Amnesia


hallo, gaes! Udah lama banget gue nggak muncul. Maaf banget yaa… bukannya gue nggak mau ngelanjutin Rayan dan Fauzan, tapi memang belum sempet aja. Ada banyak kerjaan yang menghasilkan uang, yang harus gue kerjain terlebih dahulu, (biar gimanapun kan perut aye perlu diisi). Jadilah gue pending tuh cerita geretongan.

Sekarang gue muncul bersamaan dengan cerita impoten milik gue. Kenapa gue bilang impoten? karena gue aja yang nulisnya nggak nemuin di mana klimaksnya. Tapi gue berharap ini bisa ngehibur barangkali bisa jadi bahan nyiyiran kalian. Yekan?

See you nanti ya, Gaes. di Meet And Greet Jakarta. Lo pada datengkan? nggak dateng gak ada updetan Rayan Fauzan, lho! hahahaha (Ketawa jahat).

 

 

Amnesia

 

 

Angin dengan kasarnya menerpa wajah gue. Malam semakin larut dan rasa rindu itu kembali hadir, mendesak kemudian memberikan rasa sesak yang teramat sangat.

Sekarang, gue berharap jadi penderita amnesia.

“Dev, ikannya udah selesai dibakar tuh, sini cepetan!” teriak seorang cowok dari arah hotel.

“Selow,” sahut gue setelah mengacungkan tangan dan berdahem agar suara gue nggak terdengar melankolis.

Lalu gue turunkan kembali tangan gue yang teracung ke udara setelah tadi gue angkat untuk memberi isyarat kepada Rian kalau gue akan menyusul secepatnya. Walau nyatanya, gue nggak sama sekali tertarik untuk bergabung bersama para sahabat gue.

Buat gue, liburan kali ini nggak sama sekali spesial. Sedikit menghibur dan lebih banyak nambah galaunya. Karena, pantai ini mengingatkan gue dengan seseorang yang sampai saat ini belum bisa gue lupain.

Terlalu banyak kenangan di tempat ini, harapan yang pernah gue rapal bersama dia di sini. Dan kembali ke sini benar-benar ngebuat gue ngerasa kalau gue nggak sedang baik-baik aja.

Kembali ke tempat ini, ngebuat gue serasa seorang bajak laut yang mendapatkan peti harta karun kosong, hanya peti harta karun yang gue dapat bukan isinya. Padahal, semua orang tahu yang di cari para bajak laut adalah harta di dalam peti tersebut bukan petinya.

Angin pantai kembali menerpa wajah gue dengan kasar, hembusannya terasa dingin saat menyentuh kulit gue. Jiwa gue serasa tersapu angin, memasuki lorong waktu yang tercipta tiba-tiba, bergelung di dalamnya kemudian gue kembali muncul dengan sebuah harapan hampa.

***

Top, top, top, ih tungguin dong!!!” runtuk bot gue geram karena daritadi dia nggak bisa-bisa mengejar gue.

“Bodo ah! Aku capek!” teriaknya putus asa.

Gue berhenti berlari lalu berbalik badan ke arah cowok gue yang unyu-nya kebangetan. Walaupun ini malam hari, gue bisa melihat wajahnya yang putih mulus itu memerah karena kelelahan sehabis mengejar gue.

Dengan nafas yang tersengal-sengal gue berlari kecil ke arahnya, pasir pantai Anyer serasa menggelitik telapak kaki gue—kami lari tanpa alas kaki. Senyum di bibir gue, gue pasang sesempurna mungkin untuk meminimalisir kemarahan cowok gue ini. Ya know lha, bot itukan ngambekan, kadang gue nggak ngerti mereka bisa ngambek banget cuma gara-gara masalah yang sepele—buat gue.

“Kamu tuh, payah deh, baru diajak lari sebentar aja udah ngos-ngosan.” Gue gapai tubuh bot gue yang twink itu, lalu gue usap keringatnya dengan bagian bawah kaus tanpa lengan gue. Dia tetap diam aja, mukanya dibuat datar. Sialnya, gue adalah orang yang bego dalam urusan membaca hati seseorang.

“Jangan ngambek dong, San.” Gue usap kepalanya yang basah oleh keringat. Tetapi Sandi tetap diam, malah sekarang dia nggak natap gue sama sekali, dia malah mematut ombak yang geraknya gitu-gitu aja. Ngeselin bangetkan?!

