Amnesia

hallo, gaes! Udah lama banget gue nggak muncul. Maaf banget yaa… bukannya gue nggak mau ngelanjutin Rayan dan Fauzan, tapi memang belum sempet aja. Ada banyak kerjaan yang menghasilkan uang, yang harus gue kerjain terlebih dahulu, (biar gimanapun kan perut aye perlu diisi). Jadilah gue pending tuh cerita geretongan.

Sekarang gue muncul bersamaan dengan cerita impoten milik gue. Kenapa gue bilang impoten? karena gue aja yang nulisnya nggak nemuin di mana klimaksnya. Tapi gue berharap ini bisa ngehibur barangkali bisa jadi bahan nyiyiran kalian. Yekan?

See you nanti ya, Gaes. di Meet And Greet Jakarta. Lo pada datengkan? nggak dateng gak ada updetan Rayan Fauzan, lho! hahahaha (Ketawa jahat).

 

 

Amnesia

 

 

Angin dengan kasarnya menerpa wajah gue. Malam semakin larut dan rasa rindu itu kembali hadir, mendesak kemudian memberikan rasa sesak yang teramat sangat.

Sekarang, gue berharap jadi penderita amnesia.

“Dev, ikannya udah selesai dibakar tuh, sini cepetan!” teriak seorang cowok dari arah hotel.

“Selow,” sahut gue setelah mengacungkan tangan dan berdahem agar suara gue nggak terdengar melankolis.

Lalu gue turunkan kembali tangan gue yang teracung ke udara setelah tadi gue angkat untuk memberi isyarat kepada Rian kalau gue akan menyusul secepatnya. Walau nyatanya, gue nggak sama sekali tertarik untuk bergabung bersama para sahabat gue.

Buat gue, liburan kali ini nggak sama sekali spesial. Sedikit menghibur dan lebih banyak nambah galaunya. Karena, pantai ini mengingatkan gue dengan seseorang yang sampai saat ini belum bisa gue lupain.

Terlalu banyak kenangan di tempat ini, harapan yang pernah gue rapal bersama dia di sini. Dan kembali ke sini benar-benar ngebuat gue ngerasa kalau gue nggak sedang baik-baik aja.

Kembali ke tempat ini, ngebuat gue serasa seorang bajak laut yang mendapatkan peti harta karun kosong, hanya peti harta karun yang gue dapat bukan isinya. Padahal, semua orang tahu yang di cari para bajak laut adalah harta di dalam peti tersebut bukan petinya.

Angin pantai kembali menerpa wajah gue dengan kasar, hembusannya terasa dingin saat menyentuh kulit gue. Jiwa gue serasa tersapu angin, memasuki lorong waktu yang tercipta tiba-tiba, bergelung di dalamnya kemudian gue kembali muncul dengan sebuah harapan hampa.

***

Top, top, top, ih tungguin dong!!!” runtuk bot gue geram karena daritadi dia nggak bisa-bisa mengejar gue.

“Bodo ah! Aku capek!” teriaknya putus asa.

Gue berhenti berlari lalu berbalik badan ke arah cowok gue yang unyu-nya kebangetan. Walaupun ini malam hari, gue bisa melihat wajahnya yang putih mulus itu memerah karena kelelahan sehabis mengejar gue.

Dengan nafas yang tersengal-sengal gue berlari kecil ke arahnya, pasir pantai Anyer serasa menggelitik telapak kaki gue—kami lari tanpa alas kaki. Senyum di bibir gue, gue pasang sesempurna mungkin untuk meminimalisir kemarahan cowok gue ini. Ya know lha, bot itukan ngambekan, kadang gue nggak ngerti mereka bisa ngambek banget cuma gara-gara masalah yang sepele—buat gue.

“Kamu tuh, payah deh, baru diajak lari sebentar aja udah ngos-ngosan.” Gue gapai tubuh bot gue yang twink itu, lalu gue usap keringatnya dengan bagian bawah kaus tanpa lengan gue. Dia tetap diam aja, mukanya dibuat datar. Sialnya, gue adalah orang yang bego dalam urusan membaca hati seseorang.

“Jangan ngambek dong, San.” Gue usap kepalanya yang basah oleh keringat. Tetapi Sandi tetap diam, malah sekarang dia nggak natap gue sama sekali, dia malah mematut ombak yang geraknya gitu-gitu aja. Ngeselin bangetkan?!

“Aku haus!” seloronya jutek sambil sesekali memandangi kaki kirinya. Gue tersenyum, seenggaknya dia udah mau ngomong sama gue, biasanya kalau bot gue ngambek itu bisa satu sampai dua jam baru deh dia mau ngomong sama gue, itupun harus gue rayu-rayu pakai untaian kata punyanya para pujangga. Tsah!

“Yaudah, pulang ke hotel, yuk,” ajak gue sambil melangkahkan kaki.

Entah di langkah keberapa gue baru sadar kalau Sandi nggak ikut melangkah di belakang gue.

“Katanya haus? Ayo pulang.” Mati-matian gue nahan rasa kesal yang mulai hidup. Gue suka si kalau Sandi manja sama gue, tapi gue juga suka gondok sendiri kalau dia neko-neko.

“Capek tau! Aku tuh udah teriak-teriak dari ujung sana supaya kamu berenti karena kaki aku kena karang! Nih! Berdarahkan? Nggak pekak banget sih kamu!” gue mengerenyit malu. Untuk beberapa saat gue cuma bisa garuk-garuk bagian belakang kepala gue doang.

Gue beranikan diri untuk mengulurkan tangan ke kaki kirinya yang tadi dia angkat, ada luka robek—kalo buat gue, itu luka yang nggak seberapa—di sana. “Sakit, ya?” tanya gue dengan muka serba salah sambil melihat luka—yang nggak seberapa itu.

Gue berjongkok memunggunginya. “Naik, aku gendong,” pinta gue pelan. Nggak lama gue ngerasa beban gue bertambah. Sandi naik di punggung gue, kedua kakinya melingkar di bagian tengah tubuh gue lalu tangannya dikalungkan di leher gue.

“Aku minta maaf ya,” ucap gue sambil mengangkat tubuh Sandi yang sedikit melorot dari gendongan gue. Dia mengangguk di balik punggung gue, pelukannya di tubuh gue pun menggerat. Gue menghela nafas lega sambil melangkah jenjang.

Top, capek nggak? Kalau capek turunin aku aja, aku bisa jalan sendiri kok,” bisik Sandi pelan di telinga gue. Suaranya yang lembut itu seakan-akan beradu merdu dengan deburan ombak.

Gue menggeleng mantap. “Sampai Bogor juga kuat!” seloroh gue sambil tertawa. Harapan gue terkabul, suasana hati cowok gue membaik. Dia tertawa kecil sambil mengeratkan pelukkannya.

Gue angkat lagi tubuh Sandi yang terasa merosot dari gendongan gue, gue tarik nafas dalam-dalam lalu melangkah cepat. Berlari cukup kencang dengan Sandi yang masih berada di punggung gue. Dia tertawa hebat, satu tangannya di angkat ke udara menikmati malam di pantai ini dari atas tubuh gue.

Lari gue melambat, ternyata tadi gue lari sangat jauh dari hotel. Gue udah merasa lelah tapi hotel yang memiliki sembilan lantai itu pun belum kelihatan. Fark banget! Masa sih gue harus bilang sama cowok gue kalau gue capek? Mau ditaro mana penis gue?

Top, berenti!” pinta Sandi mendadak.

“Huh?” respon gue sambil menengok ke arahnya. Dari ekor mata gue, gue melihat Sandi celingukkan seperti mencari seseuatu.

Fuck yeah!

Yang Sandi cari itu bibir gue, dia memagut gue setelah memastikan di sekeliling kami nggak ada orang. Yeah, gue tahu banget cowok gue yang unyu ini. Kebiasaannya yang suka curi cium di sembarang tempat, yang nggak pernah mau berdiri jauh dari gue di mana aja. Yang selalu ngambek kalo gue nyentuh ponsel gue saat berudaan bareng dia.

Bibirnya yang kenyal menyesap lembut bibir gue yang tebal. Yang gue rasain sekarang cuma… sesuatu yang hangat menyelimuti hati gue, menjaga cinta gue untuknya agar kekal selamanya. Itu sebuah harapan.

Gue masih nggak percaya kalau sekarang gue sangat cinta cowok pertama gue ini. Tentu karena dia punya wajah yang unyu-nya kebangetan dan fisik yang sesuai selera gue, banget! Sikapnya yang manja, pendengar yang baik dan ceria.

Padahal, awalnya gue cuma mau main-main sama dia, mau cari fun. Tetapi hati gue berkhianat, mengingkari keinginan gue dan malah membuat gue jatuh cinta sama cowok twink ini.

I love you so much, top,” rapalnya setelah pagutan kami berhenti.

“Aku nggak,” jawab gue dengan ekspresi yang dibuat-buat.

“Auw!!!” jerit gue saat hidung mancung gue dicubit tanpa ampun. Gue geleng-gelengkan kepala gue agar cubitannya lepas, sialnya itu nggak sama sekali berhasil. Sandi tertawa kejam layaknya Bellatrix Lestrage setelah membunuh Sirius Black, tanpa belas kasih.

“Au nga ica napas, cut!” kata gue sumbang. Tetapi, yang gue dapat hanyalah tawa Sandi kembali.

Sampai akhirnya gue limbung dan ombak menerjang tubuh kami. Gue bener-bener nggak sadar kalau gue bergerak ke arah bibir pantai. Gue buru oksigen banyak-banyak saat kepala gue menyembul, sedangkan Sandi terus tertawa bahagia di pinggir pantai. Tubuhnya rebah nyaman di sana, amat menggoda.

Shit! fucking shit! kalau ini bukan Indonesia, gue udah make out di sini sekarang juga deh!

Sandi menjulurkan lidahnya ke arah gue, membuat wajah tirusnya itu terlihat amat menggemaskan.

Harusnya sekarang gue ada di kamar! Jerit gue dalam hati saat gue ngerasa Devan junior bangkit dari tidurnya.

“Ampun! Ampun! Top, udah, geli! Ampun!” jeritnya geli saat gue terkam tubuh Sandi dan gue kelitiki habis-habisan. Pembalasan yang cukup setimpal, karena memang Sandi paling nggak kuat dikelitikin. Terkahir kali dia gue kelitikin itu saat perayaan enam bulannya jadian kami. Sialnya, Sandi ngambek gara-gara gue ngelitikinnya berlebihan.

Kami berhenti bercanda saat merasa lelah berdigjaya. Tetapi gue masih di posisi gue—berada di atas tubuh Sandi. Ombak kecil membuat basah kembali kaki kami. Bukan hanya itu, ombak kecil tadi seakan-akan mengantarkan perasaan menggebu dalam diri gue yang harus segera disalurkan.

Gue lirik sekitar, tetapi sebelum gue kembali menatap Sandi yang berada di bawah tubuh gue, ke dua tangan kecil Sandi menelusup ke rambut gue, menarik wajah gue mendekat ke kepalanya yang rebah di atas pasir. Nafas kami bertemu dan bibir kami saling memagut. Seolah-olah nggak peduli dengan keadaan.

Pepatah, benar! Kadang cinta memang membuat pemiliknya lupa daratan.

Gue sesap dalam-dalam bibir cowok gue yang selalu terasa manis itu lalu gue lepas perlahan. Gue cium keningnya lalu dia cium pipi gue dan kami rebah bersisian. Membiarkan alam menyaksikan keromantisan kami.

Rebah bersisian dengan sapuan ombak kecil yang sesekali membasahi kaki kami. Menatap bulan yang nggak bulat sempurna namun lebih indah dari bulan purnama. Bersamanya, gue selalu merasa semuanya baik, semuanya istimewa. Sandi selalu membuat gue lupa segalanya, kecuali satu hal! Cinta gue ke dia.

“Kamu punya harapan untuk hubungan ini?” tanya Sandi dengan suara yang mendayu.

Gue mengangguk. Kemudian gue mendengar Sandi bergumam kecil, merapalkan semua harapannya tentang hubungan kami. Bintang berkelip sangat indah di atas sana, seakan-akan langit sangat dekat, keindahannya bisa gue jamah hanya dengan mengulurkan tangan gue. Rasanya, gue bisa sentuh bulan dan petik bintang jika gue mau.

Gue menoleh ke kanan dan mendapati Sandi sedang tersenyum lembut ke gue. Detik itu juga, gue yakin kenangan malam ini tersimpan baik di dalam kepala dan hati gue. Mengendap dan jadi bagian terpenting hidup gue.

Kalaupun nggak, gue berharap kenangan ini akan selalu ada.

***

“Dev?” panggil seseorang. Gue menoleh perlahan, Rian.

“Eh! Ayo Yan, anak-anak udah pada nungguin gue kan?” kata gue seraya bangkit dan menepuk-nepuk bokong gue supaya pasir-pasir yang menempel di denim gue luruh. Kalau bisa, semua kenangan gue bersama… Sandi, juga bisa ikut luruh.

Buat gue, memori lampau yang terlalu membekas itu sangat menyakitkan saat dikenang. Sialnya, lo bisa terkenang masa lampau yang nggak lo miliki lagi sekarang tanpa lo inginkan. Kalau udah begitu, siap-siap deh lo galau kayak gue sekarang.

“Gue masih nggak habis fikir sama lo, Dev.” Rian menahan tubuh gue yang hendak meninggalkannya di pantai ini menuju hotel.

“Gue nggak mau nyamain lo dengan homo lainnya, tapi… apa spesialnya Sandi sih sampai lo bertingkal sedongo ini? Sedangkan para homo yang lain dengan mudah bergonta-ganti pasangan tiap malamnya?” tanya Rian dengan mimik berhati-hati takut gue nggak terima. Tetapi dia sahabat gue, gue pun sahabatnya, gue tahu maksud baik dibalik ucapannya itu.

“Dah ah! Nanti anak-anak nungguin kita lho!” gue merangkul Rian berusaha membuat dia nggak menanyakan hal yang sama sekali gue nggak tahu jawabannya.

“Lo nggak sadar, huh? Dua setengah jam lo di sini setelah lo gue panggil tadi?!”

Shit!” runtuk gue. Namun, mengenang masa-masa gue sama Sandi memang nggak akan pernah bisa selesai, seberapapun waktu yang tersedia.

“Huh? Why you not around?” tanya Rian lagi.

Gue ikut duduk di pelepah nyiur yang Rian duduki, tepat di tempat yang gue duduki tadi.

Gue menerawang jauh ke ujung lautan, mencari jawaban dari pertanyaan yang Rian ajukan. Walaupun gue tahu, gue belum bisa menjawab pertanyaan semacam itu, sampai saat ini!

“Dua tahun, lo begini!” tegas Rian seperti telah jengah dengan kegalauan gue. Mungkin gue nggak pernah ngebuat dia susah dengan kegalauan gue, tetapi dia tetap sahabat gue dan nggak ada satu pun sahabat yang mau ngelihat sahabatnya murung berkepanjangan. Tottaly understood!

Gue menggeleng nggak tahu. “Gue selalu berharap, tiap gue bangun dari tidur gue, gue Amnesia, ngelupain semua tentang dia serta kenangan saat kami bersama. Ngelupain pemikiran bodoh yang gue nggak itu tahu apa, tapi selalu ada di dalam kepala gue. Gue nggak pernah lupa sakitnya saat gue bangun tidur dan Sandi nggak lagi ada di sebelah gue.” Air mata ini meninggi, gue tahu banget kalau menangis adalah hal hina bagi cowok. Tetapi, rasa sakit di dalam hati ini atas kehilangannya memang sepadan dibayar tangisan penyesalan gue.

Sungguh! Gue nggak pernah merasa hina jika mengangis untuk Sandi.

“Lo sama Sandi itu bukan suatu kesalahan, Dev!” ucap Rian sambil menyilangkan kakinya.

“Lo sama Sandi itu sebuah pembelajaran, semua alasan dari… kenapa Sandi ninggalin lo dan milih balik ke mantan bule-nya, itu yang harus lo benahi.” Rian menatap gue, matanya yang tegas itu serasa menusuk hati gue yang rapuh.

Nggak adakah kesempatan gue kembali bersamanya lagi?

“Menurut lo? Dia baca nggak semua e-mail yang gue kirim ke dia?” tanya gue ke Rian.

“Semoga aja, si Jebs nggak seposesiv lo.”

Fuck!

***

“Kamu mau ke mana?” tanya gue dengan nada yang nggak juga gue turunkan. Nafas gue memburu karena termakan emosi.

“Pergi!” jawab Sandi pelan, sebenarnya gue tahu dia sedang menahan diri agar nggak nangis.

“Jangan kayak anak kecil! Kita selesain ini di sini, kamu pergi nggak akan sama sekali nyelesain masalah ini!” timpal gue lagi. Sungguh, gue ingin berhenti memaki, tetapi gue nggak bisa. Gue terus mencecarnya, seakan-akan gue nggak puas dan permintaan maafnya yang dari tadi dia ucapkan.

“Aku salah! Aku udah minta maaf dan kamu masih nggak bisa terima, selalu aku yang salah.” Sandi gue mendesah frustasi, air mata turun dari mata indahnya.

“Memang kamu salah!” jawab gue dengan telak.

Sandi mengangguk, menghapus air matanya dengan tegas. Bibirnya bergetar, sekarang dia membuat gue seolah-olah gue lah orang yang salah, gue benci itu.

“Oke! Kamu dewa dan aku bukan apa-apa. Fine!” teriaknya tertahan. Sandi kembali berbalik, menarik keras ransel besar dari dalam lemari, lalu memporak-porandakan semua baju dan barang-barang miliknya ke atas kasur. Dengan gegabah dia menjejalkan semua yang dia rasa perlu di bawa ke dalam ransel besarnya.

Gue tinggal serumah dengannya, sudah cukup lama. Banyak momen gue dan dia lewati dan alamin di dalam rumah ini. Rumah ini nggak terlalu besar, tetapi sudah sangat cukup untuk menjadi bingkai cinta kami. Walaupun, sekarang gue dan dia sedang berada di dalam masalah.

“Aku nggak akan marah kayak gini kalau kamu nggak kayak gitu!” desis gue sambil menunjuk laptop yang sudah hancur di kaki nakas.

“Aku cuma balas e-mail dari Jebs, apa itu—“

“Jelas salah! Kamu udah punya aku, nggak perlu lagi balik-balik ke masa lalu, apa aku kurang cukup bahagian kamu? Apa perhatian aku ke kamu kurang? Apa aku kurang baik memperlakukan kamu? Kurangku apa San?” cecar gue. Rasa cemburu ini sudah bertahta di tengah hati, mengambil alis emosi yang memang mudah meluap ini.

Sandi mendelik nggak percaya mendengar apa yang baru saja gue omongin. Lagi pula apa yang gue omongin itu benar semua, gue nggak habis pikir kenapa dia bisa e-mailan sama mantannya bulenya yang berasal dari negeri antahberantah itu. Kurangnya gue apa coba?

“Aku cuma silahturahmi, cuma balas e-mailnya dia yang nanyain kabar aku, nggak lebih.”

“Siapa yang berani jamin?” timpal gue lagi. Gue sangat amat merasa tidak aman sekarang.

“AKU!!!” teriak Sandi keras, seolah-olah apa yang dia lakuin itu sangat lumrah dan nggak sama sekali jadi masalah. Gue marah, karena memang gue nggak pernah melakukan hal yang sekarang gue permasalahin. Gue mencintai Sandi dengan segenap hati, cuma ada di dalam sini, dan rasa takut kehilangannya selalu hadir tiap gue ngerasa dia berbeda.

“Sebentar lagi dia akan balik ke Indo-kan? Huh? Dan kamu mau temuin dia kan? Pergi sana! Aku pengin tahu, kamu bahagia apa tersakiti lagi sama dia!” kata gue tanpa kontrol.

Suara resleting yang digeser terdengar jelas, seakan-akan terekam abadi di dalam kepala gue, seperti suara pengantar Sandi yang keluar dari dalam hidup gue. Detik itu juga, gue tahu kalau guelah yang berasalah.

Sandi berdiri tegap di hadapan gue, air matanya terus turun walau berkali-kali dia coba hapus.

“Kalau kamu nanti dapat pacar baru, belajar hargain perasaannya, privasinya, dan harga dirinya. Devan, bye!” desis Sandi sambil meraih ransel besarnya.

Gue bergerak cepat, gue tutup pintu kamar dan gue kunci. Sandi protes dan mencoba merenggut kunci yang berada di dalam kepalan tangan gue. Seraya itu gue melontarkan ribuan kata maaf, dari hati gue yang terdalam.

Setiap orang membuat kesalahan, tiap orang pula berhak dapat pengampunan. Seharusnya.

Gue sangat lega karena Sandi nggak jadi pergi, malam itu dia tidur dalam pelukan gue, walaupun dia nggak mengucapkan satu patah kata pun sehabis dia meletakan ransel yang sudah dia isi barang-barang miliknya.

Namun, kelegaan itu hanya saat gue terpejam. Karena saat gue terjaga… Dia telah pergi dan cintanya untuk gue sudah benar-benar mati.

***

Rian menepuk-nepuk pundak gue, menarik gue kembali dari kenangan pahit atas kebodohan gue sendiri.

Dicintainya itu sebuah keistimewaan tersendiri buat gue, membiarkan dia pergi adalah tindakan paling bodoh seantero bumi, mengubur cinta dan kenangan tentangnya adalah hal yang nggak akan pernah mungkin terjadi. Kecuali, gue amnesia.

“Kalau lo udah selesai di sini, cepat balik ke kamar hotel. Kita-kita nyisain makanan kok buat lo.” Rian berdiri, menepuk-nepuk pundak gue lagi. Gue hanya mengangguk tanpa menatapnya.

Rian menatap gue dalam-dalam. “Jangan terus nulisin namanya di atas hati lo. Sudah terlalu jelas dan membekas, semua orang bisa lihat itu. Udah saatnya lo berdamai denga hati lo. Jangan ulangin lagi kesalahan lo. Cuma lo yang tahu salah lo itu apa.”

“Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang pula berhak mendapatkan pengampunan. Tapi, bukan berarti semua orang bisa kembali ke waktu lampau dan memperbaiki kesalahannya.” Rian bergerak pergi. Ada kekosongan yang benar-benar menyakiti hati.

Nggak ada lagi yang bisa gue katakan. Nggak ada lagi yang bisa gue harapkan. Hubungan gue dan Sandi udah berakhir, mungkin benar kata orang-orang.

Sandi dan gue, hanyalah kenangan, bukan masa depan.

Gue sangat menyesal pernah memperlakukannya dengan amat buruk. Seberapapun seringnya gue menegaskan kepada dunia bahwa gue benar-benar mencintainya. Karena cinta membutuhkan pembuktian, tindakan, bukan omongan. Gue bodoh telah menyia-nyiakannya. Dan kini penyesalan datang, menghujam gue tanpa ampun. Ini memang balasan yang setimpal.

Selamat tinggal kenangan.

CATATAN KECIL WULAN

CATATAN KECIL WULAN

 

Mana yang akan kamu pilih: dia yang kamu cintai atau dia yang kamu butuhkan?

 

*

 

Aku Wulan, umurku duapuluh tiga tahun dan aku perempuan yang dijuluki si ambigu.

Dan ini, catatan kecilku.

Jika kalian bertanya balik kepadaku tentang hal yang kutanyakan kepada kalian, maka aku akan menjawab : Aku pilih, dia yang aku butuhkan.

Binar lampu yang cemerlang menerpa wajahnya, senyum yang amat kukenal tersungging di wajahnya yang lamat tersimpan dan mengendap sempurna di dalam hatiku.

“Jika kamu masih ingin menanyakan tentang alasanku, maka tanyalah kepada jarum jam yang berdetik menggeser waktu. Niscaya kamu akan menemukan alasan yang selama ini enggan aku ucapkan,” bisiknya syahdu di ujung telingaku.

Aku bergidik mendengarnya, bukan karena kata-kata yang ia tuturkan terdengar buruk ataupun menakutkan. Tetapi karena aku telah menemukan alasan yang selalu kutanyakan kepadanya namun enggan ia jawab sampai sekarang. Waktu yang memberitahuku tentang alasan yang kupertanyakan selama ini atas hatinya. Hatinya yang selalu merapal nama tiap detiknya, yaitu aku. Wulan.

“Tak perlu sama sekali, karena kini, telah kutemukan alasan yang sedari dulu kupertanyakan. Kamu membutuhkanku layaknya ikan yang selalu membutuhkan air?” rapalku gugup termakan rasa bahagia yang melimpah.

Ia mengangguk mantap. Senyum kembali terlihat di wajahnya yang memesona. Garis rahangnya yang kokoh dan tatapannya yang tegas seakan-akan membuatku dejavu. Aku tidak akan pernah mencoba mengulangi hal bodohku di lampau itu.

“Tetapi aku tidak begitu,” jawabku dengan senyum yang jauh lebih lebar darinya.

Ia terkesiap dan diam termakan jeda.

“Aku, membutuhkanmu layaknya paru-paru yang membutuhkan oksigen,” sambarku sebelum ia kehilangan kebahagiaan.

“Aku sangat mencintaimu,” tuturnya penuh ketulusan. Setidaknya itu yang aku rasakan dan aku yakini.

“Aku membutuhkanmu. Dulu, kini, sampai di hari di mana rambutku memutih,” tegasku penuh percaya diri.

Ia kembali tersenyum lebar. Senyum yang mampu membuatku mencelos, terperosok ke dalam lubang kebahagiaan yang tak memiliki dasar. Tatapan tegasnya menerobos mataku, lalu menguarkan seluruh rasa bahagia yang ada di dalam hatiku. Membuat rasa bahagia itu kini berdigjaya seiring waktu yang digeser oleh detik yang bergerak.

Kugenggam erat tangannya yang terasa hangat dengan mantap. Tuhan, dengarkan janji kami sekian puluh detik yang lalu. Maka satu pintaku di hari pernikahanku ini, jadikan aku istri dan Ibu dari anak-anaknya kelak yang selalu ia cintai. rapalku di dalam hati yang disesaki jutaan kebahagiaan.

 

 

Perempuan manapun selalu ingin membuat perempuan lain mentapnya iri, pula berlaku kepadaku. Aku ingin mereka (perempuan) iri kepadaku, bukan karena aku memiliki seorang kekasih yang tampan seperti para dewa. Tetapi karena aku satu-satunya perempuan di antara beratus-ratus perempuan di sekelilingku yang diperlakukan seolah-olah aku adalah sang dewi. Walaupun aku adalah perempuan biasa yang dicintai oleh seorang pria yang sungguh luar biasa.

Itulah aku, Wulan.

*

Kuhentakan kakiku secara berlebihan, semata-mata hal itu kulakukan untuk memberitahukan dunia, bahwa aku sedang dirundung kekesalan. Bagimana tidak, jika pria yang aku cinta malah biasa-biasa saja menghadapi seorang perempuan yang sebenarnya jelas kentara menyimpan rasa terhadapnya. Dan hal itu terjadi di depan mataku. Kekasihnya.

Jelas aku cemburu. Ralat! Berhak cemburu! Karena aku adalah kekasihnya dan siapa saja tak berhak mengusiknya dariku. Tetapi, harapan hanyalah harapan. Aku berharap seperti seorang anak kecil di Palestina yang berkeinginan hidup dalam ketenangan.

“Wulan?! Tunggu!” cegahnya sambil memegangi pergelangan tanganku.

Aku memutar bola mata, sembari menarik kasar tanganku dari genggamannya.

“Apa lagi sih?” tanyaku sinis.

“Kamu kayak anak kecil banget sih, kalo ngambek maunya langsung pergi. Nggak bisa ya kamu dewasa di umur kamu yang matang?” serobotnya. Memutar balikan fakta sehingga sekarang akulah sosok yang bersalah dari masalah yang mendera kami.

“Loh? Kok aku yang kamu bilang kayak anak kecil?” kataku tak terima.

“Ya, karena kamu emang kayak anak kecil!” tambahnya lagi. Sontak aku merenggut dan berkeluh lirih.

“Tanya sama diri kamu sendiri. Kalo kamu menganggap diri kamu itu pria dewasa sedewasa usia kamu, harusnya kamu bisa tahu. Membuat pacar cemburu itu hal dewasa apa nggak?” jelasku tak sabar. Aku memang dikenal egois. Tetapi yang mengataiku egois adalah mereka yang benar-benar suka menghakimi.

“Oh, kamu cemburu sama Camelia?” selorohnya seakan-akan aku tadi mengatakan hal yang penuh gurauan.

Memoriku memutar ulang kejadian beberapa menit yang lalu. Pelupuk mataku bagaikan sebuah Proyektor yang menampilkan semua adegan sok mesra seorang Camelia—perempuan genit berbehel—dengan Makka pacarku yang tak kalah murahannya, karena Makka membiarkan perempuan gatel itu bermanja-manja di bahunya yang hanya pas untuk aku seorang.

“Pria dewasa adalah pria yang membuat ratusan perempuan iri terhadap pasangan si pria. Bukan malah sebaliknya,” tegasku tak sabaran sambil melangkah lagi.

“Drama ah,” jawabnya enteng. Seakan-akan aku adalah seorang perempuan pengharap roman picisan.

“Eh! Berhenti dong, kita kan mau kencan.”

Phu-lease! Nggak usah ber-drama Queen. Mr. Makka!” sentakku sambil berlalu dan mencegat taksi yang kosong dan kebetulan berlalu di hadapanku.

*

“Berhenti nangis, lo nggak sama sekali cantik kalo lagi nangis,” seloroh pria paling sabar di dunia ini kepadaku.

“Gue kesel aja. Udah tahu gue sama dia mau jalan tapi pas gue izin bentaran mau ke kamar kecil buat pipis. Eh! Pas gue balik lagi, dia cekikikan sambil ngebiarin si Camel onta itu manja-manjaan di bahunya, Makka!”

Aku melempar batu segenggaman tanganku jauh ke tengah danau. Membuat air yang tenang menjadi sedikit bergelombang. Saat air kembali tenang, bisa kulihat pantulan wajah kami yang begitu serasi di air danau yang memendar kecil akibat cahaya senja.

Ia menolehkan kepalanya untuk menghindari tatapanku dari air yang memantulkan bayangan tubuh kami layaknya cermin. Aku tahu mengapa ia menghindari tatapanku. Bisa kurasakan luka hatinya akibat ucapanku.

Seberapa lama lagi aku bisa menutupi perasaanku. Berlindung di dalam umpama teman dengan orang yang jelas-jelas mencintaiku. Tetapi aku… tidak mencintainya, aku mencintai Makka. Namun, aku tidak bisa menafikkan fakta. Bahwa aku: membutuhkannya. Sangat membutuhkan sosok Ardan.

Aku adalah perempuan egois yang ambigu. Hanya orang-orang yang suka menghakimilah yang menyebutku seperti itu.

“Mungkin dia emang nggak bisa berbuat apa-apa aja kali pas si Camelia, gelayutan di pundaknya,” tuturnya pelan. Ia memilin-milin jarinya. Aku tertegun. Bukan memikirkan kata-katanya tadi. Melainkan karena aku kini malah merasa termakan perasaanku yang benar-benar ambigu. Aku menyukai dua pria. Pertama, dia yang aku cintai. Kedua, dia yang selalu aku butuhkan.

“Loh, kok lo malah belain si Mak—dia sih? Bete ih!” keluhku.

Seketika dadaku bergemuruh hebat. Jantungku berdegub acak dan aku sempat berpikir pria tersabar di bumi ini akan mendengar degub jangtungku yang begitu berantakan.

“Kalo subjektif-nya sih, gue pengin banget jelek-jelekin dia. Pengin banget! Tapi, nggak ada orang yang berhak menghakimi orang lain selain Tuhan.” tuturnya mendayu setelah menarik tangannya yang besar dan hangat dari kepalaku.

“Sok bijak deh, lo!”

Aku mendengus kecil sambil menyisir rambut hitam sebahuku dengan jemari tangan. Ardan hanya tertawa dengan raut masygul sambil menyentuh air danau sesekali dengan ujung jari kakinya. Entah mengapa, aku ingin sekali memeluknya. Membisikan sebuah kata: Bersama lo, gue merasa seperti perempuan yang paling sempurna. Dijaga dan dihargai sepenuhnya. Tetapi mulutku tak bergerak sama sekali. Aku benci hatiku, mengapa aku bisa sesempurna ini membagi hatiku kepada kedua pria. Pertama Makka—pacarku. Kedua Ardan—entahlah—orang yang selalu kubutuhkan seumur hidupku.

Ardan berdahem, membuat aku sontak memandangnya. Sedetik, aku terperangah melihat senyumnya yang kuhafal di luar kepala. Senyum yang dengan nakalnya berkelebat di pelupuk mataku saat aku merasa sendiri, entah itu diheningnya malam atau di sebuah pesta yang tidak sama sekali kusuka.

“Gue sayang sama lo, dan gue nggak suka ngelihat lo ngebuang air mata lo,” tuturnya pelan menyayat hatiku. Aku merasa gadis ambigu paling jahat di dunia. Jika memang benar dunia menyediakan ribuan pilihan yang bisa dengan mudah diambil begitu saja, maka aku akan memilih Ardan lah yang menjadi cintaku, satu-satunya. Tidak seperti sekarang. Aku bahkan kalah dengan perasaanku, mencintai dua pria berbeda dalam satu hati dan waktu yang sama pula.

Kutangkap tangannya yang solid dan hangat, saat Ardan hendak menarik jemarinya sehabis menyeka air mata di pipi dan juga pangkal hidungku. Gue pun sayang sama lo, tetap di sini, temani gue sampai hati ini menepi ke hulu. jeritku dalam hati. Sejujurnya, aku benar-benar ingin mengatakan hal itu. Tetapi lagi-lagi bibirku kelu.

“Makasih.” hanya itu yang keluar dari bibirku.

Ardan mengangguk. Ia tersenyum masygul lalu kelam di wajahnya berganti dengan cahaya ketulusan dari cinta yang ia miliki. Sebegitu tulus dan sederhananya ia mencintaiku. Namun, sebegitu keji dan rumit aku menyeretnya untuk menemani perjalananku sampai ke hulu. Walau aku tidak tahu, kapan aku akan menemukan hulu itu.

