu. Tapi, ternyata dia tidak menunjukkan rasa cemburu sedikit pun. Walaupun aku menyukai cewek yang kala itu menjadi pacarku, rasa sukaku pada Revie lebih besar. Daripada aku dan dia makan hati, jadi lebih baik kami putus. Dan sekarang, tujuanku hanya satu, membuat sahabatku jatuh cinta padaku. Meskipun sangat sulit melakukannya.

Baiklah, sekarang lupakan tentang cinta-cintaan. Mari kita bahas sekolah yang sudah menjadi tempatku belajar selama tiga bulan ini. Yang artinya disini adalah… sekolah ini mengajarkanku untuk menjadi orang yang kuat. Kuat ketika dilirik dengan dengki, kuat ketika mendengar nada-nada mencemooh, kuat dengan desisan the haters dan kuat untuk banyak hal lainnya. Sekolah sialan ini seperti perumahan setan. Semua orang yang ada disini berlomba-lomba untuk menjadi orang yang sangat populer. Yang disegani dan dihormati. Mereka akan melakukan segala cara… yang terpuji maupun yang ter-menjijikan sekalipun.

Ada beberapa golongan society di sekolah ini. Yang pertama adalah society untuk para cowok. Di sekolah ini kami menyebutnya dengan Flocks. Cowok-cowok yang beranggotakan lebih dari tiga orang. Sedangkan untuk yang ceweknya diberi nama Clique. Cewek-cewek yang tergabung di dalam Clique adalah sekelompok cewek yang akan saling berlomba-lomba untuk menunjukan fashion mereka. Sedangkan yang cowok… akan menunjukkan Flocks siapa yang lebih unggul. Yah, sekolah inikan memang bodoh!

Bagaimana dengan yang diluar Flocks dan Clique? Oh, mereka akan diberi nama Bevy. Gabungan dari sekumpulan cewek-cewek dan cowok-cowok. Aku hanya tahu beberapa Bevy di sekolah ini. Itupun Bevy yang—I hope they die young—sok alim. Yang akan menyebarkan brosur tentang indahnya damai dan bla bla bla fucking lainnya. Biasanya, Bevy yang sok alim seperti inilah yang akan menjadi musuh paling licik.

Jika Clique, bah, mereka lebih mementingkan gaya daripada cowok. Jadi… Clique tidak terlalu kuketahui. Palingan aku hanya tahu Sisyl, alpha Clique norak yang pernah nembak Revie di depan semua orang. Yang akhirnya ditolak dengan Revie secara halus. Ya, iyalah Revie nggak mau. Sama aku aja dia masih ogah, apalagi sama cewek. Fuck your Vagina off you stupid lass!

Flocks yang aku tahu hanya sekumpulan cowok-cowok tucky yang menamai diri mereka Homophobia. Atau yang lebih pantas disebut Bitch Parade. Euh, sekumpulan gigolo-gigolo tidak laku yang lebih baik segera dimusnahkan dari dunia ini. Alpha mereka, yang namanya Peter itu sangat menyebalkan. Hanya Flocks mereka saja yang suka mencari masalah. Walaupun tidak pernah mencari masalah secara langsung padaku dan Flocksku.

Selain Peter si manusia berwajah Satan itu, berhati-hatilah dengan double slut. Mereka berdua adalah cowok jahat yang akan mengintimidasimu di saat kamu lengah. Sudah ada beberapa cewek dan cowok lengah yang menjadi korban mereka. Biasanya korban double slut akan takut untuk menginjakkan kaki mereka ke sekolah ini lagi. Double slut terdiri dari Diaz dan Wira Priharto. Sebenarnya hanya Diaz yang jahat, sedangkan Wira orang yang baik tapi mudah dipengaruhi. Wira teman SMP ku. Aku cukup mengenalnya, makanya aku kaget ketika dia masuk di golongan double slut. Ckckck!

Lupakan semua itu lagi! Sekarang… aku ucapkan selamat datang kepada kalian yang sudah mengenal sekolah sialan ini. Sekolah yang sangat mirip reality show. Sebagian besar orang yang bersekolah disini ekonominya pasti tinggi. Hanya ada beberapa ratus, atau mungkin hanya ada beberapa puluh anak yang mendapatkan beasiswa seperti Revie. Yang pintar di sekolah ini, bisa kukatakan pasti hanya ada beberapa saja. Anak-anak beasiswa karena kepintaran benar-benar dituntut untuk menjunjung tinggi nama sekolah ini baik-baik. Agar sekolah mereka dikenal sebagai penghasil anak-anak pintar. Bukan bitch parade!

Tetapi jika ditanya, aku tidak akan menyesal karena bersekolah disini. Banyak pengalaman yang bisa kupelajari. Lagi pula, sistem pengajaran dan pelajaran di sekolah ini bagus. Guru-gurunya profesional, sudah seperti dosen-dosen di Universitas Wina yang kutemui beberapa minggu yang lalu. Saat Revie pergi ke Wina—dan dia boleh mengajak satu orang, kemudian dia memlihku—untuk beberapa hari buat mengikuti olimpiade Kimia dan Fisika disana. Dan… well, dia menang. Nama DIS, makin terkenal di Wina akibat hal tersebut.

Sekolah ini juga makin menarik ketika kami mendapatkan murid baru pindahan dari New York. Zavan bilang dia mengenal cowok itu saat kami sekelas di homeroom Biology. Kata Zavan cowok itu temannya di Manjam dan di Hornet. Situs gay dan chat. Aku tidak benar-benar mengerti sih buat apa Manjam dan Hornet, seperti orang desperate saja kalau sampai main di situs gay seperti itu. Meskipun kata Zavan itu adalah situs untuk mencari teman yang nasibnya sama. Bah, nasib apaan? Memangnya jadi gay bakalan nggak punya temen gitu?

Balik lagi. Murid baru itu sukses jadi sasaran Peter. Cowok berwajah satan itu mengganggunya, kemudian menguncinya di bilik WC yang ada di belakang sekolah. Untung saja kala itu Revie mengajak kami pergi ke belakang sekolah untuk mencari tanaman paku or whatever yang menjadi tugas kelompok di pelajaran Biology. Jeritan lirihnya lah yang akhirnya membuat kami menolongnya. Saat kami berkenalan dengan murid baru itu, kami tahu dari cara bicaranya kalau dia adalah orang yang sombong. Serta… wajahnya benar-benar terlihat kejam. Bahkan lebih kejam dari si Diaz double slut itu.

Namanya Sid, by the way. Zavan dan Revie merekrutnya sebagai Flocks kami. Akhirnya kami genap—atau ganjil—berlima. Meskipun aku tidak terlalu peduli. Tetapi adanya Sid di dalam Flocks kami, makin banyak orang yang bergunjing. Apalagi setelah mereka tahu siapa itu Sid. Hiii, aku saja merinding saat baca artikel panjang tentang cowok itu. Dia pernah membuat banyak orang sengsara… dan dia melakukan hal itu hanya untuk kesenangannya.

