Overcast Day (1)


DIS_

Chapter 1

Meet Myself

 

 

 

 

Kalau mau ditanya siapa itu Revie? Aku akan menjawabnya dengan lugas dan panjang.

Revie adalah sahabatku dari kecil. Sahabatku semenjak aku berumur lima tahun. Dia adalah anak kecil dengan senyuman paling sempurna yang pernah kulihat. Wajahnya persolen, matanya lebar, hidungnya sesuai dengan bentuk wajahnya, keningnya selalu berkerut ketika bicara, membuat wajahnya makin lucu dan tampan. Rambutnya hitam sempurna, tidak ada warna cokelat sedikitpun. Dan dia tidak pernah mencoba untuk mewarnai rambutnya seperti yang kakaknya lakukan. Dia lugu, polos dan selalu tersenyum walaupun sedang susah. Tingkahnya sederhana dan perkataannya halus serta sopan. Dia mirip sekali seperti malaikat versi manusia dan tanpa sayap.

Revie. Menyebut namanya saja selalu membuatku merinding karena mendambanya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku, tetapi aku sudah sangat jatuh cinta pada Revie ketika kami baru bertemu beberapa jam. Revie itu bisa membuat semua orang jatuh cinta padanya. Dia terlalu sia-sia jika tidak di jatuh cintai. Semua orang akan terkagum jika melihat wajahnya, semua orang akan berhenti bernapas jika melihat senyumannya, dan semua orang akan kelu lidahnya jika berbicara dengan Revie.

Aku masih ingat pertemuan pertama kali kami waktu itu.

Setiap pagi aku selalu bermain sendirian di depan rumah. Main Yo-Yo, main robot-robotan, main gasing dan lainnya. Tidak kusengaja, gasing yang kumainkan terlempar sampai ke depan gerbang rumah, dan ketika aku mau mengambilnya, aku melihat seorang anak laki-laki di depan gerbang rumah Pak Prakoso. Dia sedang memainkan kerikil-kerikil kecil. Wajahnya tersenyum, sinaran matahari pagi seakan-akan gembira bisa menari di atas wajahnya. Aku tertegun di tempatku, gasing yang tadi ingin kuambil terlupakan begitu saja.

Tanpa sadar aku sudah melangkahkan kakiku. Kedua robot yang kupegang di kedua tanganku ikut gemetar seperti kakiku saat ini. Langkahku yang pendek dan menghentak membuatnya mendongak dari kerikil-kerikil yang sedang dimainkannya. Tiba-tiba, senyumannya yang dikulum, berubah lebar ketika melihatku. Jantungku tiba-tiba rusak, seperti ada yang memompanya lebih cepat dari biasanya.

“La… lagi nga… ngapain?” tanyaku sedikit terbata.

Tangannya yang kecil menunjuk kerikil-kerikil itu. “Lagi main mobil-mobilan,” katanya ceria. “Ibu nggak bisa beliin aku mobil benelan. Makanya aku mainnnya pakek ini.” Aku terkejut dan ingin—hampir—tertawa secara bersamaan. Aku terkejut karena dia memainkan kerikil itu sebagai imajinasi mobil-mobilannya. Sedangkan aku ingin tertawa karena dia cadel. Dia sangat kaku mengucapkan huruf R. Yang seharusnya ‘beneran’ menjadi ‘benelan’.

“Kamu sendirian aja?” tanyaku, sekarang aku bisa agak santai di dekatnya. “Mana Ibumu?”

“Iya, aku sendilian,” ujarnya. “Ibu lagi kelja di dalem. Nyonya Plakoso nelima Ibu jadi pembantunya kemalin.”

Aku duduk di sebelahnya. Wajahku mengerut ketika dia menggeser-geserkan kerikil itu, dia benar-benar menganggapnya seperti mobil-mobilan. Aku terenyuh melihat ini, kemudian, “Ini buat kamu,” kataku sembari menyodorkan robot-robotan yang ada di tangan kananku untuknya. Sebenarnya aku sangat mencintai robot Power Rangers ku itu. Tetapi kalau itu untuk dia sepertinya tidak apa-apa.

Matanya yang lebar terbelalak kaget. “Buat…” dia menunjuk dirinya sendiri. Aku mengangguk absolut. “Makasih,” ucapnya dengan mata yang dihiasi baluran air yang hampir menetes, yang malah membuat wajahnya seperti mengeluarkan mutiara. Dia benar-benar sosok malaikat dalam balutan tubuh manusia.

“Sama-sama,” kataku, memasang senyum segagah mungkin. Dia lalu membalas senyumanku dengan berhiaskan gigi yang ompong. Dia mengangkat robot yang kuberikan padanya tinggi-tinggi di udara, dia menggoyang-goyangkannya. Seperti mengajak robot itu untuk terbang. “Nama robot itu Goggle V.” Aku memberitahunya, tanganku yang panjang menunjuk robot yang dia angkat tersebut. “Kalo yang ini namanya Rangers Saia.” Aku ikut mengangkat robotku ke udara.

