Chapter-Lagu 2
♫ Foster the People – Pumped Up Kicks
“Mau nebeng pulang?” tanya Tivo saat kami berenam berjalan cepat menuju ke pintu exit lobby sekolah. Zavan yang berdiri di sebelahku sedang bertelpon ria dengan seseorang menggunakan bahasa Inggris yang ditemani dengan aksen British. And dan Vick yang berjalan paling depan juga sedang sibuk saling mengobrol. Sedangkan Sid sedang mengetik sesuatu di BlackBerry nya. Aku yakin dia pasti sedang ber-chat hura dengan Adam. Berarti saat ini Tivo sedang bertanya padaku. Memangnya siapa lagi di antara kami yang tidak mempunyai kendaraan untuk pulang? Tentu saja aku.
“Boleh,” ujarku, aku menoleh ke arah Tivo dan tersenyum simpul.
Saat kami sudah berada di parkiran, aku melihat Bagas dan cewek barunya—iya, dia suka ganti-ganti pacar sejak aku menangis itu, dan setiap kali berita dia punya pacar baru kesebar, pasti aku hujan dan hujan. Entah itu hatiku, entah itu mataku. Menjengkelkan dan sangat-sangat bodoh memang. Kenapa aku harus menangis? Padahal tidak ada untungnya aku mengeluarkan air mata untuk orang itu. Tetapi ada sesuatu yang sakit di hatiku, rasanya seperti mengetahui kalau ternyata kau adalah anak pungut. Atau yang lebih parah dari itu.
Jika melihat Bagas sedang bercengkrama dengan pacarnya, aku biasanya langsung mengalihkan pandanganku ke arah mana saja—asal jangan ke dia. Ignore, ignore, ignore. Itu yang diajarkan Sid padaku. Abaikan orang-orang yang bisa menyakitimu. Tetapi—memang dasarnya aku bodoh ya—aku malah melirik kembali ke pasangan menjengkelkan itu. Rasa-rasanya aku ingin pergi ke Cilandak, duduk di depan Mbah Pea lalu menyuruh dukun satu itu untuk menyantet semua cewek yang menjadi pacar Bagas. Biar tahu rasa semua.
Oh, ya Tuhan, itu pemikiran yang jahat. Lupakan-lupakan!
“Kalo lo nggak mau sakit hati, jangan ngelihatin mereka!” Aku menoleh dan melihat Zavan yang sedang memperhatikanku lekat-lekat. Matanya yang biru melirik ke arah Bagas lalu ke arahku lagi. “Lo kan tau kalo dia itu seratus persen straight, jadi lebih baik lupakan dia Rev. Masih banyak tau kontol yang mau minta disepong. Seriously. Don’t waste your time just for him, kay. Lo itu ganteng, pasti banyak yang bakalan jatuh cinta dan pengen ngemut kontol gede lo.”
Aku tertawa pelan, Zavan memang selalu bisa membuat hatiku yang hujan merasa teduh. “Dia itu nggak seratus persen straight kok.” Aku berkata sambil melirik Tivo yang telah masuk ke dalam mobilnya. “Dia itu sembilan puluh persen.”
“Maksud lo, sembilan puluh persen gay, gitu?” tanya Zavan tidak percaya, dia menekan sesuatu di remote control yang ada di kunci mobilnya, membuat mobilnya yang mengkilap berbunyi kemudian pintunya terbuka lebar dengan perlahan.
“Bukan. Sepuluh persen harapan untuk aku bisa dapetin dia. Sembilan puluh persen lainnya, dia memang straight.” Aku mendesah panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Tivo yang beraroma sandalwood. Zavan tertawa lalu mengedipkan matanya padaku. Dia melambaikan tangannya, tak berapa lama kemudian dia menjalankan mobilnya hingga keluar dari compound area DIS. Sekali lagi, aku mendesah panjang dengan lelah.
Tivo menjalankan mobil dengan perlahan, deruman mesin yang saling bersahutan mengeram lembut di bawah kakiku. Kusandarkan punggungku, mencoba menghilangkan lelah yang menggerayangi tubuhku. Hari ini, Ibu bilang jangan datang ke rumahnya Bu Prakoso. Aku disuruh istirahat dulu. Tetapi Ibu sendiri malah terus-terusan kerja. Membuat dirinya sendiri lelah hanya untuk kami. Begitu pula dengan Ayah, selalu bekerja dan bekerja, di hari minggu pun Ayah tetap bekerja, untuk membayar hutang kami yang telah menumpuk di Pak Mardji.
Aku mengeluarkan iPhone 5 yang pernah Sid berikan padaku. Kalau mau ditanya, ini adalah barang pertama yang paling mahal yang pernah kupunya. Ketika aku memperlihatkan iPhone ini kepada Ibu dan Ayah, mereka langsung histeris. Menyuruhku mengembalikannya pada Sid. Tetapi saat aku mengembalikan iPhone ini, Sid malah murka. Dia merasa terhina. Dia bilang, barang yang sudah dia berikan tidak boleh dikembalikan. Dia bilang lagi, lebih baik dibuang saja daripada dikembalikan padanya. Saat aku memberitahukan hal ini ke Ibu dan Ayah, akhirnya mereka menyuruhku untuk menyimpan dan menjaganya.
Ibu dan Ayah melarangku minta apa-apa dengan flocksku. Karena kata Ibu dan Ayah, meskipun mereka baik, kita tidak boleh memanfaatkannya. Kata-kata nasihat pun keluar dari mulut mereka. Selama masih bisa bekerja, lebih baik jangan menyusahkan orang lain. Maka daripada itulah aku selalu menutupi segala sesuatunya dari flocksku. Bahkan dari And. Mereka sudah berkali-kali ingin melihat rumahku—walau Zavan sebenarnya tidak terlalu berminat—tetapi aku selalu menolaknya. Aku tidak mau mereka prihatin dengan keadaanku.