Tetapi aku salah, dia melakukan hal itu karena semua orang itulah yang mengganggunya terlebih dahulu. Dia hanya ingin menjaga harga dirinya. Kesombongan yang ada di dalam dirinya tidak mau dia jatuhkan begitu saja. Meskipun dia sudah agak melunak sekarang gara-gara dia dekat dengan musuh besarnya yang ternyata teman seks pertamanya. Adam. Sahabat dekat Bagas. Euh!

“Gue kira lo sama Vick bakalan ngancurin liftnya,” ujar Zavan tiba-tiba, menarikku kembali ke dalam duniaku yang sekarang.

Aku menghadapkan kepalaku ke arah lift. Oh, iya, kemarin aku dan Vick se-lift. Tapi tidak terjadi apa-apa di antara kami. Lagi pula itu sudah ke-empat kalinya aku se-lift dengannya. Vick dan aku tidak akan berkelahi jika di tempat sepi. Malas. Bisa-bisa nanti tidak ada yang melerai kami, dan kami berdua akan saling bunuh lalu rest in peace. Sorry ya, sebelum dapat Revie aku tidak mau mati dulu.

“Tapi baguslah, jadinya kita nggak bakalan naik tangga.” Sid berkata dengan nada sombongnya. Dia memang tidak sedang sombong, hanya saja nada suaranya memang seperti itu. Jadi, aku sudah terbiasa.

“Kok kalian berdua kemarin nggak berantem?” tanya Revie yang berdiri di sebelahku.

Semua orang tahu kalau aku dan Vick saling membenci. Suka berkelahi setiap kami melihat wajah masing-masing. Aku juga tidak tahu kenapa setiap kali aku melihat wajahnya, dia akan memasang raut jijik untukku. Tentu saja amarahku naik gara-gara ditatap seperti itu. Lagipula dia pikir dia siapa. Kami sudah beberapa bulan di sekolah ini, tapi aku belum dapat petunjuk apapun tentang mengapa dia bisa sebegitunya membenciku. Kalau dipikir-pikir lagi dengan seksama, apakah dia benci padaku karena aku pernah menabraknya dan menumpahkan Pop Ice ku ke bajunya. Euh, kayaknya enggak deh. Pasti ada hal lain.

“Lagi nggak kepengen berantem. Males.” Aku menyilangkan tanganku di depan dada.

SCUSE me?” seru Zavan tak percaya. “Emang bisa gitu kalian berdua nahan berantem kalian?”

Aku mendengus. “Well, ya.”

Congrat then,” celutuk Zavan. “Gue kira kalian nggak bakalan bisa. Secara kaliankan selalu berantem setiap kali ketemu muka. Udah kayak Tom & Jenny aja.”

“Jerry,” koreksi Tivo.

“Ya, ya, ya, whateva!” Zavan menekan kuat-kuat tombol lift. Pintu yang terbuat dari besi itu daritadi belum terbuka-buka juga. Lift sekolah ini memang agak lama. Mungkin karena banyak yang menggunakannya. Sedangkan lift yang satunya ukurannya kecil, mana muat untuk kami berlima. Itu lift hanya untuk tiga orang saja. Euh, seharusnya lift-lift yang ada di sekolah ini diperbesar dan dipercepat.

Suara baru tiba-tiba menghampiri telinga kami. “Hai, yank.” Aku dan yang lainnya langsung menengok ke arah Adam, yang kini sudah melingkarkan tangannya di pundak Sid. Wajah Adam yang sumringah menatap Sid dengan tatapan yang sangat-sangat… apa ya? Pokoknya tatapan orang yang sedang jatuh cinta. Apakah tatapanku ke Revie seperti itu juga? Haaa… bisa jadi. Mulai sekarang aku harus memasang ekspresi biasa saja untuk Revie. Agar tidak terlalu kentara aku menyukainya.

What is that ‘yank’?” tanya Sid bingung, raut wajahnya yang sombong beralih ke Adam.

Adam memain-mainkan alisnya. “Yank itu artinya sayang.”

Aku dan Zavan langsung membuat ekspresi pura-pura ingin muntah, sedangkan Revie tertawa kecil. Tivo menatap Sid dan Adam secara bergantian, lalu kepalanya menggeleng-geleng. Wajah sombong Sid bersemu merah. Sedangkan Adam malah mempererat lingkaran tangannya di pundak Sid.

Tawa Revie tiba-tiba terhenti saat seseorang dengan badan yang tinggi dan tegap berdiri di sampingnya. Badan Revie menengang, pegangngan tangannya yang tersampir di seragamku makin erat. Wajahnya lebih bersemu merah daripada Sid. Matanya yang lebar melotot salah tingkah dan kakinya agak gemetaran. Aku mengernyit bingung melihat ini, lalu kupindahkan tatapanku ke samping Revie. Krik, ternyata gara-gara itu toh.

Bagas dengan kaus jersey nya sedang berdiri di samping Revie dengan style sok berwibawa. Cowok bergaya dandy itu memasang raut wajah dingin. Wajahnya tidak tampan, tapi… ck, entahlah. Rambutnya yang hitam dan sedikit agak terurai sengaja diacak-acak, agar lebih bergaya zig-zag dan kewl. Ick, malasnya sama orang satu ini! Kenapa sih dia harus berdiri di samping Revie!? Kenapa dia tidak jauh-jauh saja dari kami!?

“Hari ini emangnya ada pertandingan ya Gas?” Suara Zavan tiba-tiba hadir untuk bertanya.

Wajah Bagas yang sinis berpaling ke arah Zavan, dia memasang senyum misteriusnya. “Ada. Lawan grade 12.”

“Wah!” seru Zavan kencang. “Gue sama Revie kayaknya bakalan nonton nih. Iya nggak Rev?” Zavan seketika langsung berdiri di depan Revie. Tangannya yang panjang itu menarik lengan Revie dengan antusias yang dibuat-buat. Aku menggeram tidak suka, namun Zavan tidak memperhatikan. “Gue sama Revie bakalan ngedukung lo pastinya. C’mon grade 11!” Zavan memasang senyuman lebar.

“Yeah!” kata Revie kaku.

Bagas menggerling Revie beberapa nano sekon. Wajahnya yang sok kewl itu kemudian berpindah ke Zavan lagi. “Oke. Wait you there.”

Ting!

Lift pun terbuka. Aku cepat-cepat menarik lengan Revie dan mengajaknya masuk ke dalam lift. Zavan dan Tivo mengikuti dari belakang. Kemudian disusul dengan Sid dan Adam. Sedangkan Bagas hanya berdiri di depan kami tanpa ada tanda-tanda ingin masuk. Saat ditanya, dia bilang akan naik lift yang satunya saja. Soalnya lift ini sudah penuh. Baguslah kalau begitu! Lebih baik dia pergi jauh-jauh saja sana.

Ketika lift tertutup, barulah Revie bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Zavan menepuk pundak Revie pelan. “Lo nyantai ajalah kalo deket Bagas Rev,” kata Zavan sok mendidik. “Jangan kaku dan salting gitu. Malah ngebuat lo kayak orang… dungu. Kan lo orangnya pinter. Selalu diajak kemana-mana kalo ada olimpiade tentang pelajaran. So, stop being so clumsy.”

“Nggak bisa Zav,” kata Revie. “Aku nggak bisa. Jantungku selalu deg-degan kalo Bagas ada di sekitarku. Aku nggak bisa mikir jernih.”