“Aku haus!” seloronya jutek sambil sesekali memandangi kaki kirinya. Gue tersenyum, seenggaknya dia udah mau ngomong sama gue, biasanya kalau bot gue ngambek itu bisa satu sampai dua jam baru deh dia mau ngomong sama gue, itupun harus gue rayu-rayu pakai untaian kata punyanya para pujangga. Tsah!

“Yaudah, pulang ke hotel, yuk,” ajak gue sambil melangkahkan kaki.

Entah di langkah keberapa gue baru sadar kalau Sandi nggak ikut melangkah di belakang gue.

“Katanya haus? Ayo pulang.” Mati-matian gue nahan rasa kesal yang mulai hidup. Gue suka si kalau Sandi manja sama gue, tapi gue juga suka gondok sendiri kalau dia neko-neko.

“Capek tau! Aku tuh udah teriak-teriak dari ujung sana supaya kamu berenti karena kaki aku kena karang! Nih! Berdarahkan? Nggak pekak banget sih kamu!” gue mengerenyit malu. Untuk beberapa saat gue cuma bisa garuk-garuk bagian belakang kepala gue doang.

Gue beranikan diri untuk mengulurkan tangan ke kaki kirinya yang tadi dia angkat, ada luka robek—kalo buat gue, itu luka yang nggak seberapa—di sana. “Sakit, ya?” tanya gue dengan muka serba salah sambil melihat luka—yang nggak seberapa itu.

Gue berjongkok memunggunginya. “Naik, aku gendong,” pinta gue pelan. Nggak lama gue ngerasa beban gue bertambah. Sandi naik di punggung gue, kedua kakinya melingkar di bagian tengah tubuh gue lalu tangannya dikalungkan di leher gue.

“Aku minta maaf ya,” ucap gue sambil mengangkat tubuh Sandi yang sedikit melorot dari gendongan gue. Dia mengangguk di balik punggung gue, pelukannya di tubuh gue pun menggerat. Gue menghela nafas lega sambil melangkah jenjang.

Top, capek nggak? Kalau capek turunin aku aja, aku bisa jalan sendiri kok,” bisik Sandi pelan di telinga gue. Suaranya yang lembut itu seakan-akan beradu merdu dengan deburan ombak.

Gue menggeleng mantap. “Sampai Bogor juga kuat!” seloroh gue sambil tertawa. Harapan gue terkabul, suasana hati cowok gue membaik. Dia tertawa kecil sambil mengeratkan pelukkannya.

Gue angkat lagi tubuh Sandi yang terasa merosot dari gendongan gue, gue tarik nafas dalam-dalam lalu melangkah cepat. Berlari cukup kencang dengan Sandi yang masih berada di punggung gue. Dia tertawa hebat, satu tangannya di angkat ke udara menikmati malam di pantai ini dari atas tubuh gue.

Lari gue melambat, ternyata tadi gue lari sangat jauh dari hotel. Gue udah merasa lelah tapi hotel yang memiliki sembilan lantai itu pun belum kelihatan. Fark banget! Masa sih gue harus bilang sama cowok gue kalau gue capek? Mau ditaro mana penis gue?

Top, berenti!” pinta Sandi mendadak.

“Huh?” respon gue sambil menengok ke arahnya. Dari ekor mata gue, gue melihat Sandi celingukkan seperti mencari seseuatu.

Fuck yeah!

Yang Sandi cari itu bibir gue, dia memagut gue setelah memastikan di sekeliling kami nggak ada orang. Yeah, gue tahu banget cowok gue yang unyu ini. Kebiasaannya yang suka curi cium di sembarang tempat, yang nggak pernah mau berdiri jauh dari gue di mana aja. Yang selalu ngambek kalo gue nyentuh ponsel gue saat berudaan bareng dia.

Bibirnya yang kenyal menyesap lembut bibir gue yang tebal. Yang gue rasain sekarang cuma… sesuatu yang hangat menyelimuti hati gue, menjaga cinta gue untuknya agar kekal selamanya. Itu sebuah harapan.

Gue masih nggak percaya kalau sekarang gue sangat cinta cowok pertama gue ini. Tentu karena dia punya wajah yang unyu-nya kebangetan dan fisik yang sesuai selera gue, banget! Sikapnya yang manja, pendengar yang baik dan ceria.