Tivo membuka kaca jendela mobil, mengeluarkan asap rokok—aku sangat benci baunya, penuh zat berbahaya bernama Nikotin yang juga ditemani oleh Tar serta banyak Karbon Monoksida, membuat hidungku gatal-gatal, seperti ada upil besar yang lagi nyangkut di ujung hidungku. Tivo menjentikkan rokoknya, lalu kembali menghisapnya. Di antara kami berlima, yang merokok hanya Tivo dan Zavan. Aku tidak tahu apa enaknya merokok, menghisap lalu dikeluarkan, menghisap lagi, lalu dikeluarkan lagi. Tidak seru sama sekali, malah buat diri sendiri kena penyakit. Lebih seru kalau aku menghisap dedeknya Bagas, terus mengeluarkannya lagi dari mulutku.
Oh, tidak. Aku kedengaran seperti Zavan. Hentikan, pikiran kotor!
“Tiv, kita mau ngapain sih ke rumah kamu?” tanyaku saat mobil yang Zavan kendarai masuk ke dalam perumahan yang ada di daerah Menteng.
“Ntar gue jelasin di rumah gue aja, nih bentar lagi bakalan nyampe kok.” Tivo mempercepat laju mobilnya. Tak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah bergerbang tinggi yang terlihat sangat mewah. Tivo membunyikan klaksonnya, lalu gerbang tinggi tersebut terbuka dengan lebar.
Jadi orang kaya memang seru, tinggal membunyikan klakson langsung ada yang membukakan gerbang. Kalau aku, klakson aja nggak punya. Apalagi gerbang tinggi. Tetapi bukan berarti aku tidak bersyukur ya, aku malah bersyukur bisa menjadi seperti ini. Meskipun aku tidak keberatan kalau menjadi orang yang cukup berada. Agar adik-adikku tidak sengsara lagi karena kemiskinan kami ini.
“Ayo masuk dulu,” ajak Tivo sembari mematikan mobilnya. Tivo membuka pintu mbilnya lalu keluar dengan luwes. Aku melihat sebentar layar iPhone ku dan melihat Facebook Bagas sebentar. Yah, masih sama saja. Status terakhirnya dua bulan yang lalu. Itu pun isinya hanya: Only You. Euh, pasti itu untuk ceweknya. Cowok straight memang menjengkelkan.
Aku membuka pintu mobil, lalu menyusul Tivo yang kini sudah berada di depan pintu rumahnya. Aku mendongak, dan tertegun melihat rumah Tivo yang sangat-sangat-sangat mewah. Pantas saja keluarganya dinobatkan orang kedua terkaya di seluruh Asia Tenggara. Jika aku diberikan rumah seperti ini, aku pasti akan menolaknya. Terlalu besar. Kata Nenekku, kalau rumah yang terlalu besar itu banyak hantunya. Hii, pasti ada tante kunti deh.
Ketika aku dan Tivo sudah berada di dalam rumahnya, tiba-tiba kami berdua dikejutkan dengan seorang cowok yang saat ini sedang duduk dengan kaki tertekuk di sofa panjang berbulu lembut. Aku nggak tahu juga sih, apakah bulunya lembut atau tidak. Tapi kayaknya lembut deh, kayak bulu ketiaknya Kak Dan kalau tertiup angin. Meskipun baunya sungguh-sungguh mematikan. Untung saja Kak Dan lagi ada di Queensland sekarang. Dari dulu, aku sangat suka kalau diajak main oleh Kak Dan, dia punya humor yang sangat jenaka.
“Ngapain lo di sini?” tukas Tivo dengan nada menakutkan. Seperti saat Tante Suzana lagi mengikik kalau dia jadi Kuntilanak di filmnya yang berjudul, Bang, Satenya Satu Tusuk, Bang. Sampai sekarang aku masih ingat film itu. Film yang sangat menakutkan. Sampai kapanpun, aku tidak akan menontonnya lagi. Never ever.
Peter berdiri dari posisi duduknya, dia melangkah pelan tapi pasti menuju ke arahku dan Tivo. Peter melirikku sebentar, sebelum matanya yang sendu-sendu intens itu kembali ke wajah Tivo. “Cuma mau ketemu aja.” Dia sekarang sudah berdiri di hadapan kami, aku yang mengerti siapa itu Peter—yep, mantannya Tivo, sahabatku yang pendiam itu pernah menceritakannya padaku—aku mulai berjalan menjauh sedikit demi sedikit dari jangakuan mereka. Takut mengganggu apapun hal yang ingin mereka bicarakan.
“Sekarang udah ketemu kan,” ucap Tivo tajam. “Pulang sana!”
Aku tidak pernah mendengar Tivo menggunakan intonasi suara tinggi seperti ini. Aku mengerti apa yang terjadi di antara mereka berdua, aku tahu rahasia masa lalu mereka berdua. Aku mengerti rasa sakit Tivo dan Peter, tetapi siapa sih aku kalau mau ikut campur. Mendingan sekarang ikutin saran Sid aja deh. Ignore ignore ignore. Pura-pura nggak denger terus ngacir keluar. Atau ke dapurnya Tivo, cari es krim terus makan dengan lahap.
“Lo jangan kemana-mana Rev!” sentak Tivo saat aku baru saja mau melangkahkan kaki menjauh. Refleks aku langsung terdiam dengan kaku di tempatku berdiri.
“Kenapa lo selalu nyiksa gue karena hal itu terus?” lirih Peter sayu. Wajahnya yang biasanya sangat arogan, dengan alis yang selalu bertaut jahat, kayak Firdaus si Raja Licik itu, kini berubah seperti wajah Spongebob kalau sedang sedih karena turun jabatan. Atau saat dia tidak lulus dari mendapatkan SIM mengemudinya.
Tivo terkekeh, kayak Minion lagi sakit perut. “I never do that. Bukannya lo sendiri yang nyiksa diri lo itu.” Tivo memberengutkan wajahnya, ada sesuatu yang akan hadir di matanya. Semacam badai kesedihan. “Lagian kenapa lo nggak nyari yang lain dan berhenti ngerecoki hidup gue!?”
“Karena gue masih cinta sama lo, bodoh!” seru Peter berapi-api. Kalau ini dunia animasi, pasti kepala Peter bakalan muncul semacam kobaran api. Kayak Naruto saat lagi menggunakan si ekor sembilan.