“Lo suka sama Bagas, Rev?” tanya Adam tiba-tiba.

Revie mengalihkan tatapannya ke arah Adam dengan takut-takut. “Hmm, iya. Jangan kasih tau dia ya. Ntar dia malah makin nggak suka sama aku.”

Kami berlima—termasuk Adam langsung menatap ke arah Revie dengan raut bingung. “Emang dia nggak suka sama lo ya?” tanya Sid kemudian.

“Mungkin aja. Soalnya dia nggak seneng gitu sama aku.” Revie berujar sedih. Tanganku gatal sekali ingin meninju wajah Bagas karena sudah membuat Revie sedih seperti ini.

“Nggak mungkin lah dia nggak suka sama lo.” Zavan mencoba menghibur, suaranya yang berisik menenangkan Revie. “I mean, lo itukan orangnya baik. Udah kayak Ibu Peri yang main di sinetron Kisah Sedih di Hari Senin.”

“Minggu,” koreksi Tivo.

Zavan berbalik ke arah Tivo. “Suka-suka gue dong. Mau Senin kek, Jumat kek.” Zavan menjulurkan lidahnya dengan gemas ke arah Tivo. Sedangkan Tivo hanya mengernyitkan wajahnya dan kembali ke pikirannya lagi. “Just be yourself ajalah Rev. Iya nggak And?” tanya Zavan seketika padaku.

Aku hanya menaikkan pundakku tidak peduli. Buat apa juga? Kalau aku peduli lalu Revie dan Bagas jadian bagaimana. Errrr, I won’t let do that.

Ting!

“Gue sama Adam turun disini, Flocks,” kata Sid membuyarkan lamunanku. “Mau ke klub  Baseball bentar, ada urusan penting. Ntar sekitar jam setengah sepuluh kita ketemu di DisCaf ya.” Kemudian Sid dan Adam mengelonyor keluar dari dalam lift.

“Gue juga. Mau ke klub Catur.” Tivo yang tadi berdiri diam dengan manis di belakang tubuhku tiba-tiba angkat suara. Tubuhnya yang agak kurus dengan lincah melewatiku.

See ya all,” kata Zavan sembari melambai-lambaikan tangannya. “Oh, by the way Sid and Adam, kalo ternyata klub Baseball kalian sepi dan kalian mau melakukan hal yang…” Zavan memasang wajah menggoda. Aku dan Revie tertawa pelan. “Pokoknya, safe sex ajalah ya.”

Ting!

Lift tertutup saat Sid baru saja ingin menghampiri Zavan ke dalam lift dengan raut wajah siap menerkam. “Sehari aja mulut lo diisolasi Zav, pasti dunia ini tenang dan damai sentosa.”

“Eww!” kernyit Zavan jijik. “Lo kedengeran kayak BevyBevy sok alim itu deh.” Revie tertawa kencang, sedangkan aku sedang mencoba menahan emosiku. Ah, percuma saja marah-marah dengan Zavan, dia pasti tidak akan mendengarkan amarahku.

Saat sudah sampai di lantai tiga, Revie melepaskan tangannya yang ada di seragamku. Aku merasa kehilangan, tetapi mau bagaimana lagi. Kami beda klub. Dia di anggota student organization, sedangkan aku di klub karate. “Kalian berdua bakalan nonton Bagas ya?” tanyaku pada saat berada di luar lift.

“Yep,” sahut Zavan. “Hari ini klub anggar gue lagi nggak ada pertemuan apa-apa. Jadinya, daripada bengong lebih baik ke lapangan sepak bola terus nonton cowok-cowok macho nendang bola.” Zavan merangkul pundak Revie. Biasanya aku akan cemburu, tetapi karena aku tahu Zavan tidak akan mau dengan Revie, jadi aku tidak merasakan sengatan cemburu sama sekali. “Setelah nganterin Revie ngasih proposal keuangan student organization-nya dulu, tentu.”

Nah, yang membuatku cemburu itu si Bagas ini. Revie akan menonton Bagas di lapangan sepak bola itu. Kenapa dia tidak menontonku latihan saja? Euh, sudahlah. Biarkan pertanyaan itu hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. “Have fun, then.”

Revie dan Zavan mengangguk serempak, sebelum akhirnya pintu lift tertutup dan menuju ke arah lantai empat. Damn, I’m so jealous rite now with that stupid guy! Bagas Prakos. Errr!

***

“Gue latihan sampe sore, kalian pulang duluan aja ya.” Aku berkata cepat di telpon saat Sid menelponku. “Kalo bisa Sid, anterin Revie pulang ya. Dia tadi sama gue, tapi karna gue masih sibuk di klub, jadi nggak bisa anterin dia pulang.”

“Sippo!” seru Sid. “Ntar gue sama Adam bakalan anter dia.” Kemudian suara berisik Zavan terdengar di telingaku. “Zavan bilang, tadi Revie dapet ciuman dari salah satu pemain sepak bola grade 12. Lo nggak cemburu kan?”

Tiba-tiba hatiku mendidih. “WHAT!!!” Aku berseru kencang. “Siapa cowok itu?”

Kemudian suara tawa menggema di ujung sana. Shit! “Kita cuman bercanda aja kali!” Suara tawa Sid dan Zavan terus berkumandang di telingaku. “Satu-kosong.” Lalu Sid mematikan sambungan telpon sebelum mendengar amarahku.

Aku membanting iPhoneku ke dalam handbag Adidas yang dibelikan Sid saat dia ke Bali kemarin. Aku mengacak-ngacak rambutku dengan rasa frustasi. Ada apa sih denganku? Mengapa aku terlalu suka seperti ini pada Revie? Aku sebenarnya suka atau hanya terobsesi menginginkan Revie untuk diriku sendiri? Ugh, hal ini benar-benar menyebalkan. Tidak baik menginginkan orang sampai sebuta ini.

Kulampiaskan semua amarahku ke latihan hari ini. Kutendang semua yang ada di depan mataku, kutinju semua yang berada di sekitarku. Aku benar-benar bingung. Jika aku menyukai Revie, aku pasti tidak akan merasa seingin ini menjadikannya milikku. Ini tidak sehat. Ini benar-benar bukan rasa suka… ini seperti obsesi pada sesuatu. Obsesi yang sia-sia. Dia menginginkan Bagas, bukan aku. Seharusnya aku segera menyerah. Aku melakukan hal yang tidak berguna. Menanti orang yang kumaui berbalik arah kepadaku.

Setelah selesai mandi dan membersihkan semua keringat yang menempel di badanku, aku segera menggunakan kaos Wallis-ku, celana Ted Barker-ku dan jaket FCUK ku lagi. Kulirik jam tangan E&M ku, shit! Mataku terbelalak saat mengetahui kalau sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Saking sibuknya emosi dan marah-marah, aku sampai lupa waktu. Teman-teman satu klubku sepertinya sudah pulang semua. Gosh! Harus cepat-cepat ini, sebelum dikunci disini. Pasti Pak Eko—satpam sekolah—lupa mengecek apakah ada anak yang masih di dalam sekolah. Eik, dia memang benar-benar satpam pelupa.