Padahal, awalnya gue cuma mau main-main sama dia, mau cari fun. Tetapi hati gue berkhianat, mengingkari keinginan gue dan malah membuat gue jatuh cinta sama cowok twink ini.

I love you so much, top,” rapalnya setelah pagutan kami berhenti.

“Aku nggak,” jawab gue dengan ekspresi yang dibuat-buat.

“Auw!!!” jerit gue saat hidung mancung gue dicubit tanpa ampun. Gue geleng-gelengkan kepala gue agar cubitannya lepas, sialnya itu nggak sama sekali berhasil. Sandi tertawa kejam layaknya Bellatrix Lestrage setelah membunuh Sirius Black, tanpa belas kasih.

“Au nga ica napas, cut!” kata gue sumbang. Tetapi, yang gue dapat hanyalah tawa Sandi kembali.

Sampai akhirnya gue limbung dan ombak menerjang tubuh kami. Gue bener-bener nggak sadar kalau gue bergerak ke arah bibir pantai. Gue buru oksigen banyak-banyak saat kepala gue menyembul, sedangkan Sandi terus tertawa bahagia di pinggir pantai. Tubuhnya rebah nyaman di sana, amat menggoda.

Shit! fucking shit! kalau ini bukan Indonesia, gue udah make out di sini sekarang juga deh!

Sandi menjulurkan lidahnya ke arah gue, membuat wajah tirusnya itu terlihat amat menggemaskan.

Harusnya sekarang gue ada di kamar! Jerit gue dalam hati saat gue ngerasa Devan junior bangkit dari tidurnya.

“Ampun! Ampun! Top, udah, geli! Ampun!” jeritnya geli saat gue terkam tubuh Sandi dan gue kelitiki habis-habisan. Pembalasan yang cukup setimpal, karena memang Sandi paling nggak kuat dikelitikin. Terkahir kali dia gue kelitikin itu saat perayaan enam bulannya jadian kami. Sialnya, Sandi ngambek gara-gara gue ngelitikinnya berlebihan.

Kami berhenti bercanda saat merasa lelah berdigjaya. Tetapi gue masih di posisi gue—berada di atas tubuh Sandi. Ombak kecil membuat basah kembali kaki kami. Bukan hanya itu, ombak kecil tadi seakan-akan mengantarkan perasaan menggebu dalam diri gue yang harus segera disalurkan.

Gue lirik sekitar, tetapi sebelum gue kembali menatap Sandi yang berada di bawah tubuh gue, ke dua tangan kecil Sandi menelusup ke rambut gue, menarik wajah gue mendekat ke kepalanya yang rebah di atas pasir. Nafas kami bertemu dan bibir kami saling memagut. Seolah-olah nggak peduli dengan keadaan.

Pepatah, benar! Kadang cinta memang membuat pemiliknya lupa daratan.

Gue sesap dalam-dalam bibir cowok gue yang selalu terasa manis itu lalu gue lepas perlahan. Gue cium keningnya lalu dia cium pipi gue dan kami rebah bersisian. Membiarkan alam menyaksikan keromantisan kami.

Rebah bersisian dengan sapuan ombak kecil yang sesekali membasahi kaki kami. Menatap bulan yang nggak bulat sempurna namun lebih indah dari bulan purnama. Bersamanya, gue selalu merasa semuanya baik, semuanya istimewa. Sandi selalu membuat gue lupa segalanya, kecuali satu hal! Cinta gue ke dia.

“Kamu punya harapan untuk hubungan ini?” tanya Sandi dengan suara yang mendayu.

Gue mengangguk. Kemudian gue mendengar Sandi bergumam kecil, merapalkan semua harapannya tentang hubungan kami. Bintang berkelip sangat indah di atas sana, seakan-akan langit sangat dekat, keindahannya bisa gue jamah hanya dengan mengulurkan tangan gue. Rasanya, gue bisa sentuh bulan dan petik bintang jika gue mau.

Gue menoleh ke kanan dan mendapati Sandi sedang tersenyum lembut ke gue. Detik itu juga, gue yakin kenangan malam ini tersimpan baik di dalam kepala dan hati gue. Mengendap dan jadi bagian terpenting hidup gue.

Kalaupun nggak, gue berharap kenangan ini akan selalu ada.