Tivo tersentak karena terkejut, dia mundur selangkah dan menatap wajah Peter dengan tatapan yang sangat-sangat tidak bisa kubaca. “Jangan ngomong hal itu terus! Gue muak. Kenapa lo nggak bilang itu ke orang lain aja!?” Tivo menarik tanganku, dia menatapku sebentar lalu kembali menatap Peter yang masih memasang wajah Spongebob sedihnya. “Mendingan lo pulang. Nggak ada gunanya lo nge-bluff di depan gue. Karena sampai kapanpun—catet di otak lo—gue nggak akan pernah peduli.
Wajah Peter berubah lelah, seperti diriku karena urusan si Bagas ini. “You should believe me. Gue cinta sama lo, Tiv. Itu nggak cukup ya buat perbaiki kesalahan gue di masa lalu?”
Kepala Tivo tertunduk, dia mengeratkan pengangan tangannya di tanganku. “Nggak perlu ada yang diperbaiki. Lo sama gue udah tutup cerita.” Tivo kembali menarik tanganku, mengajakku ke arah tangga rumahnya.
“Kalo gitu kita buat yang baru, kali ini gue bakalan janji nggak akan ngulangin masa lalu.” Tetapi Tivo sudah berlari duluan naik ke lantai dua. Dia melepaskan tangannya di tanganku. Aku berdiri di tangga kedua, bingung dengan kejadian drama barusan. Aku menoleh ke arah Peter yang sedang menunduk dalam, kayak Nobita yang gagal dapat sesuatu dari kantongnya Doraemon. Aku mendesah lalu menghampiri Peter.
“Yang tabah ya, Peter.” Aku tersenyum menyemangati, yang dibalas oleh Peter dengan anggukan kepalanya. Dia mendesah lalu keluar dari rumah Tivo yang super besar ini.
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal sama sekali. Kupikir kisah cintaku akan lebih rumit dan penuh drama, ternyata kisah Tivo lebih parah dariku. Aku berbalik dan mulai menapaki tangga rumah Tivo yang jarang-jarang. Menatap seisi rumah Tivo yang sangat sepi. Kemana semua orang yang ada di ruma—tunggu sebentar! Sepi. Berarti… hiiii. Ntar ada tante Suzana keliaran di rumah ini. Tivo nyebelin. Kenapa pakek ninggalin aku sendirian sih. Mana aku nggak tahu yang mana lagi kamarnya.
Setelah berkeliling nggak jelas, akhirnya aku tahu yang mana kamarnya Tivo. Pintu bercat hitam, dengan tulisan FUCK OFF besar-besar itu pasti kamarnya. Siapapun bisa tahu kalau Tivo memang selalu diselimuti aura kegelapan. Tetapi Tivo orang yang baik. Sungguh, aku tidak bohong lho. Walaupun dia sangat pendiam dan tidak terlalu peduli dengan sekitarnya, Tivo itu sangat baik padaku dan yang lainnya. Dia pun sangat jarang membuat sesuatu yang menggemparkan sekolah, namun anehnya dia tetap saja populer.
Aku mengetuk pintu kamar Tivo pelan. cowok berwajah malas dan jutek itu membuka-kan aku pintu. Tatapannya tidak bisa dibaca. Dia kembali memasang wajah apatisnya. Aku mengerutkan keningku, ingin mencerna semua ekspresinya, namun tetap saja. Aku tidak bisa. Walaupun aku mendapatkan predikat best student di DIS, kalau masalah membaca wajah, tentang cinta dan mengendarai sesuatu, aku sangat payah. Malah bodoh. Yah, semua orang memang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Kamu mau bicarain hal apa sih?” tanyaku seraya duduk di atas kasurnya yang ternyata sangat empuk. Bahkan lebih empuk dari punya And dan Zavan.
“Gue mau buat sekolah kecil untuk anak-anak kolong jembatan,” ucap Tivo, membuatku terperanjat. Apa dia bilang tadi? Mau buat sekolah untuk anak-anak kolong jembatan? “Gue pusing mau kemanain uang si bajingan itu. Jadi… daripada gue pakek untuk hal nggak penting, lebih baik untuk hal itu.”
Aku mengernyitkan wajahku, merasa bingung dengan ceritanya. “Si bajingan ini siapa?”
Tivo mendengus malas. Biasanya dia sangat suka diam, tetapi sekarang tumben-tumbenan dia mau bicara banyak. “Bokap gue.”
“Berapa kali aku harus bilang ke kamu buat jangan manggil dia kayak gitu,” sahutku cepat. “Nggak baik lho Tiv. Dia kan sudah meninggal. Nanti Ayahmu nggak tenang di alam sana.”
Lagi-lagi Tivo mendengus. “Bagus dong. Kalau perlu siksa aja dia di neraka.”
“Maafin dia Tiv. Nggak baik dendam sama orang yang sudah meninggal.”
“Gue nggak peduli Rev,” sanggah Tivo. “Lagian gue ajak lo ke sini bukan buat bicarain si bajingan taik itu.” Tivo berjalan cepat menuju ke meja belajarnya yang super terlihat mahal. Dia mengambil sebuah buku kecil di atas meja itu. “Dua puluh juta buat modal kita bikin sekolah untuk anak-anak kolong jembatan cukup nggak Rev?” tanya Tivo sembari berjalan mendekatiku.
“Itu malah lebih dari cukup,” kataku. Melihat Tivo mencoret sesuatu di atas buku kecil yang ada di tangannya. “Memangnya kamu udah punya orang buat ngatur semua itu?”
Tivo mengangkat kepalanya, dia menatapku dengan pandangan datarnya. “Ya. Ntar orang-orang suruhan Nyokap gue bisa disuruh buat handle semuanya. Gue bawa lo ke sini itu buat ngomongin soal lo yang bakalan ajarin mereka. Di antara kami berlima kan, lo yang paling pinter. Tenang aja, gue bakalan gaji lo kok.”
Aku tersenyum, tidak percaya sesosok Tivo bisa berubah seperti ini. “Bukan masalah gajinya yang pengen aku omongin sekarang. Tapi tentang kamu yang tiba-tiba buka sekolah untuk anak-anak kolong jembatan ini. Kamu dapet ide dari siapa?”
“Nggak dapet dari mana-mana. Tiba-tiba kepikiran aja. Daripada uang si bajingan itu nggak dipakek-pakek, mendingan dipakek buat hal kayak gini. Sekalian biar dia diampuni dosa-dosanya.” Tivo merobek kertas yang ada di buku kecil tersebut. “Ntar lo bawa ini ke Bank ya. Cek ini buat narik uang tunai.”