Dia kembali memamerkan giginya yang ompong padaku. “Hiath!” serunya sambil menabrak robotku dengan robotnya pelan-pelan. Dia tertawa ketika mendapati aku terkejut, tak ingin kalah aku juga menyerang robotnya. Sepanjang pagi, yang kami lakukan adalah bermain bersama. Main gasing, main Yo-Yo, main kelereng, main petak-umpet berdua, main benteng-bentengan, main kartu Yu-Gi-Oh dan permainan seru lainnya. “Nama aku Levie,” dia menjulurkan tangannya, setelah enam jam kami bermain bersama baru sekarang dia memperkenalkan namanya. “Bukan L tapi L.” Aku tertawa, namun aku mengerti. Yang dia maksud adalah: bukan L tapi R. Jadi namanya adalah:

“Revie,” rapalku. Dan dia mengangguk. “Aku And.” Kusambut tangannya yang kecil. Kami berjabatan tangan lama. Kemudian saling melepaskan ketika Revie ingin bermain PS 1 ku di dalam rumah.

***

Sore harinya kami pergi ke depan komplek. Ingin membeli es krim yang sering berjualan disana. Mamaku tadi memberikan kami uang. Lalu dia menyuruhku dan Revie untuk pergi beli es krim. Mamaku senang karena aku bisa mempunyai teman. Biasanya aku akan sendirian, atau paling tidak main dengan kakakku yang cowok. Tapi sekarang umurnya sudah sembilan tahun, jadi dia tidak mau main denganku lagi. Yang masih berumur lima tahun. Alasan yang lain juga karena aku sering marah-marah padanya kalau aku kalah.

Tapi bersama Revie tidak. Meskipun aku kalah dalam permainan Gasing tadi, aku tidak mencak-mencak seperti biasanya. Ketika dia mengalahkanku telak di permainan Street Fighter—padahal aku sudah memakai karakter anadalanku, Ryu, dan Revie menggunakan karakter Chun-Li, bisa-bisanya Ryu-ku kalah dari cewek China sialan itu—aku juga tetap tidak marah atau langsung membanting stick PS seperti biasanya. Kalau dengan Revie… berbeda. Dia bisa menenggelamkan amarahku.

“Es klimnya abis,” ucap Revie datar. Mangkuk es krimnya sudah kosong melompong. Wajahnya penuh dengan usapan krim cair. Membuatnya makin lugu dan rupawan.

“Mau lagi?” tawarku, sembari menyodorkan es krimku.

Kupikir dia akan mengatakan: ‘tidak usah’ seperti anak sok polos lainnya, namun Revie beda. Wajahnya langsung cemerlang, bibirnya tersenyum lebar, tangannya yang kecil meraih mangkuk es krimku. “Makasih,” katanya dengan mulut penuh es krim.

Aku tertawa sendu. “Iya sama-sama.” Kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang. Badan Revie yang mungil mengikutiku dari belakang, tangannya masih sibuk mencolek es krim yang sudah habis. Wajahnya mengernyit saat dia sadar kalau es krimnya memang sudah tak bersisa sama sekali. “Habis ya?” tanyaku kemudian.

Dia mengangguk-anggukan kepalanya cepat. “Habis,” ujarnya. Dia menumpuk dua mangkuk es krim itu menjadi satu. Lalu dia berjalan cepat menuju ke tong sampah yang ada di taman komplek ini. Setelah dia memasukkan kedua mangkuk itu ke dalam tong sampah tersebut, dia berbalik pelan ke arahku. “Kata Ibu kita halus jaga kebelsihan.” Aku tergelak pelan, menatap wajah polosnya yang berumur lima tahun sepertiku. Sayangnya, badanku lebih besar darinya.

Ketika dia baru saja ingin berjalan menuju ke arahku, salakkan anjing terdengar nyaring. Dia langsung terhentak dari tempatnya berdiri. Wajahnya tertekuk ngeri, kakinya gemetaran, dan bibirnya menegang. Seketika itu juga aku tahu, dia takut dengan bunyi salakkan itu. Cepat-cepat aku berjalan menghampiri Revie yang sedang berdiri kaku. Kurangkul pundaknya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku memegang tangannya. Hembusan nafas Revie yang patah-patah menerpa wajahku.

“Atut,” lirihnya. Tangannya yang kecil menggenggam erat tanganku.

Seekor anjing terrier datang menghampiri kami. Salakkannya sangat kencang, moncongnya mencuat jahat, mulut panjangnya menyeringai, menunjukkan deretan gigi yang tajam. “Hush!” Aku mengusir anjing itu dengan takut-takut. Dan aku makin takut ketika anjing itu kembali menyalak. Revie langsung menaruh kepalanya di pundakku. “Pergi!” pekikku pada anjing itu. Namun tetap saja, anjing itu tidak bergeming sama sekali.

Sampai akhirnya. “Debbo,” seru seseorang, suaranya yang panjang memenuhi suasana sore ini. “Jangan ganggu!” Telinga anjing terrier itu berkedut, kemudian dia menghampiri sang suara. Salakkan anjing itu juga akhirnya sudah menghilang, membuat Revie menggadahkan kepalanya dari pundakku dengan takut-takut.

Akhirnya aku mengetahui siapa si empunya suara. Wajahnya hanya lebih tua setahun dariku. Dan dia adalah tetanggaku. Orangnya dingin, jarang tersenyum dan sinis. Bagas Prakoso. “Makasih,” seru Revie tiba-tiba, dengan wajah sumringah. Matanya yang bulat menyipit, bibirnya dipoles senyuman. Seakan-akan dia benar-benar berterima kasih dengan sangat-sangat tulus.