***

“Dev?” panggil seseorang. Gue menoleh perlahan, Rian.

“Eh! Ayo Yan, anak-anak udah pada nungguin gue kan?” kata gue seraya bangkit dan menepuk-nepuk bokong gue supaya pasir-pasir yang menempel di denim gue luruh. Kalau bisa, semua kenangan gue bersama… Sandi, juga bisa ikut luruh.

Buat gue, memori lampau yang terlalu membekas itu sangat menyakitkan saat dikenang. Sialnya, lo bisa terkenang masa lampau yang nggak lo miliki lagi sekarang tanpa lo inginkan. Kalau udah begitu, siap-siap deh lo galau kayak gue sekarang.

“Gue masih nggak habis fikir sama lo, Dev.” Rian menahan tubuh gue yang hendak meninggalkannya di pantai ini menuju hotel.

“Gue nggak mau nyamain lo dengan homo lainnya, tapi… apa spesialnya Sandi sih sampai lo bertingkal sedongo ini? Sedangkan para homo yang lain dengan mudah bergonta-ganti pasangan tiap malamnya?” tanya Rian dengan mimik berhati-hati takut gue nggak terima. Tetapi dia sahabat gue, gue pun sahabatnya, gue tahu maksud baik dibalik ucapannya itu.

“Dah ah! Nanti anak-anak nungguin kita lho!” gue merangkul Rian berusaha membuat dia nggak menanyakan hal yang sama sekali gue nggak tahu jawabannya.

“Lo nggak sadar, huh? Dua setengah jam lo di sini setelah lo gue panggil tadi?!”

Shit!” runtuk gue. Namun, mengenang masa-masa gue sama Sandi memang nggak akan pernah bisa selesai, seberapapun waktu yang tersedia.

“Huh? Why you not around?” tanya Rian lagi.

Gue ikut duduk di pelepah nyiur yang Rian duduki, tepat di tempat yang gue duduki tadi.

Gue menerawang jauh ke ujung lautan, mencari jawaban dari pertanyaan yang Rian ajukan. Walaupun gue tahu, gue belum bisa menjawab pertanyaan semacam itu, sampai saat ini!

“Dua tahun, lo begini!” tegas Rian seperti telah jengah dengan kegalauan gue. Mungkin gue nggak pernah ngebuat dia susah dengan kegalauan gue, tetapi dia tetap sahabat gue dan nggak ada satu pun sahabat yang mau ngelihat sahabatnya murung berkepanjangan. Tottaly understood!

Gue menggeleng nggak tahu. “Gue selalu berharap, tiap gue bangun dari tidur gue, gue Amnesia, ngelupain semua tentang dia serta kenangan saat kami bersama. Ngelupain pemikiran bodoh yang gue nggak itu tahu apa, tapi selalu ada di dalam kepala gue. Gue nggak pernah lupa sakitnya saat gue bangun tidur dan Sandi nggak lagi ada di sebelah gue.” Air mata ini meninggi, gue tahu banget kalau menangis adalah hal hina bagi cowok. Tetapi, rasa sakit di dalam hati ini atas kehilangannya memang sepadan dibayar tangisan penyesalan gue.

Sungguh! Gue nggak pernah merasa hina jika mengangis untuk Sandi.

“Lo sama Sandi itu bukan suatu kesalahan, Dev!” ucap Rian sambil menyilangkan kakinya.

“Lo sama Sandi itu sebuah pembelajaran, semua alasan dari… kenapa Sandi ninggalin lo dan milih balik ke mantan bule-nya, itu yang harus lo benahi.” Rian menatap gue, matanya yang tegas itu serasa menusuk hati gue yang rapuh.

Nggak adakah kesempatan gue kembali bersamanya lagi?

“Menurut lo? Dia baca nggak semua e-mail yang gue kirim ke dia?” tanya gue ke Rian.

“Semoga aja, si Jebs nggak seposesiv lo.”

Fuck!

***

“Kamu mau ke mana?” tanya gue dengan nada yang nggak juga gue turunkan. Nafas gue memburu karena termakan emosi.

“Pergi!” jawab Sandi pelan, sebenarnya gue tahu dia sedang menahan diri agar nggak nangis.