Aku mengambil kertas itu dari tangan Tivo. Di kertas itu tertulis dua puluh juta. “Ih, nggak ah. Takut hilang kalau aku yang ambil Tiv. Kamu aja gih ya. Aku nggak berani. Mau aku taro mana juga uangnya.” Kukembalikan kertas itu kepada Tivo. Apa yang akan Ibu dan Ayahku katakan kalau anaknya tiba-tiba membawa pulang uang sebesar dua puluh juta. Uang yang paling banyak, yang pernah masuk ke dalam rumahku itu hanya lima juta. Itu pun tabungan Ibu dan Ayahku dari semenjak mereka lulus SMP.
“Tapi kan lo yang tau di mana letak strategisnya buat lo bisa ngajarin anak-anak itu. Uang itu buat lo beli perlengkapan. Sama buat semacam ngebangun kelas kecil-kecilan gitu. Ntar biar gue suruh pesuruhnya Nyokap buat yang ngerjain bangunannya. Lo tinggal beli-beli aja keperluan yang lo butuhin buat ngajar mereka.”
“Masalahnya Tiv, aku nggak berani pegang uang sebanyak ini. Gimana kalo dirampok orang?”
“Ya udah, lo minta aja lagi sama gue.”
Susah memang kalau ngomong sama orang yang beol uang kayak Tivo ini. Aku mendesah panjang, lalu menaruh kertas itu di atas pangkuan Tivo. “Kamu aja yang suruh seseorang buat ngatur semua perlengkapan buat ngajarin anak-anak itu. Aku nggak masalah kok kalau bentuknya jelek sekalipun. Selama mereka bisa belajar kan, itu udah bagus.”
“Kalo lo maunya gitu, oke deh.” Tivo berdiri lalu menaruh kembali buku kecil yang ada di tangannya ke atas meja belajarnya yang mahal tersebut. Dia kembali ke arahku, kedua tangannya terselip di dalam celana DIS nya. “Jadi… lo mau kan jadi salah satu pengajar di sekolah kecil-kecilan ini? Ngajarin mereka baca dan berhitung aja. Gue sama yang lain bakalan ikut bantu kok kalo lo sibuk di tempat lain.”
Aku mengernyitkan wajahku, lagi. Memang yang lain bakalan mau bantu? Bukannya aku meragukan ya, tapi…. And dan Vick pasti mau, Tivo juga. Tetapi Sid dan Zavan. Euh. No.
“Rev, lo mau kan?” tanya Tivo sekali lagi.
“Tentu dong aku mau.” Aku menyahut bersemangat. “Aku juga kasihan sama tetanggaku yang ada di kolong jembatan seberang rumahku. Mereka semua masih anak-anak, tapi pendidikannya kurang banget. Aku sama keluargaku untung masih bisa sekolah. Walaupun Ibu sama Ayah harus minjem uang sana-sini buat beliin kami buku.”
“Kalo gitu kita setuju ya.” Tivo mengulurkan tangannya padaku, yang kusambut dengan riang. “Seminggu gue gaji lo empat juta. Cukup nggak?”
Mataku melotot. Empat juta, gaji Ibuku di rumah Bu Prakoso aja cuman dua juta setengah. Itu pun sebulan. Ini empat juta seminggu. Padahal kerjaannya cuman ngajarin anak-anak baca dan berhitung aja. Ini terlalu berlebihan. “Banyak banget Tiv. Kan aku cuman ngajarin aja. Guru itu pekerjaan tanpa pamrih lho.” Meskipun di zaman sekarang kebanyakan dari guru-guru itu mengajar untuk mencari uang.
“Nggak apa-apa,” ujar Tivo, dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Anggep aja bonus.” Tivo berjalan cepat menuju ke pintu kamarnya. “Lo ngajar hari senin sampe kamis aja ya. Kelasnya kita mulai dari jam empat sore sampe setengah enam. Gimana menurut lo?” Aku hanya mengangguk untuk menyetujui ucapan Tivo. Di otakku, aku masih tidak percaya akan apa yang sedang Tivo bicarakan dan gaji yang aku terima selama seminggu aku mengajar. “Kita mulai buka sekolah itu sebulan lagi ya. Banyak hal yang harus gue siapin dulu sama suruhan-suruhan Nyokap.”
“Oki-doki!” seruku, aku tersenyum lalu mengikuti Tivo yang mulai melangkah keluar dari kamarnya. Ih, aura kamar Tivo juga penuh dengan kegelapan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada pocong yang keluar dari kamar mandinya itu? Atau Tuyul yang tiba-tiba muncul dari bawah kolong meja belajarnya? Atau-atau, Sundel bolong yang tiba-tiba keluar dari kolong tempat tidur Tivo yang besar ini? Hii, membayangkannya saja aku sudah merinding. Saatnya keluar dari sini, secepatnya.
“Gue anterin lo pulang sekarang,” kata Tivo, aku menutup pintu kamarnya. “Hal yang tadi lo denger—antara gue dan Peter—jangan dikasih tau siapapun. Bahkan sama yang lain. Oke?”
Aku mengangguk patuh. “Memangnya lo belum bisa maafin dia Tiv? Itukan bukan salahnya? Kasihan Peter, meskipun dia orang paling dicap nyebelin setelah Sid dan Zavan, tapi aku yakin dia memang tulus sama kamu.”
Tivo membalikkan badannya ke arahku, bibirnya terkatup rapat dan matanya memicing saat meneliti wajahku. Membuatku teringat akan salah satu musuhnya Samurai X yang rambutnya jambrik itu. “Gue lagi nggak mau ngomongin dia. So, don’t try, Rev!” Tivo kembali membalikkan badannya lalu berjalan cepat menuruni tangga. Aku menatap punggung Tivo yang bergerak-gerak gusar. Walaupun Tivo bilang dia tidak mau membicarakan tentang Peter, aku yakin dia ingin sekali mencurahkan isi hatinya. Haa, kisah cinta Tivo dan Peter memang lebih rumit dari kisahku sendiri.