Bagas hanya menatap sebentar ke arah Revie. Alisnya yang berbentuk seperti musuh besarnya Power Rangers naik sebelah. Dia membuang pandangan dengan dengusan. Kemudian dia membawa anjing sialannya menjauh dari kami. Namun senyuman Revie dan wajah tergugahnya belum juga hilang. Seperti dia masih berharap penyelamat kami masih ada disini untuk menemani.

“Ayo, pulang!” ajakku cepat. Dengan hati-hati aku ingin melepaskan genggaman tangan kami, namun Revie malah mempereratnya.

“Aku nggak mau lepasin tangannya And,” serunya. Aku suka ketika dia memanggil namaku. Orang-orang biasanya memanggilku dengan sebutan ‘En’ sedangkan Revie memanggilku dengan sebutan ‘An’. Dia memberikanku nama panggilan lain dari yang lain. “Pokoknya aku nggak bakalan mau lepasin tangannya And. And halus ada disampingku telus. Levie nggak mau And lepasin tangan kita. Aku mau And selalu pegang tanganku.” Sesaat pandangan kami bertemu, pada detik itulah aku jatuh cinta padanya.

***

“Cerita yang lain aja Ma,” kataku, ketika Mamaku ingin membacakan kami dongeng Cinderella. Sudah tiga minggu ini aku dan Revie berteman, atau yang lebih tepatnya bersahabat. Malam ini dia menginap di rumahku, dan Mamaku sangat senang akan hal ini. Dari dulu dia ingin sekali aku punya adik. Paskah keguguran Mama beberapa bulan yang lalu akhirnya terobati ketika dia melihat Revie. Seketika itu pula Mamaku langsung jatuh hati pada Revie. Tapi memangnya siapa sih yang tidak akan terjerumus hal tersebut. Revie itu… bagaikan poros bumi. Menarik segala sesuatu yang ada di dunia.

“Yang mana? Pirates And Seven Seas?” kata Mamaku sambil memberikan Revie beberapa buku dongeng. “Atau Peterpan?” Mamaku mengacungkan buku bergambar cowok menggunakan baju hijau pekat tersebut ke hadapanku dan Revie. Sekali lagi, aku menggeleng bersamaan dengan Revie. “Terus yang mana?” kata Mamaku, suaranya agak frustasi, namun dia tersenyum ke-ibuan.

“Yang ini,” seru Revie tiba-tiba. Aku melongok dan terbelalak kaget ketika Revie menunjuk buku Snow White and the Seven Dwarfs. Itu sih sama saja seperti Cinderella. Sama-sama buku perempuan. Tetapi, apa boleh buat, aku selalu setuju kalau Revie yang menginginkannya. “Gambalnya bagus, ceweknya dicium.” Mamaku tergelak pelan. Sampul buku itu memang memasang gambar Snow White yang dicium si Pangeran.

“Kalau begitu yang ini ya,” kata Mamaku. Mulai membacakan dongeng tersebut dengan nada sangat halus. Benar-benar mirip seperti pendongeng. Revie memasang wajah tergugah, senyumannya mengembang. Namun wajahnya mengernyit ketika mendengar bagian Snow White yang dijahati oleh Ibu Tirinya. Dia memasang wajah kernyitan kasihan. Namun lambat-laun wajahnya berubah ceria ketika mendengar akhirnya, ketika mendengar Snow White dicium oleh pangeran berkuda putih, dan Snow sialan itu akhirnya bangun dari kematiannya. Pasti itu alasan Snow White saja, pura-pura mati agar dicium oleh pangeran. Ih, pangerannya juga genit, nyium sembarangan.

“Celitanya bagus!” seru Revie sembari menggenggam tanganku erat-erat. “Pasti Snow sama pangelan lagi hidup bahagia di kastil mereka sekarang. Snow sama pangelan itu tinggal dimana ya Ma?” tanyanya pada Mamaku. Yah, Mamaku memang menyuruh Revie untuk memanggilnya Mama.

“Itu bohongan,” sahutku. “Nggak beneran.” Memangnya, seberapa polos sih kamu Rev? Aku membantin kalimat tersebut.

“Tapi kalian bisa buat itu beneran,” kata Mamaku. “Hidup bahagia, itu pasti akan ada.” Mamaku tersenyum lebar ke arah Revie dan padaku.

Revie menyengir lebar. Giginya yang ompong menghiasi raut wajah terkagum-kagumnya. “Nanti kalau kita sudah besal kayak Snow dan pangelan, aku mau And yang jadi pangelanku ya,” serunya dengan nada antusias. Tiba-tiba wajahku bersemu merah, jantungku berdegup kencang. Sedangkan Mamaku hanya tergelak lembayung. “Pokoknya aku mau And yang jadi pangelanku, nggak mau yang lain.”

Wajahku makin bersemu merah, gelakkan Mamaku makin mengeras. “Aduh, Revie ini,” kata Mamaku, dia mengusap rambut Revie yang selembut satin. “Sudah ah. Sekarang waktunya tidur.” Revie mengangguk sembari tersenyum, sedangkan aku masih dengan rasa malu karena berdebar kencang. Pikiranku masih bergelanyut di: aku menjadi pangeran untuk Revie. Oh, gosh! “Selamat malam sayang,” ujar Momku sambil mengecup keningku dan Revie secara bergantian. Setelah Mamaku mematikan lampu, Revie menaruh kepalanya di dadaku. Dia tidur disana.