“Berhenti menangisi hal konyol. Guna gue di sini sekarangkan supaya lo nggak ngelakuin hal konyol kayak ini?!” tegasnya sambil kembali menyeka air mataku yang mulai berhenti mengalir. Sapuan tangannya yang kasar khas pria seakan-akan handuk lebut bagiku. Mengeringkan air mata yang tadi dengan bodohnya kukucurkan.

“Makasih.” sekali lagi, dari jutaan kata yang bekecamuk di dalam kepalaku hanya ucapan terimakasih yang bisa aku sampaikan kepadanya. Ia hanya tersenyum menggemaskan.

Dengan bersahaja ia merebahkan tubuhnya yang tegap ke rerumputan. Tangan kanan yang ia gunakan untuk menyeka air mataku, kini ia tangkupkan di dada bidangnya.

“Matahari sebentar lagi terbenam.” selorohnya.

“Entah sampai kapan, lo bisa nemenin gue melihat senja berganti temaram,” ucapnya bagaikan sebuah pertanyaan yang ditujukan langsung kepada Tuhan.

Entah apa yang merasukiku. Tubuhku begitu saja bergerak. Dan seperti jodoh, tangan kirinya direntangkan lurus sebagai penyangga kepalaku yang kini rebah di bicepnya. “Sampai ribuan malam yang tak lagi dihiasi bintang pun sinar rembulan!” kataku tegas namun berbisik di ujung telinganya. Aroma rumput lembab dan wangi feromon dari tubuhnya membuatku kaku. Dengan kikuk kuturunkan tanganku yang tadi reflek menunjuk langit temaram.

“Terdengar mustahil, nggak?!” kataku lagi, memecah keheningan. Aku terus menunggu jawabannya, sedetik bagaikan setahun. Jangkrik dan kodok yang saling bersahutan bagaikan orkestra alam di senja kota hujan yang temaram.

Ia menolehkan kepalanya hingga hidungku yang bangir sejajar dengan hidungnya yang curam. Begitu saja, orkestra malam tenggelam oleh gegap gempita dari gedub jantungku yang berantakan. Aku tambah mematung saat nafasnya yang halus berhembus hingga menerpa ujung bibirku.

“Nggak sama sekali mustahil,” ujarnya serak. Dari sorot matanya, aku tahu ia menahan getir dari cintanya yang tak bisa kubalas. Tapi, entah mengapa aku merasa sangat sakit mendengar ia berbicara seolah-olah Ardan telah siap membiarkanku mencintai satu pria saja, dan meninggalkannya begitu saja—karena, Ardan tak pernah tahu, bahwa aku pun… mencintainya.

“Walaupun lo bilang, kebersamaan kita akan terhenti ketika bulan dan bintang nggak lagi ada di malam yang tenang. Tetapi itu nggak sama sekali memustahilkan kebersamaan kita yang akan terus begini. Selamanya.”

Bibirku menekuk manis, mencetak sebuah senyum yang paling anggun seanggun rembulan yang bersinar malu-malu di balik pekatnya awan malam. Lalu, entah siapa yang memulai. Aku membiarkan bibirku disengat rasa hangat karena pagutannya yang lebut dan santun saat menyesap bibirku secara perlahan. Dan ini pertama kalinya. Ciuman pertamaku yang harfiah.

Aku tak bisa mengatur hatiku agar memilih seorang di antara mereka. Sungguh tak bisa.

*

Kulangkahkan kakiku malas-malas. Dengan ketus keketuk pintu kos-nya. Kejadian dua minggu lalu di Mall saat aku ingin nonton bersama dengan Makka dan tanpa sengaja bertemu dengan Camel si onta jelek itu terputar jelas di ujung pelupuk mata.

“Bentar…” sahut Makka dari dalam. Aku mendecak sebal, entah mengapa hal ini—menunggu—terasa sangat menyebalkan.

“Wulan…” katanya setengah memekik. Keringat turun dari dahinya yang mulus. Bibirnya bergetar kecil dan jakunnya naik turun. Seakan-akan ia sedang duduk di kursi pesakitan.

Kodorong pintu yang setengah terbuka. Tetapi Makka menahan pintu agar aku tak bisa membukanya dan masuk begitu saja seperti biasa.

“Kenapa sih? Aku mau masuk nih. Gerah di luar,” selorohku tak sabar.

“Bentar dulu.” Ia mendorong pintunya hingga tertutup. Emosiku mencuat begitu saja. Kuputar kenop pintunya lalu kuhentakan keras-keras.

Astaga!

“Camel! Ngapain lo di kosan cowok gue?!” tanyaku dengan nada terkeji.

Perempuan itu mendelik kaget melihatku, seakan-akan aku adalah hantu.

Camel menyisir rambutnya yang panjang dengan jarinya yang sangat jelek. Wajahnya yang eksotik itu mengerenyit menjijikan. Bitch, mereka manusia paling berengsek. runtukku dalam hati.

Kamar Makka berantakan. Baju mereka pun begitu.

“Hmm… udah saatnya lo tau wahai stupid bitch!” katanya penuh ejekan. Demi apapun aku ingin mencakar wajahnya yang mirip dengan tiang listrik. Hitam menjijikan.

Camelia mendekatiku, badannya yang seksi penuh lipatan tersebut melenggak-lenggok menjijikan. Bergerak seperti Zombie. “Gue dan Makka, PACARAN!” Sentaknya penuh percaya diri. Brengsek.

Hatiku berdenyut lirih, menyeruakan rasa sedih hingga membuat nyeri sekujur tubuhku yang kurus ini. “OH! Who cares?” tantangku dengan alis yang kuangkat tinggi-tinggi. Walau sebagian dalam diriku menjerit lirih.

“Makka, selamat tinggal.” Hanya itu yang aku katakan. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kosnya. Tidak kupedulikan teriakan Makka yang mencoba memberikanku penjelasan. Aku mencintainya, sungguh mencintainya. Tetapi aku tidak bisa terus menjalin hubungan dengan rasa curiga terhadapnya. Tidak akan pernah bisa.

*

“Dek, ada Ardan tuh di luar…” ucap Ibu setelah ia mengetuk pintu kamarku.

“Kamu juga belum makan dari semalam kan, Dek?” tambah Ibu dibarengi dengan ketukannya terhadap pintu kamarku.

Ardan? rapalku dalam hati. Sesegera mungkin kuangkat tubuhku dari atas kasur.

Kurapihkan ikal rambut dan ujung kausku saat hendak membuka pintu. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menormalkan organ-oragan tubuhku. Kulirik sekilas cermin sebelum aku membuka pintu.

“Hei, udahan nangisnya?” tanya Ardan begitu saja saat aku keluar kamar. Sosoknya yang tinggi tegap, tersenyum maklum kepadaku.

“Dari mana lo tau gue abis nangis?” tanyaku ketus.

“Dari situ.” Ia menunjuk mataku. Jantungku berdegub gila, rasa nelangsa hilang seketika.

“Dan dari SMS si Makka ke gue. Dia ngomel-ngomel tuh, kalian putus dan gue dijadiin kambing hitam.” ia menyisir rambutku dengan cara terlantun. Meluruhkan rasa pilu yang membuatku pening dan susah tidur semalaman.

“Sori…” kataku lirih.

Who cares?” jawabnya seperti biasa. Dan aku suka mengutipnya.

“Cepetan mandi dan kita cabs grak ke luar. Kita hepi-hepi,” ujarnya meyakinkan. Entah mengapa aku mengangguk. Padahal sedari kemarin sore aku sangat malas. Bahkan meraup ponsel yang biasanya selalu kugenggam ke mana pun, tidak kulakukan karena rasa galau yang memenuhiku kemarin.

*

Angin malam menemani perjalanan kami menuju tempat yang Ardan tuju. Karena sampai sekarang pun Ardan enggan menjawab pertanyaanku prihal tujuan kami.

“Lo mau ke bukit yang sana, atau situ?” tanyanya sambil melepas satu tangan dari stank motornya.

“Ke mana pun lo bawa gue,” jawabku jujur. Bisa kurasakan Ardan mengangguk. Kulilitkan tanganku ke perutnya yang keras. kepalaku rebah di bahunya yang lebar. Semilir angin seakan menjadi pelengkap kenyamanan di antara ribuan rasa galau yang kuemban.

*

Bunyi jangkrik mengisi heningnya malam. Ardan hanya diam menemaniku memandang bulan. Sesaat rasa perih menyeruak begitu saja dari dalam hatiku. Aku benci hening, karena hening hanya membuat rasa pilu yang harusnya kubunuh malah bakit dan bertindak di luar kendali hatiku.

“Lo nggak mau cerita sama gue?” tanyanya mengisi kosongnya jeda dari jangkrik yang berderik.

“Makka, selingkuh…” selanjutnya kuceritakan apa-apa yang kualami kemarin sore. Dan seketika, bebanku meringan.

“Gue udah pernah bilangkan? Gue sayang sama lo, dan gue nggak suka ngelihat lo ngebuang air mata lo? Nangisin hal yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat buat ditangisin.”

“Lo nggak ngerasain sakit di dalam sini sih!” aku menunjuk dadaku. Ardan tertegun, lalu ia menghela nafasnya.

“Lo cuman boleh nangis kalo lo ngelakuin kesalahan. Nyakitin orang yang elo sayang. Bukan, meratapi nasib yang seharusnya lo lawan!” tuturnya benar.

“Lo tau Lan? Hal-hal apa yang ngebuat gue ngerasa payah?” tanyanya. Aku menoleh cepat, menelusuri raut wajahnya yang kini sendu sepertiku.

“Membiarkan orang yang gue sayang terluka.” ia menatapku dalam-dalam. Sebegitunyakah ia mencintaiku? Aku memang bodoh! Perempuan bodoh yang salah menaruh hati. Membiarkan orang yang kubutuhkan tersakiti karena hatiku yang ambigu.

“Lo orang yang selalu gue butuhin” rapalku cepat dan pelan. Ia menatapku sekilas, bisa kulihat bibirnya tertarik mencipta sebuah senyum. Lalu ia berdiri dan melangkah ke depan. Mendekati jurang terjal yang memberikan pemandangan menakjubkan.

“Apa alasannya? Sehingga, gue jadi orang yang selalu lo butuhin?” tanyaku penasaran. Entah mengapa aku merasa penasaran. Hatiku amat menuntut, seakan-akan jawab darinya akan mampu membuat hatiku memilih keputusan yang benar.

“Lo nggak perlu tahu apa alasannya.” Ia menoleh kepadaku. Tersenyum miring dan terlihat amat memikat. Membuat duniaku yang tadi monogram menjadi berwarna.

Aku berdiri dan melangkah mendekatinya. Wajahnya yang tampan semakin jelas setelah sinar rembulan menyinarinya di malam yang kelam. “Makasih.” Aku melewati bahunya begitu saja. Entah apa yang membuatu tertarik untuk duduk di bibir jurang.

Bersamanya aku merasa aman. Hal seekstrim ini berubah menjadi begitu menyenangkan. Sebab itu ia kusebut sebagai orang yang selalu aku butuhkan.

“Luka timbul dari puluhan sebab. Dari sebab yang terkecil hingga yang benar-benar besar,” tuturnya pelan. Suaranya yang berat menggelitik telingaku. Sontak aku tersenyum. Sebentar lagi aku akan ringan. Ialah satu-satunya orang yang mengertiku dengan sebenar-benarnya.

“Tapi, luka bisa memberikan kita pengalaman untuk menghadapi masa depan. Sayangnya, tak jarang orang yang menyimpan luka di dalam palung hati terdalam. Membiarkan hidup mereka sia-sia hanya karena luka yang tak mereka coba sembuhkan.” Bibirku menekuk. Sudah kubilang, Ardan akan membuatku meringan. Dengan caranya sendiri. Sebab itu aku membutuhkannya. Selamanya.

“Cinta, nggak ada yang abadi. Yang ada, hanya bagaimana cara kita merawat dan menjaga masing-masing cinta yang kita miliki untuk terus hidup dan selalu membuat kita bahagia” katanya ambigu. “Tetapi, kalo cinta yang kita jaga itu nggak menghargai usaha kita. Apalagi yang bisa kita jaga?” aku tersenyum mendengarnya. Ia tetap pria yang mencintaiku. Ada makna di balik kata-katanya tadi. Tentang aku yang seharusnya memilih Ardan dan meninggalkan Makka.

“Tetapi, kalo cinta yang kita jaga itu nggak menghargai usaha kita. Apalagi yang bisa kita jaga?” aku mengulang kata-katanya dengan sedikit tawa. “Lalu, gimana sama lo sendiri? Lo masih berdiri di sini, setelah sekian tahun gue selalu berkelit dari cinta yang lo tawarin ke gue? Huh?” tanyaku sambil menatap lurus lelampuan yang berpendar di kejauhan.

Ardan terdiam. Aku tahu ia kehilangan kata-katanya. Sejujurnya, aku tak pernah ingin menyakitinya, sudah terlalu banyak luka yang kutorehkan di hatinya selama ini. Mungkin dengan cara menyakitinya sekarang, akan membuat Ardan menyerah dan tak lagi berharap kepadaku. Walau kutahu, aku membutuhkannya layaknya paru-paru yanng membutuhkan oksigen.

Ardan menyusulku duduk di bibir tebing. Ia masih kehilangan kata-katanya. Tetapi, aku menyesal telah menyakitinya tadi. Ada rasa takut yang kini benar-benar kusadari. Aku takut hidup tanpa sosoknya. Takut sekali.

Ia meraup tanganku, membuatku seketika bisu.

Kami saling pandang, angin malam syahdu menuntun kami menyatu. Perlahan namun pasti bisa kurasakan celah jemariku di isi jemarinya yang sangat pas di sela-sela jemariku.

“Karena, cuma tangan lo yang pas di dalam genggaman tangan gue.” Ia tersenyum masygul. Luka dari kata-kataku mungkin membuatnya masygul. Tapi aku tahu, seberapa besar cintanya terhadapku. Cinta yang selalu mengobati luka dari sumber yang sama. Yaitu: aku.

Kuremas jemarinya yang hangat. Lantun, kurebahkan kepalaku ke bahunya yang solid.

Tuhan, mengapa kau ciptakan cinta serumit ini untuk aku rasakan.

*

Dua bulan berlalu.

Aku menggerutu terus tiap detik berputar pasti.

“Ardan ke mana sih, nggak biasanya dia telat jemput gue.” Kujejalkan ponsel ke saku Cardigan-ku. Lima belas menit berlalu, aku menunggu Ardan di depan Bank—di antara ruko-ruko sempit—tempat aku bekerja sebagai Teller. Telepon yang sedaritadi kutujukan kepadanya pun tak Ardan angkat.

Cepat-cepat kuraup kembali ponsel dari dalam saku Cardigan-ku. Gatal rasanya jika belum mendapatkan kepastian apakah Ardan jadi menjemputku atau tidak. Padahal tigapuluh menit yang lalu Ardan mengirim pesan bahwa ia akan menjemputku. Tetapi, sampai sekarang batang hidungnya pun tak terlihat.

Kutelusuri riwayat obrolan kami melalui pesan singkat di ponselku. Tidak ada tanda-tanda yang membuatnya ragu menjemputku dari tiap-tiap pesan kami. Tanpa sengaja aku membuka pesan yang masuk. Dari Makka. Kuputar kedua bola mataku refleks. Makka tak pernah berhenti meminta agar aku memberikan kesempatan lagi kepadanya. Walau ribuan kali kutegaskan secara langsung maupun tidak, bahwa aku tidak mau kembali kepadanya. Tidak ada kesempatan kedua. Sudah kukatakan bukan bahwa aku tidak ingin menjalin hubungan dengan rasa was-was yang selalu menghantuiku tiap hening kurasa.

“Tau ah!” gerutuku tak tahan sambil menyetop taksi yang berjalan pelan menghampiriku. Kuturunkan tanganku lalu berjalan dan membuka mobil penumpang.

Di dalam perjalanan aku tak henti meruntuki tingkah baru Ardan yang menyebalkan.

“Stop, Pak!” pintaku. Kurogoh saku celana mengambil uang lembaran untuk membayar ongkos taksi.

Aku mematung. Makka menungguku di bibir gang menuju rumahku. Aku ingin menghindarinya, tetapi aku tidak tahu caranya. Tak lama berselang, Ardan datang dengan motor besarnya, suara motornya khas dan sudah kuhafal di luar kepala.

“Lan, sori Lan, motor gue tadi bannya bocor.” Ardan mencegahku untuk melangkah pergi menghindarinya. Dari ekor mataku, bisa kulihat Makka yang geram dan melangkah mendekati kami. Aku tahu Ardan, ia tidak pernah takut dan mempedulikan status serta keberadaan Makka sedikit pun. Ardan seakan-akan yakin, aku adalah awalan dan akhir untuknya.

“Bodo,” kataku jutek. Perempuan mana yang tidak sebal kepda pria yang mengingkari janjinya.

“Heh! Tukang ojeg, pergi lu sana, lu nggak liat apa? Keberadaan lu udah nggak dibutuhin sama Wulan! Lagi pula udah ada gue, PACARnya!” aku melirik keji ke arah Makka. Kami tak lagi memiliki status apa-apa.

“Terserah kalian deh.” Kulangkahkan kakiku gemas meninggalkan dua pria ini, terserah jika mereka ingin beradu jotos. Aku berusaha untuk tidak peduli. Sungguh.

“Heh! Lu dilahirin nggak punya malu sama sekali ye Ar?” Tapi entah mengapa langkahku sangat berat. Aku ingin mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Aku, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ardan.

Aku terus mendengar cercaan yang ditujukan Makka kepada Ardan yang hanya membisu sedaritadi. Aku terus melangkah, dan suara Makka seakan-akan menguntitku.

Aku menoleh dan melihat Makka dengan raut murkanya terus-menerus memaki Ardan yang hanya membisu sambil mendorong motornya, mereka benar-benar mengikutiku.

“Kalian! Pergi deh, berisik tauk!” aku mengedarkan pandang, sialnya tidak ada orang sama sekali di sini, aku jadi tidak memiliki alasan untuk mengatai mereka: tidak tahu malu.

“Gue nggak akan pergi sebelum lo maafin gue, Lan,” tutur Ardan dengan senyum yang penuh perkataan ‘maaf’. Aku hampir saja membalas senyumnya, sialan! mengapa Ardan memiliki pengaruh yang kuat, bahkan di saat Makka ada di hadapan kami juga sekarang. Seharusnya aku lebih fokus kepada Makka. Tidak-tidak! Aku dan Makka telah selesai, jadi lebih baik aku fokus kepada Ardan. Tetapi! Arrgh!!! Kenapa harus Ardan? Dan segala tentangnya yang menguar dan menyelubungi tiap indraku. Aku benci mengakuinya.

Makka tersulut atas perkataan Ardan tadi. Dengan cepat Makka mendorong Ardan hingga motor besar yang Ardan tuntun jatuh, menghasilkan bunyi berdebam yang hampir membuat aku memekik. Pukulan pertama dari tangan Makka yang jenjang tepat di pipi kanan Ardan. Pukulan kedua dilayangkan lagi oleh Makka, tetapi dengan sigap Ardan meraup pukulan Makka mengalihkan pukulan itu lalu mengunci tangan Makka, sampai-sampai Makka mengaduh kesakitan.

“Berenti!” selorohku penuh emosi. Ardan mematuhiku, ia melepas Makka dan meraup motornya yang tergeletak di aspal gang menuju rumahku.

Kuhampiri mereka dengan kondisi hati yang meletup-letup terbakar emosi. “LO! PERGI DARI SINI, SEKARANG!” teriakku kepada Makka. Membuat hatiku yang sesak oleh emosi meringan. “Pergi! Kita udah selesai. Dan nggak akan pernah balikan!” tegasku penuh kepercayaan. Ada hal tentang Ardan yang seakan-akan melekat dengan perkataanku.

*

“Bego!” cercaku sebal. Ardan hanya meringis sambil memegangi lukanya yang sedang kukompres.

“Gue hanya ngelakuin apa yang ingin gue lakuin.” Ardan menurunkan tanganku dari wajahnya. Mata kami bertemu, aku tidak begitu yakin kalau Ardan tahu kegugupan yang melandaku kini. “Dan yang ingin gue lakuin adalah apa-apa yang seharusnya gue lakuin dari dulu!” tambahnya lagi. Sekarang, aku merasakan tandus di dalam mulutku, membuatku sulit untuk membalas ucapannya. “Yaitu: menjadikan lo pemilik hati gue.” Ia tersenyum. Aku baru sadar kalau tanganku meremas erat tangannya saat Ardan menarik tangannya dan meraup tanganku untuk ia letakan di dadanya.

Ya!

Terima dia!

Apa lagi yang lo tunggu!

Jawab IYA, Wulan!

Hanya suara hatiku dan tatapan Ardan yang begitu menghipnotis yang aku rasakan.

Ardan tercengang saat melihat jawabanku.

Bego!

Kenapa lo menggelengkan kepala!

Bilang IYA. Belum telat buat hal itu!

Wulan! Bilang IYA sebelum Ardan pergi.

Tapi aku membiarkan Ardan pergi. Lagi, aku membiarkan ia terluka atas fakta yang tak semestinya ia terima.

Aku benar-benar mencintainya. Terasa jelas saat ia tercengang dan pergi dariku dengan cara membisu. Hatiku berdenyut pilu, melihat punggungnya yang solit bergerak menjauhiku. Tapi entah apa alasanku membiarkannya tersakiti oleh ucapanku. Sebab itu aku disebut ambigu.

Kalian mungkin akan membenciku yang terlalu ambigu. Tetapi, sungguh. Hanya akulah yang mengerti mengapa aku begini. Aku! Tak ingin mengubah umpama hanya demi hubungan yang sementara! Mengubah umpama teman antara aku dan Ardan untuk selamanya. Menjadi, kekasih untuk sementara. Itu yang aku takutkan.

Ponselku berdering. Kulirik jam di layar ponselku sebelum mengangkat panggilan masuk. Empat jam setengah aku mengurung dalam kamar. Menangisi keputusan bodohku. Sungguh, aku tak mengerti apa yang sedang aku lakukan saat ini.

*

Nafasku terengah-engah, kakiku terus berlari dengan cara yang timpang, sesekali aku memekik kecil saat mendapati tubuhku kehilangan keseimbangan dan hampir roboh.

Rumah Ardan masih di ujung tikungan yang berjarak tigapuluh meter dari tempat aku berdiri sekarang. Rumah Ardan berada di dalam gang sepertiku, tetapi rumahnya cukup besar. Halamannya yang luas dan penuh kententraman karena pepohonan yang menjulang di sekitar rumahnya.

Tadi, Sarah—adik Ardan—meneleponku, memberitahu bahwa Ardan kecelakaan sehabis pulang dari rumahku, dan Ardan tidak ingin di bawa ke rumah sakit tanpaku. Bodoh memang si Ardan, dia lebih memilik berdrama daripada mementingkan kesehatannya. Dan aku lebih bodoh. Saat mendengar kabar itu, aku langsung berlari keluar kamar, menjawab pertanyaan Ibu dengan cepat. Menyetop ojeg dekat rumah dan meluncur ke rumah Ardan sesegera yang aku bisa. Tetapi, baru sampai di depan gang, motor si tukang ojeg mogok entah karena apa. Aku lebih drama.

Dengan nafas tersengal-sengal, kulangkahkan kakiku yang gontai untuk menghampiri pagar rumah Ardan yang kini ada di hadapanku.

Clak!

Dinding rumah Ardan yang tinggi menjulang bersinar. Aku mundur terhuyung dengan sedikit memekik karena terkejut atas apa yang baru saja terjadi. Dadaku berdegub kencang, tetapi aku merasakan aura menyebalkan di sini. Kuedarkan pandanganku dengan was-was ke seluruh penjuru.

“Lo dateng?” suara Ardan menusukku dari belakang.

“Lo ngerjain gue?” desisku murka. Tidak kupedulikan suara Ardan yang amat kentara bahagia sekaligus gugupnya tadi.

“Gue hanya ngelakuin apa yang ingin gue lakuin.”

“Dan yang ingin gue lakuin adalah, hal yang seharusnya dari dulu gue lakuin.”

Aku terseksiap. Aku tak menolak Ardan mendekatiku, hatiku luluh. Lalu, pepohonan di sekeliling kami menyala. Memendarkan cahaya berbagai warna. Jinga berkelip menjadi emas, berganti lagi menjadi merah yang nyalang, lalu redup dan berkelip cepat. Aku tergugu di tempat.

Ardan meraih kedua tanganku lalu mengangkatnya hingga setengah badan kami. Mata kami berpagutan, aku limbung dalam kenangan. Tenggelam oleh tatapan matanya yang memabukan. Tuhan, jika cinta ini memang benar. Satukan. Kumohon.

Aku memekik tanpa suara. Satu tanganku menutup mulut, meloloskan diri dari genggaman Ardan yang sangat hangat. Lampu kecil yang mengerubungi pepohonan bak kunang-kunang sejuta warna berhenti berkelip.

Wajah Ardan redup karena pencahayaan yang temaram. Ia terseyum amat menawan, membuat kakiku terasa seperti agar-agar. Aku kembali memekik. Kali ini lebih terdengar setero dan takjub dari sebelumnya. Aku tak percaya Ardan mempersiapkan ini.

Lampu kecil itu berpendar kembali, membentuk tulisan I L O V E U tepat di belakang Ardan pun di hadapanku. Dadaku berdegub gugup. Gemetar di seluruh tubuhku membuatku sulit bernafas. Ardan tidak berhenti, ia duduk bersimpuh bak pangeran yang sedang memuja sang puteri.

Terjawab sudah pertanyaanku tentang kejadian-kejadian ganjal yang kualami tadi, itu pasti ulahnya! Tetapi, aku merasa tersanjung mendapat kejutan ini.

Please,” katanya lirih.

Be mine,” lamarnya kepadaku.

Kali ini tak akan kusia-siakan lamaran Ardan untuk menjadi kekasihnya.

Foeva.

Aku menitikan air mata saat Ardan mengeluarkan cicin entah darimana. Ia menunggu, masih menunggu jawabanku.

Foeva!” sahutku dengan isakan bahagia. Menangis, karena ia melamarku untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekarang, aku tak perlu takut terpisahkan keadaan. Hanya Tuhan, dan waktu yang mampu memisahkan kami sekarang.

Aku akan hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan. Tak peduli seberapa banyak hujatan. Dan kini, aku ingin melakukan apa yang seharusnya aku lakukan dari dulu. Mencintainya dengan hati yang tunggal. Bersamanya, aku sempurna.

[cuplikan] Jakarta The Hidden Stories. | Hiruzen Takamada Atmadja (pov)

Aishiteru…” ujarnya begitu lembut. Aku tidak pernah menyangka, sikapnya yang pecicilan itu kini menjelma menjadi sosok yang amat tenang, menyebarkan kehangatan di dinginya malam.

 

Kuhela nafas, kelebatan nista  masa kelam begitu saja menyeruak dari dasar hati, menyebarkan rasa pahit ke seluruh tubuh, seakan-akan empeduku hancur karena pernyataan cintanya. Tidak ada yang salah darinya, hanya aku dan hatiku yang tidak pernah berdamai seberapapun banyaknya waktu memberikanku kesempatan.

 

Ia terus memburuku dengan pandangan penuh cintanya. Kali ini tidak menenangkan, malah memacu batin dan fikiran berperang melawan penyakit hati. Aku pernah tersakiti karena terlalu percaya, dan sekarang aku tidak ingin mengulanginya, membiarkan hidupku hancur untuk kesekian kalinya. Cukup di hari kemarin, dan aku tidak akan membiarkan kembali terjadi di hari ini atau hari-hari berikutnya. Aku tidak punya cinta, tidak akan pernah punya cinta, walau aku percaya akan adanya cinta. Cinta membuatku lemah, lengah dan jatuh dengan asa yang menyakitkan serta derita yang tiada tara.

 

“Gue nggak punya rasa apa-apa sama lo. Sorry.” ucapku pelan, sambil menatap laut yang cukup terang karena sinar rembulan.

 

Berhenti menatapku seperti itu, berhenti berusaha melumpuhkanku, berhenti menjadi manusia sok tahu, aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi, siapapun kamu, apapun lebihmu dan seberapapun tulusmu, berhenti menyakitiku. rapalku nelangsa dalam hati saat kurasa pandangan terlukanya yang terus tertuju padaku.

 

“Lo bisa terus berada dikubangan luka, lo bisa terus berada di dalam bayangan penghianatan, lo boleh diam hanya karena lo takut gagal.” ia memalingkan wajahnya dariku, membuatku kembali bisa bernafas lega.

 

“Ka, hidup menyajikan sejuta kesulitan, sebab itu tuhan menciptakan kita untuk menahlukan kesulitan, bukan untuk dikalahkan kesulitan. Tuhan ciptakan cinta, bukan untuk mematikan manusia, cinta ada untuk memperkuat pemiliknya, untuk menjadi kuat kita harus terluka,” rapalnya sambil menatap lurus lautan.

 

Angin pantai mendesau kasar, bisa kurasakan bagaimana hatiku kehilangan keagungan. Kuremas kayu dermaga yang kokoh ketimbang hatiku, hatiku berderit pilu, menafikan fakta bahwa aku telah dikalahkan kesulitan, dipecundangi keadaan, entah sampai kapan.

 

“Dan pertanyaanya, mau sampai kapan lo berada di zona kehancuran? Nggak ada pangeran yang akan datang dan membawa lo pergi dari sana kalau lo cuman menunggu, satu-satunya yang bisa nolong lo adalah keyakinan lo sendiri.” ia kembali memburuku dengan tatapannya, tatapan yang membuatku sulit untuk bernafas.

 

“Kita hidup dengan tujuan serta alasan. Semua orang punya tujuan dan alasan.” tubuhnya bergerak hingga ia menghadapku yang masih setia mematut lautan. Lalu meremas pelan tanganku yang mencengkram kayu dermaga usang. Memberikanku keyakinan yang selalu aku ragukan.

 

“Gue nggak lagi punya alasan dan tujuan,” tegasku lantang. Aku merasa dihakimi, walau aku sangat mengerti maksudnya adalah menyemangati.

 

“Lo punya tujuan!” sahutnya tidak kalah cepat.

 

“Gue nggak punya, lo nggak tahu apa-apa tentang gue! Berhenti sok tahu Bim!” protesku sebal. Ia memenjarakan tanganku di dalam genggamannya sebelum aku sempat menariknya.

 

“Kalo lo nggak punya tujuan, buktikan. Kasih tau gue, kalau selama ini gue sok kenal sama lo, sok tau semua tentang lo.” tantangnya sambil merogoh tasnya.

 

Aku mundur terhuyung saat ia mengeluarkan sebuah botol minuman dari kaca dan menghantamkan botol tersebut ke kayu dermaga di sampingnya, membuat botol tersebut pecah  menyisakan sudut runcing nan tajam di bagian bawah botol. Lalu tanpa ragu ia menodongkan botol tersebut ke hadapanku.

 

“Katakan sekali lagi kalo lo emang benar-benar nggak punya alasan dan tujuan hidup?” tantangnya sambil terus menodongkan botol itu ke hadapanku.

 

“Jangan gila, Bim!” kataku dengan nada mengancam, namun ia tidak menurunkan botol yang sedaritadi ia acungkan.

 

Bisa kulihat matanya berkilat marah, air matanya meninggi entah karena apa, bisa kurasakan hatinya yang… terluka.

 

Ia meraup tanganku lalu menyematkan botol tersebut ke dalam genggamanku, sontak tubuhku melemas dibuatnya. Tanganku tidak bisa berhenti bergetar namun botol dalam genggamanku tidak urung kujatuhkan, seperti ada perekat mujarab di sela-sela buku jariku.

 

“Kalo lo emang nggak lagi punya tujuan hidup, ngapain lo masih bediri di sini, ngebiarin seluruh isi bumi menamai lo sebagai seorang pecundang, ngapain lo larut dalam kesedihan yang berkepanjangan jika lo nggak berniat menanggalkan semua kegalauan. Bukannya lebih baik mati? Huh,? karena hidup pun, lo nggak punya atau bahkan kenal dengan namanya alasan dan tujuan?” ucapnya panjang lebar dalam satu tarikan nafas. Air matanya menetes, dan entah mengapa membuat aku merasa begitu terluka. Membuat botol yang kugenggam terlepas begitu saja.

 

Kupejamkan mataku, merasakan pekatnya hatiku yang dirundung pilu. Rasa ngilu di sekujur tubuhku terasa jelas, seperti tiap jengkal tubuhku di sayat-sayat oleh silet berkarat.

 

Tubuhku bergetar dahsyat. Wajah Nyokap dan Bokap yang pertama kali berkelebat, lalu wajahnya, Karel, Janu dan suasana Geothe saling menyalip untuk memperlihatkan diri di dalam kepalaku, di ujung pelupuk mata. Aku punya alasan dan tujuan hidup, namun aku terlalu takut mengakui semuanya hanya karena khawatir diserbu kegagalan. Aku manusia keji, memiciki diri, hanya demi rasa aman yang tidak sama sekali membawa kebaikan.

 

Aku terkesiap saat benda lembut, kenyal dan hangat menyutikan kenyamanan melalui bibirku. Aku tidak bisa berontak saat aku menyadari ada tangan yang mencengkram lembut pinggang dan kepala belakangku. Kemudian, bisa kurasakan sapuan halus itu memabukanku. Menyapu segala rasa pilu yang menggalaukan hatiku.

 

Daisuki Dayo…” lirihku saat ciuman kami berakhir. Rasa lapang dan hangat menyebar cepat seperti virus ke seluruh tubuhku. Virus dalam kandungan makna terbaik yang pernah ada.

 

Mata dan senyumnya berbicara akan ketulusannya saat wajah kami menjauh satu-sama lain. Aku mencintainya, namun aku takut mengakuinya, karena aku akan sangat menderita setelah mengakui bahwa aku mencintainya dan dunia memisahkan kami, seperti yang sudah-sudah. Tentang apa-apa yang membuatku tidak ingin kembali memiliki cinta. Tetapi, hati selalu mendapatkan hak abadinya. Hak jatuh cinta.

 

“Berjuang, lawan semua ketakutan lo, Ka. Jangan pernah takut jatuh, gue ada di sisi lo. Menopang lo, saat dunia mencoba kembali melimbungkan lo, kali ini gue janji dunia nggak akan berhasil.” aku refleks mengangguk, aku percaya penuh kepadanya.