***
Aku pernah bekerja sebelumnya. Tetapi secepat aku mendapatkan pekerjaanku, secepat itu juga aku dipecat dari kerjaan itu sendiri. Aku pernah jadi pelayan di Rumah Makan Padang. Tetapi setelah pekerjaanku selesai, aku dibayar lima puluh ribu lalu dipecat. Alasannya karena aku membuat beberapa pelayan yang ada di sana jadi tidak konsentrasi saat bekerja kalau aku ada di dekat-dekat mereka. Gara-gara wajahku, yang menurutku mengjekalkan ini.
Aku juga pernah bekerja di pencucian motor. Sorenya, aku memecat diriku sendiri. Kali ini karena bosnya yang ganjen itu. Megang-megang selangkanganku dengan kurang ajar. Secepat mungkin aku kabur dari sana, tidak akan pernah kembali lagi. Membayangkannya saja aku kembali jijik dengan momen itu. Setiap kali aku mengingat wajahnya, aku menjadi sangat jengkel padanya. Dan juga sangat jengkel dengan wajahku sendiri. Kenapa sih aku tidak dilahirkan dengan wajah biasa-biasa saja? Bukan berarti aku tidak berterima kasih, tetapi terkadang mempunyai wajah yang biasa-biasa saja hidupku akan lebih tenang.
Waktu itu, aku hampir mau melakukan tindakan kekanak-kanakkan. Aku berdiri di depan cermin yang ada di kamarku dan adik-adikku. Aku mengambil silet yang biasanya Ayahku gunakan untuk mencukur kumisnya kalau mulai tebal. Kutaruh silet itu di dekat pelipis mataku. Aku ingin menyayat sedikit saja wajahku, agar tidak terlalu berlebihan seperti ini. Namun saat aku baru saja ingin menggerakan silet itu, Ravilia masuk ke dalam kamar, membuatku terkejut dan mengurungkan niatku.
“Kakak mau ngapain?” tanyanya, dengan suara terkejut.
Aku berdeham, ingin menghilangkan gugup yang tiba-tiba hadir di dalam diriku. Sekarang aku baru sadar, hal yang tadi hampir kulakukan adalah tindakan super bodoh. “Ng-nggak mau ngapa-ngapain.” Namun suaraku bergetar saat berujar kepada adikku.
Ravilia maju selangkah, tangannya yang lebih kecil dariku meraih silet yang kupegang. “Kakak mau nyayat muka kakak sendiri?” tanya Ravilia, matanya nanar saat menatap mataku. “Kenapa kakak mau ngelakuin hal itu?” tanyanya lagi. “Kakak pikir, dengan nyayat muka kakak sendiri, semua masalah bakalan selesai?”
Wajahku menegang mendengar kata-kata adikku yang tajam, penuh amarah dan kesedihan. “Kakak—“ Tetapi aku tidak tahu harus berkata apa. Hal yang hampir kulakukan tadi memang tindakan senonoh, tindakan yang hanya dilakukan oleh orang-orang putus asa tidak punya otak. Aku malu, pada diriku sendiri dan adikku. Malu karena telah memperlihatkan sisi lemahku. Padahal selama ini adik-adikku selalu mendengarkan nasihatku.
“Hal-hal indah terjadi pada orang baik, Kak,” ujar Ravilia, dia menenggelamkan kepalanya di dadaku yang kurus. “Dan Kakak adalah salah satu orang baik itu.”
Aku membalas pelukan adikku, menunduk dalam-dalam untuk mencium rambutnya yang agak apak dan berbau daun kering. “Tetapi orang baik selalu kena cobaan dek. Kakak capek, keluarga kita capek kena hal itu terus. Kenapa Allah nggak buat keluarga kita hidup dalam ketenangan aja? Emang ada yang salah ya di keluarga kita?”
Ravilia memundurkan kepalanya, menatapku dengan tatapan sayunya. “Allah masih sayang sama kita, makanya kita dikasih cobaan. Orang-orang yang dikasih cobaan sama Allah itu tandanya dia unik, sehingga Allah akan menandai kita sebagai salah satu umat yang paling dia sayang. Dan Allah akan makin sayang sama kita, setelah kita bisa menghadapi cobaannya Kak. Allah itu adil, semakin besar cobaan yang kita dapat, semakin besar rasa sayang yang akan dia kasih ke kita.”
Kali ini, aku malah mendapatkan nasihat dari adikku sendiri. Aku kembali memeluk adikku, mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari rambutnya. Apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak mempunyai saudara-saudara seperti mereka. Kini aku mengerti, bersyukur adalah hal yang paling penting. Tidak perlu jadi raja, lalu pumped up kicks to everything I see. Toh, semuanya akan kembali lagi kepada-Nya. Hari ini aku benar-benar belajar, dari sosok adikku yang cantik dengan caranya sendiri.
Maka daripada itulah, sekarang aku lebih bisa menerima keadaanku dan cobaan-cobaan yang sering menerpaku dan keluargaku. Tidak ada gunanya memgeluh, kata Ibu, itu tidak akan membuat masalah kita terselesaikan. Malah akan menumpuk dan membuat masalah yang lebih rumit lagi. Ibu dan Ayah telah melarangku untuk bekerja, mereka bilang, tugasku hanyalah sekolah dan sekolah. Mengejar cita-cita yang kuimpikan. Ibu dan Ayah tahu kalau aku mau menjadi seorang Dokter. Cita-cita klise memang, tapi itulah impianku.
Kata Ayah, jika kita memimpikan sesuatu yang baik untuk masa depan, kita harus mengejarnya. Kata Ibu, aku dan adik-adikku harus mengejar impian sampai setinggi langit.
Ibu dan Ayah pernah berucap seperti ini pada kami. “Jika Ibu, Ayah dan Kak Raffi hanya bisa mencapai langit-langit rumah, kalian bertujuh harus bisa mencapai langit yang sesungguhnya.” Dan sampai sekarang perkataan itu kuterpakan di dalam diriku. Belajar dan belajar, mencari beasiswa untuk meringankan beban keluargaku.