“Jantung And bunyinya besal banget. Aku suka dengelnya,” katanya lugu. Sedangkan aku panas-dingin menahan kegelisahanku. “Aku mau tidul di dadanya And ya. Bolehkan?”

Aku mengangkat tanganku dan mengusap pucuk kepalanya. “Bo… boleh.”

***

Setiap kami kemana-mana, tanganku dan tangan Revie akan selalu terpaut, dia tidak pernah ingin melepaskannya. Pagi hari kami bermain di perkarangan rumahku, siang hari kami berenang di belakang rumahku, sore hari kami jalan-jalan di sekitar komplek, malamnya dia pulang ke rumahnya. Namun, dari hal itu semua, tidak lupa kami untuk saling bergenggaman tangan. Kami… tidak terpisahkan.

Tetapi itu semua berubah ketika kami berumur sebelas tahun. Semua orang heran melihat kami yang kemana-mana selalu bergandengan tangan, Revie malu di cap sebagai anak penakut karena selalu menguntit di belakang tubuhku. Akhirnya, setelah lima hari ulang tahunnya, dia memberitahuku untuk tidak akan menggenggam tanganku lagi. Hanya saja, sebagai penggantinya, dia selalu memegang ujung kaos seragam atau bajuku.

Ketika kami SMP, dan pada Masa Orientasi Siswa, Revie pernah diganggu oleh kakak kelas. Semua orang yang melihatnya langsung terpana, dan menyuruhnya ini-itu, namun dengan nada menggoda dan mengelus-elus. Aku cemburu, aku marah. Setiap kali ada yang sok bermanis pada Revie, aku sangat marah. Aku tipikal orang yang pemarah, namun makin marah kalau Snow-ku digoda dan digelayuti orang lain.

Maka dari itu, setelah aku resmi menjadi anak SMP, aku memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler Karate. Supaya aku bisa menghancurkan dan meninju wajah orang-orang yang mau mendekati Snow-ku. Pokoknya, aku pangerannya. Tidak boleh ada yang lain.

Pada kenaikkan kelas dua, cadel Revie menghilang. Nada suaranya melembut dan ditemani dengan serak-serak basah. Makin menggoda beratus-ratus orang yang ada di SMP brengsek ini. Dia sangat sering tertawa, menyapa setiap orang yang tersenyum padanya. Selalu berbaik hati untuk menolong orang lain walaupun dia tidak dibutuhkan. Revie menjadi sangat populer, namun tetap, dia masih selalu mengekor di belakangku sambil menarik bajuku.

Pada hari Valentine saat kami kelas tiga SMP, Revie mendapatkan seluruh coklat dari penghuni sekolah ini. Aku dan Revie sampai-sampai harus menyuruh supir Papa untuk mengangkut coklat-coklat itu. Setelah coklat itu ada di rumahku, dia membagikan beberapa kepada keluarganya, lalu kepadaku, kemudian ke Dan—kakak laki-lakiku. Setelah itu dia menyelipkan coklat paling istimewa di kolong pintu kamar Bagas Prakoso bangsat itu. Setiap kali Revie melihat Bagas, dia selalu salah tingkah. Dan aku mengerti, sekarang Revie menginginkan sosok pangerannya adalah Bagas, bukan aku. Tetapi aku bukan orang yang suka menyerah, akan kudapatkan Snow-ku lagi bagaimanapun caranya.

Setelah coklat-coklat itu dibagikan, masih banyak coklat yang tersisa. Tetapi aku terkejut ketika mengetahui coklat itu habis dalam waktu empat belas jam, dengan Revie sendiri yang menghabiskannya. Aku tahu Revie memang rakus dan suka makan, tetapi ini… Tuhan! Aku benar-benar ternganga kagum.

“Lo makan semua coklatnya?” tanyaku masih tidak percaya.

Revie mengangguk polos. “Ini masih sisa satu,” katanya, sambil menyodorkankan sekotak coklat Cadburry. “Kamu mau?”

“Nggak ah,” kataku cepat. Aku tidak hobi makan coklat. Membuatku mual-mual.

Cengiran khas Revie menyeruak muncul di bibirnya. “Ya udah,” ujarnya, dia membuka plastik pembungkus coklat itu lalu memakannya dengan sangat lahap. Bahkan, setelah memakan puluhan atau malah ratusan coklat, dia masih kuat makan yang satu itu? Benar-benar unbelievable. Hanya saja, ketika dia mengunyah, wajahnya mengembung dengan begitu imut. Benar-benar membuatku mendamba dirinya.

***

Sebenanya aku ingin mendaftar di SMA Negeri Tuna Bangsa atau SMA Negeri Jayakarta. Tetapi, karena Revie mendapatkan beasiswa di Dominiquert International School—yang dikenal dengan sekolah-sekolah anak-anak sombong dan borjuis—aku juga terpaksa dan harus ikut bersamanya. DIS itu sekolah yang benar-benar megah dan besar. Tinggi dan luas. Dan jangan lupakan panjang. Sekolah itu sudah mirip seperti rumus matematika. Panjang kali lebar, tinggi kali luas. Dan itu benar adanya.