“Jangan kayak anak kecil! Kita selesain ini di sini, kamu pergi nggak akan sama sekali nyelesain masalah ini!” timpal gue lagi. Sungguh, gue ingin berhenti memaki, tetapi gue nggak bisa. Gue terus mencecarnya, seakan-akan gue nggak puas dan permintaan maafnya yang dari tadi dia ucapkan.

“Aku salah! Aku udah minta maaf dan kamu masih nggak bisa terima, selalu aku yang salah.” Sandi gue mendesah frustasi, air mata turun dari mata indahnya.

“Memang kamu salah!” jawab gue dengan telak.

Sandi mengangguk, menghapus air matanya dengan tegas. Bibirnya bergetar, sekarang dia membuat gue seolah-olah gue lah orang yang salah, gue benci itu.

“Oke! Kamu dewa dan aku bukan apa-apa. Fine!” teriaknya tertahan. Sandi kembali berbalik, menarik keras ransel besar dari dalam lemari, lalu memporak-porandakan semua baju dan barang-barang miliknya ke atas kasur. Dengan gegabah dia menjejalkan semua yang dia rasa perlu di bawa ke dalam ransel besarnya.

Gue tinggal serumah dengannya, sudah cukup lama. Banyak momen gue dan dia lewati dan alamin di dalam rumah ini. Rumah ini nggak terlalu besar, tetapi sudah sangat cukup untuk menjadi bingkai cinta kami. Walaupun, sekarang gue dan dia sedang berada di dalam masalah.

“Aku nggak akan marah kayak gini kalau kamu nggak kayak gitu!” desis gue sambil menunjuk laptop yang sudah hancur di kaki nakas.

“Aku cuma balas e-mail dari Jebs, apa itu—“

“Jelas salah! Kamu udah punya aku, nggak perlu lagi balik-balik ke masa lalu, apa aku kurang cukup bahagian kamu? Apa perhatian aku ke kamu kurang? Apa aku kurang baik memperlakukan kamu? Kurangku apa San?” cecar gue. Rasa cemburu ini sudah bertahta di tengah hati, mengambil alis emosi yang memang mudah meluap ini.

Sandi mendelik nggak percaya mendengar apa yang baru saja gue omongin. Lagi pula apa yang gue omongin itu benar semua, gue nggak habis pikir kenapa dia bisa e-mailan sama mantannya bulenya yang berasal dari negeri antahberantah itu. Kurangnya gue apa coba?

“Aku cuma silahturahmi, cuma balas e-mailnya dia yang nanyain kabar aku, nggak lebih.”

“Siapa yang berani jamin?” timpal gue lagi. Gue sangat amat merasa tidak aman sekarang.

“AKU!!!” teriak Sandi keras, seolah-olah apa yang dia lakuin itu sangat lumrah dan nggak sama sekali jadi masalah. Gue marah, karena memang gue nggak pernah melakukan hal yang sekarang gue permasalahin. Gue mencintai Sandi dengan segenap hati, cuma ada di dalam sini, dan rasa takut kehilangannya selalu hadir tiap gue ngerasa dia berbeda.

“Sebentar lagi dia akan balik ke Indo-kan? Huh? Dan kamu mau temuin dia kan? Pergi sana! Aku pengin tahu, kamu bahagia apa tersakiti lagi sama dia!” kata gue tanpa kontrol.

Suara resleting yang digeser terdengar jelas, seakan-akan terekam abadi di dalam kepala gue, seperti suara pengantar Sandi yang keluar dari dalam hidup gue. Detik itu juga, gue tahu kalau guelah yang berasalah.

Sandi berdiri tegap di hadapan gue, air matanya terus turun walau berkali-kali dia coba hapus.

“Kalau kamu nanti dapat pacar baru, belajar hargain perasaannya, privasinya, dan harga dirinya. Devan, bye!” desis Sandi sambil meraih ransel besarnya.

Gue bergerak cepat, gue tutup pintu kamar dan gue kunci. Sandi protes dan mencoba merenggut kunci yang berada di dalam kepalan tangan gue. Seraya itu gue melontarkan ribuan kata maaf, dari hati gue yang terdalam.

Setiap orang membuat kesalahan, tiap orang pula berhak dapat pengampunan. Seharusnya.

Gue sangat lega karena Sandi nggak jadi pergi, malam itu dia tidur dalam pelukan gue, walaupun dia nggak mengucapkan satu patah kata pun sehabis dia meletakan ransel yang sudah dia isi barang-barang miliknya.