Kusampirkan handbag Adidasku di pundak, lalu segera berjalan ke arah pintu keluar klub Karate. Aku terhenyak saat baru saja membuka pintu. Si merek obat batuk sedang mengunci pintu klubnya. Klubku dan klubnya memang bersebelahan. Lihat dia! Bah, mentang-mentang dia penanggung jawab klub Taekwondo jadi dia harus selalu mengunci pintunya gitu. Klubku saja pintunya tidak dikunci. Lagipula siapa yang mau mencuri? Dasar aneh.

“Belum pulang Njing?” tanyaku sembari menepuk pundaknya dengan agak keras.

Dia terlonjak kaget, badannya yang hanya seukuran Revie berbalik ke arahku. “Belum Nyet!” ujarnya sambil menendang tulang kering kakiku.

Ouch! Sakit juga tendangannya. “Gue lagi males berantem ya,” ucapku, tanganku sibuk mengelus-ngelus tulang kering kakiku yang ditendang olehnya. “Mendingan gue pulang sekarang.” Lalu akupun berlalu dengan sesegera mungkin dari pandangannya.

Aku menekan panel lift dengan sekali sentak, satu menit lebih kemudian liftpun terbuka. Aku segera masuk dan menekan angka satu. Baru saja lift ingin tertutup, tiba-tiba si merek obat batuk masuk tanpa di undang. Baiklah, ini memang lift umum. Tapi… ahh, biarkan saja. Toh bukan sekali ini aku dan dia satu lift.

Kami terdiam beberapa saat, lalu pintu lift pun tertutup. Aku menekan kuat-kuat handbag Adidasku. Mataku sekali-sekali melirik ke arahnya. Wajahnya yang tegas namun lembut sedang menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya yang berwarna hitam dan agak panjang di depannya, jatuh ke keningnya lalu turun sedikit ke matanya. Tanganku gatal sekali ingin mengibas rambut tersebut. Namun aku cepat-cepat mengurungkan niatku saat dia mulai menggerakan badannya.

Lift baru sampai di lantai dua saat dia menatapku dengan mata sayunya. Mulutnya baru saja terkuak saat tiba-tiba lampu lift mati total dan lift bergoyang hebat. Tanpa aba-aba, tanpa sadar, dan seperti hipnotis, tangan kami terpaut menjadi satu. Tapi bukan itu yang kupikirkan.

Saat ini aku dan dia terjebak di dalam lift. Dan itu sangat berbahaya!

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–

Bright Day (2)

–Chapter 2–

Dominiquert International School

 

Rumah Momku ternyata ada di Menteng. Aku tahu nama ‘Menteng’ karena tadi tertulis di gate yang ada di komplek perumahan ini. Ya, rumahnya sangat besar dan minimalis. Mom mengecet rumahnya dengan warna yang sedikit agak mencolok. Garasinya dia cat warna lilac. Dinding tinggi yang membatasi aula lantai dua dan aula lantai satu di cat warna crimson. Seluruh tembok yang ada di lantai satu dia cat warna ivory. Sedangkan seluruh tembok yang ada di lantai dua dia cat dengan warna gold yang sangat mengkilap. I’m wondering, this is a house or empire. Many much color and graceful. But I like it.

Mom langsung mengantarku ke kamarku yang ada di lantai dua. Ketika aku masuk ke kamar baruku, mulutku langsung ternganga lebar. Kamar baruku empat kali lebih besar daripada kamarku yang ada di New York. Mom sudah mengecet dinding kamarku dengan warna blue sky yang lembut. Di dindingnya di pasangi wallpaper bergambar petir. Jadi, seakan-akan langit cerah menggoda itu sedang mengeluarkan petir mengerikan. Bentuknya yang unik membuat senyumanku mengembang dengan lebar.

I have california king bed here. Kayak judul lagunya Rihanna-kan? Haha. Yep. Tetapi memang itu nama ranjang lebar dan empuk yang ada di hadapanku saat ini. Bed-ku yang ada di New York paling-paling setengah—oh, tidak, seper-empat malahan—dari kasur baruku ini. Disini aku juga mempunyai dua laptop. Mom sudah membelikanku laptop. Katanya untuk kebutuhanku jika memang diperlukan. Padahal sebenarnya aku sudah mempunyai laptop Apple yang Dad hadiahkan padaku saat ulang tahunku yang ke-15. Tetapi tidak apalah. Two is better than one. Ya, kali ini seperti judul lagunya Boys Like Girls Feat. Taylor Swift. I love that both singer. Eh, nggak deh kayaknya. Boys Like Girls kan grup band bukan solo. Yah, whatev  aja deh.

Semua yang aku butuhkan ada di kamar ini. Jadi sepertinya aku tidak perlu keliling Jakarta untuk menghibur diriku sendiri. Lagipula buat apa juga aku keliling kota Jakarta yang sumpek dan panas ini. Serta suka macet dan menyebabkan banyak polusi. Yikes, masih memikirkannya saja aku sudah mual. Apalagi kalau aku benar-benar pergi berkeliling Jakarta sungguhan. No way!!

“Dek,” sapa Momku dari belakang, “ini buku panduan Dominiquert International School. Isinya tentang seragam yang harus dedek pakai besok dan beberapa peraturan yang diterapkan disana.” Mom menyodorkanku sebuah buku mini bergambar gedung sekolah mewah yang sangat elegan. Well, dimana-mana yang namanya International School itu yah pasti mewah. Kalau tidak mewah namanya Poornational School.

Aku mengambil buku mini itu dari genggaman tangan Momku dan berujar terima kasih.

“Kalau dedek butuh apa-apa, tinggal pakek telpon yang ada di sana itu,” Mom menunjuk telpon yang ada di sebelah kanan atas dekat ranjangku. “Tinggal teken angka satu, terus ntar ada Bik Karsih yang angkat telponnya. Dia bakalan nerima perintah dedek. Apapun itu. asal bukan yang aneh-aneh.” Momku tersenyum manis.

Dengan malas aku memutar bola mataku. Siapa juga yang mau minta macam-macam sama pembantu. Mom kadang jadi orang konyol yang aneh. “Oke. Terima kasih lagi, Mom” ujarku menggunakan nada capek. Aku memang capek sekarang. Aku ingin tidur dan menikmati mimpi-mimpi yang sedang menungguku. Lagipula aku besok sudah mulai sekolah.

Mom hanya mengangguk dan berjalan menuju pintu kamarku yang mewah. Dia menutupnya pelan dan mempererat pintu kamarku agar benar-benar tertutup rapat. Aku menghembuskan nafas lelah dan gembira karena akhirnya aku bisa sendirian sekarang. Dan menikmati indahnya kamarku yang sangat keren ini.

Aku langsung berlari kecil menuju ranjangku dan menghempaskan tubuhku di atasnya. Kasurnya yang empuk menggodaku untuk tidur. Lalu tak lama kemudian, mataku yang memang sudah benar-benar lelah akhirnya terpejam juga. Walaupun aku belum mengganti bajuku ke piama yang sudah di sampirkan di kepala ranjang. Tetapi aku memang sudah benar-benar mengantuk. Apalagi sepatu supra yang kukenakan tak kulepas juga sama sekali. Biarlah aku melepasnya besok. Karena sekarang aku sudah mengarungi mimpi indah di dalam tidurku yang nyenyak sampai besok pagi.