 

“Jangan pernah mudur, saat dunia yang lo lawan memonogramkan alasan dan tujuan. Karena gue akan meruntuhkannya, menumpahkan belanga warna untuk membuat dunia lo lebih bercahaya.” tuturnya masygul.

 

“Gue percaya.” kataku serak. Ia tersenyum, senyum dari wajahnya yang tirus kembali membuatku yakin, bahwa cowok di hadapanku adalah salah satu alasan dan tujuanku.

 

Ia kembali membuka mulutnya untuk menguatkanku, namun cukup kurasa. Maka kubungkam dengan bibirku, kusesap dengan rasa rindu yang dulu mati-matian kusangkal. Kurengkuh tubuhnya dengan erat seraya pagutan kami menguat. Dadaku sesak dipenuhi kebahagiaan dan kepercayaan yang ia bangkitkan, menyingkirkan trauma akan kekalahan dan penghianatan di masa lalu.

 

Sejatinya, cinta adalah laku yang tidak saling menghakimi.

Our

Straight

 

Tuhan, berikan aku banyak cobaan, tetapi tuhan menitipkanmu. Aku meniti dari segala luka, namun aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya, sebab keberadaanmu lah obat dari segala lukaku.

 

Kamu adalah kehabagiaan yang tidak mampu kubukukan, sekalipun kelak aku akan menjadi penulis handal. Kamu adalah kebahagiaan yang tidak akan pernah muat terbingkai, walaupun kita sering mengabadikan segala hal. Kamu adalah kamu, peri cintaku, menyapu segala duka hati yang kerap menggulungku, menelangsakanku. Tetapi sekali lagi aku berkata kembali, tuhan mengirimkanmu sebagai penopangku, melengkapi tulang rusukku, menahanku saat aku dijatuhkan dunia, membuat duniaku kembali seperti sedia kala saat segala hal kurasa limbung.

 

Aku tidak ingin bersumpah demi apapun bahwa aku sangat mencintaimu. Aku selalu bersyukur, atas ini. Atas cinta yang tuhan semayamkan secara kekal di dalam hatiku, cinta ini jauh lebih kokoh ketimbang produk amerika, karena ini titipan langsung dari sang pencipta dunia.

 

Aku pernah menggigil jauh lebih parah dari hari ini, dan kamu pun berada di sana saat itu, menghangatkanku dari kejamnya angin malam. Kapanpun, berapa banyak pun, segala hal yang kuucapkan, apapun itu, tidak akan mampu memuaskanku untuk terus berterimakasih kepada pencipta alam pula kepadamu, dewi malamku.

 

Ratusan kata kuuntai, namun hal ini akan menjadi sangat kecil ketika tanganmu menggenggam tanganku, meredakan rasa bimbang yang mendera hatiku terus menerus. Kamu bahkan lebih dari sekedar itu, bukankah sudah kubilang, jutaan kata tidak akan mempunyai makna jika senyummu sudah tercipta, meredahkan segala amarah yang sangat sesak memenuhi hatiku. Terimakasih.

 

Terimakasih untuk itu, untuk segala teguh dan kuatmu menemaniku, aku tidak iri kepada siapapun bahkan kepada prince Harry yang telah menikahi Kate Middleton yang kata orang maha cantik itu. Aku memilikimu, kau jauh lebih berharga ketimbang euforia dunia.

 

Entah hatimu terbuat dari apa, yang pasti aku akan terus berusaha mengimbangimu, ada di tiap kamu merasa dunia menjauh, merasa segala hal yang kamu pandang berubah menjadi monokrom, kupastikan aku akan ada di sisimu, membelai punggung tanganmu lembut, tanpa kata. Ya, mungkin hanya aku lah seorang penulis yang tidak romantis, seorang penulis yang selalu kaku jika sudah menatapmu, itu semua karena aku terlalu mencandu kehadiranmu, kebersamaan kita.

 

Mungkin aku bisa membuaimu lewat tulisanku, namun tidak pernah dengan lisanku, aku tahu.

 

Aku memang tidak sebaik dan sesempurna pria-pria yang pernah mengisi hatimu, menyeruakan kebahagiaan di sekujur syarafmu. Membuatmu tidak berhenti tersenyum itu bukan keahlianku, mungkin kamu sering membenciku, meruntukiku dengan segala keluhmu, karena aku tidak sesempurna pendahuluku, tidak apa-apa aku sangat mengerti dan menerima, sebab itu aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, pria terbaik yang pernah mengisi hidupmu, aku harap kita akan menua bersama.

 

Duduk bersama di pelaminan nantinya, lalu tertawa bersama di kala perutmu membuncit karena mengandung anak kita, berdiskusi banyak hal bersama jabang bayi yang kau kandung nantinya. Kemudian, kita akan cemas bersama di saat persalinanmu tiba, kupastikan ada di sisimu saat kamu melakukan transformasi sebagai wanita yang seutuhnya. Saat itu tiba aku akan menggengam tanganmu, mungkin aku tidak akan banyak bicara kala itu, aku hanya akan membelai punggung tanganmu dengan ibujariku, menyeka peluh yang mengucur dari dahimu, lalu aku berbisik. “Berjuanglah demi cinta kita” secara masygul.

 

Aku pastikan, aku akan jauh lebih giat mencari uang, untuk menghidupi kalian. Ya, umpama telah berganti, dari kita menjadi kalian. Karena hidupku nanti hanya di dedikasikan untuk kalian, aku akan membuktikannya.

 

Saat malam tiba, aku akan menyanyikan lagu yang pernah ayahku nyanyikan dulu sebagai mantra pengantar tidurku kepada anak kita. Lalu kamu membelai jagoan atau puteri kita nanti sebelum ia tidur, sesekali membacakan dongeng jika suara sumbangku tidak mampu membuat mereka tertidur.

 

Mereka? Tentu! Kamu dan aku, kita! Kita tidak hanya mempunyai satu anak bukan? Dua, ya aku ingin dua, jagoan dan tuan puteri yang lucu dan menggemaskan, sepertimu. Jika kamu ingin lebih, kita bisa diskusikan setelah malam pertama.

 

Saat mereka tumbuh dewasa dan kita mulai menua, kuyakinkan kepada diriku sendiri bahwa aku akan senantiasa bahagia. Terus bahagia sampai kebahagiaan itu tidak mampu lagi kurasakan selamanya, tentu bahagia itu akan berhenti saat jantungku berhenti berdetak selamanya, kuharap tuhan menghentikan jantungku saat aku telah melihat rambutmu memutih.

 

Kita, aku-kamu dan para malaikat kecil kita nanti akan berfoto dengan senyum yang merekah sempurna saat prosesi wisuda anak-anak kita. Dikala tubuhku tidak lagi sesolid pertama kita bertemu, dikala wajah cantikmu bertambah seratus kali lebih angun dari pertama kali kita bertemu. Namun aku yakin, cintaku masih tetap sama seperti saat pertama kali aku limbung ke dalam hatimu.

 

Aku akan menjadi wali anak perempuan kita nanti, kuharap tuhan memberikanku kesempatan itu. Kita akan ber-dejavu bersamaan, menyaksikan anak kita tidak lagi menjadi tanggung jawab Ayah dan Ibunya, ya, kau dan aku.

 

Setelah itu, kita akan hidup berdua, kembali berdua saja. Menikmati masa tua, menikmati tiap inci kebersamaan kita saat segala hal mulai menua, layaknya kita. Aku akan selalu bahagia tiap melihat helai rambut kita memutih, karena itu membuktikan satu hal! Cinta mampu menembus zaman, bahkan saat rambut yang banyak orang juluki organ terkekal pun melunglai, cinta kita masih tetap sama, malah bertambah kuat nantinya, aku pastikan cintaku akan selalu menguat walau seluruh rambutku memutih nantinya.

 

Duduk-duduk dibawah pohon di belakan pelataran rumah, saat fajar dan senja menyapa. Itu akan menjadi kegiatan tua kita yang menyenangkan. Aku lupa! Tiap detik yang kuhabiskan denganmu pasti akan terasa menyenangkan, bahkan di kala kamu meneriakiku karena beberapa masalah yang mendera kita, aku akan merasakan hal bahagia, karena hal itu membuktikan kamu juga mencintaiku. Cinta yang baik, cinta yang tidak akan melukai sesama, cinta yang tidak melulu mengandalkan rasa curiga, cinta yang tidak hanya berkembang saat harta bertahta.

 

Kuyakin hari tua kita akan tetap sama, senyummu yang akan membuat seluruh hal di hari tua kita terasa sama. Senyummu pasti masih akan tetap menggemaskan walau terkuak di balik tubuh rentamu. Namun tatapanmu yang sudah tidak secemerlang dulu masih akan tetap mengundang rinduku, akan selalu begitu karena cintaku hanya untukmu.

 

Saat malam hari kita akan berdiri atau bahkan duduk jika kita punya bangku di balkon kamar. Dengan dua gelas teh yang menemani kita menyaksikan pertunjukan malam. Sekarang apa kamu menyadari sesuatu? Kebiasaan malam kita, menikmati pertunjukan malam berdua, hanya berdua saja. Hal itu akan selalu sama, kupastikan sampai tua hobi saat malam hari kita akan tetap sama.

 

Atau mungkin saat bulan menyapa kita rendah, syahwat akan bertahta di dalam tubuh renta kita, merajukku untuk membelaimu dengan segala keagungan yang kita ciptakan. Bergumul dengan penuh santun seperti nanti di malam pertama, aku tidak pernah sabar menunggu waktu itu.

 

Saat adzan subuh berkumandang kita akan kembali kefitrah kita sebagai manusia. Lalu saat fajar kita akan kembali duduk menikmati sinar mentari yang hangat, walau tidak selalu. Tetapi percayalah, bahkan kala mentari pagi tidak mampu lagi menghangatkan bumi, aku senantiasa akan selalu membuatmu hangat karena keberadaanku.

 

Kita akan bercerita tentang masa dulu, kini dan waktu nanti, bagaimana aku dan kamu tertawa lepas saat malam mempertemukan kita. Saat pagi memberikan semangat kita, saat senja membingkai segala romansa yang kita ciptakan, pastinya.

 

Haaah… segala hal terbayang amat indah di pelupuk mata, aku sungguh tidak sabar menjalani angenda kita.

 

Selamat malam dewi malamku, selamat tidur. Terus bahagia karena cintaku, dan jangan pernah berhenti membuatku lapang dengan cintamu.

 

Apa perlu aku katakan lagi kalau aku mencintaimu?

 

Rasanya perlu.

 

 

Aku sangat mencintaimu. Terimakasih untuk malam ini.

Rayan dan Fauzan (10)

“Lagu ini gue persembahin buat cowok gue tercinta, Fauzan.” Ucap Angel di atas panggung, gitar sudah Angel pangku, jemarinya sudah siap memetik senar gitar tersebut.

Sesuatu dari dalam diri Fauzan tertawa hebat, rasa benci yang membumbung tinggi kini seperti telah menanjak dan segala hal yang Fauzan tunggu-tunggu seakan-akan berada di pelupuk matanya, sebentar lagi dendamnya akan terbalaskan.

Dengan wajah datar Rayan menatapnya, menatap Fauzan yang menyeringai tajam ke arah Angel yang sedang asik melantunkan lagu Made in USA dengan gitarnya. Bagi Rayan malam perpisahan ini adalah malam yang buruk, karena fakta menyentaknya, sebesar apapun cintanya kepada Fauzan, posisinya tetap tersamarkan, Rayan hanya menguasai Fauzan jika diri mereka berada di balik siluet, tidak untuk di depan umum seperti sekarang ini. Jika dalam keadaan seperti ini Rayan hanyalah sahabat Fauazn.

“Lo seneng banget ya dinyanyiin di atas panggung sama Angel?” tanya Rayan masih terpaku ke atas panggung menatap Angel. Cepat-cepat Fauzan menyikut perut Rayan yang keras. Rayan mengaduh kesal, tetapi cepat-cepat Rayan bungkam. “Ribuan orang boleh muja gue, tapi gue tetap muja lo Ray.” tegas Fauzan dengan ekspresi yang sungguh-sungguh di sela-sela suara Angel yang menggema serta hiruk pikuk di dalam ruang aula ini yang mampu membuat Rayan terperangah, sebentar saja, ekspresi takjub Rayan berubah menjadi senyum yang tulus, setulus cinta mereka.

Saat ruang aula bergema dengan tepukan tangan Fauzan menelusupkan jemarinya ke sela-sela jemari Rayan, meneguhkan apa yang baru saja Fauzan katakan kepada Rayan. “Cuma lo Ray, cuma lo,” bisik Fauzan mantap di dekat mata Rayan. Rayan baru menyadari, sekarang tinggi tubuh Fauzan bisa dikatakan jauh lebih tinggi dari Rayan.

Fauzan buru-buru menarik Rayan keluar dari gedung aula sekolah mereka, membiarkan Angel yang telah turun dari panggung dan sedang memutar pandangannya mencari Fauzan. “Lo nggak nunggu Angel?” tanya Rayan bodoh di sela-sela kegiatan mereka menelusup barisan para siswa yang bejubel di dekat pintu keluar aula sekolah.

“Kan gue udah bilang, cuma elo,” kata Fauzan ambigu, namun dengan amat baik Rayan mengerti apa yang Fauzan katakan, hati Rayan membuncah hebat malam ini, segala aura buruk malam ini berganti menjadi pelangi malam hari. Rayan menyadari, serahasia apapun hubungan baru mereka ini, umpama telah berganti, ya berganti. Bukan lagi sahabat namun kekasih, klasik namun nyata adanya.

Rayan mentap punggung Fauzan yang berjalan di depannya, I love you Ojan. rapal Rayan dalam hati.

***

Semilir angin malam minggu merusak tatanan rambut Fauzan tapi tidak dengan hatinya, rasa dendam dalam hati Fauzan menguap seketika, digantikan rasa bahagia yang seakan-akan enggan pergi dari dalam hatinya, semua itu karena Rayan yang berdiri di sampingnya, menikmati pemandangan malam hari dari atap sekolah mereka.

Terbersit dalam benak Fauzan, akan susahnya keadaan yang akan mereka alami nantinya, memang masih nanti, namun hal itu pasti terjadi, karena Fauzan tidak ingin dikalahkan dunia, merelakan cintanya pergi hanya karena norma.

Remasan Rayan di jarinya membuat Fauzan tersadar dari lamunanya akan masa depan. “Gue kan tetap genggam tangan lo kayak gini, apapu yang nanti akan terjadi.” tutur Rayan masygul. Fauzan tersentak, ia tidak menyangka Rayan tahu apa yang sedang bergumul dalam hati dan fikirannya.

“Gue percaya sama lo,” balas Fauzan, seiring itu genggaman tangan mereka ikut menguat, seakan meneguhkan kepada dunia, mereka tidak akan kalah apa lagi takut akan ancaman dunia terhadap cinta mereka.

Angin mendesau syahdu, membuat Rayan dan Fauzan memejamkan matanya, menerima angin yang terus menerus mengobarkan cinta mereka. Suara derap kaki yang bergeser membuat Fauzan membuka matanya. Rayan kini menatap Fauzan intens, membuat jantung Fauzan kalap, berdetak cepat dan tidak beraturan, sekejap saja syahwat bangkit di sela-sela heningnya malam, membuat malam yang sejuk serasa terterpa angin musim panas yang hangat.

Alis Rayan yang tegas, tatapan mata Rayan yang juga tegas, lalu rahang Rayan yang tinggi dan dagunya yang sedikit runcing, kumis tipis di atas bibir Rayan yang seksi, jakun dan leher kokoh Rayan, segala hal tentang Rayan serasa menghunus hati Fauzan, menghasilkan getaran yang baik yang membuat cinta Fauzan semakin menguat.

Dada bidang Rayan dibalik kemeja birunya tersebut tidak mampu menutupi degub jantung Rayan yang sama-sama cepat berpacu dengan waktu sama seperti Fauzan, mereka sekarang sedang termakan cinta, saling tatap tanpa kata namun penuh makna, siapapu yang jatuh cinta dan saling tatap seperti sekarang ini pasti merasakan bagaimana sesaknya dada namun ringan segalanya, seakan angin mampu menerbangkan dua insan ini ke langit para dewa.

Tidak ada kata, yang ada hanya cinta yang sedang berdegub gila. “Lo ganteng banget malam ini Zan,” puji Rayan yang sukses membuat Fauzan menekuk bibirnya menjadi senyum yang paling sempurna, senyum insan yang sedang dilenakan cinta.

“Lo, lo lebih memukau ketimbang bulan purnama” tutur Fauzan seakan seorang pujangga.

Rayan terkekeh kecil mendengar ucapan Fauzan. Hanya sebentar, karena sekarang Rayan tercekat keadaan. Fauzan meraih pinggang Rayan, mencengkramnya dengan cara terlantun yang pernah Rayan rasakan dalam hubungan percintaanya, seakan segala hal yang Fauzan lakukan terhadap Rayan adalah hal terbaik yang pernah Rayan dapati dari seorang kekasih.

Lalu kembali hening, seakan-akan Rayan dan Fauzan mempersilakan angin membisikan kata-kata cinta kepada mereka berdua. Ya, hanya mereka berdua saja.

Rayan mengalungkan tangannya ke leher Fauzan, lalu menarik pelan tubuh Fauzan ke dalam pelukannya yang nyaman. Kini mereka bisa merasakan bagaimana jantung masing-masing yang berdebar dimakan cinta.

Rayan bisa merasakan wangi Cinnamon yang menguar lantun dari telungkuk Fauzan, wangi segar Jeruk dan creamy nya susu. Wangi yang seakan-akan memenjarakan Rayan dalam pelukannya sendiri.

Rayan sukses menggelijang saat kecupan kecil di telungkuknya ia terima dari Fauzan. Rayan menarik pelan rambut Fauzan membuat kecupan Fauzan yang baru saja ingin naik ke dagu Rayan terhenti seketika. Mata mereka saling bersirobok namun tanpa aba-aba lagi Rayan mengecup lembut bibir Fauzan, menggesekkan hidungnya ke hidung mancung tegak milik Fauzan, membiarkan desiran gila yang sedang ia rasakan merajalela.

Lidah Fauzan menelusup bak penyamun, mengoyak tirani dan menimbulkan rasa geli yang membuat tagih. Dengan lantun Rayan mengamit lidah Fauzan yang berada di dalam bibirnya, menarik dan menghisap pelan bibir Fauzan hingga lidah Fauzan terlepas dari bibir Rayan. Sebelum Fauzan kembali beraksi Rayan memburu bibir bawah Fauzan, menyesapnya, menuai rasa manis yang disajikan cinta melalui bibir Fauzan, tidak ada rasa lain kecuali rasa manis yang mereka kecap sekarang ini.

Rayan baru menyadari bukan hanya bibir mereka saja yang larut dalam buaian cinta, tetapi tangan mereka yang sedang mengelus satu sama lain tanpa sadar. Menyeruakan rasa nyaman yang tiada henti.

Hingga Rayan merasakan segala kebahagiaan ini tidak lagi mampu hatinya tampung, ciuman mereka yang semakin membara, saling memaggut dan tidak ada yang mau mengalah sama sekali, Rayan dan Fauzan seakan-akan ingin membuktikan sebesar apa cinta mereka masing-masing satu sama lainnya.

“Ray, Zan.” suara lirih menghentikan cinta mereka.

“Syifa?”

 


 

YEAY!

halooooo manusia khilaf, mana suaranya? hahahaha

udah puaskan sama updatean gue kali ini? harusnya puas lho, gue ngetik ini sebulan, banyangin! sebulan! jadi kalian mau nggak mau harus puas, hahaha….

Uwuwuwuwu, gue makin sukak sama Rayan dan Fauzan, sudah jelas sekarang mau dibawa ke mana hubungan kita eh ceritanya, sebentar lagi drama dimulai, awas yaa pada caci maki gue, gue nggak akan lanjut *emot miley cyrus diperkosa IrfandiRahman. tsah!*

Sebentar lagi negara api menyerang, tsah! siap-siap ambil senjata dan kuatkan hati kalian, karena gue akan melebay dan membuat para manusia khilaf seperti kalian menjadi melankolis *Gue pede Banget yee! namanya juga anak alay hahaha*

sudah-sudah, mudah-mudahan kalian puas sama kata-kata pujangga lapuk yang gue sematkan.

Book 2: Wind & Water (Part 2)

Previously:

PRAKK….PRAKKK….BDUMM.

“Rian, kamu gak apa-apa kan? Kamu bisa dengar aku kan? Rian?? RIANN!!!!!”

Kesadaranku perlahan menurun kembali. Sayup-sayup terdengar sirine ambulance dari jauh. Segalanya mulai gelap. Aku tidak tau apa aku bisa sadar lagi atau tidak.

 

Book 2: Wind & Water (Part 2)

Pesisir

By: helios

 

 

Rumah Sakit, pukul 07.00 malam

Secercah cahaya lampu mulai terlihat olehku. Kesadaranku juga mulai pulih. Pertama kali yang kusadari adalah aku sekarang terkapar di atas tempat tidur dalam ruangan putih berukuran besar. Perlahan namun pasti, hidungku mencium aroma yang kuyakini merupakan obat-obatan—lebih mirip bau desinfektan pembasmi hama malahan—yang makin lama menggangu rongga paru-paruku untuk bernafas.

“HA—HA—HAAAAAA—HACHIIIIII…” gatalnya hidungku.

Tunggu dulu. Bauobatnya kok nyengat banget ya??? Ck, Gak salah lagi aku pasti dirumah sakit.

Orang pertama yang kulihat adalahTian. Ia sedang tertidur disampingku sambil menggenggam telapak tanganku. Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka. Kulihat dokter memasuki kamar dengan keluargaku beserta sepasang lelaki dan perempuan yang mirip dengan Tian. Ku yakin mereka adalah kedua orangtuanya.

“Bagaimana keadaanmu, Rian?” tanya dokter itu sambil memeriksaku.

“Sudah jauh lebih baik. Apa yang terjadi padaku?”

“Kamu pingsan selama beberapa jam. Ditubuhmu terdapat memar akibat benturan dan ada luka lecet kecil dibagian pelipismu. Namun kamu gak usah khawatir karena kamu sudah bisa pulang sekarang” kata dokter menganalisa.

Tunggu dulu!Memar doang? Lecet? Kayaknya lebih dari itu deh. Seingatku aja, lengan kananku patah dan juga aku mengalami perdarahan yang cukup banyak. Samar-samar aku mengingat ketika Tian yang entah dengan kekuatan apa berhasil menghentikan perdarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Soal benturan itu aku sempat merasakan luar biasa sakitnya sebelum aku dinyatakan pingsan. Namun aneh karena saat siuman tadi aku seolah hampir tidak merasakan apa-apa. Aneh.

Mungkin karena mendengar suara rebut-ribut disekelilingnya, Tian pun terbangun.

“Hoahmmm. lho? kamu sudah siuman ternyata. Hah? Kok Mama Papa ada disini?” ujarnya polos sambil mengucek mata.

“Kami khawatir kamu juga kenapa-kenapa, nak. Apalagi ketika menerima telepon dari Hera kalau sedang terjadi sesuatu yang gawat pada kalian berdua” kata Om Frederick. Papanya.

“Ketika terdengar suara hantaman keras dari luar, kami beserta teman-teman, guru, dan para staff yang kebetulan masih ada disekolah langsung berhamburan keluar tanpa memedulikan hujan yang sedang deras. Kami begitu panik saat menemukanmu dalam kondisi pingsan dan tengah dibopong oleh Tian. Salah seorang guru menelepon ambulance untuk datang” jelas Kak Felix.

Suasana hening beberapa lama hingga ada seorang pasien patah tulang yang memanggilku. Hampir seluruh tangan dan kakinya digips.

“Ehm—eh­—Rian?” panggilnya dengan suara yang cukup familiar.

“Mike? Apa yang kau lakukan disini? Apa kau yang..” kataku terputus. Nalarku akhirnya bekerja juga. Rupanya yang menyebabkan kecelakaan itu adalah Mike. Sempat ada rasa kesal yang teramat dalam diriku. Namun ketika aku melihat tangan dan kaki Mike yang sedang di gips, rasa-rasanya aku mulai berpikir dua kali untuk meluapkan emosiku padanya sekarang. Mengingat kondisiku yang jauh lebih beruntung saat ini ketimbang Mike.

“Ohhhh, jadi kamu yang menabrak adikku?? KAU SUDAH GILA, HAH??!!! KALAU SAMPAI TERJADI APA-APA DENGANNYA BAGAIMANA!!! NYAWAMU ITU TIDAK SEBANDING DENGANNYA” teriak Kak Ferdi dengan suara yang menggelegar. Kak Ferdi yang biasanya ramah seketika berubah menjadi ganas. Tidak hanya itu. Kaca jendela dikamar ini langsung pecah begitu saja disertai kilat yang menyambar diluar sana. Otot-ototnya menegang dan nafasnya mulai memburu. Aku khawatir ia akan menghajar Mike yang sedang tidak berdaya. Dan pastinya itu akan menambah masalah yang lebih runyam dari ini.

“Tolong, Fer. Jangan tersulut emosi. Aku tahu kamu marah dan begitu pula denganku saat ini. Tapi ini semua toh sudah terlanjur terjadi” tenang Kak Felix sambil mengelus dada kekasihnya itu. Kak Ferdi perlahan mulai luluh dan urung meluapkan amarahnya.

“Amarah hanya akan memperburuk segala hal, Ferdinand. Yang terpenting saat ini kan keadaan Rian sudah membaik. Iya kan, Rian?” sahut ayah menenangkan juga.

Ekor mataku sekilas melihat pecahan-pecahan kaca yang berserakan perlahan melayang dan mulai bersatu kembali dengan pecahan lainnya menjadi kaca yang utuh. Sebenarnya apa yang terjadi, sih??

“I-Iya, ayah. Tidak masalah kok kak. Lagipula kata dokter tadi aku sudah diperbolehkan untuk pulang” kataku dengan senyum yang dipaksakan. Bagaimanapun aku paling anti jika harus lebih lama berada di rumah sakit.

“Maafkan aku, Ri. Aku tadi tidak bisa mengendalikan mobilku hingga menabrakmu”

“Sudahlah. Itu tidak penting lagi sekarang”

“Tapi aku berjanji akan……”

SREEEKKKKKKK

Kata-kata Mike langsung terhenti saat Kak Ferdi menutup tirai pemisah antar pasien dengan sekali sentakan

~~~***~~~

Pukul 08.45 malam

Setelah mengurus administrasi rumah sakit, kami semua segera pulang. Untung Kak Felix membawa mobilku kesini. Baru juga akan membuka pintu kemudi, Tian menghalangiku.

“Biar aku aja yang menyetir. Kamu baru aja keluar dari rumah sakit” bujuknya.

Baru saja aku mau membantah, ia sudah memberiku tatapan tidak setuju yang akhirnya membuatku pasrah. Iring-iringan kendaraan mulai bergerak. Kedua orang tua dan kakakku berjalan telebih dahulu dengan mobil papa. Berikutnya kami berdua dan yang paling belakang adalah mobil orangtua Tian. Sedari tadi Tian menyalakan pemanas sebab diluar sedang hujan lebat. Karena merasa cukup hangat—gerah malahan—aku berniat menurunkan suhunya namun Tian mencegahku. Tanpa sengaja kedua tangan kami bersentuhan. Dalam hati aku terhenyak karena kulitnya sangat dingin. Serasa kesetrum dalam larutan alkalin.

“Aucchhh, dingin sekali kulitmu” lontarku.

Kulihat Tian tidak memperdulikan pernyataanku barusan. Yang ada malah bibirnya—bukan—sekujur tubuhnya bertambah pucat dari yang terakhir kali aku lihat. Sesampainya ditujuan, Tian memasukan mobilku ke garasi. Baru saja aku ingin mengucapkan terimakasih, ia sudah keburu masuk ke mobil orangtuanya dan langsung pergi. Buru-buru sekali sepertinya.

~~~***~~~

TIT-TIT-TIT……TIT

Kunyalakan pengatur suhu sauna pribadiku kesuhu yang lumayan panas. Oh iya. Sebelum aku beranjak ke kamar sauna, Kak Ferdi memberikan sebotol susu kepadaku. “Ini dari Tian. Katanya kamu mesti minum ini sampai habis” kuturuti saja. Dan ternyata setelah aku meminumnya, tubuhku langsung sehat kembali seperti sebelum kecelakaan naas itu. Bahkan bekas luka lecet pun hilang semuanya. Sungguh menakjubkan.

Kubuka satu per satu pakaian yang melekat hingga aku telanjang sepenuhnya, kemudian aku duduk dibangku panjang yang tebuat dari kayu. Entah kenapa meski baru saja selamat dari maut, tapi bisa-bisanya aku berniat untuk sauna. Biasanya aku dan kedua kakakku selalu bersauna bareng. Entah kenapa birahi kami biasanya memuncak seiring dengan semakin panasnya suhu. Tak jarang akhirnya mereka berdua bercinta dihadapanku dengan libido yang begitu dahsyat. Karena terangsang, aku pun memuaskan hasratku sendiri sambil melihat siaran same-sex secara langsung itu. Gratis pula.

Kulihat penisku mulai menggeliat-liat hingga tegang sepenuhnya. Tidak terlalu panjang sih. Hanya 19 cm dan diameternya 3 cm. “Hehehe… udah dua bulan gak nyentuh. Pasti ‘dede’ sengsara yah. Ya sudah. Aku puasin malam ini” jalan otak mesumku. kuambil lubricant dari laci dan langsung kubalurkan keseluruh bagian penisku. Perlahan kuremas bola-bolaku dengan tangan kiri dan kutarik penisku dari pangkal hingga ke ujung secara perlahan. Seperti memerah susu sapi namun lebih bertenaga. Bosan duduk, aku beralih keposisi berdiri dengan tetap “memerah” sambil sesekali memelintir putingku. Kemudian, tangan kananku meremas bola-bola testis serta tangan kiri mengelus kepala penisku yang agak sensitif. Setelah dirasa cukup semua pemanasannya, kini tibalah puncak dari semuanya.

Kuambil posisi berbaring dilantai kayu sambil membuka kedua pahaku. Bisa kurasakan anusku mulai basah karena keringat. Dengan lembut kurangsang bagian itu hingga penisku semakin keras. Kutambahkan gel lubricant lebih banyak lagi ke seluruh kepala dan batang penisku. Masih dalam posisi yang sama, kuremas bola-bola testis dan kukocok batang penis secara bersamaan sambil sesekali bergantian antara tangan yang kanan dengan yang kiri. Semakin lama ritmenya ku percepat hingga ketika mau keluar, aku perlambat ritme gerakanku. Terus kulakukan itu berulang-ulang hingga akhirnya aku tidak tahan lagi. Kini kupercepat kocokanku hingga dengan sekali sentakan menyemburlah air mani dengan jumlah yang banyak sekali. Penisku berkedut-sampai tujuh kali dan selama itu pejuh terus menyembur. Belum pernah kukeluarkan sebanyak ini, sebagian besar menyembur ke perut, dada, hingga ada yang sukses mengenai leherku.

Untuk beberapa saat aku terbaring lemas di lantai sauna dengan tubuh dipenuhi mani bercampur keringat. Setelah dirasa cukup, aku menuju shower untuk membersihkan diri. Kemudian aku mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh. Lalu aku menuju lemari untuk mengambil celana dalam dan bersiap untuk tidur. Tapi setelah aku pikir lebih baik tidak usah sama sekali. Kulihat jam di meja lampu. Rupanya aku telah sejam lebih ‘berolahraga jari’. Suara jarum yang berdetak seperti irama “nina bobo” bagiku. Kuhempaskan tubuhku ke ranjang dan alam bawahku mulai melaksanakan tugasnya. Akhirnya aku tertidur.

***

Disuatu pagi yang cerah aku sedang membuka halaman demi halaman album foto di perpustakaan keluarga. Ada foto pernikahan papa dan mama, bulan madu mereka, acara-acara keluarga, foto sewaktu aku dan Kak Felix masih bayi, serta…..

“Foto apa ini? Belum pernah aku melihatnya” gumamku.

Di lembar terakhir terdapat foto kakekku semasa muda beserta lima orang lainnya yang masing-masing memakai jubah panjang dengan symbol yang berbeda. Ketika kubalik foto itu, ada sebuah tulisan yang bahasanya benar-benar aneh.

“Bacalah tuanku”. Pinta sebuah suara.

“Suara siapa itu ?” tanyaku bergidik.

“Tuan akan tahu ketika mengucap kalimat itu” sahut suara itu.

“Baiklah kalau begitu. Pierretarfa Larkhotieve

Ketika aku membaca kalimat itu, angin tiba-tiba berhembus dan membentuk pusaran angin berukuran kecil. Dari pusaran itu muncul lah seekor rajawali putih. Seolah terhipnotis aku tidak bisa berpaling dari tatapannya yang memikat itu. Burung itu lalu terbang ke rak buku teratas dimana ia mengambil sebuah buku tua. Buku itu langsung dilemparkannya padaku dan syukurlah bisa ku tangkap. Ketika aku membuka halaman pertama, terdapat sebuah kata.

~Warlockia~

***

Dijelaskan bahwa dulu terdapat sebuah kerajaan besar bernama Pandora yang dipimpin oleh seorang Raja dan Permaisurinya. Sang Raja adalah seorang penyihir terhebat yang pernah ada. Sedangkan permasurinya seorang Dewi Kehidupan yang dapat mengendalikan unsur-unsur alam. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai enam orang anak yang masing-masing memiliki kekuatan sang ayah dan elemen dari sang ibu. Pangeran Dragomir dan Putri Romanov dengan elemen api dan valinor (cahaya). Lalu ada Putri Belikov dengan elemen air, Putri Ivashkov dengan angin, Pangeran Gregorian dengan elemen bumi, dan yang terakhir Pangeran Preminger dengan elemen logam (elemen keseimbangan). Perpaduan antara sihir dan elemen kehidupan inilah yang menjadikan mereka berenam sebagai warlockian atau penyihir elemental. Selain itu, mereka juga mendapat keahliaan dan kemampuan tambahan dari kedua orang tua mereka. Meskipun terlahir dengan darah campuran dan berbeda dari yang lain, mereka amat dicintai kedua orang tua dan rakyat kerajaan mereka. Seiring waktu mereka berenam lebih dikenal dengan sebutan The Elemental.