Namun, kelegaan itu hanya saat gue terpejam. Karena saat gue terjaga… Dia telah pergi dan cintanya untuk gue sudah benar-benar mati.

***

Rian menepuk-nepuk pundak gue, menarik gue kembali dari kenangan pahit atas kebodohan gue sendiri.

Dicintainya itu sebuah keistimewaan tersendiri buat gue, membiarkan dia pergi adalah tindakan paling bodoh seantero bumi, mengubur cinta dan kenangan tentangnya adalah hal yang nggak akan pernah mungkin terjadi. Kecuali, gue amnesia.

“Kalau lo udah selesai di sini, cepat balik ke kamar hotel. Kita-kita nyisain makanan kok buat lo.” Rian berdiri, menepuk-nepuk pundak gue lagi. Gue hanya mengangguk tanpa menatapnya.

Rian menatap gue dalam-dalam. “Jangan terus nulisin namanya di atas hati lo. Sudah terlalu jelas dan membekas, semua orang bisa lihat itu. Udah saatnya lo berdamai denga hati lo. Jangan ulangin lagi kesalahan lo. Cuma lo yang tahu salah lo itu apa.”

“Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang pula berhak mendapatkan pengampunan. Tapi, bukan berarti semua orang bisa kembali ke waktu lampau dan memperbaiki kesalahannya.” Rian bergerak pergi. Ada kekosongan yang benar-benar menyakiti hati.

Nggak ada lagi yang bisa gue katakan. Nggak ada lagi yang bisa gue harapkan. Hubungan gue dan Sandi udah berakhir, mungkin benar kata orang-orang.

Sandi dan gue, hanyalah kenangan, bukan masa depan.

Gue sangat menyesal pernah memperlakukannya dengan amat buruk. Seberapapun seringnya gue menegaskan kepada dunia bahwa gue benar-benar mencintainya. Karena cinta membutuhkan pembuktian, tindakan, bukan omongan. Gue bodoh telah menyia-nyiakannya. Dan kini penyesalan datang, menghujam gue tanpa ampun. Ini memang balasan yang setimpal.

Selamat tinggal kenangan.

17 komentar di “Amnesia

  1. akhirnya ada posting lagi . ceritanya di bookmark dulu ah . btw Mau demo ah Biar Rayan dan Fauzan di lanjut! RAYAN FAUZAN LANJUT RAYAN FAUZAN KANJUT !! BTW Sukses ya sama Novel terbarunya kalian kalian “Jakarta : the hidden stories” oh iya salam sama Jeung Uko Yang cucok indang

  2. akhirnya nge post cerita juga …. ya tuhann bener deh al cerita nya gimana ya , nyesek nyesek gimana gitu , tapi bukan berarti nggak bagus , malahan cerita nya bagus bnagett . semangat Al

  3. Duh, akhirnya gra2 lovestorynya ka’Rayan ma ka’Fauzan gc d update2 aq jd comen dh! Pdhal mlez bgt comen.*d lmpar sendal yg sblah knan ma k’Al*
    ap lgi ngomenin author narsis ky k’Al.*d lmpar sendal yg sblah kri* pas dh spasang! Bw kbur sendal k’Al…

    Bneran dh! Aq tu pling mlaz comen. Jri2 aq tu mwnya ngitung uang doank! Itupn klo uang mlik sndiri!!

    Dn skrang aq mw minta prtanggung jwban k’Al! K’Al yg udh memulainya. Jd k’Al jga yg hrus mengakhiri.*apaan sh?*
    maksud aq, k’Al yg udh ngebikin aq jtuh cinta sejtuh-jtuhny*lbay mood on* ma so2k RAFA (Rayan-Fauzan) Couple. Jd k’Al hrus nyelesain storynya Rayan-Fauzan smp and! Awas aj klo gc. K’Al aq glitikin smp pingsan!!!

  4. Begitulah penyesalan selalu datang di akhir kisah.
    Karena kalau datang di awal itu namanya bukan penyesalan lagi. haha.

    Oh iya, kalau mau ikut masukin cerita di blog ini gimana ya?
    Soalnya saya suka nulis dan sudah ada cerbung saya yang sudah tamat. Kali aja boleh gitu ikut di post di blog ini.

Tinggalkan komentar