Revie mengekor di belakangku saat kami—atau yang lebih tepatnya aku—ingin mendaftar. Revie sudah diterima di sekolah Internasional ini. Jadi hanya tinggal aku yang mencoba peruntungan. Revie menunggu di aula saat aku melakukan tes pengetahuan dan interview dalam bahasa Inggris, sudah seperti mau melamar bekerja saja. Oh, iya, jangan lupakan juga saat salah satu staff sekolah ini bertanya berapa gaji Papa dan Mamaku, dan aku diwajibkan menjawabnya dengan jujur. Pasti ini ada hubungannya dengan kekayaan. Dimana-mana sekolah Internasional seperti itu. Kalaupun ada orang yang sederhana, itu pasti otaknya yang dicari. Seperti Revie. Agar sekolah ini tetap dipandang baik dalam artian munafik.

“Gimana tesnya?” tanya Revie saat aku sudah keluar dari ruangan.

“Susah,” ujarku cepat. Aku menekankan kedua jariku di pelipis mataku, mencoba menghilangkan lelah yang menggerayangin kepalaku. “Apalagi soal Matematika. Itu sebenernya soal apa rumus untuk buat seseorang stress sih?”

Revie tertawa renyah, mengundang beberapa mata yang tadi menatapnya makin tercengang karena terpana. “Berlebihan ah,” katanya lembut. “Ayo, kita ke kantin beli minum. Sambil nunggu pengumuman selanjutnya.” Revie menarik ujung kaosku pelan. “Tapi kamu yang traktir ya. Aku nggak punya uang.”

Setelah empat jam aku menahan senyumku, baru sekaranglah senyuman itu keluar. “Dasar,” kataku sembari mengusap rambutnya.

Revie memang bukan orang kaya, dia sangat miskin. Ayahnya hanyalah seorang buruh, hanya bekerja ketika ada proyek. Sedangkan Ibunya pembantu di rumah Bu Prakoso sampai sekarang. Kakak laki-laki Revie—yang wajahnya juga sangat tampan, tapi tidak setampan Revie—hanyalah seorang preman pasar muda. Namanya Raffi, orangnya urakkan, nakal dan mengerikan. Tetapi dia sangat peduli dengan keluarganya. Revie mempunyai enam adik. Dia delapan bersaudara, benar-benar keluarga yang besar, heh!? Dan dari semua keluarganya itu, mereka semua mempunyai wajah yang tampan dan cantik-cantik.

Adik ketiga Revie perempuan, namanya Ravina. Masih kelas dua SMP sekarang. Dia bisa sekolah karena dapat beasiswa. Adik Revie yang ke-empat perempuan, namanya Ravilia. Masih kelas enam SD. Dia bersekolah karena beasiswa juga. Adik Revie yang kelima seorang laki-laki, wajahnya benar-benar imut, namanya Revin. Kelas empat SD. Adik Revie yang ke-enam dan ketujuh—mereka kembar cewek-cewek—namanya Rita-Rati. Kelas dua SD. Sedangkan yang paling kecil masih berumur empat tahun, namanya Revandi. Uh, semua nama keluarganya berawalan huruf R. Ayah dan Ibu Revie juga. Nama mereka Rifky dan Riri. Benar-benar keluarga yang besar. Hanya saja, walaupun mereka keluarga yang besar, saudara-saudara Revie pintar-pintar semua. Kecuali Raffi dan Revandi, tentu saja.

Sedangkan aku, hanya mempunyai satu saudara. Adikku meninggal saat di kandungan. Sedangkan kakakku, si Dan menjengkelkan itu, sekarang kuliah di Queensland, Australia. Mengambil jurusan entah apa. Setiap kali dia pulang liburan ke Indonesia, dia pasti menggoda Revie. Menepuk bokong Revie, mencium pipi Revie, ck, benar-benar membuatku cemburu. Dan Revie, hanya diam saja dibegitukan. Dasar Snow White kegatelan. Pas kutanya, Revie hanya menjawab.

“Kak Dan lucu sih, suka deh pas dicium pipiku sama dia.”

Gosh! Dan! Lucu! Damn tralala-trilili. Muka Dan itu kayak sikat kloset, apalagi hidung Dan yang kelewat mancung, sudah seperti perosotan yang ada di TK ku dulu. Tapi aku tidak perlu cemburu, karena Revie hanya menganggap Dan kakak. Revie sadar kalau itu hanya candaan saja. Banyak cowok yang memang suka menggodanya, memegang wajahnya, mentoel dagunya, mengecup keningnya dengan kurang ajar. Pokoknya Revie seperti poros bumi—sepertinya aku pernah bilang.

“Pop Ice coklat satu sama Pop Ice vanilla blue satu,” kata Revie memesan minuman kami. Tidak lebih dari tujuh menit, minuman kami sudah jadi. Revie menyodorkanku Pop Ice coklat kepadaku, sedangkan dia Pop Ice vanilla blue. Revie itu suka dan sangat holic dengan warna biru, jadi dia suka mengendapkan warna biru di dalam tubuhnya.

Ketika aku baru saja berbalik, aku tidak sengaja—atau dia tidak sengaja menabrakku. Sehingga Pop Ice yang ada di tanganku tumpah di bajunya. “Shit!” serunya kencang. Suaranya bergetar karena jengkel.

Dia mendongakkan kepalanya kepadaku, dan aku juga menggadah untuk melihatnya. Pertama kali yang kulihat di dirinya adalah sudut bibirnya yang lancip dan tegas. “Sorry,” ujarku kemudian, masih sambil menatap sudut bibirnya. Aku penasaran, apakah rasanya enak saat aku menjilat sudut bibirnya itu dengan lidahku.