Diantara semua orang bangsa Pandora, ada satu orang yang amat membenci mereka berenam. Dia lah Lord Astriel yang tak lain adalah saudara kembar raja. Mereka berdua begitu identik, namun dengan kepribadian yang amat berbeda. Ibarat siang dan malam. Ia begitu tamak dan amat sangat jahat. Ia sangat ingin menghancurkan warlockia karena mereka dianggapnya menjijikan, kotor, dan tidak berdarah murni. Atas dasar itulah raja mengusirnya keluar istana.

Bertahun-tahun Lord Astriel berpindah-pindah tempat hingga ia menemukan Gua Iblis Echidna. Di gua itu ia memperoleh kekuatan yang begitu besar dari pemberian Raja Iblis. Tetapi semua itu perlu pengorbanan dan ada harga mati yang perlu dibayar. Lord Astriel dikutuk menjadi penyihir penghisap darah yang tidak akan mati. Karena itulah ia memiliki julukan sebagai Voldera yang berarti ‘darah terkutuk’. Namun ia sama sekali tidak ambil pusing dengan kutukan yang telah ia dapatkan. Akhirnya dengan kekuatan baru yang ia peroleh, ia beserta para sekutu iblisnya mulai menyerang seisi kerajaan. Perang sihir dan elemen akhirnya tak terelakan. Perang berlangsung terus-menerus tanpa henti. Sudah tak terhitung berapa korban dan berapa banyak darah yang tumpah dari pihak Pandora hingga membuat Pandora terdesak. Para Pangeran dan Putri Pandora yang sudah tidak tahan lagi dengan korban yang semakin berjatuhan langsung terjun ke medan peperangan. Raja dan permaisuri tidak bisa berbuat apa-apa mengingat kondisi mereka berdua yang juga tengah terluka parah.

Dengan semangat gigih mereka mengeluarkan segenap kekuatan elemen dan sihir yang mereka kuasai. Segala strategi mereka gunakan. Namun Lord Astriel tetap saja dapat bertahan. Mereka berenam akhirnya sepakat untuk membelenggunya sampai mereka menemukan cara untuk membunuhnya. Saat Lord Astriel lengah, mereka manfaatkan kesempatan emas itu.

Dari lima sisi berbeda, mereka membuat sebuah penjara ruang dan waktu dengan mantra segel dimensi dan menguncinya dengan kunci yang terbuat dari gabungan elemen mereka berenam. Namun, para Pangeran dan Putri faham betul kalau mantra segel antar dimensi ada batasnya. Maka dari itu sebisa mungkin mereka memantrainya ulang setiap beberapa dekade di malam Walpurgis dan malam Halloween. Mereka juga memberi wasiat agar keturunan-keturunan mereka juga melakukan hal yang sama.

***

Kubuka halaman selanjutnya. Namun….

“Hah? Kosong?”

Melihat itu sang rajawali menyapukan sayapnya pada halaman itu. Halaman itu perlahan memunculkan nama-nama beserta garis penghubung hingga terbentuklah sebuah silsilah keluarga. Kutelusuri baik-baik seluruh keturunan dari tiap Pangeran dan Putri Pandora. Saat aku melihat garis keturunan yang baru saja muncul dari Putri Ivashkov, aku tidak percaya.

“Adrian Estovier Philip Ivashkov. Itu kan namaku”

“Benar, tuanku. Kau adalah keturunan langsung Putri Ivashkov. Dengan kata lain, tuanku adalah warlockia

Halaman kemudian berganti menuju Bab tentang Warlockia Angin. Mataku mencerna setiap kata yang muncul dari halaman berikutnya itu. Disini tertulis beberapa kelebihan warlockia angin seperti dapat mengendalikan cuaca, dapat bergerak cepat, menguasai waktu dan langit serta bertindak sebagai pendukung dua elemental yakni api dan air.

“Jadi yang waktu aku pertandingan itu….”

“Itu bisa terjadi karena kelebihan tuanku yang mulai terlihat”

“Disini juga tertulis ‘pendukung dua elemen’. Apa maksud dari kalimat itu?”

“Api tidak akan bertahan lama tanpa adanya udara hingga menyebabkan api cepat padam. Ombak tidak akan terjadi tanpa adanya hembusan angin. Melihat dari dua hal itu, angin/udara adalah elemen pendukung dari api dan air”

Buku itu kembali terbuka sendiri menuju halaman yang berisikan Bab tentang “Warlockia Air”. Kubaca dengan seksama beberapa informasi penting. Banyak fakta-fakta yang berkaitan dengan warlockia air. Pertama, warlockia air dapat mengendalikan apapun yang mengandung air walaupun kadar airnya sedikit. Kedua, mereka bisa menjadi kabut ketika menghilang. Kabut terdiri atas uap air. Ketiga, mereka memiliki kemampuan atas ruang dan waktu. Keempat, mereka tidak suka panas. Jika terlanjur demikian mereka akan berkeringat namun kulitnya tetap dingin. Kelima, mereka memiliki kekuatan menyembuhkan. Keenam, mereka dapat menduplikat diri sendiri dan duplicatnya dapat menyerupai persis orang lain dengan media air. Dan yang terakhir, warlockia air akan sangat lemas ketika kehabisan kekuatan. Ini bisa terlihat dari kulit mereka yang akan berubah menjadi sangat pucat.

Kabut? berkeringat namun dingin? dan penyembuhan? Semua itu berkaitan dengan Tian. Setelah itu aku melihat nama dari garis keturunan Putri Belikov. Nama itu adalah Christian Orchea Lithera Belikov a.k.a. Sebastian Oliver. Tidak salah lagi.

“Apa Tian adalah warlockia air?”

“Tentu saja tuanku. Ia telah menjadi warlockia

Aku jadi tidak enak kepadanya. Ia telah menyelamatkanku dengan seluruh kekuatannya sampai-sampai dia menderita karena aku. Kalaupun bisa aku ingin membagi energiku dengannya agar ia bisa kembali pulih.

“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana caraku agar juga bisa menjadi warlockia?”

Belum sempat pertanyaanku terjawab, tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka lebar disertai hembusan angin. Kemudian masuklah dua sosok berjubah putih yang berjalan mendekat. Saat mereka membuka kerudung jubah mereka, ternyata keduanya tak lain papa dan Kak Ferdinand.

“Lho? papa? kakak? jadi kalian juga…..”

“Iya, anakku. Ayah dan Kak Ferdi juga warlockia. Dalam satu keluarga besar warlockia seperti kita atau The Elemental lainnya, tidak semuanya memperoleh anugerah ini. Kamu terlahir bersih tanpa noda darah setetespun. Kamu juga sama sekali tidak menangis dan sudah bisa membuka mata dalam waktu singkat. Ketika petir menyambar kamu sama sekali tidak takut. Bahkan dari tubuhmu sendiri mengeluarkan cahaya yang sangat terang disertai semilir angin yang lembut. Sejak kejadian itulah kami yakin kalau kamu telah ditakdirkan untuk menjadi warlockia” jelas ayah.

“Apa aku sudah menjadi warlockia?”

“Belum. Untuk menjadi warlockia angin sejati, segel elementalmu harus dibuka. Untuk itulah kamu mesti bisa mendapatkan panah dan busur langit, Adrian” kata Kak Ferdi.

“Bagaimana caraku mendapatkannya?”

“Pergilah menuju tepian Tanjung Olympic. Selanjutnya kamu harus menyelam menuju ke dasar laut hingga menemukan karang yang berbentuk seekor rajawali dan paus. Oh iya, jangan lupa ketika kesana pakailah ini” kata kakak sembari mengalungkan sebuah kalung berliontin kristal bening.

“Ayah lupa memberi tahumu. Kamu harus melakukan ini semua tepat ketika masa titik tertinggi dari pasang air laut. Jika tidak, kamu harus menunggu lima tahun lagi”

“Apa ini semua kenyataan? Ini bukan mimpi atau lelucon kan?”

Well, teknisnya sih belum terjadi” kata ayah.

“Maksud kalian?”

“Kau akan tahu sendiri”. Setelah kakak berbicara demikian, ia lalu menjentikan jarinya.

KLIKK…….

~~~

Mataku langsung terbelalak. Bingung dengan apa yang terjadi aku segera bangun. Ternyata aku masih mendapati diriku didalam kamar. Masih dengan keadaan polos tanpa benang sehelai pun.

Hah? Jadi yang kualami di perpustakaan itu MIMPI?? Tunggu dulu. Tepian dari Tanjung Olympic?? Tapi kenapa harus—Oh iya! Beberapa waktu kedepan kan ada tugas kunjungan ke La Push oleh Mr. Smith. Malas kesana sih sebenarnya. Tapi sepertinya, mau tidak mau aku harus kesana. Soalnya dari yang kudengar diberita semalam, saat itu adalah titik tertinggi dari pasangnya air laut.

Kulihat jam masih menunjukan pukul 02.00 pagi. Masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Toh hari ini juga weekend. Kuputuskan untuk kembali tidur saja. Lagipula aku masih lelah setelah “AHA-AHA” semalam. Tanpa permisi mataku kembali terpejam.

~~~***~~~

2 April 2011, pukul 09.00 pagi

Siswa-siswi sekolahku saat ini sedang ada di La Push. Entah kenapa Mr. Smith menyuruh kami kemari untuk alasan tugas yang menurut kami aneh dan membuang-buang waktu saja.

“Tugas kalian sekarang adalah mewawancarai para penduduk sekitar tentang profesi mereka disini dan kehidupan sekitar sebagai masyarakat Quileut. Kalian bisa mewawancarai siapa saja. Jaga kebersihan dan kesopanan kalian disini. Sekarang berpencar lah!!!”perintah Mr. Smith dari pengeras suara disertai gemuruh emosi para siswa.Ini bisa terlihat dari raut wajah mereka yang mendadak terlihat mengerikan.

Daripada berkeluh kesah sendiri, aku memutuskan untuk mencari narasumber. Sempat setengah jam berkeliling, akhirnya kutemukan seseorang yang sepertinya bisa diajak wawancara. Orang itu adalah seorang ibu-ibu penjaga toko aksesoris yang kebetulan sedang beristirahat. Cukup lama juga wawancaranya karena sedari tadi ibu itu sangat cerewet. Kutanya apa dijawabnya apa. Setelah dirasa cukup banyak informasi yang didapat, aku ucapkan terima kasih—meski malas-malasan­—padanya dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di kota kecil ini.

Baru saja aku melangkah dari toko, aku bertemu dengan Tian. Yah, Tian kurasa agak aneh memang hari ini. Sejak tadi ia selalu memperhatikanku. Walaupun sudah biasa, entah kenapa aku merasa aneh dengan tatapannya kini. Matanya yang biasanya cerah berseri justru pada hari ini cenderung lebih gelap. Dan dia hanya diam saja. Begitu dingin serta penuh tanda tanya.

Kuputuskan untuk berjalan kembali. Sepanjang jalan aku memang tidak menoleh kebelakang karena aku sadar telah diikuti oleh seseorang. Ketika ku berbalik, ternyata Tian. Jarak diantara kami sekitar tiga meter. Kemudian muncul sebuah ide di kepalaku. Kulanjutkan kembali perjalananku dimana aku yakin dia akan mengikutiku dan benar saja. Cukup lama kami berjalan dalam diam dan luar biasanya aku tidak merasakan lelah sama sekali. Pemandangan toko-toko yang berjejer disepanjang jalan perlahan mulai berubah dengan terlihatnya beberapa kapal yang sedang tertambat di dermaga. Kususuri pesisir pantai itu hingga aku berhenti didekat sebatang pohondriftwood mati yang kebetulan terdampar.

“Kau ingat waktu pertandingan basket beberapa waktu lalu? Ketika pertandingan selesai aku menyusulmu karena ingin mengucapkan terima kasih atas kedatanganmu dalam pertandinganku. Namun ketika di rimbunan pepohonan dekat lapangan parkir aku melihat kamu ada dua—kurasa aku tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu bukan hanya manusia kan?”ujarku tanpa menoleh.

“Siapa yang kau maksud?” ujar Tian datar. Ombak yang bergemuruh berubah diam seketika. Begitu tenang.

“Tentu saja kamu. Chrisstian Orchea Lithera Belikov yang tak lain adalah…”

“Siapa memangnya aku?”

warlockia air”

Suasana diantara kami sejenak hening. Yang kudengar hanya kicauan camar yang menyambar ikan, ombak yang menerjang pesisir, dan deru angin yang menerpa kami.

“Sejak kapan kamu tahu jati diriku?” mulai ia angkat bicara.

Kubalikan posisiku hingga tatapan kami bertemu. “Seminggu yang lalu. Entah bagaimana mulanya, yang jelas ketika itu aku bermimpi sedang membaca buku tua tentang segala hal yang berkaitan dengan Kerajaan Pandora, raja penyihir, dewi alam, warlockian—semuanya. Di buku itu juga tertera seluruh garis keturunan dari warlockian. Tidak hanya kamu saja. Aku juga baru tau kalau aku adalah–”

Warlockia” sambungnyapelan.

“Aku pindah kesini sebenarnya bukan hanya sekedar alasan yang kuutarakan padamu tempo lalu. Aku ditugaskan oleh keluargaku—dan juga kakekmu—untuk mencari, melindungi, dan membantu anggota termuda warlockia angin untuk melepas segel cakranya. Awalnya aku ragu aku bisa, mengingat hanya setiap anak pertama dari keluarga Ivashkov-lah yang menjadi warlockia. Namun kamu berbeda. Kamu adalah anak terakhir dari dua bersaudara yang justru mendapat hal yang sebaliknya. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menemukanmu. Ketika aku melihatmu untuk pertama kalinya, aku yakin kamu adalah orangnya” jelasnya.

“Darimana kamu tau aku adalah orang yang tepat? Maksudku bagaimana kamu masih mengingatku bahkan sampai nyaris satu dekade kita berpisah?”

“Matamu lah jawabannya. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakan tatapan matamu”

Mendengar hal itu, aku hanya bisa tersipu. Bayang-bayang memoriku kembali melintas saat ia menonton pertandinganku, menemaniku kemanapun aku pergi, hingga menolongku ketika kejadian naas itu.

Segala isi memoriku tidak ada yang tidak terdapat sosok Tian didalamnya. Bahkan ketika masih balita pun­—aku masih mengingatnya, tentunya sebelum kami betemu dengan yang lainnya—kami selalu bermain bersama.Katakanlah aku egois! Tapi aku tidak ingin ia hilang dari sisiku untuk yang kesekian kalinya. Tidak kali ini. Entah dorongan apa aku menariknya dalam pelukanku dan kukecup keningnya dengan lembut. Tidak peduli apa ada orang yang melihat atau tidak. Aku ingin seperti ini terus. Bisa kurasakan rasa keterkejutan pada tubuhnya. Namun diluar dugaan, ia malah membalas pelukanku.

“Maukah kamu membantuku untuk melepas segel cakra ini?” bisikku ditelinganya.

“Tentu saja. Demi kamu, aku akan melakukannya. Asal kan kamu siap” jawabnya bersemu merah.

“Berhubung aku tidak memiliki petunjuk lengkap mengenai cara membebaskan cakra angin, kira-kira kamu punya hal yang bisa dijadikan petunjuk??”

“Okey, aku punya. Ini berkaitan dengan mimpiku beberapa waktu lalu. Dimimpiku itu, aku harus menyelam ke dasar laut. Disana aku harus mencari sebuah karang berbentuk rajawali dan seekor paus. Nantinya akan ada sebuah petunjuk menuju apa yang aku cari” tandasku.

“Dasar laut? Tidak masalah”.

Tian berjalan menuju arah datangnya ombak. Dengan perlahan ia membelah lautan dan melebarkannya menjadi jalan. Agar tidak runtuh, Tian membekukan dinding lautan di kanan-kiri jalan dengan sentuhannya. Setelah selesai dan dinding telah siap, kami berjalan memasukinya.

semakin jauh kami melangkah dari pesisir, semakin menurun pula jalan yang kami lalui. Begitupula dengan dinding pemisahnya yang semakin tinggi hingga mengalahkan tinggi kami. Dinding es yang dibuat Tian begitu bening serupa kristal. Kami bisa melihat beragam jenis makhluk-makhluk laut didalamnya. Seperti Sea World namun dengan skala yang mengangumkan untuk sekedar aquarium bawah laut.

“Woww, kakak-kakakku pasti tidak akan percaya ketika aku menceritakan hal ini. Tapi apa kamu yakin dinding ini kuat menahan volume laut disekitarnya?” ada sedikit rasan khawatir sih kalau-kalau dinding ini akan retak dan hancur serta menenggelamkan kami. Soalnya aku gak bisa berenang. Serius.

“Hahahaha. Jangan khawatir. Es yang aku buat tingkat kekuatan dan kekerasannya tidak perlu diragukan.Andaikata kau mengunjungi kerabatku yang berada di Laut Mediterania, kau pasti akan takjub. Kediaman mereka sepenuhnya berada dibawah laut. Walau begitu suhu didalamnya sangat hangat. Hahaha” jelasnya. Tidak terbayang bagaimana bentuknya rumah bawah air. Bulu kudukku pun meremang karena memikirkannnya.

Setelah beberapa lama kami berjalan, sampailah kami disebuah karang yang kami cari. Karang berbentuk rajawali dan paus. Saat kami tiba dihadapan karang itu, rajawali putih kembali muncul. Kali ini dengan bentuk yang nyata.

“Kita sampai. Sekarang, lepaskan bajumu!!” perintah Tian.

“Ogah amat! Kamu pasti mau–”

“Jangan mikir yang aneh-aneh! Aku juga masih waras, DASAR IDIOT! Kalo kamu gak mau nurut, aku batalin nih!!” ujarnya galak. Kepalang tanggung dah, jalanin aja.

“Sekarang kamu diam aja disitu. Apapun yang terjadi jangan keluar dari lingakaran pentagram ini. Awalnya mungkin terasa seperti digigit semut tapi ini sudah sewajarnya kok. LUFEN!!” bersamaan dengan itu, munculah buku mantra dihadapan Tian dan simbol pentagram besar yang mengelilingku. lembaran demi lembaran dari buku itu terbuka secara otomatis hingga akhirnya berhenti disebuah halaman.

“Aku adalah pemegang kunci gerbang dari tujuh lautan. Dengan kekuatan Dewa Laut Poseidon dan seluruh nenek moyangku, aku memanggil perjanjian elemental atas nama warlockia. Bukalah segel cakra mahkota dari pemuda yang berada dihadapanku ini. Bukalah. BUKALAH!!!!”

ARRGGGHHHH”. GILA. Ini mah bukan digigit semut lagi. Sekujur badan benar-benar berasa ditusuk-tusuk jarum. Dan yang lebih lebih gilanya lagi, mantra itu membuatku kelojotan karena sekujur tubuhku disetrum oleh ribuan volt aliran listrik.

Semakin aku lawan rasanya semakin besar rasa sakit yang menerjang tubuhku. Untunglah kemudian berangsur-angsur voltase dari listrik itu berkurang hingga benar-benar sirna.

“Hah…hah…hah. Kamu mau bunuh aku ya??”

“Gak ada cara lain soalnya. Ritual pembukaan cakra itu sebenarnya mesti dilakukan selama tujuh hari berturut-turut. Tapi kan kita gak punya waktu lagi. Mau gak mau aku harus pake cara paksa. Lagi pula kalau aku memberi tahu hal yang sebenarnya, besar kemungkinan kamu gak akan mau melakukannya” jawabnya terengah-engah.

“Tuanku, masukan kristal pemberian Tuan Ferdinand ke paruh rajawali itu. Setelah itu rapalkan kalimat yang pernah Tuanku ucap ketika mimpi”. Kuturuti permintaan dari rajawali putih. Kumasukan Kristal itu dan kurapalkan mantra seperti yang ia minta.

“Pierretarfa Larkhotieve”

Dasar laut yang kami pijak ini mendadak berguncang begitu keras dan muncul lah sebuah pintu gerbang yang sangat besar. Jika diamati secara seksama, digerbang ini terdapat banyak ukiran sebagaimana relief-relief pada kuil yang pernah kulihat sebelumnya.

Kulihat Tian melangkahkan kakinya menuju karang satunya yang berbentuk paus. Dikarang itu ada trisula kembar yang tertancap. Begitu ia mencabut kedua trisula itu, dinding yang dibuat Tian perlahan retak dan dalam sepersekian detik hancur. Debit air langsung menutup akses keluar kami.

“Bagaimana ini? Kita akan mati tenggelam kalau seperti ini!!!” jeritku panic.

“Tenanglah,kita akan baik-baik saja. Sekarang ayo kita masuk kedalam gerbang itu!!”

Tanpa ba-bi-bu lagi, kami langsung masuk kedalam gerbang itu dan dalam sekejap mata kami sudah berada ditempat lain. Segalanya tampak putih disini. Basah, lembab, empuk, dan hawanya dingin.

“Kenapa tadi dindingnya hancur? katamu dinding buatanmu sangat kuat”

“Maaf ya. Aku tadi lupa bilang kepadamu. Dulu nenekku berkata jika aku telah sampai digerbang dasar laut Olympic ketika bersama calon warlockia angin, aku diminta untuk mengambil salah satu pusaka keluarga yang sudah lama tersimpan disini. Tapi karena pamor-nya sangatlah besar dinding yang aku buat tidak ada apa-apanya. Maklum saja. trisula kembar ini kan pasaknya lautan pasifik—kalau enam lautan lainnya sudah aku cabut pasaknya sebelum pindah kesini. Jika dicabut pasti lautan akan bergejolak dan dinding yang kubuat, sekeras apapun akan runtuh”. Buseettt. Serem amat tuh senjata.

Setelah rasa lelah kami hilang, kami memutuskan untuk berkeliling. Segalanya nampak aneh disini. Tempat yang kami pijak warnanya putih tapi atap yang kami lihat berwarna biru cerah.Nalarku langsung berjalan. Ternyata kami berada di langit rupanya.

“Hey lihat!!! Ada gerbang lagi!!” tunjuk Tian antusias.

Kami bergegas untuk kesana. Tapi belum lagi sampai, awan yang kami pijak bergetar dan keluarlah makhluk echidna jadi-jadian. Benar-benar buruk, rupanya—meski lebih jelek Irfandi a.k.a. Albus Figi sih—setengah wanita, setengah ular dengan ekor seperti ekor ikan, bertaring, dan bersayap.

Dengan ganasnya makhluk itu melilit tubuhku hingga aku sulit bernafas. I SWEARR!! Ini makhluk amis baunya.Saat aku kianterdesak saking gak kuatnya nahan nih bau, gelombang besar menghempas echidna hingga terpental jauh. Namun serangan yang Tian lancarkan tidak berdampak apa-apa.

“Adrian! Cepat ke gerbang itu”

“Tapi bagaimana denganmu?”

“Aku baik-baik saja. Akan ku tangani makluk ini. PERGILAH!!”

Dengan cepat aku berlari namun tidak mudah karena mendadak datanglah hembusan angin yang menahan tubuhku. Bisa kudengar erangan kesakitan dari Tian dan raungan dari makhluk itu. Akhirnya dengan segenap tenaga bisa juga aku memasuki gerbang langit itu dan tubuhku berpindah tempat lagi.

Saat kubuka mataku aku sudah berada di reruntuhan istana langit. Kulihat altar utama di atas sana. Kudaki tangga itu hingga akhirnya sampai. Di altar itu terdapat busur kayu ulin dan tempat anak panah. Aku bingung. Apa yang mesti kulakukan sekarang?

Lalu datanglah rajawali putih dari cakrawala yang menukik kearahku dan menembus tubuhku. Seketika itu tubuhku bersinar. Dari punggungku keluarlah sayap yang sangat besar. Busur dan tempat anak panah langsung terpasang di tubuhku. Lalu tiba-tiba muncul lah suara misterius.

“Aku adalah pendahulumu, anak muda. Ternyata keberanianmu tidak bisa dianggap remeh. Setelah berabad-abad akhirnya kamu bisa juga sampai disini. Kamu memang cocok dengan senjata ini karena kamu adalah penerus yang istimewa. Yakinlah dengan dirimu dan anak panah ini tidak akan meleset dari sasaran. Gunakanlah dengan bijak. Elemental udara telah menyatu dalam darahmu dan kini kau sudah resmi menjadi warlockia angin. Pergilah. Bantulah sahabatmu

Kini aku sudah kembali didepan gerbang langit. Dari jauh kulihat Tian sudah kewalahan menghadapi makhluk itu. Kukumpulkan segenap kekuatan baruku dan kini aku telah terbang ke angkasa. Kubidik monster itu dengan anak panah. Yups, tepat sasaran mengenai punggung monster itu dan ia menjerit luar biasa. Dengan cepat aku menukik dan menyambar tubuh Tian.

“Ri—Rian? Benarkah ini kamu?”

“Iya”

“Keren. Kamu sudah memiliki sayap sekarang dan juga kalung yang kamu pakai keren deh. Bandulnya jadi rajawali” aku malah gak tau kalau kalung yang aku taruh didasar laut tadi, kini sudah terpasang kembali dileherku dan berubah bentuk.

“Aku dari dulu juga keren, keleus! Oh iya daripada ngomongin aku, mending kita harus kerjasama deh untuk membunuh makhluk jadi-jadian enggak banget ini. Kau siap?”

“Tentu saja”

Kami berdua lalu turun kembali. Tian dengan konsentrasi menciptakanjala es—dari uap air yang ada disekitar kami—lalu ia memantraijala itu untuk menjerat dan melilit makhluk jelek itu hingga kesulitan bergerak. Kesempatan ini kami manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kurapalkan mantra pada echidna yang membuatnya terdiam laksana patung batu.

“Dolzhna byt’ izgotovlena ​​iz kamnya”

“Ti, sekarang gunakan trisulamu. Tusuk tepat di jantung dan kepalanya” dengan patuh Tian mengikuti instruksiku. Ketika ia menikam echidna dengan trisula kembar itu, sontak makhluk jelek itu meledak berkeping-keping.

“Kau hebat, Ti”

“Kamu juga. Ri?”

“Hmmm….”

“Aku gak mau jauh dari kamu lagi”

“Aku juga, Ti” dengan lembut ku ranggul pinggangnya dan ku kecup keningnya. Lalu secara perlahan ku gendong tubuhnya.

“Kamu mau ngapain? Gak ngapa-ngapain aku kan?” jawabnya manja dengan mata mengerling jahil. Dasar mesum!

“Omes banget sih. Kita kan mau terbang ke bawah. Jadi aku gendong kamu”.

“…..”

“Kamu kenapa, Ti?”

“Aku takut ketinggian”.

GUBRAK.

“Yaudah kamu gak usah liat ke bawah ntar. Liat aku aja. Oke?”

“Oke deh”

“Siap-siap ya. Satu—dua—TIGA”

Aku pun merentangkan sayapku lebar-lebar dan dengan sekali kepakan, kini kami—lebih tepatnya aku—terbang membelah angkasa. Sungguh indah angkasa ini rupanya. Seindah wajah Tian yang kini sedang tertidur dalam dekapanku hingga kami mendarat di rumah Tian. Setibanya kami disana, sudah ada keluargaku dan keluarganya yang tengah menghampiri kami begitu jejakan kakiku di permukaan tanah.

“Selamat ya, Adrian. Kamu kini adalah warlockia angin. Berarti mulai saat ini kamu, Tian, dan kita semua akan mulai bersiap untuk menghadapi peperangan. Tapi sampai saat itu terjadi, kamu harus mencari sahabat-sahabatmu terlebih dulu” kata ayahku.

“Tentu ayah. Aku sudah siap untuk melawan kekuatan jahat”

Tunggu dulu. Tadi kan kita lagi dalam acara study tour bareng sekolah. Terus kalo kita berdua mendadak hilang begini, apa yang bakalan terjadi disana ya???

~~~***~~~

Pesisir pantai, 17 Oktober 2011

Malam ini keluarga besar kami berdua sedang berada di pesisir pantai yang tak begitu jauh dari Puri Ivashkov. Kebetulan sedang ada acara barbeque bersama. Canda tawa begitu ramai terlihat. Keponakan-keponakanku bermain petak jongkok dengan sepupu-sepupu Adrian yang dimana usia mereka semua masih sangat kecil. kakek, paman, dan ayah kami sedang sibuk membumbui dan membakar daging. Sedangkan nenek, bibi dan ibu kami masing-masing menyiapkan piring serta menata makanan diatas karpet piknik berukuran super besar. Kalau saudara-saudara kami—yang berusia sebaya dan yang lebih tua dari kami—sedang berkumpul disekitar api unggun sambil bermain gitar dan menyanyi. Kalau kami berdua? Hehe. Berhubung kondisi Tian akhir-akhir ini menurun dan kali ini ia merasa kedinginan, maka aku merebahkannya di dadaku serta kupeluk dia dari belakang.

“Cieilahhhh, peluk-pelukan segala nih anak berdua” sindir Mariana, sepupuku yang sepantaran.

“Iya nih jadi iri” sahut Paman Riendra. Kebetulan ia masih jomblo.

“Biarin kek. Lagian Tian kan lagi gak enak badan. Wajar dong aku angetin dia”

Krik-krik-krik

Kok mendadak jadi diem semua dah. Mana semua mata pada ngeliatin aku lagi. Dari yang tua ampe yang paling muda. Apa aku salah ya??

Tiba-tiba—

Hmmpphhh……BUAHAHAHAHAHA……HAHAHAHAHAHA

Sontak aku kaget. Tiba-tiba semuanya pada ngetawain aku. Ini emang akunya yang halusinasi atau emang keluarga ini pada gak beres ya????

“Kalian lucu banget sih”

“Tau nih. Kalau sakit mah dikasih obat”

“Ini mah sama aja Adrian yang nyari kesempatan”

HAHAHAHAHAHAHA

Tian hanya diam dengan raut wajah yang memerah. Sedangkan aku cuek-cuek aja denger bully-an mereka. Gapapa deng. Itung-itung pahala karena jadi hiburan mereka. #halah

“Sudah-sudah. Kasihan tuh cucuk nenek kalian gituin. Ntar makin ngambek lho”

“Iya nih. Ayo semua kita makan. Makanannya udah siap semua kok. Ayo-Ayo sini!!!” dengan semangat ayah dan papanya Tian mengkomando seluruh anggota keluarga untuk menikmati hidangan.

Setelah acara makan selesai, dilanjutkan dengan memasang kembang api.

“Adriannn”

“Kenapa, Tian??”

“Mulai sekarang panggil aku dengan nama kecilku ya. Panggil aku dengan nama Chriss”

“Lho?? Kok??”

“Gak tau juga sih. Tapi pengennya aku dipanggil dengan nama itu lagi”

“Iya-iya. Lagian setelah aku pikir kembali, panggilan itu emang lebih cocok buatmu ketimbang Tian”

Setelah itu kami berdua menikmati dentuman demi dentuman keras kembang api di langit barat puri ini yang mewarnai gelapnya malam, hingga pada akhirnya… aku merasa ada yang hal tidak beres yang tengah terjadi dilain tempat.

“AUUUUCCHH” jerit Tian—maksudku Chriss—sambil memegang pelipis kirinya.

“Kamu gak apa-apa, sayang??” ujar mamanya khawatir. Mamanya pernah ngasih tau aku kalau Chriss punya migrain yang sering kambuh. Tidak hanya itu, seluruh perhatian keluarga tertuju pada kami.

“Aku gak apa-apa, mama. Kamu ngerasain juga kan, Rian??”

“Iya, aku juga. Aku berharap ini tidak benar-benar terjadi”

“Apa yang kalian berdua bicarakan. Apa yang terjadi??” tanya tante Elizabeth.

“Begini tante dan juga semua. Aku dan Rian memiliki firasat kalau kedua sahabat masa kecil kami sedang dalam bahaya” jelasnya.

“Dan itu bukan sekedar firasat belaka. Lihat kedua kalung kalian” tunjuk Nenek Karina pada kalung kami.

Dan benar saja. Tidak hanya kalung kami yang bersinar, namun kedua senjata kami juga. Kedua senjata kami berputar tiga kali searah jarum jam. Pada putaran terakhir keduanya menghadap arah timur laut.

“Tidak salah lagi. Kedua teman kalian dan juga kerabat kita­—yakni Gregorian dan Preminger—sedang mengalami pertempuran hebat. Lihat ini”

“Memoria latu’areva”

“Amagio Foresta”

Dengan kekuatan mamanya Chriss dan mantra dari ibuku, mereka membuat gelombang air raksasa dan menjadikannya seperti layar proyektor.

“Astaga. Banyak sekali rupanya. Kutaksir jumlah mereka ada ratusan lebih” sahut Tante Elizabeth.

“Sialan!!! Kurasa itu semua antek-antek dari musuh besar kita—bukan-bukan—penyihir lain, deng. Tapi masih sekutunya” geram Syania, sepupuku.

“Apa kamu memikirkan hal yang sama denganku, Adrian?”

“Tentu saja, Chriss. Ayo kita kesana”

 

__конец__

 

Hai semua!!!!!

Kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rendi si empunya BLOG KHILAF ini. Karena tanpa dirinya dan karya2nya, aku pasti gak akan khilaf untuk bikin coretan ancur ini. Semoga dirinya selalu diberkati dan mendapat PENCERAHAN dari Tuhan # AMEEENNNNN agar segera menyelesaikan NEW DAY dan proyek “gado-gadonya” bareng Albus Figi dan Bagus Tito.#bener kan ya ejaannya????

2. Onew si Ubur-Ubur yang selalu membuat gue gregetan karena terus-terusan membuat karakter DAVE dalam FLOQUE menjadi DILEMA akan percintaannya. Wkwkwkwk.

3. Ahmad Irfandi Rahman a.k.a Albus Figi yang dengan setia menodong gue dan meng-editorial gue #meski diriku gak yakin dia benar-benar melakukannya# HAHAHAHA

4. Temen baikku yang selalu dengan sabar dan tanpa lelah mengajarkan Akuntansi, MYOB, ZAHIR, dan bahasa Russia kepadaku. Yahhhhh, meski yang nyangkut dikit sih. Namun kuakui, bahasa Russia itu lebih indah daripada bahasa Prancis.

5. Terakhir dan namun yang terpenting adalah…….KAMU atau ELO atau SAMPEYAN yang masih sudi untuk membaca coretan-coretan iseng punyaku ini. Kritik, komentar dan masukan kalian aku tunggu kok. Jangan bosen-bosen untuk komenin penulis amatiran ini ya…….

 

Salam dariku

 

Helios

Book 2: Wind & Water (Part 1)

Kota Hujan

By: Helios

Dalam kehidupan pasti ada yang namanya suka dan pasti ada yang namanya duka. Ada yang namanya kebaikan dan juga kejahatan. Kedua hal itu juga saling berkesinambungan. Seperti diriku ini. Pada awalnya aku manusia biasa yang hanya bisa melakukan hal-hal sebagaimana mestinya tanpa dianugerahi kekuatan khusus sekalipun layaknya SUPER-HERO seperti di acara-acara televisi tiap akhir pekan. Namun pada suatu ketika, apa yang ku yakini selama ini “normal” berubah 180 derajat…..

Adrian Pov.

Forks, 6 Januari 2011

Pagi yang berawan di kota kecil ini. Segalanya memang tampak selalu sama di kota yang memiliki predikat sebagai salah satu kota dengan curah hujan tertinggi di dunia. Jika dihitung total dalam setahun, cuaca cerah sudah pasti terjadi dalam hitungan jari. Tidak kurang tidak lebih, sisanya sudah pasti berawan dengan intensitas hujan yang sering terjadi dengan jangka waktunya yang bertahan cukup lama.

Di kota dengan jumlah penduduk beberapa ribu jiwa—meskipun aku tidak terlalu peduli benar atau tidak­—inilah aku tumbuh. Aku Adrian Ivashkov. Kalian mengira aku orang Russia atau dari bagian timur eropa kan? Gak sepenuhnya benar sih. Aku masih ada darah Indonesia, lebih detailnya, aku memiliki darah Keraton Mangkunegaraan dari ibuku yang seorang putri (Bagi yang gak tau di mana keraton itu, search google kalo gak mau repot-repot buka peta). Rutinitas pagiku seperti biasa dimulai sehabis mandi setelah itu aku mengenakan celana training lalu turun tangga menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Kalau baru habis mandi biasanya emang malas pakai baju. Bukannya pamer keseksian melainkan ya gak nyaman aja. Untuk postur tubuh sih lumayanlah kebentuk,hal ini kudapat berkat rajin mengikuti kegiatan gymnastic di Gelanggang Olahraga setempat dan aktif dalam tim basket sekolah. Kedua kakakku juga demikian. Sama-sama malas pake baju kalau baru bangun tidur.

Hoahmmm, udah bangun rupanya si adek kecil ini. Bikin apa kamu?” kata kakakku, Felix sambil mengucek-ngucek mata.

“Bikin omelet, salad kentang, masak daging asap ama dadar gulung. Mandi gih!! Bau ilernya kemana-mana. By the way, jangan lupa bangunin Kak Ferdi!!”

“Iye-iye. Bawel amat kamu kayak cewek. Hadeh”

Yah, beberapa menit telah berlalu, kini kedua kakakku telah menuruni anak tangga menuju dapur sementara aku masih sibuk berkutat dengan bahan-bahan makanan.

“Hah! gini kek. Kan enak kalo udah pada bangun dan langsung mandi”. Kulihat keduanya sama-sama memakai boxer dengan motif tim sepakbola Juventus dan Chelsea.

“Ya sudah. Sekarang kita bantu yah” kata Kak Ferdinand alias Ferdi (kakak sepupu sekaligus boyfriend kakakku).

Sekarang kami mulai membagi tugas. Kak Felix mulai merebus kentang. Lalu menyiapkan garam, lada, serta rosemarry. Setelah matang, kentang-kentang tersebut segera dihancurkan dan langsung dibumbuin­—ala master cheff abal-abal yang seminggu sekali tayang di televisi­—serta memanggang daging sekaligus. Disaat bersamaan, aku mulai mencampur tepung, susu, butter, telur, serta bahan-bahan lainnya. Sementara itu, Kak Ferdi sibuk dengan campuran susu, telur, dan rempah-rempah.Kemudian kami berdua memasukan adonan masing-masing kedalam wajan yang berbeda. Beberapa saat kemudian, semua hidangan kami telah jadi. Asal kalian tahu saja, walau kami cowok namun dalam urusan masak-memasak kami memang jago. Secara kami sering mengikuti cooking class di sekolah kami.

“Huft…selesai juga menu kita” kataku sambil menata meja makan.

“Ya udah. Langsung aja kita ma…..” belum sempat Kak Felix mencuil dadar gulung, Kak Ferdi langsung memberikan tatapan ala penjahat padanya.

“Doa dulu!! Main samber aja!!”

“ADAWWW!! Yaelah galak amat ama daku ampe jitak-jitakan segala. Iye-iye”

“Hahahaha. Ada-ada saja kalian berdua” kadang aku merasa geli dengan tingkah mereka.

Kemudian kami berdoa sebelum makan. Setelah itu kami mulai menyantap hidangan yang kami buat. Hmmmm, yummy banget lah. Semua bumbu “PAS” dimulut. Selama makan, kami saling membicarakan rencana atau kegiatan masing-masing disekolah nanti. Tidak seperti kebanyakan sekolah di Indonesia, sekolah tempat kami berada masuknya sekitar pukul sembilan pagi. Oleh karenanya kami beruntung bisa selalu masak untuk sarapan bersama, apalagi kalau orangtua sedang dirumah acara masak jadi tambah ramai. Baik itu pagi maupun malam.

“Kak, ntarkan ada pertandingan basket antar sekolah. Kalian dukung aku ya” kataku memelas.

“Hmmmmm. kalau aku sih bisa karena kebetulan Mr. Jefferson sedang cuti. Jadinya jam ke delapan sampai selesai free. Kalau kamu, Lix?”

“Aku sih tergantung Mrs. Shinaya aja. Sebenernya dia cuti juga. Cuma setiap ada jam pelajarannya, dia akan menelpon guru piket untuk memberikan tugas yang menumpuk pada kita. Doain aja deh biar tugasnya nanti cepet selesai. Biar bisa nonton kamu, dek”

“Oke. Aku pegang janji kalian”

Jam sudah menunjukan pukul 08.30 pagi. Kami pun bergegas untuk berpakaian dan mengambil tas masing-masing. Setelahnya kami berangkat dengan Jeep yang dikendarai Kak Ferdi.