***

Mataku langsung terbuka ketika cahaya matahari menyeruak masuk ke celah-celah sempit yang ada di mataku. Kepalaku sedikit agak berdenyut nyeri ketika aku bangkit dari bebaringku. Sepatu supra-ku sudah terlepas dari kakiku. Namun bajuku masih belum diganti. Dan aku sangat mensyukuri hal itu. Aku tidak mau badanku yang sexy ini dipelototi orang yang sama sekali tidak aku kenal.

Aku melirik jam weker yang bertengger di atas meja yang berada di samping kiri ranjangku. Damn! Aku langsung berteriak nyaring dalam hati ketika tahu kalau sekarang sudah jam delapan lewat lima belas menit. Dengan cepat aku langsung berlari ke kamar mandi yang ada di samping kiriku. Jarak dari ranjang sampai ke kamar mandi ternyata agak jauh. Well, sekarang aku tidak terlalu menikmati kamar yang besarnya se-hiperbolis ini.

Nafasku langsung tercekat ketika melihat kamar mandi yang ada di kamarku ini. Bentuknya sangat mewah. Dengan segala tetek-bengek yang sangat men-detail. Kamar mandiku bercahaya temaram berwarna amber yang sangat memikat. Tetapi aku tidak perlu menjelaskannya secara terperinci sekarang. Karena sepertinya aku sudah telat datang ke sekolah baruku.

Aku mandi secara kilat. I mean, tidak mungkin kan aku mandi berlama-lama dengan waktu semepet sekarang. Lagipula kalau aku mandi lama-lama pagi ini, bisa-bisa aku malah menggosok hal yang lain selain badanku.

Dengan gelagapan aku mencari buku mini Dominiquert International School yang berisi tentang seragam apa yang harus kupakai hari senin ini. Selama hampir tujuh menit aku mencari, akhirnya buku sialan itu ketemu juga. Dengan sentakan keras kubuka buku mini itu. Lalu membaca isinya dengan teliti. Di buku itu akhirnya aku menemukan juga tulisan tentang peraturan seragam yang harus kupakai:

WELCOME TO DOMINIQUERT INTERNATIONAL SCHOOL

UNIFORM STIPULATION

Senin-Selasa: Baju dalam kaos berwarna putih polos. Kemeja biru formal dengan dasi hitam berlogo DIS (Dominiquert International School). Celana panjang berwarna biru gelap. Disertai dengan ikat pinggang berlogo DIS. Ditambah sepatu kets hitam polos

Rabu-Kamis: Baju dalam kaos berwarna hitam polos. Kemeja hazel non-formal dengan dasi merah tanpa logo. Celana panjang berwarna abu-abu. Disertai dengan ikat pinggang berlogo DIS. Ditambah sepatu kets putih polos.

Jum’at: Pakaian bebas.

Sabtu: Kegiatan ekstrakulikuler bagi siswa-siswi yang mempunyai kegiatan eskul.

NB: Baju olahraga harus di bawa setiap pelajaran tersebut hadir di jadwal yang Anda ambil. Dandanan rambut harus rapi. Untuk siswa laki-laki, diwajibkan menata rambutnya dengan sopan dan bersih. Jambang di masukan di balik telinga. Rambut belakang harus disisir rapi. Sedangkan untuk siswa perempuan, rambut harus terurai kebelakang atau di-ikat. Kuku hanya boleh diwarnai dengan warna netral, putih, dan biru bening. Tidak boleh mempunyai tato permanen. Hanya diperkenankan tato yang bersifat sementara. Pakaian dalam tidak boleh kelihatan. Perhiasan: Pemakaian perhiasan tidak di anjurkan dari hari senin-kamis, kecuali: cincin, jam tangan, satu pasang anting berbentuk kancing. Selama kegiatan olahraga luar ruangan atau waktu bermain, harus melepaskan semua perhiasan seperti jam tangan, cincin, anting dll. Pemakaian perhiasan yang mewah dan berlebihan hanya di anjurkan pada hari Jum’at atau hari bebas. Namun jika terjadi kehilangan, tanggung jawab perhiasan berada di tangan Anda masing-masing.

Baru sekarang aku membaca NB yang begitu panjang. Biasanya NB hanya ditulis singkat. Kan dari istilahnya sendiri, NB (notebook) atau notes. Yang berarti sebuah catatan atau pemberitahuan akan sesuatu. Dan itu biasanya singkat, jelas dan padat. Tidak seperti ini. Panjang, tidak jelas, dan sangat tidak padat. Mana mungkin ada orang yang akan mengerti dengan catatan atau pemberitahuan sepanjang itu. Bahkan aku saja sudah lupa apa isi catatan barusan. I’m wondering, siapa sih orang bodoh yang buat catatan tersebut? I mean, ayolah! Harusnya dia bisa lebih menyingkatnya sajakan!

But, that’s not really important, tho. Yang penting sekarang itu adalah mencari baju sekolahku. Mataku mencari di sekeliling kamar. Tak lama kemudian mataku menemukan sebuah lemari besar yang bau peliturnya masih sangat tercium tajam. Dengan cepat aku membuka lemari itu dan mencari-cari baju kaos putih polos, kemeja biru formal, dasi hitam berlogo DIS, celana panjang warna biru gelap, dan ikat pinggang berlogo DIS.

Dan, yep, akhirnya ketemu juga. Aku langsung mengambil baju-baju itu dari dalam lemari dan merentangkannya. Baru saja aku ingin memakainya, nafasku langsung tercekat. Gawd! Bajunya itu sangat tacky. Ketika aku mengenakan baju itu, aku seolah-olah sedang sekolah di London. Seragam DIS itu kalau bisa dinilai paling-paling hanya dapat nilai sekitar empat dari sepuluh. Aku tak akan pernah berfoto menggunakan baju ini. Bagaimana kalau teman-temanku yang ada di New York melihatku dalam balutan baju menyebalkan ini. Aku yakin mereka akan tertawa. So loud malahan.

Namun apa boleh buat, aku tidak mungkin kan memakai baju biasa ke sekolah internasional itu. Dengan berat hati aku menggunakan baju mengerikan itu dan menatap bayanganku yang seperti orang bodoh di depan cermin panjang kali lebar yang ada di depanku. Aku mendesah berat dan mengambil sepatu kets kasual berwarna hitam yang tertaruh di samping lemari besar berbau pelitur tajam itu.

Aku kembali menghadap cermin lalu menyisir rambutku yang sudah mulai panjang ke belakang dengan rapi. Kusemprotkan sedikit parfum di tengkuk-ku dan seragam DIS yang weird ini dengan cara menyeluruh. Yep, sekarang aku sudah siap untuk berangkat.

Aku berlari kencang ke arah kasurku dan mengambil BlackBerry dan i-Padku yang berada di atasnya. Setelah aku menaruhnya di dalam tas selempangku yang bermerek Marc Jacobs, aku langsung berlari menuju pintu dan melompati tangga rumahku yang besar ini sekaligus dua. Setelah berada di bawah, aku bingung harus belok ke kanan atau ke kiri untuk menuju ke pintu keluarnya.