Karena Ibu tidak membolehkanku membantunya di rumah Bu Prakoso hari ini, dan pekerjaanku di rumah sudah selesai, aku ingin mengunjungi Kakakku. Yang kabarnya belum kudengar beberapa minggu ini. Kakakku satu itu memang sangat jarang memberitahukan kabarnya pada kami, membuatku kuatir setengah mati. Meski kata Kakakku yang harus lebih dikuatirkan itu diriku. Karena aku itu seperti magnet yang menarik mata orang jahat untuk menggangguku. Mana badanku lemah lagi. Aku pernah belajar karate dari And, tapi setelah selesai latihan, badanku seakan-akan remuk. Dan itu sudah cukup untukku buat ikut latihan karate lagi. Nggak deh, mendingan maraton nonton filmnya Tante Suzana aja.
“Lho, Rev, ngapain di sini?” tanya Kak Soni, saat aku sudah sampai di parkiran pasar. Wajah Kak Soni itu kayak salah satu Kakak kelasku yang ada di klub Buku. Garis rahangnya itu agak tirus, tidak terlalu tampan tetapi otot lengannya itu besar. Seperti salah satu anak yang ada di Klub Rugby. Mungkin karena sering dorong-dorong motor kali ya. Makanya otot lengannya bisa sebesar itu.
“Mau ketemu sama Kak Raffi,” ujarku sambil memperhatikan wajah Kak Soni lekat-lekat. Seperti ada sesuatu yang berubah di wajahnya, tetapi apa ya. Kenapa aku payah sekali jika membaca wajah orang? “Kakak apa kabar? Kak Raffi mana?”
“Kabar baik kok. Lihat nih badan gue, masih sehat walalfiat.” Kak Soni tersenyum lebar, membuat wajahnya yang tidak terlalu tampan menjadi tampan. “Raffi mungkin lagi—“
“Gue di sini kok,” ujar Kak Raffi sambil berjalan mendekati kami. Wajah Kakakku itu seperti wajahku, tetapi versi lebih dewasa dan lebih keras. Badannya besar, seperti And, tetapi lebih besar sedikit lagi. Dia tinggi, tidak sepertiku yang hanya seratus enam puluh lima centimeter. Rambutnya disisir ke belakang, mirip rambut Tivo. Tetapi lebih panjang, dan agak kurang rapi. “Ada apa Rev?” tanya Kak Raffi saat dia sudah berdiri di hadapanku.
“Mau nanya kabar Kakak sama ada yang pengen aku omongin.”
Kak Raffi mengernyitkan keningnya, jika dia melakukan tindakan itu, aku seperti melihat diriku sendiri. “Kakak baik-baik aja kok. Emangnya apa yang pengen Revie omongin?”
“Euh, ngomongnya nggak di sini Kak. Soalnya hal yang pengen aku omongin ke Kakak ini agak bersifat… pribadi.” Aku menarik tangan Kakakku yang kokoh. Aku melirik sebentar ke Kak Soni dan tersenyum simpul.
“Ya udah, ngomongnya di pos tempat Kakak dan Soni biasanya istirahat aja.”
Kami berjalan cepat menuju ke sebuah ruangan kecil, yang mirip seperti pos Satpam yang ada di belakang DIS. Kak Raffi membukakanku pintu lalu menyuruhku masuk. Dia menunagkan aku satu gelas air putih, lalu menyerahkannya padaku. Aku menatap wajah Kakakku yang memperhatikanku dengan dahi berkerut. Menungguku untuk membuka mulut, tetapi aku tidak tahu harus mulai darimana. Aku bingung ingin mengatakan apa terlebih dahulu padanya.
“Jadi nggak ngomongnya dek?” tanya Kak Raffi, membuatku tersentak dari lamunanku.
Aku menggaruk daguku, menaruh gelas yang diberikan Kakakku tadi di dekat kakiku. “Aku mau ngomongin… hmmm. Gimana ya mulainya, takutnya ntar Kakak nggak akan ngerti dengan apa yang mau aku omongin ini.” Aku menatap wajah Kak Raffi dengan hati-hati, melihat perubahan yang mungkin terjadi di wajahnya.
“Walopun Kakak cuman lulusan SMP, kalo Revie ngomong dengan jelas, pasti Kakak bakalan ngerti kok Revie bakalan ngomong apa.” Kak Raffi menatap mataku dalam-dalam, dia menaruh kedua tangannya di dadanya yang bidang. Aku meringiskan wajahku, karena Kak Raffi malah salah paham dengan apa yang kukatakan tadi.
“Bukan Kak, maksudku itu bukan Kakak nggak akan ngerti ucapanku. Tapi inti dari ucapanku itu, apakah Kakak bakalan ngerti aku setelah Kakak ngedenger ucapanku nanti.” Aku kembali melihat wajah Kak Raffi, melihat perubahan wajahnya dari datar yang langsung berubah bingung. Dia menelengkan kepalanya dan kembali mengerutkan keningnya. “Kakak dengerin baik-baik aja ya penjelasanku nanti. Semoga habis Kakak tau siapa aku yang sebenernya, Kakak nggak akan menjauh.”
Kak Raffi menghela nafas panjang. “Nggak dek, ngapain Kakak jauhin kamu.” Dia bernajak dari tempat duduknya, lalu duduk di sebelahku. “Emang kamu mau ngomongin apaan sih?”
Aku menarik nafas panjang-panjang. Jantungku yang semula hanya berdegup perlahan sekarang malah menghentak-hentak. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat wajah Kak Raffi yang diam dalam kebingungan. “Aku… nggak suka sama cewek.” Nah, aku akhirnya sudah mengatakannya. Dari dulu aku selalu ingin memberitahukan hal ini pada Ibu dan Ayah. Serta Kak Raffi juga, tapi dulu aku belum punya keberanian. Sekarang sudah saatnya jujur pada salah satu anggota keluargaku.
“Jadinya… kamu suka sama perempuan gitu?” tanya Kak Raffi, malah memutar balikan kembali kata-kataku. Ck! Sudah kuduga Kak Raffi nggak akan mengerti.
“Bukan itu maksud—“
“Kakak ngerti kok,” potongnya cepat. “Jadi… kamu sukanya sama cowok?” Kak Raffi memperhatikan wajahku lekat-lekat, alisnya bertaut menjadi satu.
“Iya. Tapi cuman satu cowok aja kok yang aku suka. Nggak ada yang lain lagi selain dia.”