~~~***~~~

Jam pertama untuk hari ini adalah fisika yang diajarkan oleh wali kelasku, Mr. James. Kali ini ia sedang me-review materi hukum pascal beserta implementasi dan perhitungannya di papan tulis. Ketika sedang asyik menyimak perhatian kami agak terusik saat pintu terbuka. Dari pintu itu masuklah Mrs. Hawkins selaku tata usaha bersama seorang pemuda yang membawa sebuah folder. Folder itu kemudian diberikan dan dibaca oleh wali kelasku. Setelah dirasa beres, Mrs Hawkins meninggalkan kelas kami.

“Ehem!! Perhatian semua!! Hari ini kalian kedatangan siswa pindahan dari luar negeri. Ayo nak. Silahkan perkenalkan dirimu”

“Selamat pagi. Namaku Sebastian Oliver. Please call me, Tian. Aku pindahan dari Jerman. Semoga kita bisa menjadi teman baik” ujarnya sopan diiringi suara siulan dari anak-anak sekelas. Maklum lah udah tampang tuh anak ganteng plus cute pula . Jarang-jarang ada pindahan dari luar negeri. Antar benua pula. Tapi tunggu. Tian?? Kenapa nama itu tidak asing denganku ya?

“Okey, Tian. Kamu duduk di kursi itu ya. Dan untuk yang lain, kerjakan hal.167. saya keluar dulu. Jangan berisik”

What?? Tuh anak bakal satu tempat duduk ama aku? Tapi kok aku yang gerogi sih. Kalau dilihat dari ujung rambut sampai ujung kaki, sosok Tian ini sungguh menarik perhatian. Bagaimana tidak? Kulitnya amat sangat putih untuk ukuran cowok, rambut pirang keemasan, serta wajahnya yang begitu manis, sampai-sampai aku tidak bisa melepas penglihatanku darinya. Bagiku dia memang menarik tidak lebih dari itu. Mungkin karena sadar sedang diperhatikan, ia pun memalingkan wajahnya. Ketika tatapan kami saling bertemu, wajahnya langsung memerah, ia lalu menundukan wajahnya tidak berani melihatku. Kenapa ya? Daripada makin aneh, aku pun mengajaknya untuk berkenalan.

“Hai, aku Adrian Ivashkov. Panggilanku disini Rian. Kamu?”

“Aku…aku Tian”

Tian Pov

Oh my gubrak, seneng banget dah bisa satu bangku dengan cowok sekeren ini. Postur tubuhnya yang bikin ngiler, sporty abis, dan berkulit eksotis pula. Ditambah dengan wajahnya yang maskulin banget. Eitsss???? Kok jadi mupeng gini sih???Alihkan pikiran!! Alihkan pikiran!!

“Hai, aku Adrian Ivashkov. Panggilanku disini Rian. Kamu?” katanya lembut.

Hah? Benarkah dengan apa yang kudengar barusan? Adrian Ivashkov? Oke, secara teknis aku sudah berpisah dari sahabat-sahabatku termasuk Adrian selama hampir satu dekade. Sempet gak yakin juga kalau penampakan yang ada dihadapanku saaat ini adalah Adrian. Namun saat kulihat sorot mata pemuda ini, aku yakin kalau dia adalah sahabatku, Adrian. Tapi sepertinya dia agak lupa denganku.

“Aku…aku Tian”

Mungkin aku harus berta—oh tidak­—jangan dulu. Mungkin aku perlu memberikan beberapa petujuk agar ia mengingatku. Semoga saja dia memang orangnya karena kalau tidak__oh fleurd__pasti malu-maluin. Dengan cepat aku merobek kertas dari note’s ku dan kutuliskan beberapa kalimat.

“Jodoh gak akan kemana dari enam anak adam yang akan saling bersahabat satu sama lainhingga akhir khayat mereka. Meskipun mereka berpisah di hari ulang tahun sang Tertua, namun mereka yakin akan kembali bersatu. Inilah takdir yang telah menyatukan enam keluarga besar dari Dragomir, Romanov, Ivashkov, Belikov, Gregorian, & Preminger”.

Setelah selesai, kuberikan tulisan ceker ayamku kepadanya.

“Bacalah” pintaku padanya.

Dengan penasaran ia mengambil secarik kertas tersebut dan membaca dengan seksama. Kulihat air mukanya, awal-awal terlihat biasa namun langsung berubah menjadi ekspresi keterkejutan dan segera menatapku dengan tatapan tidak percaya.

“Berarti kamu?”

“Benar kawan. Sudah lama ya kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu? Sehat-sehat saja kan?”Aku tidak sadar kalau baru saja aku mengatakan hal-hal yang sangat kekanak-kanakan. Jujur saja aku senang sekali sebab firasatku benar serasa hati ini kembali terisi walau baru seorang. Andai saja aku bisa bertemu dengan yang lainnya.

Adegan peluk-pelukan langsung terjadi dan itu membuatku shock. Shock karena ia juga mencium keningku. Jantungku serasa berhenti berdetak dan air mataku langsung terjun bebas tanpa permisi. Lama kami melakukan itu hingga kami akhirnya sadar bahwa kami diperhatikan oleh seisi kelas.

“Eh, emm anu, maaf teman-teman. Ternyata anak baru ini adalahsahabat lamaku yang sudah belasan tahun terpisah sejak kecil. Aku aja pangling pas ngeliat dia udah sebesar ini. Hehehe” dengan polosnya ia mengklarifikasi keadaan diantara kami.

PROKK…PROKK…..PROKKK…….

Salah seorang cowok dari kelas ini memberikan standing applause untuk kami dan juga diikuti oleh seluruh teman-teman baruku.

“Keren banget, bro. yang namanya sahabat sejati emang pasti gak akan kemana. Meski terpisah hingga belasan tahun pasti akan bertemu kembali. Seperti kalian berdua ini”

“Ihhhhhh, so sweet banget deh. Jadi pengen punya persahabatan kayak kalian” kata seorang cewek berkawat gigi.

Amazing. Kalian itu keren”

“Semoga kalian bisa betemu dengan yang lainnya ya” seluruh kelas berpaling kepada asal suara cowok tersebut.

“Maksudmu?”

“Rian ini pernah cerita ke aku kalau ia memiliki lima orang sahabat sewaktu kecil. Namun karena satu dan lain hal berpisah dan sekarang ia bertemu kembali dengan salah satu diantara mereka berlima. Ya kudoakan saja agar mereka bisa bersatu kembali”.

“AMIENNN!!!!!!” teriak satu kelas mengamininya.

“Thanks ya kawan-kawan. Kalian sungguh baik sekali” Kata Rian tersipu malu.

“Kita kan juga bersahabat. Kalau seorang sahabat bahagia, kita pasti akan bahagia juga. Iya kan semuanya?”

“SETUJU!!” Hehehe. Benar-benar kelas yang solid. Anak-anaknya pun juga care satu sama lain.

Akhirnya waktu yang seharusnya kami gunakan untuk mengerjakan tugas malah digunakan untuk membicarakan kehidupan kami semua satu sama lain. Tidak hanya itu. Aku juga banyak bertanya kepada mereka soal pelajaran disini karena aku khawatir kalau kurikulumnya berbeda. Namun ternyata hampir sama dengan kurikulum di negaraku. Otomatis aku tidak perlu bersusah payah untuk menyesuaikannya.

~~~***~~~

 

Cafetaria, pukul 02.00 siang

Ketika aku sedang mengantri untuk mengambil makanan, mataku tertuju oleh Rian yang sedang asyik mengobrol dengan kedua cowok lainnya disalah satu meja. Ganteng semua sih. Salah satu dari mereka sangat mirip dengan Adrian sehingga aku berpikir kalau mereka berdua kakak-beradik. Sedangkan yang satu lagi tidak begitu ada kemiripan dengan mereka berdua.

“Aneh. Kalau dia bersaudara kandung dengan mereka pasti ada kemiripan dong diantara mereka. Kalau begitu, Xavitcrekhia Momentum” akhirnya kugunakan mantra penembus waktu. Nampan alumunium yang sedang kupegang ini secara perlahan menampilkan bayangan masa lalu dari mereka bertiga. Dari sini aku tahu kalau orang yang nggak mirip itu adalah Ferdinand, boyfriend dari Kak Felix. kakaknya Rian.

“Oalahhh. Begitu rupanya. Pantas saja gak begitu mirip”

Kulangkahkan kakiku menuju pantry untuk mengambil sendiri buah dan sayuran yang akan dijadikan salad karena kebetulan ibu penjaganya sedang ke toilet. Daripada bête nunggu aku bikin aja karikatur wajah dari sayur dan buah itu. Dua alpukat untuk mata, selada untuk rambut, ketimun untuk mulut, serta beberapa anggur dan buah zaitun buat hiasan. Ketika aku hendak mengambil apel untuk hidung, ada orang yang menepuk bahuku hingga kontan saja aku kaget dan apel yang kupegang terjatuh. Ketika aku menoleh, ternyata orang itu adalah Adrian. Apel yang jatuh itu lalu diambilnya dan langsung ia bersihkan di wastafel yang kebetulan dekat dengan tempat kami berada. Saat ia memberikan apel itu, ia mengomentari karyaku.

“Woww!! Karya seni yang bisa dimakan. Benarkah?”

“Ahhh, bisa aja kamu. Lagian ini cuma iseng aja kok”

Beberapa saat kemudian, datanglah Ibu-ibu cafeteria.

“Sudah kau dapatkan apa yang kau mau untuk saladmu, nak?” tanya ibu itu.

“Sudah. Apel, selada, anggur, alpukat, zaitun, dan ketimun. Tolong ekstra keju ama mayonaise ya, bu”

“Iya. Tunggu sebentar ya” Ibu itu kini sibuk membuatkan salad dari bahan-bahan itu.

“Hmm, Rian. Tadi yang bersamamu itu siapa?” kataku pura-pura tidak tahu.

“Ohh. Itu tadi kakak-kakakku. Kenapa? Kamu suka ya? Ntar aku salamin kok. hehehe” hadeh…. Andai saja kamu tahu walau diantara kalian sama-sama ganteng, tapi aku hanya tertarik denganmu.

“Ini dia pesananmu, nak. Selamat menikmati” kata ibu itu ramah.

“Sama-sama. Yuk, kita ke meja disana” ajakku pada Rian. Sebelumnya ia kembali ke mejanya untuk mengambil nampan makanannya. Barulah ia mengikutiku ke tempat yang kutunjuk tadi.

Obrolan kami kembali berlanjut sambil makan. Entah kenapa rasanya begitu nyaman jika mengobrol dengannya, pembicaraan kami kemudian menuju topic yang lain. Tentang diriku.

“Sejak kapan kamu pindah kesini?” tanyanya sambil memotong apel dengan pisau buah.

“Sekitar sebulan yang lalu. Ketika itu aku menjatuhkan pilihanku untuk sekolah disini setelah browsing di internet tentang beberapa sekolah di Washington. Walaupun demikian, aku tidak langsung masuk sekolah karena masih ada beberapa administrasi kepindahan yang mesti diurus dulu. Kau pasti tahulah betapa rumitnya administrasi lintas Negara-Benua” untung dia gak sadar kalau aku hanya membual saja.

Yeah, I know karena itu juga yang dialami saudari ibuku ketika pindah ke Inggris untuk mengambil gelar master di Cambridge. By the way, ini memang perasaanku atau langit sepertinya mau hujan?” perlahan suasana menjadi gelap.

Waittt! Kau menanyakanku tentang cuaca?”

Sure. Why?

Actually, aku memang belum begitu suka juga dengan hal-hal disini. Apalagi dengan hari-hari disini yang selalu terkesan suram. Kurang lebih seperti itu mungkin karena masih baru aja”

So, kenapa kamu akhirnya memilih untuk pindah ke tempat dengan curah hujan tertinggi di dunia, hah?” sungutnya meremehkan. Mungkin ia agak tersinggung dengan ucapanku.

Well, maaf banget ya kalau kamu kesinggung gitu tadi. Agak rumit sih sebenarnya, kamu pasti bosan mendengarnya” sebenarnya aku ingin jujur kepadanya, hanya saja aku takut ia akan men-capku sebagai orang gila. Kurasa saat ini berbohong adalah pilihan tepat.

“Ehm, aku yakin pasti mengerti” jawabnya sambil memberikan senyum merekahnya itu. Bibir yang ranum dengan warna merah menggoda. Sepertinya aku tidak akan bisa melupakan senyum itu untuk waktu dekat—Halah!.

“Okey, Eropa saat ini sedang diterpa krisis financial seperti yang kita tahu. Oleh karenanya, keluarga besarku memindahkan sebagian besar asset perusahaan-perusahaan mereka kesini. Karena seperti yang diketahui, USA sudah mulai membaik dari dampak krisis ini, selain itu, Negara Bagian Washington ini kan kualitas udaranya lebih baik daripada negara bagian lain serta kondisinya yang memang lebih sejuk” jawabku sebaik dan sepintar mungkin. Moga aja tuh anak percaya.

Asal kalian tahu. Aku pindah kesini sebenarnya untuk mencari anggota termuda dari Keluarga Ivashkov yang ternyata adalah keluarga warlockia angin. Saat kakekku dan kakek Adrian berkata bahwa Adrian adalah calon warlockia, aku senang sekali. Apalagi ketika beliau menambahkan bahwa sahabat-sahabat kecilku juga akan jadi warlockia. Akhirnya angan-angan kami sewaktu kecil terwujud juga. Beliau lalu berpesan padaku agar ketika menemukannya, aku harus selalu melindunginya karena cakra anginnya masih tersegel dan rentan akan serangan musuh. Ketika segelnya telah siap terbuka, aku juga harus membantunya. Entah maksudnya apa aku sendiri juga kurang begitu memahaminya.

“Yah, kurasa pilihan kalian tepat. Welcome to the Washington. Khususnya Forks”.

Thanks” kamipun kembali melanjutkan makan siang kami. Setelah itu kami berpisah. Adrian menuju lapangan indoor sedangkan aku menuju kelas. Oh iya!! Adrian—Rian maksudku—sempat bilang kalau sebentar lagi akan ada pertandingan basket dan kebetulan sekolah ini menjadi tuan rumahnya. Rasa-rasanya mau lihat juga tapi nanti itu kan ada pelajaran IT. Mau bolos gak enak karena aku masih baru disini.

BINGGO!! Kenapa aku sampai lupa. Aku kan tinggal menggandakan diri aja. Kulihat jam dinding. Berarti pertandingannya sejam lagi. Tanpa pikir panjang, aku menuju toilet lalu memutar keran dan keluarlah air hingga membasahi lantai toilet. Kemudian aku merapal mantra duplikat sambil bercermin pada air.

“Gemino Aftraka”

Air dalam wastafel itu, kemudian berubah wujud menjadi diriku. Kini aku memiliki duplikat yang sama persis. Aku lalu menyuruhnya untuk menggantikan posisiku dikelas. Setelah faham dengan intruksiku, duplikatku segera menuju kelas sedangkan aku menuju lapangan indoor. Aku harus bergegas agar dapat view yang bagus dari bangku penonton.

 

~~~***~~~

 

Adrian Pov

Pukul 03.15 Sore

Gugup juga rasanya. Padahal aku kan sudah biasa dengan pertandingan seperti ini, daripada makin gak jelas, aku memilih untuk melihat-lihat bangku penonton.

Ramai juga sih penontonnya untuk pertandingan seperti ini. Dari banyaknya kerumunan itu, mataku menangkap dua sosok yang familiar, tidak salah lagi, ternyata kedua kakakku menepati janji mereka. Dari yang kulihat, sepertinya mereka sedang asyik mengobrol dengan seseorang.

Lho, itu kan Tian? Bukannya ia tadi menuju kelas. Kok bisa disini? Tapi tak apalah aku senang kalau dia disini untuk menontonku. Kalau begitu, aku harus bisa bermain sebagus mungkin untuk mereka

Timku dan tim lawan saling berjabat tangan. Setelah itu, masing-masing tim menyanyikan lagu mars sekolah asal. Kami diberi waktu sepuluh menit untuk pemanasan. Sesudah itu, wasit kembali meniup peluit agar kami siap diposisi masing-masing. Wasit lalu melemparkan bola ke udara sambil meniup pluit.

PRRRRRIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!

Pertandingan pun dimulai.

Bola langsung direbut oleh lawan. Tanpa pikir panjang, kami langsung mengejar bola yang dibawa lawan ketika dia ingin menembak­—YESS—rupanya meleset dari ring. Kesempatan ini langsung dipergunakan tim kami untuk membalas. Entah mungkin karena semangat atau apa, tubuhku serasa ringan sekali ketika berlari. Seperti berada diatas bantalan udara. Bola lalu dioper kepadaku selanjutnya aku melakukan slamdunk dan bola masuk kedalam ring. Point untuk kami. Benar-benar tidak aku sangka karena dari mulai merebut bola hingga memasukannya kedalam ring hanya memakan waktu lima detik. Sungguh diluar dugaan.

Pertandingan berikutnya dimulai lagi. Tim lawan rupanya memberi perlawanan yang cukup berarti bagi kami. Tapi kami tidak akan mengalah.

~~~***~~~

 

Ferdinand Pov

“Lix, lihat adik kita itu? Jago juga rupanya”

“Iya sayang. Dia kan hobi banget basket. Apalagi pas kamu yang ngajarin.”

Pikiranku kembali melayang ke masa-masa silam. Saat itu, aku tengah mengajarkan basket kepada Rian yang kebetulan baru berumur 10 tahun. Mungkin karena bakatnya Felix menular kepadanya sehingga dengan cepat Rian dapat menguasai teknik-teknik yang kuajarkan. Aku sebenarnya sepupu dekat dari mereka . Aku sangat menyayangi mereka berdua, apalagi Felix. Rasa sayangku padanya perlahan semakin berkembang hingga menjurus pada cinta. Tepat ketika aku dan ia berusia 14 tahun, aku menyatakan cinta padanya. Tanpa harus menunggu lama ia mau menerimaku. Rupa-rupanya, ia juga memiliki rasa padaku, respon yang kudapat dari keluarga besar sungguh positif terlebih Rian dan kedua orang tua mereka. Oleh mereka, aku diminta untuk tinggal bersama, rencananya 3 tahun lagi tepatnya ketika aku dan Felix berusia 20 tahun kami akan mengikat janji suci kami.

“Permisi, bolehkah aku duduk disini?”

Of course” kata Felix mempersilahkan.

“Hei, kamu bukannya yang duduk bersama Rian kan di cafeteria tadi? Siapa namamu?”, tanyaku pada pemuda itu.

“Iya, benar. Aku Tian. Kalian pasti kakaknya, kan?”

“Bener kok. Tahu darimana?” tanya Felix

“Rian tadi yang ngasih tahu” sahut pemuda itu

Untuk selanjutnya percakapan diantara kami bertiga mengalir begitu saja. Dari sini, aku mengenal lebih dalam diri Tian yang ternyata baru pindahan dari Jerman ini sekaligus sahabat kecil Rian yang sempat terpisah karena kesibukan orang tuanya. Kepribadiannya yang baik, ramah, cute sekaligus lembut. Sempat aku berpikir untuk menjodohkannya dengan Rian. Ketika aku membisikan rencanaku pada Felix, ia sependapat juga denganku.

“Sepertinya kalian cocok juga. Apa kamu punya rasa sama Rian?” goda Felix padanya to the point. Wajah Tian langsung memerah dan ia berusaha untuk menutupnya.

“Hahaha. Tenang aja, bro. Kami setuju aja kok kalau kamu bersama adik kami”

“Benarkah? Thanks ya. Aduh senangnya. Oh iya, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama kan?” selidiknya.

“Maksudmu apa?” ujarku.

“Maaf sebelumnya. Namun dari pengamatan yang kulakukan, kalian terlalu intim untuk dikategorikan sebagai kakak-adik. Kalian pasti sepasang kekasih kan?”

LHO?? kok dia bisa tau ya?

“Eeehhh, emm…anu. Kok kamu bisa tau? Padahal baik aku dan dia sebisa mungkin bersikap se-normal yang kami bisa kok” ujar Felix yang terlihat lebih panik dari aku.

“Hehehe. Aku memang memiliki intuisi yang bagus. Hanya itu” jawabnya enteng.

Weww, sungguh aneh kurasa. Padahal anak baru tapi tebakannya tepat mengenai sasaran. Meski aku maupun Felix tidak pernah mengumbar status kami ini, hanya saja aku heran darimana ia tahu informasi itu. Kalaupun benar intuisi seperti yang ia katakan barusan, aku yakin dia bukanlah anak biasa. Dan itu bisa dibuktikan dari auranya.

PRRIIITTTT!!!!!

“Eh, kenapa tuh wasit?” kaget juga sih karena wasit meniup pluit tiba-tiba.

“Yeee. lagian kamu bengong aja dari tadi. Rian barusan cedera gara-gara ditabrak lawan yang kebetulan posturnya lebih gede dari dia” jelas Felix.

Ketika aku menoleh kearah Tian, ia sedang sibuk merapal kata-kata yang cukup aneh sambil sesekali menggerakan jari-jarinya. Tatapannya mengarah pada Rian yang kini sedang mengaduh kesakitan di bangku cadangan. Ketika Tian selesai melakukannya, bersamaan itu pula Rian berhenti mengaduh kesakitan, permainan kemudian dilanjutkan kembali. Saat ada lagi yang cedera, Rian mengambil alih, setelahnya ia menguasai jalannya permainan hingga akhirnya……

PRRRRRRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!!

Peluit panjang telah dibunyikan wasit. Menandakan bahwa permainan telah selesai dengan kedudukan score 40:35 untuk tuan rumah.

Kulihat Tian sedang keluar dari barisan penonton. Setelah itu ia memeriksa keadaan disekitarnya. Agak mencurigakan memang, saat kukedipkan mataku lagi, Tian lenyap dalam kabut putih yang kutahu adalah mantra pindah dekat.

Mantra? Rian yang mendadak sembuh? Kabut? Sepertinya Tian bukanlah manusia biasa. Apalagi intuisinya itu yang menurutku bukanlah sekedar intuisi melainkan kemampuan membaca masa lalu. Sepanjang yang ku ketahui, ini adalah kemampuan dari warlockia air. Tidak salah lagi.

Sepertinya ia disini untuk membantu Rian melepas segel cakra anginnya. Berarti sebentar lagi waktu bagi Rian akan tiba. Sampai saat itu tiba, aku akan berpura-pura tidak tahu. Baik kepada adikku, boyfriendku, maupun Tian.

~~~***~~~

Author Pov

Akhirnya tuan rumah berhasil mempertahankan juaranya untuk yang kesekian kalinya. Terlebih bagi tim basket tersebut. Mereka saling berpelukan satu sama lain untuk meluapkan euphoria mereka. Walaupun menang, hal ini tidak menandakan mereka sombong. Mereka dengan senang hati bersalaman dengan tim tuan rumah sebagai sahabat. Begitu juga tim tamu yang dengan jantan menerima kekalahan mereka. Setelah mendapat piala bergilir dan medali mereka melakukan foto bersama.

Sejak tadi, Rian tidak ikut larut dalam euphoria. Ia masih memikirkan kejadian ketika cedera tadi. Saat hal itu terjadi, ia sempat melihat Tian sedang komat-kamit kearahnya sambil memainkan jari-jarinya. Tiba-tiba muncul aliran air­—yang entah berasal darimana—yang segera membasahi bagian tubuh yang cedera, perlahan cedera yang dialaminya berangsur membaik dan pulih dengan cepat hingga ia bisa bermain kembali.

Saat Rian menuju kelas untuk mengambil beberapa barang, rupanya pelajaran baru saja berakhir dan yang membuatnya terkejut, Tian baru saja keluar kelas. Dengan segera ia lalu masuk kelas menemui Oscar.

“Hei, tadi si Tian bolos kelas ya?”

“Enggak kok. Orang dari tadi aku ngobrol dengannya. Kenapa?” sahut Oscar sambil membereskan buku-bukunya.

What?? Jelas-jelas aku melihat Tian dari awal hingga akhir pertandingan. Kalau yang tadi keluar itu Tian, lalu siapa yang sedari tadi menonton pertandinganku? Apa yang sebenarnya terjadi disini, hah?”

“Ya aku gak tau. Kan daritadi aku di kelas bareng Tian. Bro, aku duluan ya?” kata Oscar.

“Oh, iya. Ati-ati!!” sahutnya.

Setelah beberapa saat, Rian memutuskan untuk meninggalkan kelas kosong itu. Ketika ia menuju lapangan parkir tempat Jeep kakaknya berada, ia melihat Tian sedang berjalan kearah pepohonan. Karena penasaran ia mengikutinya, dari balik pepohonan ia melihat dua sosok Tian yang sangat identik. Keduanya lalu saling menempelkan telapak tangan kanan mereka. Yang membuat ia ternganga, salah satu dari dua sosok itu menghilang dan hanya menyisakan satu sosok Tian. Setelahnya ia melihat Tian kembali komat-kamit lalu menghilang dalam kabut.

Wussshhhhhh

Rian kini hanya diam terpaku. Dia masih tidak habis pikir tentang apa yang ia lihat barusan. “Tian menghilang? Bagaimana mungkin?” Belum sempat ia berpikir jauh suara klakson dari Jeep telah mengagetkannya.

TINNN!!!!

“Ahelah!! Ngagetin aja!!”

“Ngapain kamu disitu? Cepat naik! Sebentar lagi hujan” perintah Felix.

“Iy..iya kak!!!”

Sesampainya dirumah, Rian memutuskan untuk segera tidur. Ia merasa bahwa karena mungkin terlalu lelah, ia menjadi berhalusinasi berlebihan. Apalagi karena kehadiran sosok yang yang mirip Tian dibangku penonton tadi. Makin tambah kacau saja pikirannya. Perlahan kantuk mulai menguasainya hingga akhirnya ia tertidur.

~~~***~~~

 

18 Maret 2011

Kediaman Adrian

Sudah beberapa bulan ini Rian dan Tian menjalin persahabatan yang semakin erat. Mereka kemanapun selalu berdua. Baik itu ketika mengerjakan tugas, ke kantin, jogging, bahkan hang-out pun juga berdua. Walau terlihat demikian, Rian masih memendam rasa penasarannya terhadap Tian. Pernah terbesit dalam benaknya untuk memata-matai sahabatnya itu. Tapi ia keburu sadar bahwa itu bukanlah hal yang baik dilakukan, kalaupun memang Tian bukan lah manusia seperti kebanyakan, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya Tian telah memberi kesejukan dalam dirinya. Ia ingin agar selama mungkin tetap bersamanya.

Sore ini Tian diajak menginap oleh Rian dan kedua kakaknya. Kebetulan kedua orang tua mereka sudah pulang dari urusan bisnis. Ketia Rian mempertemukan Tian dengan orang tuanya, mereka berdua terkejut.

Lho, ini Tian anak dari Frederick dan Lusia, kan?” sapa Om Irga, ayah Rian.

“Iya Tante Hera, Om Irga. Bagaimana kabar kalian?”.

“Baik, sayang. Muaaacchhh. Kalau orang tuamu bagaimana? Kok gak bilang-bilang kalau sudah pindah kemari?” kini Tante Hera yang bertanya sambil mengecup pipi Tian gemas.

“Baru juga beberapa bulan yang lalu kok. Mereka kini sedang mengurus beberapa asset perusahaan mereka”.

“Kok Rian gak ngasih tahu Papa Mama sih kalau Tian yang mau nginap? Hayo pasti ada apa-apa nih? hehehehe” selidik mama jahil.

“Ihh… Mama ada-ada aja. Terserah aku dong. Temen ini kok yang aku ajak nginep” belanya.

“Temen apa temen? Kalo lebih juga gak apa-apa. Iya kan ma? pa?” sindir Ferdinand.

“Iya….Mama setuju. Lebih bagus malah. Jadinya kami gak perlu repot buat nyariin pacar untuk Rian. Hahahaha” tawapun langsung meledak diantara keluarga itu. Rian yang makin merah padam langsung menarik tangan Tian menuju kamarnya.

“Eciehhhh…..kok adik kecil ngambek, sih? Malahan pacarnya langsung dibawa kabur lagi. Hahahahahahaha” sindir mereka bersamaan. Dalam hati Rian kini memang telah diisi sepenuhnya oleh Tian. Hanya saja ia masih malu untuk mengungkapkannya. Bahkan tanpa ia sadari, Tian juga memendam perasaan yang sama.