Setelah lima menit aku berpikir, aku memutuskan untuk belok ke kanan. Tapi baru saja aku ingin berjalan, seorang wanita dengan paras ibu-ibu menarik baju seragamku. Wajahnya yang penuh perhatian dihiasi sebuah senyuman. Umurnya mungkin sekitar lima puluhan. Aku menelengkan kepalaku dan tersenyum lebar ke siapapun dia.

“Tuan sudah mau berangkat?” tanyanya dengan suara parau.

Aku terdiam beberapa saat. “Ya,” aku menyahut pelan. “Bik Karsih ya?”

“Iya, tuan,” dia mengangguk. “Pak Darmo sudah nunggu didepan tuan. Tapi sarapan dulu ya. Tadi Bibi sudah buatin tuan roti bakar rasa keju loh.”

Aku menggeleng. “Nggak usah Bik. Aku udah telat nih kayaknya,” aku membetulkan tata letak tasku. “Kenapa Bibi nggak bangunin aku tadi?”

“Sudah tuan, tapi kata nyonya nggak usah aja dulu. Soalnya tuan kecapean. Baru pulang dari Amerika, katanya.”

“Oh,” sambutku malas. “Aku langsung ke depan aja deh ya. Aku udah telat nih Bik.”

“Iya, tuan” kata Bik Karsih dengan senyuman kecil.

Tanpa basa-basi lagi aku langsung berlari kencang menuju ke pintu keluar yang ada di rumah besar Mom ini. Untuk mencapai pintu keluar saja menghabiskan waktu hampir tujuh menit. Gawd! Sometime had a big house is not good at all. Aku harus memberitahu Mom untuk membeli rumah yang sedang-sedang saja. Jangan sebesar ini lagi! Banyak menghabiskan waktu dan tenaga.

Pak Darmo yang dimaksud oleh Bik Karsih adalah lelaki tua berumur sekitar empat puluh tahunan dengan rambut botak yang mengkilap seperti cat rumah Momku. Wajahnya ramah. Senyumannya ikhlas dan caranya menatapku sangat sopan. Dia adalah salah satu supir yang Momku punya. Dan tanpa banyak tanya, dia langsung membukakan aku pintu mobil Porsche hitam milik Momku dan membawaku ke sekolah inetrnasional menyebalkan yang mempunyai disaster uniform. Baiklah, seperti apa sih Dominiquert Internasional School ini.

***

Reflek aku meremas tas Marc Jacobs-ku dengan kuat ketika melihat sekolah super besar yang ada di depan mataku. Gerbang sekolahnya saja tingginya sangat hiperbolis. Ah, sepertinya sekolah ini akan benar-benar membosankan. Orang-orang belagu. Kurang ajar. Pura-pura ramah dengan orang lain, padahal sebenarnya suka ngomongin di belakang. Entah kenapa, hawa-hawa jahat di sekolah ini sudah tercium dari tempatku berdiri.

Aku berjalan pelan menuju ke tempat security yang menjaga gerbang sekolah ini. Aku mengetuk kaca yang bertuliskan security office itu sampai tiga kali dan barulah kemudian tiga sosok security bertampang goblok melongokan kepala mereka. Rokok yang mereka apit di sela-sela mulut mereka mengeluarkan asap berbau toxic yang membunuh. Dari dulu aku sangat benci dengan yang namanya asap rokok.

“Iya?” kata salah satu dari security yang ada di situ. “Anda telat ya? Kalau begitu silahkan pulang!” ujarnya dengan nada tajam.

Sebisa mungkin aku tidak memutar bola mata sinis. “Maaf. Aku murid baru disini,” kataku kemudian. “Aku baru saja mendapatkan e-mai bahwa aku dibolehkan masuk hari ini.” Aku berbohong tentu saja. Aku tidak mungkin kan bilang aku telat bangun.

“Oh, ya?” security dengan kumis tebal di atas bibirnya berbicara. “Kami memang mendengar kalau ada murid baru nanti,” ujarnya pelan sambil membuang rokoknya di tanah lalu menginjaknya. Yikes! “Joko, Ebiet,” si kumis menunjuk kedua security yang ada di sebelahnya dengan nada memerintah. “Bukain gerbangnya!” suruhnya tegas. Dan kedua security yang disuruh itu langsung bergerak cepat.

Aku melirik jam yang ada di kantor security tersebut. Shit! Sudah jam setengah sepuluh ternyata. Aku bukan telat lagi ini namanya. Tetapi bolos sekolah. But, aku tak peduli sama sekali. Lagipula di jalan tadi sangat hirik pikuk. Untung Pak Darmo tahu jalanan mana yang jarang macet. Walaupun kami harus memutar agak jauh. Tetapi hebatnya Pak Darmo itu seorang pengemudi terngebut berbahaya yang pernah aku tahu.

Gerbang besar itu akhirnya terbuka sedikit. aku langsung menyelinap masuk di celah-celahnya. Damn! Aku sudah seperti maling yang mau menerobos masuk ke rumah orang lain. “Excuse me,” ujarku ke security yang bernama Joko. “Aku harus kemana sekarang?”

Yang bernama Joko itu tersenyum kecil dan berujar cepat. “Dari arah sini, kamu belok ke kanan. Terus nanti ada resepsionis disitu. Nah, kamu tinggal omongin alasan kamu baru datang sama hal-hal apa yang harus kamu lakuin disini.”

Aku mengerutkan keningku. Resepsionis. Gawdess! Memangnya ini hotel ya? “Oke. Makasih ya.” Aku langsung berlalu cepat tanpa memberikannya kesempatan untuk menjawab terima kasihku.

Dengan langkah panjang aku menyusuri taman bunga dengan harum yang sangat mencekik pernapasan. Aku tidak terlalu suka dengan wangi-wangi bunga yang seperti sekarang ini: Lavender, Lily, Petunia, Mawar. Pokonya aku nggak suka. Baunya itu seperti sampah yang diberi parfum dan voilá jadilah taman bunga yang seperti sekarang ini.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang yang mengerikan tadi, aku sampai juga di tempat resepsionisnya. Dari bentuk mejanya saja, aku sudah yakin kalau sekolah ini memang punya beberapa hal-hal glamor yang tak penting.

Aku berdeham pelan untuk menarik perhatian seorang wanita dengan wajah congkak dan bando berbentuk aneh yang terpasang di atas kepalanya. Namun sekuat apapun aku berdeham, dia tidak akan menoleh sama sekali. “Excuse me!” ujarku dengan nada tajam.

Tak lama setelah dia mendengar suaraku, akhirnya dia mendongakan kepalanya. “Ya?” tanyanya dengan nada menggerutu. Di tangannya ada buku tebal, yang pasti adalah sebuah novel yang sedang dia baca.

“Aku murid baru disini,” kataku, dan dia menaikan satu alisnya secara menyebalkan. “Aku mau tau aku harus kemana sekarang juga.” Sekuat mungkin aku tidak menggunakan nada sinis dalam omonganku barusan.