Alis Kak Raffi makin bertaut. “Oh, ya?” tanya Kak Raffi, mencoba menyembunyikan rasa keterkejutannya atas coming out yang barusan kuberitahukan padanya. “Siapa emang cowok yang Revie suka?” tanya Kak Raffi, tangannya bergerak-gerak aneh di sampingku. Aku menyipitkan mataku, melihat ada sesuatu yang berubah di rona wajahnya. Kenapa tiba-tiba Kak Raffi juga ikut-ikutan gugup.
“Anaknya Bu Prakoso Kak.” Mata Kak Raffi melotot. “Aku suka sama Bagas.”
Mata Kak Raffi yang tadi melotot, kini berangsur-angsur kembali normal. Dia menatapku dengan pandangan aneh. “Bagas… yang mukanya kayak salah satu karakter di kartun yang sering kamu tonton sama adek-adek. Yang warnanya kuning terus tingkahnya kayak orang bego gitu. Siapa sih namanya?”
“Spongebob?” ujarku, yang langsung Kak Raffi setujui dengan anggukan kepalanya. “Jadi… maksud Kakak, Bagas mirip sama Squidward gitu?”
“Nah, itu dia!” seru Kak Raffi cepat. “Kamu suka sama kembarannya Squidward ini?”
Aku memukul lengan Kakakku, meski aku tahu pukulanku tidak akan membuatnya merasa kesakitan. “Dia nggak mirip Squidward tau!” Aku mengerucutkan bibirku. Kak Raffi hanya tertawa lalu menarik bibir bawahku yang kumajukan karena sedang pura-pura ngambek. “Mukanya Bagas itu kayak sahabat deketnya Naruto tau!”
Wajah Kak Raffi mengernyit lagi. “Emang siapa sahabat deketnya Naruto?”
“Itu si Sasuke. Nah, mukanya Bagas itu kayak Sasuke, tapi dalam versi Indonesia. Sasuke itukan dingin, terus gagah, selalu bisa buat semua cewek jatuh cinta dengan wajahnya. Kayak gitu juga Bagas.” Aku menggaruk mulutku yang tiba-tiba gatal. “Tangan Kakak banyak kuman tuh, buat bibirku jadi gatel-gatel gini.”
Kak Raffi malah langsung menempelkan seluruh telapak tangannya di mulutku. Aku langsung memberontak dan memukul lengannya keras. Dia hanya tertawa lalu menarik lengan bajuku, menyuruhku duduk di sampingnya lagi. “Dia mah bukan dingin dek, tapi kaku. Kayak kayu yang mau dibakar. Diem aja kerjaannya. Kayak orang autis.” Kak Raffi menyandarkan tubuhnya di dekatku, aku mendorongnya pelan, jengkel karena dia menghina Bagas. Dasar Kakak menyebalkan!
“Dia nggak autis, dia itu memang pendiam orangnya. Diakan nggak suka ngomong kalo nggak ada yang pengen dia omongin.” Aku menaruh kedua tanganku di pinggang, menatap wajah Kak Raffi yang sedang tertawa dengan tatapan sengit.
“Iya-iya, maaf. Ya olloh, gitu aja marah.” Kak Raffi menarik badan ringkihku lalu memelukku ke dalam pelukannya yang hangat. Wangi Kak Raffi itu kayak wangi beras, harum, dan membuatku merasa tenang. “Kamu sejak kapan suka sama Bagas? Kakak pikir kamu sukanya malah sama Aldrian itu. Secara kan, kalian suka keluar bareng. Kakak ngeduganya kamu malah suka sama dia.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Euh, aku suka sama Bagas itu udah lama. Dari semenjak pertama kali Ibu kerja di rumahnya Bu Prakoso.” Aku ingin saja memberitahukan juga perihal ciuman yang kulakukan pada Bagas ke Kak Raffi, tapi kuurungkan niatku. Toh, Kak Raffi tidak perlu tahu juga kan. “Kalo suka sama Kak Al sih, mungkin aku suka. Tapi cuman suka sebatas jadi kakak aja. Peganti Kak Raffi kalo Kakak nggak jenguk-jenguk aku dan yang lain di rumah.”
“Kakak kan sibuk cari duit dek,” ucap Kak Raffi defensif. “Kalo Kakak ada waktu, pasti Kakak pulang buat jenguk kalian kok.”
“Iya-iya, aku ngerti kok.” Aku berdiri, berencana ingin ke rumahnya Bu Prakoso. Meski Ibu melarangku datang, aku akan tetap ke sana. Ingin membantu Ibu sama mengambil bonusku, menatap Bagas yang pasti sedang melamun di balkon kamarnya. Setiap sore, dia pasti duduk di sana, menopang dagu dan menatap langit. Atau terkadang sedang memotret-motret nggak jelas. Aku suka melihat Bagas jika sedang berkutat dengan kamernya, matanya akan setengah terbuka, tatapannya sangat serius, seakan-akan hal yang sedang dia lakukan adalah hal yang penting.
“Dek,” panggil Kak Raffi, saat aku baru saja ingin membuka pintu pos tempat Kakakku dan Kak Soni istirahat. “Kamu nggak suka sama cewek, bukan karena ikut-ikutan Kakak kan?”
Aku berbalik, dan menatap wajah Kakakku yang berubah resah. Badannya yang masih menyandar di dinding, bergeming kaku. “Maksud Kakak apa?” tanyaku, kembali duduk di sampingnya. Kak Raffi menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi.
“Maksud Kakak, kamu nggak niru Kakakkan, nggak suka sama cewek?” Kak Raffi menggeser badannya ke dekatku, dia menaruh tangannya yang kokoh itu di pundakku. Aku mengernyitkan wajahku karena tidak mengerti. Namun saat aku mencernanya baik-baik, kini aku paham apa yang dia maksud. Oh, jadi Kak Raffi juga—HAH! Tidak mungkin, masa Kak Raffi juga sepertiku sih? Aku menggeser tubuhku darinya kemudian menatap wajahnya yang masih resah tersebut.
“Jadi… Kakak juga kayak aku gitu?” tanyaku masih tidak percaya. “Kakak juga suka sama cowok?”
Kak Raffi menggeleng cepat, rambutnya bergoyang-goyang saat dia melakukan hal itu. “Kakak nggak suka sama cowok,” ujarnya, membuatku menghembuskan nafas lega. “Kakak cuman suka sama laki-laki.”