~~~***~~~

Adrian Pov

25 Maret 2011

Lapangan Parkir, pukul 03.00 Sore

Hari ini pelajaranku lebih cepat selesai dari biasanya dikarenakan seluruh guru-guru kelas 2 sedang mengadakan rapat. Akhir-akhir ini, kedua kakakku yang kelas 3 telah disibukan dengan berbagai kegiatan pra-ujian kelulusan hingga mereka selalu pulang larut. Untuk itulah sejak beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk membawa mobilku sendiri.

Hujan kini turun membasahi bumi. Aku yang ingin pulang buru-buru mengambil payung dari lokerku saat keluar dari lobby sempat aku melihat Tian yang sedang bersandar di balkon lantai tiga. Setelah berlari-lari kecil, aku sampai ditempat dimana mobilku terparkir. Aku yang tengah mengambil kunci dari saku jeans tidak sadar dengan apa yang akan terjadi.

Ketika itu ada sebuah mobil sedan hitam yang kelihatannya kehilangan kendali. Mobil yang melaju tanpa arah itu menabrak apa saja yang dilewatinya. Tempat sampah, tiang lampu, hingga beberapa mobil yang tengah terpakir, tidak sanggup untuk menghentikan laju kendaraan itu. Mobil itu kini mulai mengarah padaku. Sempat mobil itu membunyikan klaksonnya beberapa kali. Saat aku menoleh kebelakang hal itu sudah terlambat. Mobil itu menabrak tubuhku hingga membuatku jatuh terpental dengan kepala membentur aspal. Payung serta tas slempangku sudah entah terlempar kemana. Mobil itu akhirnya berhenti setelah menabrak baliho besar dengan suara hantaman yang luar biasa keras.

Kesadaranku perlahan mulai kembali. Aku pun berusaha untuk berdiri. Entah kenapa baru berjalan beberapa langkah muncul rasa pusing yang luar biasa pada kepalaku. Saat aku memegang pelipis, aku merasakan sesuatu yang lengket dan berbau amis. Kulihat jari-jariku terdapat cairan lengket yang rupanya itu adalah darah. Kuyakin terdapat jaringan yang robeknya cukup parah dikepalaku mengingat darah terus saja mengalir dari kepalaku. Perlahan aku mulai hilang kontrol atas tubuhku, belum saja aku terjatuh untuk yang kedua kalinya tubuhku langsung ditangkap oleh sepasang lengan. Saat aku memfokuskan pandanganku, ternyata yang menangkap tubuhku adalah Tian.

“Ti….Tian. sejak kapan kau ada disini? Bukannya tadi kamu—arrgghhhh!!!!­—di balkon sana” ujarku kesakitan. Serasa ada yang berderak didalam tubuhku.

“Berhenti dulu ngomongnya. Perdarahanmu banyak sekali. Gak hanya itu saja. Lengan kananmu patah dan tulang ditungkaimu bergeser” jawabnya datar.

Tiba-tiba hujan serasa berhenti disekitar kami namun suaranya masih terdengar jelas. Ketika aku mengedarkan penglihatanku, ternyata kami berdua telah terlindung dari derasnya hujan dengan adanya kubah besar yang seketika tercipta dari tetesan-tetesan air hujan yang membeku. Setelahnya Tian kembali berkomat-kamit. Namun kini aku bisa dengan jelas mendengarkan apa yang ia ucapkan.

“Imbloodvertario—skeletofrena­—Aquazlekhia”.

Itulah kurang lebihnya yang kudengar. Tiba-tiba tubuhku seperti terselimuti oleh air. Awalnya dingin namun perlahan air yang menyelimutiku mulai menghangat. Tian lalu menempelkan telapak tangannya yang pucat kekepalaku. Darah yang sedari tadi mengalir deras, langsung berhenti. Luka robek pada kulit kepalaku sedikit demi sedikit mulai menutup.

“TIAN!!! AWASSS!!!” jeritku lantang.

Belum juga proses penyembuhan itu selesai, banner yang ditabrak mobil itu oleng kearah kami. Tanpa bergeming, Tian memanipulasi pergerakan air yang berada disekitar kami menjadi gelombang besar .Gelombang itu menahan jatuhnya balihokearah kami. Tian yang dengan sekali dorongan, membuat gelombang air itu menghempaskan papan itu hingga menimpa pepohonan disekitar kami.

PRAKK….PRAKKK….BDUMM.

“Rian, kamu gak apa-apa kan? Kamu bisa dengar aku kan? Rian?? RIANN!!!!!”

Kesadaranku perlahan menurun kembali. Sayup-sayup terdengar sirine ambulance dari jauh. Segalanya mulai gelap. Aku tidak tau apa aku bisa sadar lagi atau tidak.

 

~~~продолжение следует (To be continued)~~~

 

#N.B:

1. ada satu atau dua kalimat yang sengaja kubuat pake bahasa russia.

2. Pengennya sih dibuat nanggung penggalannya. Biar penasaran.#gak tau deng sukses atau nggak

3. Kalau ada kesalahan, mohon koreksinya ya kawan-kawan. Itung2 ini karya keduaku dalam “Warlockia Series” dan coretan isengku yang ketiga.#yang pertama aku post kapan-kapan deh.

Book 1 : Fire

elios

Permulaan

By: Helios

 

Magic?? Di zaman modern seperti sekarang ini?? Mungkin orang akan tertawa kalau masih ada yang percaya dengan hal-hal semacam itu. Namun, mereka sebenarnya tidak tahu bahwa masih ada Warlokia­­___penyihirberdarah campuran dengan elemental. Yups, Seperti aku ini…….

Namaku Eleazar Syailendra Djosevi Dragomir. Panggilan akrabku Ezar. Nama Syailendra dan Dragomir aku peroleh karena aku memiliki dua darah bangsawan sekaligus, yakni dari Indonesia (Solo khususnya) dan Russia. Hehehe, campur aduk memang aku.Sejak lahir aku selalu berada di Russia bersama keluarga Oma Vasilissa. Tapi setiap beberapa bulan sekali, keluargaku yang dari Indonesia___keluarga Nenek Rahayu___datang berkunjung. Kalau sudah begini, kondisi akan sangat ramai karena setiap waktu kami selalu bersenang-senang bersama.

Aku ini pribadi yang mandiri. Sedari kecil terbiasa melakukan segala hal sendiri tanpa bantuan siapapun. Gak seperti kebanyakan saudara-saudaraku yang manjanya minta ampun dan selalu berkoar-koar ke semua orang tentang kekayaan keluarga besar kami. Bukan gayaku banget.

Oh iya. Waktu aku kecil, aku selalu bermain dengan kelima sahabatku. Diantaranya William, Gerdian, Adrian, Chriss, dan Valant. Yang unik dari persahabatan kami adalah ibu kami sama-sama orang Indonesia sehingga bisa dibilang kami ini anak-anak Indo. Diantara kami berenam, aku lah yang paling tua. Tapi bagi kami usia bukanlah penghalang bagi persabatan kami.

~~~***~~~

Acara Piknik Keluarga, 12 Maret 1999

Awal perjumpaan kami dimulai ketika piknik keluarga. Saat itu, orang tuaku juga mengundang teman-temannya. Karena aku tidak begitu mengenal mereka kuputuskan untuk bermain ayunan sendirian. Tak disangka-sangka datanglah lima orang anak menghampiriku. Kupikir aku bakal di bully atau apa. Ehhh, ternyata mereka hanya ingin bermain bersama denganku. Hehehehe. Kecil-kecil tapi udah paranoid aja.

Satu per satu mereka mulai memperkenalkan diri. Dari kelima anak itu hanya satu yang sikapnya malu-malu kepadaku. Bagaimana tidak? Ia saja tidak berani menatapku,apalagi saat berjabat tangan,sekujur tubuhnya langsung menggigil seperti orang melihat hantu. Aku yang penasaran beranjak dari ayunan untuk mendekatinya. Dengan hati-hati kugenggam kedua tangannya. Lalu kuangkat dagunya dan secara perlahan membuatnya menengadah hingga kedua mata kami bertemu.

“Aku ini orang, bukan hantu, nggak perlu takut denganku” kataku lembut dengan logat khas anak kecil.

“Ehmm, iya” jawabnya masih malu-malu.

“Nama kamu siapa? Kalau aku Eleazar”

“Namaku Valant. Hehe..”

Semenjak hari itu kami berenam selalu bersama. Kejar-kejaran, main petak umpet, bersepeda, apapun pasti berenam. Kami juga punya keinginan yang sama yaitu menjadi penyihir. Itupun aku yang mulai sewaktu kami sedang bersantai dibawah pepohonan pinus yang tumbuh di sisi barat puriku.

“Kawan, aku mau jadi penyihir api. Kan keren tuh bisa ngeluarin api dari tangan, kalau kalian inginnya jadi penyihir apa?”

“Aku maunya elemental air. Soalnya air itu sumber kehidupan” kata Chriss.

“Aku angin. Kan angin itu bisa jadi badai hehe” kata Adrian nyengir.

“Bumi. Soalnya bumi kuat, namun juga indah dengan segala kehidupan yang ada dipermukannya” kata Gerdian bijak. Untuk yang satu ini kami berlima mengangguk bersamaan.

“Kalau aku elemen penjaga aja” kata William malas-malasan.

“Hah? Gak ngerti” kini giliran Chriss yang garuk-garuk kepala.

“Makcudnya logam. Logam itu kan kelas. Nah dengan icu aku mau jagain kalian. hihihi” setelah beberapa lama kami akhirnya bisa ngeh ama kata-kata William. Maklum dia itu cadel dan kadang suka gak jelas ngomongnya.

“Kalau kamu apa, Val?” Tanya Adrian sambil makan biscuit.

“Kalo aku…ehm.. apa ya? Oh ya. Cahaya aja deh” katanya polos.

“Lho? Kenapa cahaya? Kenapa gak api aja kayak aku?”

“Soalnya, api itu kan warna apinya merah. Kalo cahaya warnanya putih. Warna kesukaanku”.

“Eh, main lagi yuk?”ajak Adrian.

“Ayo aja. Hahahaha…. ” tawa kami bersama.

Kamipun bangun dan kembali lagi bermain selayaknya anak kecil pada umumnya.

~~~***~~~

Pesta Ulang Tahunku, 21 Agustus 2001

Persahabatan kami walau baru berjalan lebih dari dua tahun namun rasanya sudah seperti sejak lahir. Malah kami berenam sepakat mengembangkan hubungan ini menjadi persaudaraan. Meski begitu tentu saja keadaan ini tidak bertahan lama hingga pada suatu hari kami terpaksa berpisah (entah memang kebetulan atau apa) karena pekerjaan orangtua masing-masing.

Saat itu usiaku menginjak 8 tahun dan mereka berlima 7 tahun. Sempat terjadi adegan tangis yang mengharukan diantara kami berenam. Valant aja sampai memelukku sedangkan empat yang lain saling berangkulan dalam tangis, bahkan orang tua kami masing-masing sampai terharu ketika melihat kami. Hal ini terjadi saat ulang tahunku. Sungguh ini merupakan kado sekaligus perpisahan yang tak akan pernah terlupakan,baik bagiku maupun kami berenam.

“Hei..hei. Kita kan udah gede. Masa masih nangis gini” kataku berusaha menghibur mereka, terutama Valant yang nangisnya tidak berhenti-henti dipelukanku.

“Kamu enak bica bicala gicu. Coalnya kamu yang paling gede” Meski William ngomongnya sambil nangis, tapi justru cara ngomongnya itu yang bikin kita bisa sedikit melupakan kesedihan kami.

“Oh iya. Anak-anak, tante punya cerita nih. Ceritanya tentang persahabatan Tante Eirishka dan orang tua kalian, kalian mau dengar gak?” bujuk Ibuku untuk mencairkan suasana.

“Mau. Mau denger!!”, jawab aku dan teman-temanku bersamaan.

Ibuku lalu mulai bercerita. Dulu sewaktu masih kuliah, Ibuku mempunyai seorang teman cowok yang amat dekat. Cowok itu adalah orang yang suatu hari akan menikahi Ibuku. Yups, dia adalah Ayahku. Nah, masing-masing diantara mereka memiliki gank yang beranggotakan enam orang. Kedua gank itu selalu bersama hingga pada saat mereka dewasa, mereka sepakat untuk bersatu atau dengan kata lain masing-masing dari anggota saling menikah (pas bagian ini ayahku dan orang tua yang lainnya langsung salah tingkah saat diperhatikan oleh kami berenam). Beberapa tahun mereka tetap bersama untuk sekedar bersenang-senang atau hangout bersama. Hingga akhirnya mereka mulai sulit bertemu karena masing-masing pasangan sudah memiliki kesibukan. Disatu kesempatan, mereka akhirnya membuat suatu perjanjian persaudaraan dimana mereka akan menjadi saudara untuk selama-lamanya.

“Bagaimana anak-anak? Indah bukan persahabatan kami?” Kini mulai Ayahku yang angkat bicara.

“Banget, om. Chriss juga pengen punya persabatan yang langgeng. Kalian mau juga kan teman-teman?” Kami mengangguk serempak sebagai tanda persetujuan.

“Oma merasa kalau kita semua ini telah diikat oleh takdir yang sama. Selama berabad-abad, setiap generasi dari keluarga-keluarga kita semua pasti selalu bersahabat. Begitu pula dengan Oma beserta kakek-nenek kalian dan juga Tante Eirishka beserta orangtua kalian. Oma juga yakin kalau kalian terikat dengan takdir yang sama,jadi kalian tidak perlu khawatir. Meski kalian sekarang akan berpisah pasti suatu saat kalian pasti akan ketemu lagi” hibur Oma Vasilissa.

“Oma betul. Lagipula, ini kan masih dalam suasana ulang tahun Eleazar. Harusnya kita kan bergembira. Iya kan teman-teman?” ujar orang tua Adrian pada para orang tua yang lain dan merekapun mengangguk setuju.

Akhirnya pesta kembali berlanjut dengan meriah. Diakhir acara kami sepakat untuk tukar kado dan tidak mengucapkan kata perpisahan. Karena kami yakin sejauh apapun jarak memisahkan, kami pasti akan bertemu kembali.

 

~~~***~~~

Waktu berlalu dengan cepat,tidak terasa aku sudah menjadi seorang remaja. Bertahun-tahun sudah kami tidak memberi kabar satu sama lain. Bukan karena kami musuhan, tapi kontak diantara kami seperti menghilang perlahan sampai benar-benar putus kontak.

Diusia-usia seperti ini pasti mental para remaja-remaja lainnya sedang dalam tahap yang benar-benar labil,tapi hal itu pantang terjadi padaku. Justru ketika diusiaku yang baru 14 tahun, aku sudah membuat sebuah keputusan yang amat mengguncang keluarga besarku. Bagaimana tidak? Aku memutuskan pindah dari Russia ke Indonesia seorang diri hanya untuk mencari suasana baru, sekolah, kuliah, dan bekerja. Pilihan kepindahanku jatuh pada sebuah kota besar di Indonesia apalagi kalau bukan Jakarta. Mendengar keputusanku itu Nenek Rahayu sempat menawariku untuk tinggal bersama keluarga besarnya di Keraton Solo jika aku tetap kekeuh pindah ke Indonesia. Tapi dengan halus aku menolak permintaan itu. Bagiku, saat inilah waktu yang tepat untuk menentukan pilihan hidupku sendiri. Itulah yang membuat keluarga besarku bangga karena keberanianku yang memutuskan untuk pindah ke sebuah tempat yang asing dan belum pernah kulihat sebelumnya. Sesampainya aku di Bandara Internasional Soekarno Hatta, kuputuskan untuk melepas “embel-embel” Syailendra dan Dragomir. Sebagai gantinya, aku akan menggunakan nama Ezar Kurniawan selama disini.

 

~~~***~~~

Begitulah sepenggal masa laluku kini bisa dibilang aku sebagai salah seorang yang sukses di Jakarta. Dengan pekerjaanku yang sekarang sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan berskala internasional, aku bisa mencukupi kehidupanku. Orang-orang pasti tidak akan percaya kalau aku baru berusia 20 tahun. Usia yang terbilang terlalu muda untuk menjabat posisi sepenting ini. Tidak aneh memang bagiku pasalnya selama mengenyam bangku pendidikan aku mengalami beberapa kali akselerasi dan lulus kuliah bahkan dapat menyelesaikan program S2 dengan predikat sebagai lulusan termuda. Soal kemampuan…..tidak diragukan lagi, sodara-sodari.

Perawakanku bisa dibilang WOW. Penampilan serta Inner beauty-ku yang khas keturunan Indo campuran memang amat sangat terpancar hingga aku terkadang menjadi pusat perhatian di sekitarku. Aku masih ingat ketika aku melamar pekerjaan beberapa tahun lalu banyak staff-staff senior yang melirikku ketika memasuki lobby.

Wah, ada barang baru nih….

Hmm…..harus gua dapetin nih anak baru

Aduhh…..!!!! ganteng banget nih orang. Pengen deh minta pin BB nya” jerit kecil sekretaris centil dari balik meja resepsionis.

Lumayan ganteng sih. Bisa-bisa jadi saingan gua nih…” kata seorang supervisor yang dengan angkuhnya melewatiku.

Begitulah beberapa komen yang bisa aku dengar. Tidak banyak orang yang tahu kalau aku mempunyai beberapa kemampuan khusus. Diantaranya, aku punya pendengaran ekstra sensitif, membaca pikiran dapat menguasai berbagai bahasa dan juga daya pikat yang luar biasa. Ini pula lah yang bisa membuat ku mengalami beberapa kali akselerasi dan dengan mudah mendapatkan pekerjaan, disamping juga memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Semua kemampuan ini kuperoleh ketika aku masih di Russia. Hahhh…. Memikirkannya saja rasanya baru seperti kemarin bagiku.

 

____Flash back____

 

Pekarangan Puri Dragomir, 27 Oktober 2004

Hari itu­­­ entah kenapa Oma Vasilissa menghampiriku bersama Nenek Rahayu yang kebetulan baru datang dari Solo. Mereka ingin sekali membicarakan sesuatu secara empat mata___i mean, enam mata denganku. Sebelum membuka topik, mereka berdua memberiku dua buah kotak antik berselimutkan kain merah dan kain batik.

“Bukalah ke dua kotak ini, cucuku” pinta oma dan nenek bersamaan.

Pada kotak berkain merah, terdapat sebuah kalung berliontin Naga. Sedangkan pada kotak berkain batik, terdapat sebuah keris ber-luk 13.

“Apa maksud semua ini nek? Oma?” tanyaku pada mereka berdua.

“Sebelumnya izinkanlah Omamu bercerita lebih dulu” kata Nenek Rahayu.

“Begini cucuku. Maksud kami memberimu ini berhubungan dengan kegentingan yang saat ini sedang terjadi. Voldera telah bebas dari penjaranya”.

“Hah? Oma serius? Bukankah ia hanya mitos tua belaka?” tanyaku heran.

“Tidak, dia benar adanya. Penyihir itu telah bebas sekarang. Itu karena, mantra segel kuno pada penjara sihir telah lenyap. Kami menduga bahwa Penjara Sihir Alcatera telah dibobol oleh keturunannya, Romedal.”

“Bagaimana Oma tahu tentang semua ini?”

“Lihat ini. Iluraminati !”. Oma menjentikan jarinya dan muncul lah bola api merah. Dari bola api tersebut keluarlah seekor naga kecil.

“Be..rar..ti…berarti….oma adalah..”

“Iya, cucuku. Oma adalah The Elemental.” akuiOma.

Sulit dipercaya kalau Oma Vasilissa adalah penyihir api selama ini, aku lalu ingat akan salah satu mitos tua tentang beberapa keluarga-keluarga bangsawan__berdarah campuran penyihir dan pengendali elemental yang disebut juga warlockia__eropa timur. Diantaranya adalah Dragomir, Ivashkov, Belikov, Gregorian, Romanov, dan Preminger yang kemudian menamai diri mereka sebagai The Elemental.

“Tunggu dulu. Kalaupun benar, bukannya aku dan teman-teman kecilku memiliki nama belakang seperti para The Elemental? Apa kami juga warlockia?”

“ Tepat sekali. Oma ingin kamu beserta kelima sahabatmu itu bersatu untuk melenyapkan Voldera dari muka bumi ini. Hanya kalian harapan kami. Kami sudah terlalu tua”.

“Tapi bagaimana caranya? Aku sama sekali tidak tahu dimana keberadaan mereka sekarang ini”

“Karena itulah kamu memerlukan bantuan Nenek Rahayu. Kamu ingatkan Nenek Rahayu pernah menceritakan cerita-cerita jawa yang erat kaitannya dengan Gusti Kanjeng Ratu Laut Selatan? Nah, nenekmu ini masih memiliki hubungan darah dengan beliau” jelas Oma sambil tersenyum pada nenek.

“Kalau begitu Ayah dan Ibu juga seorang…..”

“Iya cucuku. Ayahmu warlockia dan ibumu adalah putri penjaga laut selatan. Namun kamu pasti tidak menyadarinya. Itu karena ketika Ayah dan Ibumu menikah, mereka berikrar agar berusaha semaksimal mungkin hidup selayaknya manusia normal”jelas Nenek.

“Pantas saja.…. tidak kusangka bahwa keluarga besar kita ternyata bukanlah bangsawan biasa. Oh iya Nek, apa kiranya yang kubutuhkan dalam mencari teman-temanku?”

“Itu sebabnya nenek memberimu Pusaka Syailendra. Keris luk 13. Keris ini bisa menjadi senjata apapun sesuai kebutuhan. Keris itu juga dapat menjadi penunjuk arah dan kamu dapat menggunakan ini untuk menemukan mereka”, jelas nenek.

“Namun ada satu yang kamu perlu tahu. Diantara kelima keluarga lainnya, keluarga Romanov paling susah terlacak akhir-akhir ini. Itu karena…..” Oma menggantung kalimatnya.

“Karena apa, oma?”

“Sebagian anggota Keluarga Romanov telah menghilang tanpa jejak. Kami mengira ini perbuatan Voldera dan keturunanya. Itulah sebabnya energivalinor dalam keluarga tersebut nyaris menghilang. Namun kita patut bersyukur karena beberapa anggota Romanov berhasil selamat, sehingga kita masih memiliki peluang. Prioritas kalian adalah menemukannya sebelum Voldera menemukannya jika sampai telat menemukannya…. kita tidak ada kesempatan lain”jelas Oma.

“Sekarang, pakailah kalung tersebut dan cabutlah keris dari sarungnya”pinta nenek padaku.

Aku pun memakai kalung tersebut dan mencabut keris dari sarungnya. Tiba-tiba saja, cuaca diluar yang tadinya cerah, kini berubah gelap. Semilir angin berubah menjadi badai ganas. Petir menyambar dari segala penjuru langit. Ditambah dengan munculnya cahaya merah terang yang diikuti dengan keluarnya sesosok naga raksasa dari kalungku. Yang membuatku takjub sekaligus ngeri, badai yang berhembus berubah menjadi pusaran api maha dahsyat yang membumbung tinggi menembus langit dan diselingi raungan naga yang begitu keras.

“Selamat cucuku.” kata Nenek.

“Engkau kini telah menjadi warlockia api. Gunakan kekuatan magic, pengendalian, dan keris itu dengan bijaksana” kata Oma.

“Dengan kamu memakai kedua benda ini, kamu akan mendapatkan kemampuan-kemampuan khusus yang tidak dimiliki manusia kebanyakan” jelas Nenek.

“Berjuanglah cucuku. Demi Dragomir, demi Syailendra, dan juga seluruh umat manusia.” pesan oma.

“Baiklah. Akan kujalankan tugas ini. Demi kita semua.”sahutku dengan mantap.

 

______End Flash back_____

 

~~~***~~~

 

Apartemen Boulevard Residence, 7 April 2013 pukul 07.00 pagi

Hari ini kebetulan libur panjang. Dikarenakan perusahaan kami sedang merayakan kesuksesan targetnya, Mr. Aria selaku direktur utama memutuskan untuk meliburkan pegawainya selama beberapa hari. Tentu saja kesempatan ini kupergunakan untuk pulang lebih awal. Sesampainya dirumah aku puaskan hasratku untuk tidur. Tak terasa waktu bergulir cepat. Ketika bangun, rupanya sudah menunjukan pukul 07.00 pagi. Yang membuatku heran sendiri, rupanya aku tidak melepaskan seragam kantorku dari kemarin sore. Tanpa pikir panjang, kutelanjangi diriku lalu bergegas ke kamar mandi.

Usai mandi, kulilitkan handuk di pinggang dan berjalan menuju pantry. Masih pagi seperti ini memang nikmat kalau minum secangkir jasmine tea. Setelah kuseduh, aku menuju kulkas untuk mengambil apel lalu kucomot pisau buah dari laci. Ketika aku mengupas kulit apel, pisau yang kupegang meleset dari kulit apel dan malah melukai tanganku hingga berdarah. Seketika aku merasa pusing. Aku memang tidak tahan dengan bau amis darah yang makin lama makin menggelitik syaraf penciumanku, kupandangi darah itu mengalir dari tanganku. Darah yang tadinya mengalir deras keluar semakin lama semakin melambat, begitupula waktu disekelilingku berjalan semakin lambat. Saat tetes yang kesekian terjatuh, waktu disekitarku seketika berhenti.

Dalam tetes darah itu, kulihat suatu titik hitam yang semakin lama semakin melebar. Yahh, kegelapan. Kegelapan yang perlahan menyelimuti dunia ini, dari situ juga, kulihat sosok penunggang naga hitam beserta pasukannya mulai menebar terror dimana-mana. Dalam kepanikan tersebut, munculah seorang pemuda yang amat ketakutan entah darimana dan langsung mendekap dadaku begitu kuat. Aku yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa membiarkannya saja berbuat demikian. Tiba-tiba naga itu mengeluarkan lengkingan yang sungguh memekakan telinga. Si penunggang juga mengerang sambil menghunus pedangnya kearah kami berdua. Dari erangannya itu aku bisa menangkap tiga kata darinya. “Bloodstone”, “Saphire”, dan “Romanov”.

Waktu lalu kembali berjalan seperti sediakala dan darah itu akhirnya jatuh ke lantai. Ku kerjapkan mataku. Darah ditanganku masih mengalir walaupun tidak sederas tadi, segera aku menuju cabinet P3K dan langsung kusambar Betadine serta plester antiseptic. Setelah mengobati lukanya aku kembali terdiam.

“Siapa ya pemuda itu? Mengapa aku merasa harus melindunginya? Lalu apa hubungannya dengan bloodstone, sapphire, dan…. Tunggu dulu. Bloodstone, sapphire, dan ro..roma…Romanov?Apa jangan-jangan pemuda itu adalah….keturunan Keluarga Romanov yang harus kucari? Tapi…….ARGGHHH!!! siapa namanya? Aku benar-benar lupa. BODOH……BODOH….. disaat seperti ini justru aku lupa pada hal yang penting!!!”

Disaat pergolakan batin itu, kulihat keris pusaka melayang-layang ke arahku. Keris itu lalu keluar dari sarungnya dan mulai berputar perlahan sebanyak tiga kali searah jarum jam. Selama berputar, dibawah keris itu muncul bayangan yang persis kompas dengan dilengkapi symbol arah mata angin, yakni U, T, S, dan B. Diputaran ketiga keris itu berhenti di symbol T dan muncul pula gambar seorang pemuda yang seingatku sama dengan yang ada dipenglihatanku tadi. Tepat diatas symbol itu. Kini aku yakin bahwa orang yang kucari-cari selama ini adalah pemuda itu. Tidak salah lagi.

“Aku harus menemukannya serta harus melindunginya sekuat yang aku bisa. Meski aku tidak mengingat siapa namanya dan dimana ia sekarang berada, aku yakin aku pasti akan bertemu dengannya. Ini hanyalah permulaan……”

 

*****

____продолжал (prodolzhal)____

Rayan dan Fauzan (9)

rayanfauzan

Rayan tertawa kecil mengingat pertama kali melakukan dosa yang tidak lagi ia sesali saat ini, dosa pertamanya bersama Fauzan. Rayan yang sekarang adalah seorang pengumbar kenangan, hanya itu yang bisa Rayan lakukan untuk menopang hatinya agar tidak runtuh bersama siluet Fauzan yang menghilang di balik dinding hati Rayan.

Sepeninggal Fauzan, semuanya serasa monogram, kelabu dan pekat akan penyesalan. Mata yang berkaca-kaca bukan lagi hal asing dan hina untuk Rayan, dahulu Rayan benci menitikan airmatanya untuk kondisi apapun. Namun, sekarang dengan amat kurang ajar airmatanya menari keluar dari kelopak matanya, menuruni sela hidung dan pipinya dengan amat memprihatinkan.

Suatu hari nanti, saat lo temukan kepingan hati lo yang berserakan di atas terpal dunia, gue yakin lo pasti akan kembali, karena saat kepingan hati lo lengkap dan berhasil lo satukan kembali, hanya ada nama gue yang terpatri di kepingan hati lo itu. Sebenarnya lo pergi bukan untuk hal itu, gue tahu betul itu. Lo pergi untuk menyatukan sebuah puzzle yang berserakan, kepingan puzzle yang jika di satukan akan memperlihatkan sebuah ukiran dari ketulusan anak adam. Rayan dan Fauzan. Rayan membatin sambil mendengarkan Radio nya, sebentar lagi akan ada sesi di mana para pendengar bisa bercerita kepada si penyiar Radio tentang apa perasaan dan apa saja yang pendengar alami saat ini. Rayan memang tidak berminat menyampaikan salam atau mencurahkan perasaanya kepada orang lain, menurutnya, luka hatinya ini hanya konsumsi pribadi. Ia mendengarkan siaran radio tersebut karena banyak hal lucu di dalamnya.

“Kembali lagi bersama gue, Uzi Raffa Ritongga, penyiar paling keren tingkat Universe, cowok Minang yang machonya ngalahin Agung Hercules! Rite-rite-rite, kita akan mulai acara malam ini, curcol abang-none, kalian bisa curhat dan ngemengin apa aja bareng gue, mungkin ada yang mau nembak gebetannya melalui acara ini? Atau ada yang mau nyari neneknya yang hilang juga bisa!” ucap si penyiar berita itu panjang lebar, Rayan terkekeh kecil, ia lupa-lupa ingat dengan suara yang kerap ia dengarkan melalui Radio dari ponselnya tersebut, dulu ia sering bercanda dengan si pemilik suara yang berasal dari aplikasi Radio yang ponselnya aktifkan.

“Kalau aja Fauzan dengerin siaran si Uzi juga, gue bakalan ikut kirim salam nih!” kata Rayan mencoba agar suaranya terdengar tidak parau.

“Kali ini pembuka acara kita akan gue mulai dari hal sendu dulu ya, ada seseorang ngirim surat ke redaksi radio ini, dari Ojan. Eh Ojan gerimis aje, ikan bawal diasinin, eh jangan menangis aje, kapan-kapan kite jumpa lagi… cukup-cukup-cukup, mendingan kita simak curhatan si Ojan ini.”

Rayan bergerak memposisikan tubuhnya ke tempat yang dirasa paling nyaman untuk menyimak apa yang akan dia dengar selanjutnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat rasa penasarannya menguat, Ojan, mungkinkah Fauzan? Rayan buru-buru menepis pemikiran ngawurnya.

Kepada malam aku ungkapkan kerapuhanku, kepada siang aku tuturkan segala keluhku, dan kepada pagi aku curahkan rindu , lalu kepada senja aku tebok semua kenanganku. Berantakan bukan? Semua rancu begitu aku pergi darimu. Lalu apa masih boleh aku sampaikan maaf kepadamu, hati yang sudah aku sakiti. Uzi berhenti membacakan surat tersebut, terdengar helaan nafasnya yang ambigu.

Senyummu masih jelas terpatri dibalik kelopak mata, suara serakmu masih sering kurasa mengaung di palung hati, pelukanmu mampu menghantuiku kala sepi mendera hati ini, aku hanya mampu melihatmu melalui mimpi. Uzi kembali menghela nafasnya, suaranya jauh lebih terdengar serius ketimbang bait pertama yang ia baca.

Jangan lagi kecewa, semua akan baik-baik saja seiring waktu yang mengikis cinta kita. Jangan! Jangan bersikukuh aku akan kembali. Biar! Biar aku pergi! Karena kembalinya aku hanya akan membuat semua kembali memburuk, kamu harus kembali ke orangtuamu, mereka yang paling butuh rindumu, bukan aku.

Lalu bersamaan dengan ini aku menitahmu, tutup semua album kenangan kita, tentang peluh yang menetes dalam satu palung syahwat sejawat, tentang tangis dari cobaan kehidupan yang mendesau tidak menyenangkan, tentang sulitnya masa kita dulu namun genggamanmu tetap erat kurasakan, akulah penghianat dari kisah cintaku, maka tidak usah lagi berharap aku akan kembali, kembalinyaku hanya akan menyulitkanmu.

Aku tidak mencoba membuatmu mengerti, tapi aku mencoba memupuskan gigihmu yang aku tahu masih cukup tangguh untuk menungguku bahkan untuk puluhan tahun lagi. Maka aku kirimkan surat ini, untukmu, agar kamu menyerah dan pulang!

Uzi terdiam lama, hingga Rayan merasa surat tersebut telah dibacakan Uzi sampai coretan terakhir.

Rayan, aku tidak lagi membutuhkanmu, maka pulanglah, jangan jadi pecundang untuk waktu yang lama.

Rayan terjolak dari posisi rebahnya, ia menarik kasar earphone-nya lalu mencari nomer Uzi dalam kontak teleponnya.

  • Lama Namun Aku Tidak Pernah Kehilangannya.

Hening, namun hangat terasa, serasa semua hal di bumi akan selalu baik-baik saja, damai dan ketenangan merambat menyelimuti hati. Sesuatu bergerak menyapu bagian dada sampai perut Rayan.