Dia menatapku dengan malas. “Kamu harus menyelesaikan administrasi akademis dulu di ruang Academic.” Dia membusungkan dadanya dan menaikan tangannya tinggi-tinggi untuk memberitahukanku arah menuju ke ruangan yang dia katakan barusan. “From here, turn left then go ahead and turn right then go ahead again. Tepat disebelah kantor headmaster ruangannya.”

Aku mengingat-ngingat arah yang dia beritahukan kepadaku barusan. “Oke. Terima kasih.” Aku berujar pelan sambil melirik ke arahnya dan mencoba tersenyum basa-basi. Sayangnya dia sudah kembali menundukan kepalanya untuk membaca buku dan mencuekanku begitu saja. Ohmygoodness! Aku benar-benar membenci orang ini.

Dengan luwes aku melangkahkan kakiku menuju ke arah yang ditunjukan oleh si wanita menyebalkan tadi. Untung saja banyak signs yang menolongku untuk menunjukan arah. Tak berapa lama kemudian aku sudah berada di depan pintu berlapis kaca tebal yang bentuknya terlalu mewah dan berlebihan. Aku mengetuknya pelan dan mendengar suara berat yang ada di dalamnya menyahut.

Aku membuka pintu itu dan mencium aroma buah apel di udara yang ada sekitarku. Ruangan ini berbentuk segitiga unik yang sangat bagus. Well, ini mengingatkanku dengan studio musik mantan pacarku. Benny. Which is a rude guy and handsome. Aku jadi kangen sama dia. But, jangan bahas yang itu dulu! Karena sekarang ada yang lebih penting.

Sofa berwarna cokelat susu itu sangat elegan. Aku jadi tertarik untuk bebaring disitu sambil mendengarkan lagu-lagu relaksasi yang menggiurkan telingaku saat ini. Jendela tinggi yang berada disebelah kanan menyemburkan cahaya matahari yang panas. Perabotan Sheraton yang imut bertengger di atas meja seorang laki-laki dengan wajah tegas yang sangat mengerikan. Kumisnya yang seperti singa laut naik turun ketika berbicara padaku.

Sit down, then!” suaranya yang serak-serak seram memerintahku.

Tanpa menunggu disuruh dua kalipun aku memang lagi ingin duduk sekarang. Jadi aku langsung menyeret kakiku dan duduk di atas kursi tersebut.

“Mr. Kovlean?” katanya pelan sambil menatapku. Kumisnya masih naik-turun secara menyebalkan saat berbicara. “Saya sudah menunggu Anda sekitar,” dia melirik jam tangannya yang kupikir dia sengaja untuk menyindirku, “dua jam yang lalu,” akhirnya dia berbicara tajam. Aku hanya bisa memasang wajah datar.

“Maaf, sir. Saya baru menerima e-mail dari Mom saya kalau hari ini saya sudah bisa masuk sekolah,” lagi-lagi aku berbohong. Aku tidak terlalu suka berbohong, tetapi untuk hal seperti saat ini, sepertinya berbohong itu perlu.

Dia menaikan alisnya tinggi-tinggi. “Baiklah,” dia mengambil selembar kertas dari dalam map yang ada di bawah tangan gemuknya. “Ini formulir akademis yang harus Anda isi,” dia menyodorkanku selembar kertas yang mempunyai kualitas baik itu dengan hati-hati. “Anda harus isi semua pertanyaan yang ada disana. Tulisan yang dicetak tebal wajib Anda isi. Khususnya untuk menghilangkan mata pelajaran yang ingin Anda tidak ambil. Lalu isi juga tentang hal-hal apa saja yang menyebabkan Anda alergi dan Phobia apa saja yang Anda derita.”

Aku membuka tas Marc Jacobs-ku dan mengeluarkan pena berbadan mewah yang memang sudah ada di dalam tasku ini. Aku menjawab pertanyaan yang ada di formulir itu dengan hati-hati. Kadang-kadang aku sampai membaca pertanyaan itu sampai tiga kali. Ada sebuah pertanyaan yang membuatku mengerutkan kening. “Apakah Anda termasuk penggila seks?” Damn gawd! Pertanyaan apa itu. Aku menjawab pertanyaan itu dengan tulisan super tebal, “TIDAK”. Walaupun misalnya aku adalah penggila seks, aku tidak mungkin menjawab jujur di pertanyaan itu. Orang idiot mana yang akan menjawab iya di pertanyaan itu. Ueyyy.

Lalu aku menulis pertanyaan tentang alergi apa saja yang aku punya: “well, I don’t have an allergy at all. But, I don’t like a fish and boiled egg. Disgusting food like that can kill me slowly. Oh…. And yes, I remember now, I have an allergy. I can’t stand near with a fugly people. You know, fu*king ugly people. Eww. Keep it away from me. So far if that need it Pokoknya aku nggak bisa dekat-dekat sama orang jelek dan belagu. Aku sangat alergi sama orang-orang bertipe seperti itu. And if you have an event here, you can send me a e-mail—you have to actually: sidkovlean_22@gmail.com. Oke. Just it.”

Aku kembali menekuri formulir tersebut. Mataku langsung membaca pelajaran apa saja yang tidak ingin ku ambil. Dan disitu hanya ada empat pilihan mata pelajaran. a. history. b. geography. c. anthropology. d. geology. Aku mendecak kesal. Kenapa tidak ada mathematics, physics and chemistry. Aku benci tiga pelajaran membosankan itu.

Sir,” ujarku pelan ke arah si kumis singa laut.

“Ya?” kumisnya naik-turun lagi. “Sudah?”

Aku menggeleng. “Belum, sir.” Aku tersenyum kecil. “Disini kenapa nggak ditulis pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia untuk pelajaran yang tidak mau saya ambil?”

Dia malah tertawa saat mendengarku bertanya seperti itu. “Jangan bodoh!” gertaknya masih dengan tawanya yang menganggu. “Ketiga pelajaran itu sangat penting. Dimana-mana pelajaran itu tidak bisa dihilangkan.”

Oh, shit! Kupikir aku tidak akan melihat ketiga pelajaran itu lagi ketika aku diberitahu untuk mengisi pelajaran apa saja yang tidak ingin ku ambil. Sayangnya aku salah. Aku malah akan ketemu ketiga pelajaran yang bisa membuat otak-ku langsung blank dalam sekejap.

Setelah itu aku menulis secara singkat Phobia yang aku punya. Yaitu sama dengan alergiku. I’m so phobia with fugly people. Setelah aku membaca kembali formulirku secara teliti, barulah aku menyerahkan formulir itu ke si kumis singa laut. Dia membaca formulirku dengan alis yang di angkat tinggi. Aku diam saja dan menonton dia dengan kesal.

Namun tak berapa lama kemudian dia berdiri dan aku juga langsung ikut berdiri. Dia berjalan pelan menuju ke arah rak-rak kecil yang berada tepat di sebelah pintu keluar. Aku melihat dia menarik sebuah kertas kecil dari dalam kotak hitam berdebu lalu dia berbalik dan menyerahkannya padaku.

“Ini jadwal mata pelajaranmu. Anda mencoret semua empat mata pelajaran yang Anda tidak ingin ambil bukan?” ujarnya mencemooh. Aku hanya tertawa dalam hati. Itu benar. Empat pilihan mata pelajaran itu semuanya aku coret. Aku memang tidak berminat dengan empat mata pelajaran yang diwajibkan menghafal tersebut.