Aku memutar bola mataku, meniru gaya Zavan kalau dia sedang diceramahi oleh guru karena dia mendengarkan lagu saat pelajaran sedang berlangsung. “Sama aja kali, Kak.” Aku menggeser badanku ke depan Kak Raffi. Dia tersenyum masygul, membiarkan sudut bibirnya menekuk ke atas. “Jadi, kita berdua sama-sama… gay dong?” Aku berujar dengan nada takjub. “Ayah sama Ibu bakalan bilang apa kalo mereka tau kita berdua sama-sama nggak suka sama cewek?”
Kak Raffi menaikkan pundaknya, kepalanya kembali menggeleng, tidak bisa membayangkan reaksi yang akan muncul di wajah Ayah dan Ibuku. Aku pun juga begitu. Meskipun Ayah dan Ibu menerima kami, pasti di dalam hatinya ada rasa kecewa. “Kakak juga nggak ada niatan sih dek buat ngasih tau mereka. Kan Revie tau, Ayah itu orangnya keras, dan Kakak adalah pedoman untuk adik-adik Kakak. Ngebayanginnya aja udah ngeri banget.”
Aku mengangguk setuju. “Iya sih. Ya udah deh Kak. Kita nggak usah pikirin. Jalanin aja dulu semuanya. Semoga semuanya bakalan baik-baik aja Kak.” Aku merangkul pundak Kakakku yang lebar, membiarkan keresahan yang dia rasakan menguar di udara dan menghilang. Kak Raffi menepuk punggungku pelan. “Aku masih nggak percaya lho kalo Kakak nggak suka cewek juga kayak aku?”
“Yee, Kakak juga nggak percaya kalo kamu ikut-ikutan Kakak buat nggak suka cewek.”
“Enak aja, Kakak tuh yang ikut-ikutan aku.”
“Yang lahir duluan siapa?”
“Yang jatuh cinta duluan sama cowok siapa?”
Kak Raffi mendengus, raut wajahnya berubah jenaka. “Kita lagi ngomongin apa sih sebenernya? Kok kedengerannya aneh banget ya?”
Aku tertawa dan duduk di atas pangkuan Kak Raffi. “Jadi… Kakak pernah pacaran sama cowok belum?” tanyaku, sambil memperhatikan rahangnya yang runcing. “Oh, jangan bilang kalo Kak Soni itu pacarnya Kakak?”
Kak Raffi menjitak kepalaku. “Enak aja. Bukanlah. Soni itu ya sahabat Kakak. Kamu ini ada-ada aja. Kakak sih sekarang masih pacaran sama cewek.”
“Lho, katanya nggak suka sama cewek?”
“Nggak suka bukan berarti kita nggak nyoba buat pacaran sama mereka kan? Siapa tahu mereka bisa ngebuat Kakak jatuh cinta dan ngerasain hal yang kayak Kakak rasain ke—“ Kak Raffi menggantung ucapannya. Dia menurunkanku dari pangkuan dan menatap mataku dalam-dalam. “Revie nggak perlu tau lah siapa cowok yang Kakak suka.” Kak Raffi lalu berdiri, dia menarik tanganku untuk membantuku berdiri juga. “Nanti juga Revie tau siapa cowok yang Kakak suka.”
“Kakak mah jahat, aku udah cerita siapa yang aku suka, tapi Kakak nggak mau cerita siapa cowok beruntung yang Kakak suka.” Aku memberengutkan wajahku lagi, kulangkahkan kakiku menuju ke pintu keluar pos. “Ya udah deh, aku mau ke rumahnya Bu Prakoso dulu. Mau bantuin Ibu di sana. Kasihan Ibu kalo nggak dibantuin.”
“Kakak anterin deh kamu ke sana. Pasar juga tenang kok kalau jam segini. Preman-preman seperjuangan bareng Kakak pasti juga ikut ngejagain.” Kak Raffi mengikuti langkahku yang panjang. “Kakak nggak mau ngebiarin kamu keliaran sendirian di jalanan. Kamu itu bisa narik orang jahat. Soalnya mukamu itu muka penarik orang jahat mendekat.” Aku hanya terus memasang wajah cemberutku, yang Kak Raffi komentari dengan tawanya. Sial!
***
Kami sampai di rumah keluarga Prakoso saat matahari baru saja ingin terbenam di ufuk barat. Pak Sudar—supir pribadi keluarga Prakoso—membukakan kami gerbang. Kak Raffi ingin bertemu Ibu sebentar, ada yang ingin dia bicarakan makanya Kak Raffi ikut masuk bersamaku. Saat aku sudah berada di perkarangan yang menuju ke teras rumah keluarga Prakoso, Kak Al tiba-tiba keluar dari mobil Porsche nya. Dia tersenyum lebar saat melihatku.
“Hai, Rev,” sapanya, saat aku melangkahkan kakiku untuk menyapanya juga. “Hai, juga Raf.” Kak Raffi yang berdiri di sebelahku menegang, matanya yang biasanya selalu fokus, berubah aneh. Seperti ada… cinta di sana. Cinta yang dia tunjukkan untuk Kak Al. HUH! Cinta? Tidak mungkin, tidak mungkin.
“Hai, juga Kak,” sapaku masih bingung dengan situasi yang terjadi di antara kami.
“Ayo, masuk!” ajak Kak Al, saat awkward moment terjadi di antara kami bertiga. Aku baru saja ingin melangkahkan kakiku saat Kak Al menyerukan suaranya. “Bagas, udah mau maghrib, ayo masuk, shalat. Jangan foto hal-hal nggak jelas terus di sana.”
Aku mengikuti pandangan Kak Al. Bagas yang sedang sibuk dengan kameranya langsung menoleh ke arah kami. Matanya yang hitam itu terbelalak saat melihat… Kak Raffi. Dia menundukkan kepalanya dan berjalan cepat melewati kami begitu saja. Saat dia menoleh sekali lagi ke arah Kak Raffi, aku tahu pandangan apa itu. Oh, tidak! Bagas tidak mungkin…
Aku mencintai Bagas, Bagas mencintai Kak Raffi, Kak Raffi mencintai Kak Al, dan Kak Al mencintaiku. Ya Tuhan, kisah cintaku ternyata memang lebih rumit dari punya Tivo. Darn it!
–Ups, Bersambung to Chapter 3–