WOAH!!! Apa yang kupikirkan tadi? Gosh! Menjijikan. “Brengsek!” gerutunya padaku dengan penuh kebencian.

Kupindahkan tatapanku ke wajahnya. Rautnya tirus, tegas dan sedikit agak tajam. Tingginya hanya sebatas mataku. “Lo manggil gue apa?” tanyaku, kemarahanku mulai tersulut. Seperti api yang disulut bensin.

“Brengsek!” desisnya, tanpa memandangku, tetapi nada liciknya tertuju padaku.

“Lo…” kataku sembari mengangkat tanganku, gatal ingin meninjunya. Dan hebatnya lagi, dia tidak bergeming sama sekali. Hanya berdiri disana dengan gagah berani dan siap menerima terkamanku. Aku salut dengan keberaniannya.

“And,” tegur Revie dari belakangku. “Nggak usah pakek kekerasan. Ngomongin baik-baik aja.” Revie menurunkan tanganku, amarahku sirna seketika. Lagi pula, entah kenapa aku tidak sanggup ingin memukulnya. “Maaf ya,” kata Revie pada cowok yang masih diam di tempatnya berdiri. Matanya yang lebih lebar dari mata Revie menyipit. Aku terkejut ketika tidak mendapati tatapan tercengang cowok itu ke Revie. Biasanya cowok atau cewek yang disapa Revie akan tercengang dan terpesona. Tetapi cowok ini beda, seperti Bagas Prakoso bangsat itu.

“Ya,” katanya datar. Saat mata kami bertemu, dia cepat-cepat membuang wajahnya, begitu pula aku. Dari sorotannya, ada sesuatu yang menarikku. Entah apa, dia seperti… magnet bagiku. Dan aku adalah besinya.

Anjing! Aku ngomong apaan sih!

Cowok itu kemudian berlalu. Revie menuntunku ke meja kantin yang super-duper panjang. dia mengelus-ngelus punggungku, kebiasaannya untuk menghilangkan kemarahanku. “Serem amat sih, baru masuk kesini aja kamu udah mau nyari musuh.” Revie berkata sambil menyedot Pop Ice nya.

“Dia duluan sih. Manggil-manggil gue brengsek.” Aku menggerutu tidak jelas.

“Iya, iya, sabar-sabar.”

Kemudian, kemarahanku sirna. Bukan karena usapan dari Revie, tapi karena secara tiba-tiba perasaan itu menghilang sendiri. Aku juga bingung, biasanya aku marah akan sangat lama bisa disembuhkan oleh Revie. Sekitar lima belas menit atau dua puluh menit. Tapi ini, beberapa menit saja sudah menghilang. Cowok tadi… tidak bisa membuatku marah lama padanya. Dan sekarang aku bertanya pada diriku sendiri: kenapa bisa begitu?

***

MOS SMP sangat menyebalkan. MOS yang ini lebih menyebalkan lagi. Kami disuruh mencari koin yang disembunyikan di setiap sudut sekolah maha besar ini. Aku sudah kewalahan dari tadi karena tidak menemukannya. Sedangkan waktunya sisa beberapa menit lagi. Jika kami tidak menemukannya, kami disuruh memakai baju hula-hula ala penari Hawai, lengkap dengan batok kelapa sebagai BH nya. Dan… aku tidak mau melakukan hal memalukan tersebut di depan banyak orang.

Revie dijaga oleh senior-senior. Dia diperlakukan dengan begitu lembut. Dia tidak diizinkan melakukan apapun. Aku akan sangat senang jika menjadi Revie. Dia benar-benar beruntung. Tapi pas aku tanya padanya saat kami istirahat, dia bilang dia tidak suka diperlakukan begitu. Dia mau seru-seruan dengan yang lain. Dia benci diperlakukan istimewa. Sayangnya, sebesar apapun dia mencoba untuk ikutan bersama kami, dia tidak akan bisa. Semua senior cewek dan cowok itu menahannya. Kecuali Bagas Prakoso bangsat itu. Revie sangat senang—walaupun dia menyembunyikannya—saat tahu kalau Bagas juga bersekolah disini. Serta menjadi salah satu kakak senior kami. Ck!

Tapi lupakan itu dulu, sekarang kita harus fokus ke koin brengsek yang harus kucari. Namun tetap saja tidak ketemu. Karena sudah kewalahan, aku masuk ke dalam kelas ber-AC tiga yang menjorok ke arah tangga yang menuju ke lantai empat.

Aku merilekskan kakiku, memijat-mijatnya pelan. Menahan rasa pegal yang sudah menyinggahi lututku. MOS brengsek ini masih berlangsung dua hari lagi, dan selama itu aku akan terus tersiksa. Bukan karena disuruh-suruh yang tidak jelas. Tapi tersiksa karena melihat Revie yang dipeluk-peluk oleh senior-senior bajingan itu semua. Fark!

Kugadahkan kepalaku, untuk menghilangkan rasa marah dan lelah. Dan pada saat itu juga aku melihat sekeping koin yang berkilauan di dekat jendela kelas ini. Hatiku langsung melambung senang karena melihat koin itu. Aku cepat-cepat berdiri, lalu kujulurkan tanganku untuk mengambil koin tersebut. Dan pada saat tanganku menyetuh koin jahanam itu, ada tangan seseorang juga yang meraihnya.