Rayan terjolak kaget menyadari sesuatu hal yang ia takutkan terjadi sekarang, saat Rayan bangun dari tidurnya tubuhnya serasa lemas, rasa pegal menggerogoti lutut dan pinggang Rayan. Kepala Fauzan terjatuh dari perutnya, namun Fauzan tetap geming seperti terbuai oleh rasa lelah yang menuntunnya untuk menyelami alam mimpi.

Tubuh Fauzan menekuk memunggungi Rayan, seperti anak kucing yang sedang tertidur damai. Dibalik itu semua, hati Rayan bergemuruh hebat, tubuh bugilnya menggigil hanya karena desauan angin kecil, bulu kuduknya meremang perlahan-lahan seperti melodi kematian mengantar ke pemakaman.

Shitt happen! umpat Rayan sambil bangkit dan meraup celananya yang berada di kaki ranjang tempat tidur.

Rayan kembali menatap Fauzan yang masih tertidur, ingatannya seperti lumpuh, tidak ada satu hal pun yang mampu membuat Rayan mengerti tentang kronologi yang telah terjadi. Rayan menarik-narik rambutnya mencoba meredahkan denyutan tak nyaman di dalam kepalanya. Terus gue kudu gimana? Gue kudu ngomong apa? Bangsat! Runyam semua!umpat Rayan dalam hati.

Rayan menarik handuk yang tergantung di pintu kamar lalu satu baju dan celana bersihnya, saat tangannya menyentuh knop pintu, rasa dingin ia rasakan di ujung kulit tangannya, sontak Rayan menoleh ke arah tubuh Fauzan yang rebah dengan kondisi telanjang di atas tempat tidur Rayan. Perlahan Rayan menarik selimut hingga menutupi tubuh Fauzan. Lalu bergegas keluar kamar, menuju kamar mandi, membersihkan segala kotoran yang tak kasat mata, bukan kotoran sebenarnya, hanya cinta dan penyangkalan yang kerap ia lakukan.

***

Rayan menyuap sarapan paginya lamat-lamat, menunggu dengan gundah Fauzan keluar dari kamarnya, keluarganya telah kembali tadi malam dan hal itu baru Rayan sadari saat ia beranjak ke meja makan.

Nasi goreng di piringnya hanya ia acak-acak dengan sendok yang malas-malasan Rayan pegang. “Ray! Makannya yang bener! Jangan kayak anak perempuan!” bentak kakak Rayan yang tidak suka dengan sikap Rayan yang tidak biasa.

Rayan menyuap sarapan paginya, rasa nasi goreng yang sekarang ia kecap terasa sangat hambar, seperti makan makanan sisa sesajen, hambar tidak terasa nikmat sama sekali.

“Lha, ada Fauzan? Kok nggak lo ajak sarapan bareng Ray?” tanya adik perempuan Rayan yang berbadan gempal. Rayan tidak berani memandang Fauzan, walau Rayan tahu tatapan Fauzan sedang tertuju ke arahnya, bahkan Rayan merasakan tatapan Fauzan berhasil menembus kepalanya.

“Euh—Fauzan pulang dulu ya, Mamah udah neleponin Fauzan nih Tante, tadi malem soalnya Fauzan nggak bilang mau nginep.” Rayan merasakan Fauzan berlalu di belakangnya, mendekati Ibunya lalu menyaliminya dan punggu Fauzan tidak lagi terlihat setelah salam berkumandang dari bibir Fauzan. Sesaat Rayan menyesali sikap acuhnya, namun tidak banyak yang bisa Rayan lakukan, karena Rayan pun sama terkejutnya dengan Fauzan.

***

Rayan memasuki kelasnya, Fauzan sudah berada di kelas, namun tidak duduk di balik meja mereka, Fauzan duduk bersama Adi menempati bangku Helmi. Mungkin sampai si Helmi dateng aja, batin Rayan masygul.

Namun sampai bel pelajaran dimulai Fauzan tidak kunjung kembali ke tempat duduk seharusnya, di sebelah Rayan. “Gue duduk sama lo yeh,” suara Helmi yang lantang terdengar di telinga Rayan, Rayan menengadah menatap Helmi yang sedang memalingkan wajahnya ke arah Fauzan dan Adi, saat Helmi menatap Rayan, Rayan mengangguk mempersilahkan.

“Hal itu bener-bener terjadi ya malam kemarin?” pertanyaan Helmi yang ambigu mampu Rayan cerna dengan mulus dan menimbulkan rasa yang kurang nyaman, Rayan bergerak gusar, tidak lama Bu Eti dengan wajah ketusnya memasuki kelas mereka. Lebih baik pelajaran bu Eti deh, nggak apa-apa gue di bully terus, daripada kudu jawab pertanyaan si Helmi, ujar Rayan gundah dalam hati.

Waktu terus bergulir, tidak sedikit pun Rayan memberikan celah kepada Helmi untuk bertanya kepadanya prihal Fauzan meminta untuk bertukar tempat duduk. “Gimana Ray pengalaman pertamanya?” tanya Helmi yang tidak lagi bisa menahan rasa penasarannya.

“Lo bisa diem nggak sih!” sahut Rayan tidak menyadari suara berat nan seraknya melengking keras tersulut emosi dari pertanyaan Helmi. Helmi menutup mata kanannya menahan kebisingan dari teriakan Rayan, Rayan tercekat, semua mata tertuju padanya, namun sarat akan tatapan tidak suka. “Mati gue!” Rayan mengumpat kesal. Ia berharap bisa menghilang dari dalam kelas ini sekarang juga.

“Rayan! Kamu nggak pernah sadar juga ya! Kamu ini udah kelas tiga, bentar lagi UN masih aja jadi murid slangek’an di kelas, teriak-teriak! Kamu kira ini hutan? Kamu kira pelajaran saya ini nggak penting apa?” cerca Bu Eti sambil melangkah mendekati Rayan.

Mampus gue!!! batin Rayan penuh kekhawatiran. “Helmi! Kamu juga ngapain duduk di sini, biasanya kamu duduk sama Adi! Pasti lagi ngegosip ya?” tuduh Bu Eti.

“Enak aja bu, emang saya cewek!” bantah Helmi sengit.

“Emang kamu ngerasa cowok?” sindir Bu Eti.

“Jelaslah bu,” jawab Helmi sambil menatap ke arah selangkangannya.

“Kalau gitu kalian berdua hormat bendera sampai jam istirahat!” Rayan dan Helmi mendongak bersamaan, seluruh kelas dipenuhi tawa yang bergemuruh.

“Nggak ada tapi-tapian!” sentak Bu Eti memotong kata-kata yang bahkan Rayan dan Helmi belum ucapkan.

Rayan dan Helmi menjalani hukuman tersebut, tubuh tegap, tinggi dan berkulit coklat milik mereka basah oleh keringat karena berlama-lama mematut tiang bendera di bawah terik sang surya yang digjaya. Tawa siswa-siswi terdengar stero di belakang mereka, dari lantai satu sampai lantai empat.

Saat Rayan menoleh ke arah belakang tepatnya ke lantai dua, Fuazan dan Angel sedang menatap mereka, Rayan tidak tahu bagaimana ekspresinya saat ini yang Rayan tahu hanyalah hatinya begitu sendu saat menatap Fauzan yang mematutnya dengan tatapan terdatar yang pernah ia lihat, Angel ikut mentertawai Rayan dan Helmi bersama siswa-siswi yang lain.

“Ray, sori yah, gegara gue kita jadi dihukum.” ucap Helmi sungkan.

“Lebih baik lo diem!”

Mereka hening, namun sorak-sorak di sekitar Rayan menguat saat bel istirahat mengaung. Rayan melangkah kesal meninggalkan Helmi dan tiang bendera, ia membisu namun hatinya menjerit-jerit kesal.

 

***

“Ray, tungguin ih,” panggil Syifa sambil berlari-lari kecil menggejar Rayan.

“Lo sama Fauzan berantem kenapa?” tembak Syifa sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Rayan.

“Nggak ada apa-apa!” jawab Rayan santai sambil mengecek ponselnya berharap Fauzan mengirimkan pesan singkat atau apapun, tapi tidak sama sekali.

“Syifa! Rayan! Ke sini.” panggil Angel yang sedang duduk di pojok kantin bersama Fauzan.

Rayan menghentikan langkahnya, rasanya ingin memutar badan dan pergi dari kantin sekarang juga. “Ayo Ray,” tanpa persetujuan, Syifa menyeret Rayan ke tempat Angel dan Fauzan.

Rayan menatap Fauzan yang terlihat sangat sibuk dengan makanannya, padahal dulu sesibuk apapun, Fauzan selalu ada waktu untuk menyapa Rayan dan bercengkrama akrab layaknya karib kebanyakan. “Kalian kenapa sih diem-dieman?” tanya Syifa heran. “Eh gue mau beli air es dulu ya, haus banget habis jadi artis sekolahan,” kekeh Rayan berharap Fauzan menimpali perkataannya dengan cemoohan khas Fauzan, tapi hal itu tidak kunjung Rayan dapatkan.

Gue kudu gimana nih! keluh Rayan dalam hati, ia benar-benar canggung dengan keadaan yang ia buat sendiri walau Rayan sangat sadar ia harus mulai mengajak bicara Fauzan terlebih dahulu, karena berlarut-larut dalam diam akan hanya memperkeruh hubungan persahabatan mereka.

 

***

“Zan, gue ajarin juga dong, gue nggak ngerti sama sekali ini,” keluh Syifa yang dari tadi merengek minta dibantu. Rayan menatap buku catatannya, ia hanya sedikit mencatat dan pelajaran Matematika yang Bu Eska berikan hari ini, bahkan Rayan tidak mengerti sama sekali apa yang disampaikan Bu Eska tadi pun yang ia catat di bukunya, Ujian Nasional sebentar lagi dan Rayan sama sekali tidak punya semangat untuk belajar sama sekali.

Rayan menatap Fauzan sesekali, berharap Fauzan menawarkan bantuan untuk membuat Rayan mengerti materi yang tadi mereka pelajari, namun sayang, itu sangat mustahil terjadi saat ini. Sekarang ada dinding tebal tidak kasat mata di antara mereka, dan hal ini sudah jadi rahasia umum walau tidak ada satu pun yang tahu apa yang sudah terjadi di antara Rayan dan Fauzan sampai mereka saling sungkan dan tidak lagi bertegur sapa.

Bel pulang berdering, pelajaran tambahan untuk kelas tiga pun berakhir, seisi kelas berhamburan dengan teratur. Rayan bergerak cepat duduk di sebelah Fauzan saat Adi sudah meninggalkan bangkunya. “Duduk! Gue mau ngomong sama lo!” pinta Rayan tegas saat Fauzan ingin pergi meninggalkannya. Syifa, Helmi dan Adi menatap heran ke arah mereka berdua. “Gue sama Fauzan doang, berdua!” tegas Rayan membuat yang lain mengerti dan meninggalkan mereka berdua di dalam kelas.

Dan saat keadaan hening Rayan malah kehilangan kata-katanya, sedangkan Fauzan masih saja sibuk dengan ponselnya. “Zan, sampai kapan lo mau nganggep gue nggak ada?” tanya Rayan yang suaranya mendadak terdengar parau.

“Gue nggak ngerti maksud lo apa?” jawab Fauzan mata dan jemari Fauzan masih terus sibuk dengan ponsel yang ia pegang.

“Kalo gue ngomong liat mata gue!” tegas Rayan.

“Yang! Ayo, katanya mau ke Gramed!” suara Angel mengalun di depan pintu kelas seraya itu Rayan menghela nafasnya. “Lanjut kapan-kapan aja ya, lo mau ngomongin hal yang nggak penting inikan?” kata Fauzan sambil meraup tasnya lalu meloncati bangku dan meja, tidak seperti biasanya, kali ini Fauzan sangat bersemangat mendampingi Angel jalan-jalan.

Rayan terpekur memandangi pintu kelasnya, ia tidak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan kepada Fauzan, membuat hubungan mereka kembali membaik. Namun, yang ia dapatkan hanyalah memorinya yang seperti diputar ulang di ujung pelupuk matanya.

Mati-matian Rayan mencoba menghapus dan tidak lagi berharap akan menginggat kejadian malam itu. Rayan merasa ia berhasil melupakan kejadian gila malam itu, kejadian di mana alkohol menggiringnya melakukan perbuatan yang tak lazim dilakukan pria tulen. Namun, kini ingatan tersebut menyeruak dari dalam kepala Rayan, muncul di ujung pelupuk matanya, menari indah di atas segala rasa gundah Rayan yang kian laun kian menumpuk dan menyesakan dadanya.

“Bangsat!!!” Rayan memukul meja di hadapannya hingga suara gaduh tercipta seketika, dengan lekas Rayan menggiring tubuhnya keluar dari kelasnya, tidak memperdulikan tangannya yang berkedut nyeri karena emosinya tadi. Sejujurnya, Rayan merindukan malam itu. Anjing!

 

***

Hari-hari berlalu begitu lamat Rayan rasakan, segalanya menjelma menjadi hal yang membosankan, rasa kesal kerap mengisi dada Rayan, Ujian Nasional sudah ia lewati, namun, Rayan tidak merasakan perasaan harap-harap cemas seperti teman-teman sekolahnya yang lain, segala hal terasa kurang penting, entah karena apa, namun yang jelas, ini semua karena siapa.

Puluhan kali Rayan mencoba mendekati Fauzan untuk berbicara berdua saja, tetapi selalu tidak membuahkan hasil apapun, jika Fauzan tidak menanggapi Rayan maka ada saja teman mereka atau Angel yang membuat mereka tidak bisa berbicara berdua saja. Terkadang Rayan bisa amat gemas saat momen-momen tepat ia dapati berdua dengan Fauzan tetapi Rayan tidak bisa membahasnya karena ada orang ke tiga di antara mereka, walau rasa gemasnya kerap ia simpan sendirian.

Semenjak Fauzan sudah tidak main bersamanya lagi, Rayan kini mempunyai hobi baru, ia kerap melamum, kadang hanya tidur-tiduran saja di atas kasur nyamannya itu menunggu petang menghabiskan sisa waktu libur nasional, tidak banyak melakukan aktifitas itu hobi baru Rayan sekarang.

Entah sampai kapan Rayan harus menunggu, menunggu waktu yang tepat untuk berbicara kepada Fauzan, walau logikanya kerap mendesak Rayan agar tidak menunggu, tapi, menciptakan waktu yang tepat untuk berbicara, karena logika Rayan selalu bertindak untuk melindungi hatinya dari rasa sakit atau getir karena rasa rindu.

***

“Gol…” seru seantero lapangan. Helmi berlari memeluk Rayan yang sedang menyeringai.

Tidak lama wasit meniup peluit yang memekakkan telinga. Rayan bergegas meninggalkan lapangan Futsal, meninggalkan teman-temannya yang masih diselimuti kebahagiaan karena kali ini pertandingan Futsal dimenangkan oleh sekolah mereka, walau Rayan menyumbang banyak skor ia tidak merasa sesenang para sejawatnya.

Rayan duduk di bangku tempat ia meletakan tasnya, sekelebat ia merindukan Fauzan, merindukan sahabatnya yang selalu setia menonton pertandingan Futsalnya, memberikan handuk saat Rayan melangkah kembali ketempat duduknya, mengomentari aksi Rayan yang selalu menjadi punggawa timnya, segala hal tentang Fauzan. Rayan amat rindu Fauzan.

“Ray!!!” suara Syifa melengking tidak jauh dari posisi duduk Rayan. Gadis imut itu berlari-lari kecil menghampiri Rayan. “Yah, gue telat ya, Futsalnya udah selesai ya?” Rayan hanya mengangguk menjawab pertanyaan Syifa.

“Sori ya Ray, gue kan udah janji mau nonton lo padahal,” ucap Syifa sendu. “Nggak apa-apa, yang penting lo dateng.” Rayan mencoba untuk menghibur Syifa, entah kenapa Rayan tidak lagi merasa bahagia tiap berada di sisi gadis yang pernah bertahta di hatinya itu. Segalanya terasa biasa-biasa saja.

“Jalan yuk,” Syifa menarik tubuh Rayan yang masih belum kering dari peluh yang merembas melalui pori-pori tubuhnya.

***

“Ray,” panggil Syifa pelan di sela-sela acara makan mereka. Sambil melirik beberapa cowok yang memandang Rayan begitu takjub karena Rayan menggunakan kaus tanpa lengan, memamerkan otot bicepnya yang kokoh.

“Kenapa?” jawab Rayan yang masih fokus dengan makanannya, sehabis bertanding, perutnya terasa keroncongan, dan sekarang mereka berada di food court Cibinong City Mall.

“Lo ke pensi nanti bareng gue ya.” pinta Syifa masih dengan suara pelan.

Rayan menengadah, tatapan Syifa sangat berbeda, Rayan menyadari suatu hal, hati yang dulu ia ingin-inginkan kini mengingginkannya, namun, rasanya sudah amat terlambat, segala hal terlanjur menghambar, menguap dan tak lagi menyisakan bibit yang bisa disemai.

Mata yang berbinar-binar itu tidak lagi mampu membuat hati Rayan bergetar, rasanya sangat enggan mengiyakan ajakan Syifa, tetapi logika Rayan bekerja. “Sip” jawab Rayan mencoba untuk tidak terdengar berucap setengah hati.

“Ray, kayaknya fans lo kebanyakan dari kaum lo sendiri deh.” timpal Syifa yang sudah dilingkupi rasa senang yang membuncah karena ajakannya telah Rayan iyakan. “Maksudnya?” tanya Rayan keheranan.

“Liat, cowok yang pakek Behel, dan cowok yang pakek kacamata itu, terus cowok yang lentik banget mainin hapenya di ujung sana, mereka kerap nyuri-nyuri pandang ke elo, mereka suka tuh sama lo?” bisik Syifa geli. Rayan ingin menoleh, cepat-cepat Syifa menahan Rayan dengan menggenggam jemari Rayan. “Jangan!” desis Syifa. Saat Rayan menatap Syifa, wajah gadis tersebut bersemu merah hingga kebagian lehernya.

Sebentar saja, Rayan juga ikut bertingkah kikuk seperti Syifa, namun bukan karena perasaan yang hilang kembali membuncah, bukan karena itu, melainkan Rayan sangat khawatir suatu saat nanti ia akan menyakiti perasaan gadis di hadapannya ini yang sudah ia anggap sahabat sendiri, entah darimana rasa khawatir itu bisa bertandan ke dalam hati Rayan.

“Pulang yuk ah!” ucap Rayan setelah menghabiskan minumannya dengan beberapa tegukan saja.

Begitu Rayan berdiri tangan Syifa menelusup ke celah lengannya, mengamit tangan Rayan dengan gerakan lantun, Rayan menghela nafasnya, ia terlalu memberikan banyak harapan kepada Syifa dengan tingkahnya yang kerap manut kepada gadis tersebut.

 

***

Rayan membiarkan udara sejuk menerpa tubuhnya, berharap segala beban fikiran, kepenatan dan perasaannya yang seperti sedang terhimpit puluhan beton merenggang, membiarkan seluruh energi positif dari alam menggantikan bebannya.

Setelah mengantarkan Syifa pulang Rayan hanya menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran di kamarnya, membuka jendela kamarnya lebar-lebar, menggundang angin yang mendesau syahdu untuk singgah sebentar mengisi kesepiannya, tanpa Fauzan, segala hal terasa sepi, kosong dan tidak berarti.

Hal-hal menarik tidak lagi memikat bagi Rayan, bercengkrama dengan keluarga atau teman rumahnya juga bukan hal yang Rayan butuhkan sekarang. Hanya Fauzan yang Rayan butuhkan sekarang, tetapi membuat keadaan kembali seperti semula bukanlah semudah menggapus pekatnya tinta di jari kelingking.

Langit sore begitu cerah, mengundang Rayan untuk melakukan aktivitas. Rayan menyulut rokoknya, membiarkan rasa mentol mengisi rongga paru-parunya, menorehkan rasa nyaman dari kuas ke damaian.

Sekelebat, sesuatu yang ia rindukan menari-nari di ujung pelupuk matanya. Segera Rayan menyambar jaket dan kunci motornya.

Ujian Nasional telah ia lewati, segala praktik pun sudah ia kerjakan, dan pengumuman kelulusan pun mengikut sertakan namanya di dalam daftar siswa-siswa yang lulus. Di saat teman-temannya menikmati puncak jaya masa SMA Rayan malah berkutat dengan perasaanya yang nelangsa.

Semua hal yang teman-temannya anggap istimewa bagi Rayan hanya hal biasa, bahkan Rayan tidak mempunyai jawaban saat keluarganya menanyai tentang kampus yang akan ia pilih nanti, jurusan apa yang akan ia ambil nanti, Rayan hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang, tidak dengan masa lalu apalagi masa depannya. Perasaannya terlalu risau dengan potongan-potongan ingatan malam itu, tentang ia dan Fauzan yang tergiring syahwat dan saling merusak, tentang persahabatan mereka yang berantakan tanpa sebab yang jelas. Tanpa sebab yang jelas? Tidur bersama sahabat, sesama lelaki, apa itu bukan sebab yang jelas mengapa mereka tidak lagi bertegur sapa?

Rayan menatap bukit tempat favorit mereka, ia dan Fauzan dari bukit Hambalang, rasanya ingin menaiki motornya dan melaju ke sana, berharap Fauzan sedang berada di sana, mencoba menikmati senja seperti ia sekarang ini. Namun, semuanya urung Rayan lakukan. Rayan kembali menggerak-gerakan jemarinya di atas ponsel. Rasanya ingin menekan tombol bergambar telepon warna hijau, menyambungkan panggilan ke ponsel Fauzan, memintanya datang ke tempat Rayan berdiri sekarang.

Rayan terkesiap. Rindu? Merasa nelangsa? Kesepian? Kehilangan semangat? Cinta! Rayan menggenggam ponselnya erat-erat. Mati-matian ia memerangi kata-kata yang hatinya ucapkan, tentang perasaannya kepada Fauzan, Rayan tidak bisa terus membohongi dirinya sendiri, ia tahu betul hatinya berkata benar. Rayan mencintai Fauzan.

“Untuk ke sekian kalinya, gue pasti bisa ngubur rasa cinta ini, rasa cinta ini nggak akan bertahan lama, gue yakin kok, gue juga pernah ngerasain hal yang sama ke Syifa, nyatanya sekarang gue mampu ngelupain dia,” ujar Rayan kepada dirinya sendiri. “Cuman butuh waktu, segala hal akan kembali baik-baik aja, dan rasa yang berdesir gila ini akan berangsur normal seperti sedia kala,” kini Rayan membela dirinya sendiri seperti tidak terima dengan kenyataan bahwa ia kini mencintai Fauzan, sesuatu yang masih Rayan anggap salah, entah mengapa.

Rayan kembali menyulut batang rokoknya, membiarkan rasa mentol memenuhi rongga dadanya. Perlahan rasa sepi menyergap, Rayan menggaruk-garuk hidungnya, ada gagasan yang sedang ia pertimbangkan di dalam hatinya.

Salah satu gagasan pun menang, cepat-cepat Rayan menaiki motornya, menuruni bukit Hambalang, melewati bangunan wisma untuk para Atlet yang tidak kunjung kelar hingga sekarang. Cuaca di daerah Bogor memang tidak bisa diprediksi, senja berubah gulita lebih cepat dari perkiraan Rayan, angin bergemuruh kasar, para pengembala domba mempercepat kegiatan menggiring dombanya pulang ke kandang. Rayan memperlambat laju motornya, rasa ragu menyelinap ke dalam dadanya, Rayan merisaukan petir yang kapan saja bisa menyambar kala gulita tampak di langit senja, di kota ini, segala cuaca sangat sulit diprediksikan. Kadang hujan namun langit cerah, langit cerah dengan angin yang berdesau kencang, atau langit yang menghitam dengan guntur menggelegar tanpa hujan, sampai hujan dengan petir layaknya badai, namun, Rayan tetap mencintai tanah kelahirannya, kota hujan yang penuh romansa.

Rayan membuang rokoknya yang hampir mencapai pangkal ke sembarang jalan, ia melajukan motornya ketujuannya, rasa rindu ternyata lebih mendominasi, menghalau rasa cemas akan cuaca buruk yang mungkin akan terjadi.

Rayan memasuki perumahan yang belum rampung, jalan menanjak dan ia berbelok ke kiri, jalan yang hanya bisa di lalui satu mobil dengan aspal yang sudah sedikit pecah, sela-sela pecahannya sudah banyak di tumbuhi rumput liar, ilalang tumbuh di pinggir jalan, mengalahkan lebatnya tanaman bunga yang sengaja ditanam pihak pengelola perumahan Bakrie tersebut. Lalu Rayan berbelok ke kanan, jalan yang tetap menanjak, bundaran yang hanya di isi ilalang terlihat di depannya, bagi Rayan tempat satu ini biasa saja, ketinggiannya pun tidak bisa melihat seluruh daerah Sentul dengan padang golf dan area rekreasi yang memukau, namun Rayan heran dengan para artis, penyanyi dan sebangsanya yang kerap membuat video klipnya di bundaran dan jalan menanjak ini, mungkin jika Rayan mengusulkan tempat favoritnya bersama Fauzan, tempat mereka yang indah bak berada di Puncak Pass itu akan kerap muncul di layar televisi.

Perlahan, pandangan Rayan mulai menatap ujung jalan, ke atas bukit tepatnya, di balik lapangan ada jalan setapak yang jarang orang kunjungi, karena termanipulasi pepohonan, dan di sana lah tempat Rayan dan Fauzan dulu kerap menghabiskan senja.

Rayan mempercepat laju motornya ketika rintik hujan mulai membasahi wajahnya, Rayan terkesiap, memandang seseorang yang berada di atas atap mobil yang sedang menatap lurus tanpa satu titik fokus. Fauzan.

Tenggorokkan Rayan terasa kering, saat Fauzan menoleh ke arahnya, jantungnya pun terasa mencelos dan jatuh entah ke mana. lalu tatapan sendu Fauzan berubah menjadi tatapan penuh kebencian terhadap Rayan, buru-buru Rayan menghampiri Fauzan yang sudah turun dari atap mobilnya.

Rayan berhasil masuk ke dalam mobil Fauzan sebelum Fauzan berhasil mengunci pintu mobilnya dari dalam, nafas mereka terengah-engah, sosok Fauzan yang begitu dekat serasa amat jauh karena tatapan benci Fauzan kepada Rayan. “Keluar dari mobil gue!” pinta Fauzan setengah mati mencoba untuk tidak teriak.

“Kita harus bicara,” sahut Rayan.

Tanpa basa-basi Fauzan membuka pintu mobilnya, namun, tangan kokoh Rayan menarik paksa siku lengan Fauzan hingga Fauzan kembali terduduk di belakang kemudi. “Mau lo apa sih!” serbu Fauzan.

Rayan terdiam, tatapannya menerawang ke depan, menyaksikan hujan yang turun semakin deras hingga membuat kaca bagian dalam mobil tertutup embun. Embun yang bahkan tidak mampu meredam rasa gersang yang enggan memadam. Tangan Rayan masih tetap memegangi siku lengan Fauzan, berjaga-jaga agar Fauzan tidak bertindak ceroboh, Rayan tahu betul resiko jika Fauzan keluar dari dalam mobil, tentang alergi dingin yang diderita Fauzan bisa kambuh seketika.

“Lepasin tangan lo! Gue bukan anak kecil ya!” Rayan menatap nanar ke siku lengan Fauzan yang ia pegang sekarang, perlahan-lahan genggamannya mengendur dan Fauzan cepat-cepat menariknya. “Soal malam itu,” ucap Rayan ambigu.

Fauzan memalingkan wajahnya jauh-jauh hingga tidak mungkin bisa langsung melihat dan dilihat Rayan.

“Malam itu, gue—kita, dibawah pengaruh alkohol, apa yang udah kita lakuin itu adalah sebuah kekhilafan, maafin gue Zan,” Rayan tidak tahu harus berkata apa, ia sangat ingin mengungkapkan apa yang hatinya rasakan, namun, Rayan benar-benar takut kehilangan Fauzan.

Fauzan bisa melihat wajah menyesal Rayan melalui kaca spion di depannya, walau samar tertutup air hujan, seketika hati Fauzan terasa pecah dan kepingannya terbawa air hujan, rasa sakit dari perkataan Rayan yang mampu mengoyak seluruh perasaannya.

Fauzan menarik leher kaus Rayan lalu mendorongnya hingga punggung Rayan berbenturan dengan pintu mobil di sebelah Rayan. Rayan tidak membalas, ia hanya menatap Fauzan dengan amat pasrah, mungkin membiarkan Fauzan memukulnya bisa membuat persahabatannya kembali membaik, walau di dalam hati Rayan, Rayan menginginkan hubungan mereka lebih dari sekedar sahabat, sesuatu yang sangat tidak mungkin sekarang ini.

“Khilaf? Lo bilang nggak sengaja? Salah? Lo tauk! Gue ngelakuinnya ikhlas!” Rayan terperangah, Rayan yakin ia tidak salah dengar.

“Gue masih bisa kontrol diri gue, gue bisa ngehentiin kegiatan kita itu kapan aja jika gue mau, tapi gue biarin lo masuk ke dalam tubuh gue! Karena gue cinta sama lo!” Rayan jauh lebih terperangah, sesuatu dalam hatinya membuncah bahagia, sekilas saja, rasa bahagia itu hilang digantikan rasa khawatir yang mendalam.

“Kenapa? Lo jijik sama gue? Gue emang biseksual, dari pertama kita sahabatan pun gue biseksual! Dan semua perlakuan lo, ngebuat gue jatuh hati! Gue nggak terima cinta Syifa pun bukan karena gue ngalah sama lo! Tetapi, karena gue cintanya sama lo!” Fauzan tidak bisa berhenti berteriak di atas tubuh Rayan, rasa sesak yang ia pendam berbulan-bulan meledak sekarang, menyisakan rasa lapang dan nyeri yang masih belum terselesaikan.

“Saat malam itu, gue berharap besok paginya kita bisa ungkapin perasaan kita masing-masing. Bangsatnya! Gue terlalu berharap lo ngelakuin itu karena lo punya rasa yang sama kayak gue, tapi apa? Lo tinggalin gue di kamar lo dengan tubuh telanjang kayak pelacur jalang! Lo tau Ray, ini pertama kali gue lakuin itu sama cowok, cuman sama lo! Gue sengaja berlama-lama di kamar lo, cuman berharap lo nggak ninggalin gue, gue terus mensugestikan diri gue kalau lo lagi ke kamar mandi, tapi apa? Lo benar-benar tinggalin gue di dalam kamar lo sendirian. Bahkan saat gue pamit sama nyokap lo, lo nggak anggap gue ada di sana! Lo tahu gimana rasa malunya! Gue cowok! Gue punya harga diri, dan hari itu, lo buat gue serasa mahluk dongo! Anjiiing…” teriak Fauzan, Fauzan bangkit dari atas tubuh Rayan lalu memukul stir mobilnya dengan kencang, tangannya berdenyut nyeri, namun, masih kalah nyeri dari perasaannya sekarang ini.

Rayan bangkit lalu langsung menyergap tubuh Fauzan, memenjarakan Fauzan dalam pelukannya yang jauh lebih ketat ketimbang penjara Azkaban. Sejenak, Rayan membiarkan Fauzan meronta-ronta dalam dekapannya, merasakan rasa sakit yang Fauzan rasakan selama mereka tidak bertegur sapa. Apapun yang terjadi gue nggak akan pernah lagi buat Fauzan tersakiti, batin Rayan, walau Rayan tahu betul, janji-janjinya tanpa sadar kerap ia langgar. Sekelibatan momen masa lampau menari-nari di ujung pelupuk mata Rayan, membuat Rayan bergetar membayangkan kebodohannya selama ini.

Pertama-tama, tatapan Fauzan saat Rayan telat menjemputnya ketika hendak ke Gunung Bunder, lalu, tatapan sendu Fauzan di dekat air terjun, senyum Fauzan kala Syifa memarahi Rayan, dan gestur tubuh Fauzan saat berbagi bandrek di daerah Laladon saat mereka berteduh dari hujan. Kemudian, bayangan-bayangan lain yang berkelebat saling mendahului di pelupuk mata Rayan, pertengkaran Rayan dan Fauzan di atas gedung sekolah, di mana Fauzan mengalah, genggaman tangan mereka saat di Puncak Pass ketika matahari tenggelam, kepala Fauzan yang tersender di bahunya saat Fauzan terlelap, segala hal berputar cepat, namun, Rayan mengerti semua hal yang berputar cepat itu, ia telat menyadari bahwa Fauzan pun mencintainya.

“Gue,”

“Gue.”

Rayan memejamkan matanya, hatinya jauh terasa mantap, refleks pelukkannya mengerat, membuat Fauzan lumpuh dalam dekapan Rayan. Semakin lama tindakan memberontak Fauzan melunak, karena sebenarnya Fauzan pun sangat amat merasa nyaman dalam pelukan Rayan, tidak bisa berbohong terlalu lama lagi, memunafikkan segala hal, mencoba membenci untuk melupakan sebuah hati yang lama saling bersemi, Fauzan pun merindukan Rayan layaknya Rayan merindukan Fauzan selama ini.

Rayan mengendurkan rengkuhannya, rasa rindu kini berhasil memakan Fauzan, saat tubuh tegap Rayan perlahan-lahan merenggang dari tubuh Fauzan, Fauzan merasa amat tidak rela, seakan sesuatu hal berharga ikut terbawa dari dalam dirinnya. Di saat kebencian merajalela, hanya perlu rasa cinta yang teguh untuk memadamkannya. Rayan dan Fauzan menemukan jalannya sekarang, bagaimanapun mereka mencoba saling menjauh, memunafikkan hati yang lama bersemi, namun rasa lantun dari cinta yang membuncah dan menggebu digjaya takkan sanggup mereka ingkari lagi, jika dalam hidup seseorang kerap mengalami suatu sub klimaks dari sebuah partikel masalah dalam kehidupannya, maka sekaranglah klimaks tersebut terjadi.