Aku mengambil kertas itu dan membacanya dalam hati. Senin ada tiga pelajaran. Selasa juga sama. Rabu ada empat pelajaran. Kamis ada dua pelajaran dan Jum’at hanya ada satu pelajaran yang benar-benar kita mau. Disitu tertulis, “Just choose you favorite homeroom”. Aku menimbang-nimbang. Kalau misalnya tak ada satupun yang aku favoritkan, berarti hari jum’at aku bisa berdiam diri di rumahku saja.

“Dan, Anda juga belum memilih eskul,” katanya membuyarkan lamunanku. Dia membuka pintu dan membawaku keluar. “tujuh hari lagi saya ingin Anda datang kemari dan memberitahukan eskul apa yang Anda mau ambil.”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu aku menundukan kepalaku untuk melihat mata pelajaran yang ada di jadwalku hari ini. Jam pertama ada: Technology, kedua: Biology, dan ketiga: Digital Arts. Pelajaran yang ada di jadwalku hari ini adalah ketiga pelajaran yang menurutku mempunyai nilai membosankan yang tinggi. Tetapi memangnya ada ya pelajaran yang menurutku asyik. Tidak! Semua pelajaran yang ada di dunia ini semuanya sangat membosankan dan menjenuhkan.

Tiba-tiba aku mendengar suara bel berbunyi nyaring. Aku mengerutkan keningku. Gawd! Bunyi belnya sangat-sangat keras. Seperti suara bel yang ada di penjara-penjara suram yang ada di tengah pulau San Fransisco.

“Karena Anda melewatkan pelajaran pertama, kalau begitu Anda harus langsung ke homeroom biology sekarang ini,” ujar si kumis singa laut dengan senyuman kecut.

“Tempatnya dimana, sir?” tanyaku. Sekolah ini besar. Mana aku tahu yang mana homeroom biology. Nanti bukannya ke homeroom-ku, aku malah tersesat dan tidak masuk pelajaran kedua juga.

Dia mengerutkan keningnya untuk berpikir sejenak. “Sulit untuk menjelaskan tempatnya,” tuhkan, pasti tempatnya memang jauh dan ribet untuk ditunjukan. Tetapi ketika baru saja dia ingin membuka mulutnya, ada seorang cowok mengenakan singlet olahraga berwarna putih polos lewat di depan kami berdua. Badannya yang atletis membuatku—hampir—meneteskan air liurku. Bola Volly yang berwarna biru-kuning terapit di sela-sela tangan kanannya. Wajahnya yang tegas dan bola mata yang tajam tersebut melirik-ku sekilas. Badannya yang dipenuhi pejuh berbau manly tercium di hidungku yang mancung. Gawd! Cowok ini membuat libidoku naik. Mana dia tinggi menjulang lagi. Benar-benar tipeku.

“Mr. Abrakadijaya!” panggil si kumis singa laut ke cowok itu. “Sini sebentar!” si kumis mengayunkan tangan gemuknya, menyiratkan cowok itu untuk datang menghampirinya.

Tak berapa lama kemudian cowok itu sudah berdiri di hadapan kami. Wangi pejuhnya yang sangat manly malah makin tercium tajam sekarang. “Yes, sir?” ujar cowok itu dengan suara berat. Wow, so cool. Aku tersenyum dalam hati.

“Saya ingin Anda mengantarkan Mr. Kovlean ke homeroom biology sekarang. Tunjukan dia jalan yang benar,” si kumis singa laut memerintah pelan.

“Oke, sir,” setuju cowok itu sambil melirik-ku. Matanya yang tajam itu menatapku dengan tatapan tidak sopan. Libidoku yang semula naik langsung turun. Entah kenapa, tatapan matanya malah membuatku tidak menyukainya. Saraf kebencianku langsung naik ketika kembali melirik cowok itu.

Si kumis singa laut menolehkan kepalanya ke arahku. “Nah, Mr. Kovlean, Anda akan di antar oleh Mr. Abrakadijaya ke homeroom Anda.” Lalu secepat kilat si kumis singa laut langsung menghilang dari hadapanku. Dia kembali masuk ke ruangannya tanpa aku sempat berucap terima kasih secara basa-basi.

Cowok yang ada dihadapanku langsung meliriku-ku dengan tidak sopan. Lagi. Sialan times one. Tiba-tiba aku menangkap sebuah aura jahat yang menyelimuti cowok itu ketika dia berjalan di depanku. Aku langsung tidak menyukainya. Lagi.

Tadi siapa ya namanya? Abrakadabra? Abrakedobrak? Abraketoprak?

Grrrr… namanya aja sulit buat disebutin.

Homeroomnya masih jauh ya?” tanyaku ketika kami sudah naik ke lantai tiga. Menggunakan tangga. Padahal tadi aku melihat lift.

Cowok itu berhenti dan menatapku. Langsung ke dalam bola mataku. “Bawel!” gertaknya tajam, aku hanya bisa mengerutkan kening. Apa itu ‘bawel’? Kata bahasa Indonesia itu belum pernah kudengar sebelumnya. Aku harus goggling kata itu nanti.

Lalu cowok itu membuang mukanya dan kembali berjalan cepat. Sialan times two. Aku dicuekin habis-habisan sama dia. Seakan-akan aku ini bisul yang harus dihindari. Gawd! Yang semula aku menyukainya karena dia adalah tipeku. Sekarang aku yakin aku tidak menyukainya sama sekali.

Kami berdua berkeliling tak jelas. Naik-turun tangga. Berjalan ke sana kemari tanpa arah tujuan. Semakin lama aku semakin kesal juga. Apakah dia benar-benar akan menunjukan homeroom biology-ku apa tidak sih. Kalau aku bertanya padanya, dia akan menatapku dan menyuruhku diam dan ikuti saja dia. Dan hal itu makin lama makin membuatku kesal.

Setelah hampir lima belas menit, dan kami berada di lantai dua, aku baru sadar kalau aku sudah kehabisan tenaga. Aku juga yakin kakiku sudah sangat pegal saat ini. Baru saja aku ingin memberhentikan langkahku, cowok gila itu langsung berhenti juga di depan sebuah homeroom yang di atasnya tertulis Biology Grade 10.

“Ini homeroom lo!” ujarnya kasar. “Udahkan. Gue mau pergi dulu!”

Lalu dia berjalan melewatiku dan membuang muka seakan-akan aku ini tidak terlihat. That guy is so rude and impolite. Kenapa aku harus bertemu dengan dia. Apalagi ketika dia berjalan pelan ke arah lift dan berbalik cepat ke arahku dan tersenyum mengejek dari sana. Dan sekarang aku tahu, dia daritadi sengaja mengajakku berkeliling tak jelas untuk membuatku lelah. Jadi, sebenarnya itu hanya akal-akalan dia saja. Shit! Aku dikerjai habis-habisan. With that asshole!

Aku kini semakin yakin. Sampai kapanpun, aku nggak akan pernah menyukainya. Bahkan mencintainya. EVER FOREVER!!!!!

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–