Kupalingkan wajahku, lalu mendapati wajah cowok yang kemarin. Cowok yang memanggilku brengsek. Aku tidak mungkin melupakan wajahnya yang pas-passan dan tirus itu. “Lepasin!” desisku. “Gue duluan yang liat koin ini!”

Dia mendengus kasar. Wajahnya tidak menengadah ke arahku. Hanya terus terpaku pada koin yang kini sama-sama kami pegang. “Gue udah ngeliat koin ini sejak dari pas di tangga tadi.” Dia mendesis dengan penuh kebencian. Nada suaranya bergetar di dekatku, menahan emosi. Aku bisa merasakan kebenciannya padaku.

I’m sorry lewd!” seruku berang, namun tidak berteriak. “Gue udah ngeliat koin ini bahkan semenjak gue belum lahir.”

Lagi-lagi dia mendengus. “Gue udah ngeliat koin ini pas gue lagi sama Tuhan di Surga.”

Kemudian aksi saling dorong-doronganpun terjadi. Dia menjambak rambutku, aku menahan kepalanya. Dia menginjak kakiku, aku menggelitiki pingganya. Sampai akhirnya kami sama-sama terjatuh ke lantai dan terkurung di kolong meja. Dengan posisi aku yang berada di atasnya. Damn tralala-trilili, ini benar-benar menjengkelkan.

Karena badan kami terjepit, jadi kami tidak bisa bergerak sama sekali. Koin yang tadi kami rebutkan berada di gengaman tangan kami berdua. Dan hal ini sukses membuat nafasku memburu cepat. Kugelengkan kepalaku untuk mengusir rasa gusar. Lalu aku menatapnya. Aku terkejut ketika dia sedang menatapku. Tatapannya pertamanya berupa kebingungan. Berubah ke aneh lalu berubah ke tatapan kebencian kesumat. Di saat itu juga aku memasang tatapan yang sama. Dia pikir aku tidak akan membencinya juga.

Matanya yang lebar menyipit, membuat rongga paru-paruku menjadi sempit. Gosh! Dia menyetrum hatiku. Hangat tubuhnya mengaliri hangat tubuhku. Saat bibirnya terkuak, sudut bibirnya terangkat dengan begitu menggoda. Membuatku penasaran dengan rasa sudut bibirnya itu. Aku bahkan tidak pernah merasa sudut bibir Revie akan seindah cowok yang ada di bawahku ini.

Tetapi pikiranku buyar saat dia membenturkan kepalaku di alas meja. Ketika aku mengerang karena kesakitan, dia langsung meloloskan dirinya dengan berbagai cara. Dengan kepala yang masih pusing, aku mengejarnya dengan penuh kebencian dan kemarahan. Sumpah, rasanya benar-benar sakit.

Aku menarik kerah bajunya, membuatnya tersedak dengan sempurna. “Sakit Njing!” kataku dengan nada semarah mungkin. Meskipun aku tidak benar-benar merasakan kemarahan.

Dia kembali menginjak kakiku. Tanpa sadar aku melepaskan kerah bajunya. “Mampus lo Nyet!” Dia berteriak masih dengan nada yang sama. Nada penuh kebencian kesumat.

Saat dia berlari menuju ke pintu kelas, aku langsung mengejarnya. Walaupun kepalaku pusing dan kakiku nyeri karena perbuatannya, aku harus membuatnya sakit juga. Dia pikir aku tipe orang yang mudah menyerah. SALAH! Aku tidak akan menyerah sampai aku benar-benar puas.

Baru saja dia ingin keluar dari kelas, aku langsung menjerat lehernya dengan tanganku. Dan hebatnya, dia bisa meloloskan diri. Cepat-cepat aku memasang kuda-kuda, kemudian dia juga melakukan hal yang sama. Berarti dia bisa karate juga sepertiku. Atau mungkin yang lain.

“Gue nggak mau berantem,” ujarku kasar. “Kalo lo mau nyerahin koin itu sama gue, lo nggak bakalan luka sama sekali dan gue bakal maafin perbuatan keji yang udah lo lakuin ke gue.”

Wajahnya berkedut meremehkan. Tatapannya jatuh ke hidungku. “Lo pikir gue takut?” Nada suaranya teguh dan tegas. Oh, iya, jangan lupakan juga nada kebenciannya, yang mirip sekali seperti musuh besar Satria Baja Hitam.

Baru saja kami ingin saling menyerang, tiba-tiba bel berbunyi. Bel tanda kalau permainan menemukan koin ini sudah habis. Waktu kami hanya tiga puluh detik untuk kembali ke lapangan. Sedangkan aku berada di lantai tiga. Mana mungkin cukup waktunya sampai aku berlari menuju ke lapangan sambil menenteng-nenteng koin jahanam itu. Lagi pula koin itu masih ada di orang yang ada di hadapanku.

Dia juga sadar kalau kami berdua pasti akan kena hukuman. Jadi percuma saja daritadi kami berebutan koin jahanam tersebut. Benar-benar hari yang paling payah se-umur hidupku. Dibentak-bentak saat MOS, disuruh ini-itu, dan bertemu orang brengsek. Lengkap sudah daftar payahku untuk MOS hari ini.

Cowok brengsek itu berbalik, langkahnya panjang saat meninggalkanku. Di belakang badannya tertempel namanya yang tertulis di atas sehelai kardus. Kusipitkan mataku dalam-dalam, dan membaca namanya yang tertulis ringan di atas sehelai kardus tersebut. Dan namanya adalah: Vick Prapancanegara. Eik, namanya saja sangat jelek. Vick. Nama apa itu? Seperti nama obat batuk.

Tetapi aku sangat pensaran padanya, kenapa dia bisa begitu benci padaku. Benci yang penuh kesumat lagi. Memangnya apa yang telah kulakukan padanya. Pokoknya aku juga harus ikut-ikutan membencinya. Aku tidak mau berpura-pura baik di hadapannya. Toh, dia juga menunjukkan dengan jelas kebenciannya padaku. Bagaimana mungkin aku tidak melakukan hal yang sama. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku bukan orang yang mau mengalah.

Kuhembuskan nafasku sepanjang mungkin, sambil memikirkan cowok itu. Aku bingung sendiri dan merasa sangat frustasi. Sekali lagi kuhembuskan nafasku panjang-panjang, kemudian saat aku melangkahkan kakiku, hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah mencari tahu kenapa cowok bernama Vick itu sangat membenciku dengan penuh kesumat.

Dan risetpun dimulai!

–Ups, Bersambung to Chapter 2–

NB. Gak bakalan janji di update kapan. jadi pantengin terus ya Blogku. hahaha =D

thanks :*

Jangan lupa komen. Yang gak komen kusantet :p

27 komentar di “Overcast Day (1)

    • haha… selamat anda dapat pop mie mie mieeeee :p

      haha, makasih.
      kukirain semua manusia pengunjung blogku dah pada tepar dan lenyap di mimpi. ternyata masih ada satu yg gentayangan toh.
      hihihi #ketawa kuntilanak :p

      • ternyata and care bangat ya revie…pantasan mereka sahabat dri kecil…bru chapter pertama udh ad konfli and vs vick…_

        jangan lama2 gantung nya rendy chan…law lama kapak n parang akan menanti km rendy chan>>>___<<<

        kkkkkkkkkkaaaaaaaabbbbbbbuuuuuuuurrrrrrrrr

        gambate buat nulis nya rendy chan_

  1. Icky vick but wonderful
    Revie,why r u so slutty and cute in the same time?
    Ren,i can’t wait for your story
    Keep it up

  2. hehehe iya ya lambang DIS ky lambang klub bola atau kaya lambang Gryfindor di Hogwart HP hehe , aga gmn dg kalimat ” Dia terlalu sia-sia untuk tidak di jatuh cintai ” aga rancu atau gmn knapa ga ” dia terlalu sia-sia untuk tidak dicintai ” hehe cuma kritik dikit ren ,tp ga tahu mana yg bener, scr ak bukan sarjana indo hehe, tp overall keren , btw kok ga djwb komenku yg di BD 11 ma 12 ren . . .

  3. ah levie, so cute, pengen ikutan nyubit deh, ga sabar nunggu cerita dia sama bagas hehe
    si and sama vick juga ga sabar, dua pria macho, ga sabar nunggu adegan hawt nya hahahaha

  4. ga mau komenn ah, biar di santettt. abis ceritanya bagus, bagian yg disuka itu pengkarakteranyanya…. bagian yg ga sukanya itu semua merek dagang disebut.

  5. Perlu di clear-in deh,, DIS itu SMA/SMP? Membingungkan,, adegan jambak di bls menggelitik?? Klo tokoh ini macho shrusnya gak sprti ini, trkesan lebay. Spy lebih greget,, bnykin dialog yg bikin emosi,, klo kbykn deskripsi jd trkesan monoton.

    **

    • Hmm… Well, di mana-mana Internasional School ya mencakup SD, SMP dan SMA. Di sekolahnya gak dikasih tau ya sistem perbedaan Internasional School sama Sekolah Negeri (Nasional)
      Kalo enggak, well, berarti aku harus ngejelasin deh.
      Internasional School itu ya SD, SMP, SMA.
      Di atas kan udah dikasih tau (kalo pinter memperhatikan detail ceritanya) kalo si And lagi mau masuk SMA nya. –”

      Yang bilang macho kan gak ada.
      Lagian kalo aku buat mereka tinju2an di hari pertama sekolah, gawd damn, kok kesannya bukan macho ya, tapi…. Tingkah jelata. Mwahahahaha 😛

      Iyaa tuh, aku paling lemah di dialog.
      Aku kuat di narasinya.
      Yah, mau gimana lagi, kekurangan yg sulit diperbaiki dgn mudah –“

  6. WoW
    serius nih cowok yg bikin? saya baru menemukan blog ini dan langsung nganga lebar. karna–yaaamppppuuuuunnnn–ini keren banget ><

    penggambaran karakter yg oke punya. cerita yg dibuat sedetil mungkin. dan gaya bercerita yg panjang tapi gak bikin bosen. keren. sumpah!

    oke. brb lanjuuuuttt~

  7. gue ketinggalan banget baru tau blog nya rendifebrian
    pengennya sih baca yang ceritanya sid dulu. tapi apa daya udah dihapus dan dibukukan. pengen order tapi belum direspon. well, baca ini gue jadi kangen sama febri. out of topic banget komentar gue XD

Tinggalkan komentar