Rayan menyatukan dahinya dengan dahi Fauzan, mata mereka saling berpagutan, menyalurkan banyak rasa rindu yang mati-matian mereka pendam. Tatapan masygul Rayan bertalutan dengan tatapan rindu dari Fauzan. Saat detak jantung Rayan berdegup amat cepat, hal itu seperti memaksanya menuntaskan semua, “Gue sayang sama lo.” itu yang Rayan ucapkan. Hidung mereka bergesekan, mengantarkan sesuatu hasrat yang memancing syahwat kepermukaan, menciptakan satu degub jantung di tempat yang tidak seharusnya, mendebarkan sesuatu di tempat yang tidak seharusnya. “Gue cinta sama lo,” sambung Fauzan, Rayan tidak membalas lagi pernyataan Fauzan, yang mereka lakukan sekarang yaitu saling menyesap, memagut, meluapkan rindu yang menggebu, yang menyesakan hati dan celana mereka.

  Baca lebih lanjut

DEAL

deal_irfandirahman

 

“Cuma macarin cowok cupu kayak dia mah gampang, lagi pula itu cowok pasti gay, so bot banget lagi” Firza tersenyum penuh makna ke arah cowok cupu berambut klimis dengan kacamata jadul yang selalu setia bertengger di hidung pesek si cowok cupu tersebut.

“Jadi deal ya, pacarin tuh si Bira selama empat minggu?” tanya Romeo dengan tatapan meremehkan ke arah Firza.

Firza mendengus sebal. “Deal! Dan lo pasti jadi kacung gue selama satu semester ke depan!” Firza menyambut jabatan tangan Romeo.

Dua cowok itu mengangguk-anggukan kepala mereka tanda menyetujui taruhan mereka yang baru saja mereka sepakati. Firza dan Romeo adalah sahabat karib sejak mereka kanak-kanak, Firza adalah seorang cowok berorientasi biseksual dan Romeo adalah seorang cowok straight namun orientasi mereka tidak sama sekali membuat hubungan persahabatan mereka merenggang sedikit pun.

Mereka adalah dua sahabat yang selalu melakukan pertaruhan—mereka selalu menganggap taruhan yang mereka lakukan adalah permainan yang amat menghibur—sejak mereka beranjak remaja, sejak mereka memilih apa orientasi seksual mereka. Sejak mereka mengenal cinta.

“Eits!!! Tapi gue kasih waktu cuma tiga minggu lho” tambah Romeo setelah mereka selesai berjabatan tangan.

Firza mendengus sebal, dalam hati ia mengejek ulah Romeo yang tidak pernah mau kalah dalam taruhan slash permainan yang mereka lakukan, terakhir kali Firza bertaruh dengan Romeo, dengan cara Romeo harus meniduri ketua Osis cantik sekolah mereka yang sangat diidolakan banyak cowok dan cewek di sekolah mereka, dan Romeo kalah dalam taruhan terakhir mereka, sebagai konsekuensinya Romeo harus mengencani Amelia cewek yang wajahnya dipenuhi jerawat serta bergigi tonggos yang selalu membuat onar di kelas mereka, dengan amat terpaksa dan tentunya makian panjang Romeo kepada Firza akhirnya Romeo mau mengencani Amelia selama tiga hari dan itu adalah salah satu pengalaman paling buruk yang Romeo dapatkan di dalam sejarah pertaruhan Romeo.

Sekarang Romeo menantang Firza untuk memacari Bira cowok super cupu dengan wajah kuyu yang sangat berkesan dekil. Firza, cowok tampan dengan postur tubuh yang sangat ideal untuk cowok berumur delapan belas tahun yang mampu membuat pria gay manapun meliriknya berkali-kali, sedangkan Romeo cowok straight dengan senyum semanis sakarin yang selalu membuat wanita terjerat dengan kata-kata manisnya.

“Kalau pun lo menang, lo bakalan muntah berminggu-minggu karena harus ngerayu si Bira yang mukanya mirip keset ruang BP, yang dekilnya nggak ketulungan” kekeh Romeo. Firza pun ikut terkekeh namun sarat ejekan kepada Romeo yang tidak henti-henti membayangkan sahabatnya akan mencium si cowok cupu berkacamata jadul dengan wajah yang Romeo selalu labeli ‘keset ruang BP’ lalu menusuk pantat si Bira yang tidak bisa dibayangkan oleh Romeo seberapa buruknya, mungkin ada beberapa penyakit kulit di sekitar lubang pantat Bira. Mukanya aja udah dekil apalagi pantatnya? Pano, Kurap, Kudis bahkan koreng dan bekas-bekas koreng pasti menetap di pantat si Bira, gue nggak sabar nunggu si Firza kapok nusuk pantat cowok lagi. Ujar Romeo geli dalam hati.

“Tapi dia manis lho!” jawab Firza spontan setelah mengamati Bira yang sudah menghilang tertelan koridor sekolah.

“Dasar homo pemakan segala!” celetuk Romeo sambil mendorong punggung Firza agar kembali melangkah ke arah ruang laboratorium

Bangke, monyet, taik kucing, itil perek, dan segala rupa bentuk menjijikan di muka bumi ini cocok banget buat si Romeo dah! Gila aja dia ngasih gue tantangan suruh macarin plus nidurin dan plus-plus lainnya ke si cowok yang mukanya udah kayak pinggiran kloset yang nggak pernah disikat bertahun-tahun. Gue mengumpat dalam hati.

Tadi gue bilang bahwa Bira cowok berhidung pesek dengan kulit kusam nggak napsuin banget itu manis tuh cuma pengen buat si Romeo gentar karena gue berani nerima tantangannya, mana mungkin seorang Firza cowok yang udah ngebobol beberapa lubang pantat cowok keren dan lubang pepek beberapa cewek populer di sekolah maupun luar sekolah bakalan nolak tantangan si Romeo, sedangkan Romeo nggak pernah nolak sama sekali tantangan dari gue buat taruhan sesuatu, bahkan pas pertama kali gue masuk SMA ini Romeo berani nerima tantangan gue buat macarin si Keylin cewek yang keteknya bau bawang banget dan ngebuat pengakuan di depan banyak orang bahwa si cewek berketek bau itu adalah cinta pertama si Romeo. Lha, masa gue cuma dikasih tantangan buat macarin cowok dekil aja nggak berani? Hey! Gue bukan tipe cowok yang rela diremehin ya! Catet!

“Firza!!! Bacain jawaban soal nomer tiga! Kamu denger saya nggak sih?” teriak Pak Junet yang kupingnya caplang dah kayak kuping gajah itu buat gue gelagapan sendirian. Bangkek!

Buru-buru gue tarik buku orang pas Pak Junet balik badan saat dia mau duduk. “Hem! G30SPKI adalah…” bla-bla-bla-bla! Like i care? Gue yakin kok apa yang gue baca dari buku hasil rebutan ini itu adalah jawaban yang diminta guru si kuping gajah, buktinya dia sekarang manggut-manggut udah kayak boneka anjing.

“Bira, kamu nomer empat” seru Pak Junet setelah puas ngedengerin jawaban gue walaupun jawaban gue hasil ngembat buku orang, emang gue fikirin, yang penting gue aman dari detensi si kuping gajah.

Sontak gue nengok ke tempat asal buku yang gue rampas, ya olloh ini ternyata bukunya si cowok dekil, tapi anehnya dia bisa jawab dengan amat mulus ngelebihin mulusnya paha Manohara yang udah pernah di silet-silet, itu sih juga kalo paha Manohara beneran pernah disilet-silet, gue nggak tahu pasti karena gue nggak pernah nonton gosip apalagi ngeliat pahanya si Manohara secara langsung, gue cuman dengar dari nyokap gue yang so rumpik abis.

Spontan gue meringis karena si Bira natap gue dengan senyum jeleknya, gue tahu banget maksud senyumnya itu karena dia minta bukunya yang asal gue embat itu dibalikin, nggak lama bell pulang sekolah berdering syahdu, itu berarti pelajaran guru si kuping gajah ini pun selesai. Damainya dunia!

Teman-teman sekelas gue pada ngacir semua, ya elah, pada kebelet boker semua apa ya? Semangat amat buat pulang ke rumah, dasar anak mami! Si Romeo segala ikut ngacir keluar lagi buat ngejar si Febby cewek sekelas gue yang lagi diusahain si Romeo buat dijadiin selir hatinya.

“Bukunya udah nggak kepakek lagikan? Boleh gue minta lo buat balikin buku itu?” suara Bira terdengar amat mengganggu indra pendengaran gue.

“Nih!” gue lemparin langsung ke mejanya, si Bira cuman senyum-senyum anyep ke arah gue lalu cabut sehabis ngeberesin barang-barangnya.

Anjrit!!! Gue kudunya ngebaikin si Bira nih, deadline gue kan cuman tiga minggu. Umpat gue dalam hati penuh penyesalan setelah bayangan absurd si Bira enyah ditelan pintu. Biar gimanapun gue nggak mau jadi kacung si Romeo selama satu semester depan, gila aja cowok macho kayak gue kudu jadi babunya si Romeo yang straight abal-abal!

***

Gue ketawa miris, ngelihat si Bira. Jaman sekarang masih ada gitu anak sekolah yang peduli sama orang buta? Segala bantuin buat nyebrangin jalan, terus ngasih air minum plus duit. Ew, bikin gue terharu aja udah kayak nyokap gue kalo lagi nonton sinetron pas adegan metong-metongan.

Oke, gue akuin kalo gue ngikutin si cowok dekil ini, karena apa? Karena gue kudu berhasil macarin si Bira, persetan dia cowok straight, biseksual kayak gue ataupun gay tulen. Si Bira itu cupu, dekil, dan penampilannya nggak banget, mana ada orang yang mau jadi pacar dia, monyet juga ogah kali di deketin sama dia, dan pasti si Bira nggak akan nolak kalo gue ajak pacaran, ya iyalah, lo pikir aja sendiri pakek biji peler lo, mana ada cowok model dia yang bakalan nolak gue, walaupun dia straight pasti bakalan mau deh, daripada dia jadi jomblo seumur hidup, seenggaknya disodok pantatnya pakek perkakas super WAH gue itu jauh lebih baik ketimbang saban hari dia ngocok kontolnya yang pasti kecil, keliatan banget dari bentuk hidungnya yang nggak mancung, gue bukan sok tahu tapi patner sex gue yang hidungnya pesek itu punya ukuran kontol yang kecil walaupun yang mancung juga belom tentu punya perkakas sebagus punya gue!

Gue beraniin diri buat nyamperin si Bira pas dia udah selesai dengan acara reality shownya itu. “Bira!!! Eh, emh, itu, ah, itu, eh, makasih banyak ya buat buku contekannya tadi” gue berkata dengan amat gugup setelah menyusul si Bira lalu menepuk pundaknya.

Si Bira tersenyum lembut bagaikan kain sutra yang digesekin ke kontol gue, rada ngilu di bagian hati dan ujung titit. “Btw, lo mulia juga ya, hari gini masih aja nolongin orang model gitu” ucap gue sambil nunjuk si orang buta pakek ujung bibir.

“Bapak itu juga manusia, cuma aja dia buta, dan lo nggak boleh ngerendahin dia, kalo gue ada di posisi dia pasti gue juga bakalan ngarep dibantu orang pas nyebrang jalan, dia kan buta, sulit banget pasti jadi dia” jirrrrr, si Bira kenapa mengumpamakan orang buta tersebut adalah dirinya sendiri? Itu soo bijak buanget! Kenapa dia nggak mengumpamakan orang buta itu gue? Kenapa dia ngeselin banget sih? Gue kan nggak bisa nyibir si daki kloset ini jadinya.

Gue cuma ngangguk-ngangguk aja, dan jangan bilang anggukan gue ini mirip boneka anjing, gue bunuh lo kalo sampai lo berani bilang gitu!

“Lo baik banget sih,” ucap gue tulus.

“Gue bukan orang baik Fir, gue cuman orang yang berusaha jadi orang yang berguna buat orang lain, walaupun gue cuman bisa berguna di hal-hal kecil aja” katanya sambil ngelepas kacamata jadulnya lalu digosoklah kacamata jadul itu ke ujung dasi sekolah yang masih setia nempel di tempat seharusnya, dasi gue aja udah gue simpan di kolong meja pas mau cabut dari kelas sedangkan dia masih pakai seragam lengkap yang agak dekilnya itu sampai sekarang, nih anak pasti hidupnya ngebosenin banget deh, liat aja tingkahnya.

“Rumah lo di mana? gue anterin deh” kata gue spontan.

Bira malah ketawa cekikikkan kayak ayam kesurupan, “Kenapa lo?” tanya gue penuh nada sinis, siapa yang nggak esmosi diketawain cowok cupu? Siapa? Lo nggak sinis berarti lo sama cupunya kayak si Bira!

“Lo nggak bawa motor, sepeda atau apapun, lo mau nganterin gue jalan kaki sampai rumah gue gitu?” buangke! Ini cowok cupu satu, rasanya kalo gue nggak terikat taruhan sama si Romeo babik tersayang gue itu, udah gue ceburin ke selokan nih cowok.

“Gue cuman mau jadi orang yang berguna ajakan” gue buru-buru aja ngomong gitu, cuma itu sih yang ada di kepala gue.

Tawa si Bira terdengar semakin stero, ember mana ember, mau gue tutupin aja nih muka si cupu, anjriiiiitttt muka ngeselin sifat juga ngeselin, buruan mampus deh lo Bira!

“Kalo lo maksa gitu, ya sudahlah” Bira gerakin tubuhnya buat ngajak gue jalan lagi. Apa? Apa? Dia ngomong apa barusan? Maksa? Syeetaaaan! Kapan gue maksa dia buat gue antar pulang? jir, nyet, bik, taik anjing, monyet, babik! Gue tusuk pekek gunting kuku lo dari belakang!

“Ini rumah kontrakan gue, eh gubuk deh, lo mau langsung pulangkan? Hati-hati ya!” si Bira langsung ngeloyor mau masuk ke dalam rumah—eh—gubuk. Beneran gubuk lho, pintu dan sebagian dinding dari triplek dan seng serta jendela yang dibuat pakek kawat, ngenes banget ye nasib lo Bira.

Rumah kontrakan Bira berada di perkampungan pandat penduduk, penghuni perkampungan ini kebanyakan jualan makanan, terlihat dari belasan gerobak yang diparkirkan di pelataran rumah mereka yang sempit.

Buru-buru gue pegang tangannya si Bira supaya nggak masuk ke dalam gubuk—rumah, apalah gue nggak perduli, mau rumah mau gubuk kek yang penting bukan rumah gue ini. “Gue boleh main bentar?” tanya gue cepet-cepet, gue nggak alergi sama orang miskin kok cuma gue sebal aja sama si Bira makanya daritadi gue hina-bina dia si cowok dekil, gue kan kudu pe-de-ka-te sama Bira mulai sekarang juga, karena gue nggak tahu nih cowok bisa gue jadiin pacar taruhan apa kagak, gue nggak suka buang-buang waktu soalnya. Catet.

“Di dalem rumah gue, cuman ada nenek gue sama adik gue, kakak perempuan gue lagi nyuci di komplek, dan gue cuman bisa nyuguhin air minum aja lho”

Bodo! Kata gue asal dalam hati, lagian gue nggak ngarep disuguhin pizza or whateve, gue tahu diri kali, masa gue ngarepin yang nggak mungkin. “Gue mau main bukan mau numpang makan kok” jawab gue santai.

Bira mengangguk khikmat, seperti pertanda gue harus siap-siap sama keadaan di dalam rumah kontrakannya yang udah mirip gubuk itu. Kesan pertama masuk rumah yang pintunya terbuat dari tambalan beberapa papan triplek ini adalah, dekil, puanas dan sumpek ah udah pasti kalo sumpek mah, wong ukurannya aja kecil gini.

“Temennya Bira?” suara serak terdengar dari sebelah kanan gue. Sesosok nenek tua dengan rambut putih dan kulit berkerut di mana-mana berusaha berdiri dari duduknya. “Iya nek, temen sekelasnya Bira” jawab gue kikuk. “Mau nyontek tugas ya?” tembak si nenek, gue tau sekarang sifat ngeselin si Bira berawal dari siapa!

“Cuman mau main doang nek, nggak ada tugas” jawab gue dengan senyum dipaksa setulus tokoh bawang putih.

“Wah, baru kali ini ada temen Bira yang dateng mau main, biasanya cuman pada pinjem tugasnya Bira doang, karena mereka…” bla-bla-bla, si nenek cerita panjang lebar soal nasib si Bira dan tetek pelacur eh tetek bengek keluarga mereka. Gue bukan nggak suka ngedengAr curcol si nenek ke gue, cuma gue nggak mau kebawa soasana melow di hari pertama pe-de-ka-te. Gila aja, gue ke rumahnya si Bira buat ngedekatin si cowok cupu ini bukan buat ikut acara termemek-memek—ralat—termehek-mehek.

“Nek, obatnya udah habis ya?” si Bira muncul pakek kaus yang makin dekil dan kelihatan kesempitan—banget—di badannya, gue taksir sih itu baju peninggalan jaman SMPnya si Bira deh, mungkin dia nggak punya duit buat beli kaus baru.

“Nggak apa-apa Bira, nenek sehat-sehat aja kok walaupun nggak minum obat” neneknya Bira emang pucet sih, sebenernya gue sadar kalo neneknya si Bira wajahnya pucet pas si Bira tau-tau dateng nanyain obatnya si Nenek, emang si Nenek punya penyakit apa sih?

“Bina, Sabrina, ke sini” panggil Bira sambil senyum tipis ke gue, gue cuma bisa meringis aja buat nanggepin senyumannya dia. Gadis berumur sekitar sepuluh tahun muncul dengan boneka Teddy Bear yang udah kuyu dan banyak tambelannya di mana-mana. “Jagain Nenek ya, kakak mau jualan dulu” titah si Bira dengan amat lembut, enak kali yak punya adik, gue kepengin banget punya adik.

Bina slash Sabrina mengangguk patuh lalu mendekap bonekanya dan berjalan terseok-seok ke tempat si Nenek yang lagi duduk-duduk cantik di belakang tubuh gue. Astaga gue baru sadar kalau adiknya Bira nggak punya tepak kaki sebelah kirinya, kelihatan banget bekas amputasi yang mungkin udah bertahun-tahun namun gue baru sadar sesadar-sadarnya pas dia jalan melewati bahu gue.

***

“Kita mau ke mana sih Bir?” tanya gue penasaran. “Mau ngambil layangan di ibu Pipit, gue kan jualan layangan di tanah kosong yang katanya bakalan di buat ruko-ruko nantinya, itung-itung tambah duit buat ongkos nganter nenek gue ke rumah sakit,” kekehnya.

Tuhan, ini pukulan se-anjir-anjirnya! Ternyata si Bira itu, mengagumkan! Gue salut se-salut-salutnya orang yang salut sama seseorang, di balik sosoknya yang mirip budak di film-film berlatar romawi kuno dia itu punya kehidupan yang berat nngalahin sinetron di televisi-televisi yang ada di negeri ini. Keluarganya miskin, dia hidup sama neneknya yang punya penyakit komplikasi jantung, ginjal dan diabetes, kakak tertuanya perempuan yang putus sekolah di jenjang menengah pertama karena ke dua orangtuanya meninggal dunia dan adiknya yang nggak punya telapak kaki karena diamputasi pas jadi korban tabrak lari yang juga mengakibatkan ke dua orangtua mereka meninggal dunia—sedikit banyak gue juga ngedengerin omongan Neneknya Bira ditambah sedikit cerita-cerita dari Bira tadi sebelum kami jalan ke tempat yang punya layangan.

Tapi lihat Bira dia super tangguh, di sekolah Bira terlihat biasa aja nggak pernah memperlihatkan wajah murung sama sekali walau kerap dipanggil ke ruang TU karena beberapa kali tersendat pembayaran uang SPP dan ujian, dia terlihat sangat tenang. Selama ini gue kurang simpati memang ke semua orang, yang gue liat dari tiap-tiap orang adalah penampilannya, bukan pribadinya, dan sekarang gue ngerasa lebih hina dan lebih cupu dari si Bira, gue nggak sanggup ngebayangin kalo nyokap bokap gue meninggal, terus gue hidup kayak si Bira, gue yakin se-yakin-yakinnya gue nggak akan sanggup.

“Lo beneran mau nemenin gue jualan layangan Fir?” suara Bira ngagetin gue banget, sampe badan gue mundur sedikit dengan agak sempoyongan.

Cepet-cepet gue anggukin kepala, masukin tangan gue ke celana panjang abu-abu dan ngatur nafas gue dengan amat perlahan, entah kenapa dada gue ngerasa sesak, mungkin karena gue ngebayangin senasib sama Bira mungkin, jadi gue melow seketika begini.

“Lo nggak dicariin sama Ibu lo nanti?” tanya Bira lagi sambil ngelanjutin jalan ke rumah pengusaha layangan yang layangannya bakalan dijualin sama si Bira. Tadi gue berhenti karena pengen beli rokok, saat gue natap muka kuyu si Bira tau-tau gue kepikiran hal yang tadi gue jelasin tentang nasib si Bira itu.

“Gue udah gede kali, mana mungkin nyokap gue nyariin, lagi pula gue udah BBM nyokap gue kok” sahut gue santai sambil menikmati hisapan demi hisapan rokok yang baru gue bakar.

“Yaudah ayok” si Bira gerakin kepalanya pertanda dia ngajak gue buat ngikutin dia.

“Nih buat lo!” pas si Bira nolehin kepalanya langsung aja gue lempar teh cup yang tadi gue beli.

“Makasih ya Fir” si Bira tersenyum ke gue sehabis nyicipin minuman yang tadi gue lemparin ke dia.

Entah mengapa senyumnya Bira sekarang ini terkesan lebih baik, keringat di dahi yang nempel ke ikal-ikal rambutnya ngebuat dia sedikit lebih menarik, dan keringat yang berada di atas bibirnya itu sedikit menggoda gue buat ngebantu ngehapusnya dengan tangan gue, tapi gue masih ogah buat ngelakuin itu, tar kalo si Bira terkejut dan kabur gimana? Gagal dong usaha gue, mana hari ini gue relain diri buat ikutin aktivitas—panas-pasanan—nya lagi, rugi di gue banget kan jatohnya.

“Belok sini” si Bira belok setelah kita ngelewatin berapa gang-gang yang kanan kirinya hampir dipenuhi jemuran warga. Begitulah Jakarta, nggak cuma hiruk-pikuk kemewahan dan gaya hidup metropolis yang ngeramein kota ini, tapi jemuran emak-emak juga banyak di mana-mana.

“Tunggu bentar ya, gue masuk dulu ngambil layangannya” kata si Bira setelah berhenti di salah satu rumah bertingkat tapi sempit yang temboknya di cat dengan warna anggur. “Jangan lama-lama lo!” perintah gue tegas. Ya iyalah, ogah banget gue nungguin si Bira di lingkungan yang asing buat gue, nanti yang ada cewek-cewek lingkungan sekitar sini pada kedip-kedip genit ke arah gue lagi, kalo muka mereka cantik ya nggak apa-apa, nah kalo muka mereka mirip celengan ayam dari tanah liat? Amit-amit kutil banci deh.

“Ayo” si Bira keluar dari dalam rumah sambil gendong satu kardus popok dan satu kardus mie instan, dengan badannya si Bira yang mungil, kecil, dekil itu udah jelas banget sekarang dia kualahan. Lo tahu kan gimana besarnya kardus popok, kalo lo belum tahu buruan deh ke minimarket deket rumah lo atau nggak ke agen, terus lo minta di tunjukin kardus popok bayi, ini kardus popok brand terkenal yang popoknya warna biru itu lho, gede banget deh, nggak proposional kalo si Bira yang bawa, nelangsa gue liatnya. Jaaah!!! Kenapa gue jadi ngomongin kardus.

“Makasih” ucap si Bira datar setelah kardus popok itu gue ambil alih. Baru sadar gue, kalo Bira itu dilahirin dengan ekspresi wajah yang minim, gitu-gitu aja ekspresinya, Bira itu setahu gue bukan orang yang dingin tapi ya gitu deh, dia cuma punya ekspresi alakadarnya.

“Lapangannya masih jauh nggak sih Bir?” tanya gue gondok, kardus yang gue bawa itu ngeribetin banget pas gue ngelangkah, udah mana panas, nggak nyaman banget deh.

“Deket warung yang tadi lo beli rokok, nah nggak jauh dari situ kan ada lapangan, emang lo nggak ngelihat tadi?” jelas si Bira sambil ngehitung jumlah benang Knur dan Gelasan yang ada di kardus mie instan yang dia bawa.

“Oh,,,” kata gue sambil angguk-anggukin kepala, karena gue nggak ngerti yang dia omongin, dan ternyata tingginya si Bira itu masih dibawah dagu gue.

***

Gue hempasin bokong seksi gue ke kaki pohon Beringin, capek juga bawa-bawa kardus berisi layangan walaupun kardus ini nggak berat tapikan gede, dan jarak yang gue tempuh sama si Bira lumayan jauh, biar pun kata si Bira jarak ini tuh deket lha orang ini tuh rutinitasnya ya jelas jarak segini dia bilang deket.

“Mana yang beli Bir?” keluh gue sambil narik-narik leher kaus PSD gue, gue kira udah ada yang nungguin mau beli layangan yang kami bawa, ternyata tanah kosong ini masih aja sepi.

“Sepuluh menitan lagi Fir biasanya mereka pada dateng, kalo lo capek lo tiduran aja di situ” kata si Bira sambil ngeluarin layangan dan benang dari kardus ke atas karpet plastik yang Bira bawa di dalam tas slempangnya.

Nggak lama suara gaduh terdengar sayup-sayup di kuping gue, pandangan gue terasa monogram, ternyata gue ketiduran abisnya angin dan sejuknya tidur-tiduran di bawah naungan pohon Beringin itu ngundang banget buat tidur.

Gue lihat punggung dan tangan si Bira lagi bergerak-gerak ngelayanin bocah dan abang-abang yang lagi pada ngantri mau beli layangan si Bira. Dan rasa salut itu berhasil kembali nyusup ke dalam hati gue, gue makin envy sama kegigihan si Bira walaupun gue ogah kalo ngejalanin nasib kayak si Bira ini.

Nggak lama lapak si Bira sepi karena yang pada beli udah pada milih dan bayar layangan yang mereka ingin dan sekarang mereka lagi pada ribet sama layangan yang mereka baru bentangin itu. Si Bira perlahan nyamperin gue lalu duduk di samping gue, rambutnya yang acak-acakan dan keringat yang memenuhi wajahnya itu ngebuat dia kelihatan fresh, apalagi kalo ini bocah udah mandi, cakepan kali ya?. Batin gue penasaran.

“Nyenyak tidurnya?” tanya si Bira sambil ngerogoh sesuatu dari dalam tasnya.

“Emang gue tidur berapa lama?” gue balik nanya abisnya gue penasaran berapa lama gue ketiduran sampai sekarang gue ngerasa badan gue kembali segar.

“Satu jam lah kalo nggak salah” jawab dia sambil minum air di botol yang diambil dari tasnya. Matanya terpejam pelan, jakunnya naik turun saat air yang dia teguk itu ngebasahin kerongkongannya, satu butir keringan turun menggoda membuat kontur muka si Bira itu jadi terkesan manis.

Suara desahan si Bira yang ngutarain kelegaannya setelah meneguk air itu terdengar amat syahdu di kuping gue, dan sekarang dia lagi senyum ke gue sambil ngeletakin botol minum di antara tubuh gue dan dia yang lagi duduk bersampingan.

“Lepas deh kacamata lo” gue merintah si Bira, tapi karena si Bira lelet gue copot sendiri aja kacamata yang bertengger di hidung peseknya itu. Bira mejamin matanya saat gue narik kacamatanya dan gue ngerasa muka dengan mata terperjamnya itu ngedamain hati gue banget saat ini.

“Gue nggak bisa ngelihat Fir, mata gue kan silinder” tegas si Bira. Nggak sedikit pun gue gubris protesannya, malah sekarang tangan gue lagi acak-acak rambutnya si Bira. Tangan gue basah karena keringetnya dan itu malah ngebuat gue jauh lebih sejuk lagi.

Si Bira sekarang ngeberaniin diri buat buka matanya, dia natap gue dengan pandangan takut, padahal gue nggak bakalan nyakitin dia sama sekali. “Diem” desis gue tegas ngebuat Bira makin kaku di depan gue. Cepat-cepat gue ambil handuk kecil dari Postman bag gue dan gue seka wajahnya yang berkeringan keseluruhan. Gue menghela nafas puas, penampilan Bira yang sekarang udah jauh lebih baik dari penampilan dekil dan super cupunya itu di sekolah. Bira sekarang terlihat jauh berantakan dalam kandungan makna yang baik, dia terlihat lebih keren dipandang dengan penampilan seperti ini, tinggal pakaiannya aja yang diganti pasti Bira terlihat jauh lebih menawan. Sialannya gue ngerasa bahagaia banget ngelihat Bira yang sekarang, jangan bilang gue tertarik!

Dag

Dig

Dug

Jantung gue berdegub dengan gegap gempita banget ketika senyum Bira tercetak di bibirnya, senyum dari penampilannya yang baru. Rasanya pengin ngalihin muka supaya gue nggak makin tenggelam dalam senyum si Bira sekarang.

“Bang layangan yang ini harganya berapa?”

Makasih banget buat orang yang udah mengakhiri momen awkward yang sedang terjadi antara gue dan Bira, untung ada yang beli layangan kalo nggak gue nggak tahu deh gimana rona wajah gue selanjutnya.

Matahari kelihatan sudah amat capek kayaknya, sinarnya udah nggak menyengat lagi seperti tadi, sekarang hanya ada sayup-sayup cicitan burung Perkutut dan sekelebatan bayangan burung Merpati yang sedang di lepaskan para pemiliknya. Desauan angin menggoda gue buat kembali rebah di bawah pohon Beringin, namun gue nggak tertarik buat kembali rebah, gue nggak mau ditinggalin si Bira soalnya, ya walaupun itu cuman perkiraan terburuk gue sih.

“Fir, sekarang jam berapa?” Bira nolehin wajahnya ke arah gue. Cepet-cepet gue lihat jam di ponsel gue. “Jam lima lewat kenapa?” tanya gue. “Pulang yuk” jawab si Bira yang masih fokus memasukan layangan dan benang ke dalam kardus.

***

“Dua puluh satu ribu, Alhamdulillah” kata si Bira dengan nada yang sarat dengan kebahagiaan.

Gue nggak habis fikir, si Bira bisa senang banget dapet komisi segitu, dan tadi sepulang sekolah dia ngebantu orang buta terus pakai segala ngasih duitnya ke itu orang lagi, padahalkan dia sendiri aja kesulitan dalam hal duit.CK.

Jajan gue aja lebih dari segitu seharinya dan gue masih selalu ngerasa kurang, apalagi buat ngasih pengemis! Tapi lihat lagi si Bira coba. Bira ngerasa uang segitu tuh udah lumayan cukup buat dia dan itu ngebuat gue sadar seberapa nyusahinnya gue ke bokap-nyokap gue.

“Beli gorengan dulu Fir” si Bira narik ujung kaus gue buat ngikutinnya ke tempat ibu-ibu jual gorengan.

“Lo mau nggak?” Bira nyodorin tempe goreng ke arah gue.

“Nanti kita makannya pakek gorengan ini doang, eh ada kecap botolan deh di rumah,” kata si Bira santai. Emang gue mau makan di rumahnya apa? Bukan cuma karena lauknya nggak mengundang selera makan gue tapi karena gorengan yang dia beli itu sedikit, pas-pasan deh, kalo gue ikutan makan ya makin nambah dikit pastinya, gue nggak mau nyusahin orang yang udah susah ah.

“Gue langsung balik aja, nyokap udah nyuruh gue pulang” jawab gue sambil ngeganyang tempe goreng yang Bira sodorin tadi. Bira cuma manggut-manggut menanggapi jawaban gue, bibirnya berkilat karena minyak dari gorengan yang dia kunyah, dan itu membuat bibirnya kelihatan menarik.

“Lo beneran nggak mau ikut kita makan?” tanya si Bira. Gue menggeleng yakin, lalu gue pamitan ke seluruh anggota keluarga si Bira.

“Fir, makasih ya udah mau bantu dan nemenin gue jualan layangan” sontak gue menoleh ke arah Bira, karena si Bira ngucapin terimakasihnya pas gue udah ngelangkah pergi dari pintu rumahnya. Sesuatu yang asing gue lihat dari Bira, matanya sendu banget natap gue seolah-olah gue itu pahlawan yang udah nyelamatin dia dari maut, dan tatapan itu berhasil buat hati gue ngilu kembali.

Gue cuma bisa balas senyum dan ngacungin ibu jari gue. Gimanapun caranya gue harus buat Bira terlihat keren dan nggak lagi jadi bahan hinaan anak-anak sekolah gue, karena gue nggak mau punya pacar yang jadi bahan olok-olokan sekelas. Ya, Bira itu calon pacar gue selama empat bulan dan gue harap bisa nahlukin hati si Bira ini kurang dari tiga minggu—deadline yang Romeo kasih ke gue.

***

“Buat apaan ini semua?” tanya si Bira kikuk.

Gue ngasihin beberapa seragam sekolah gue yang jauh lebih layak pakai daripada pakaiannya, memang bukan seragam baru dari toko sih, tapi seragam sekolah gue ini jauh lebih enak dipandang daripada miliknya Bira kok, gue bukan anak konglongmerat jadi riskan kalo gue minta uang dari bonyok dengan alasan mau beliin seragam sekolah buat teman cowok gue, lo pikir sendiri aja gimana nyokap gue respon permintaan gue kalau gue sampai bilang gitu.

“Dan lo pakai kacamata ini” kata gue sambil ngasih kacamata baru ke si Bira. Beberapa hari lalu gue nanya ke Bira mata silindernya itu seberapa parah dan Bira ngasih tahu dengan polosnya, untungnya uang tabungan gue cukup buat beli kacamata baru buat Bira yang modelnya nggak jadul kayak kacamata yang masih bertengger di hidung peseknya itu.

“Nggak mau ah, gue nggak punya uang buat gantinya, dan kalau lo ngasih ini cuma-cuma gue tetep nggak mau ah, ngerepotin lo banget tauk” ucapnya kikuk sambil terus menggelengkan kepala tanda menolak pemberian gue.

“Heh!!! Lo jadi orang itu bersyukur sedikit napa, gue udah beliin dan lo harus terima! Lo kira ini kacamata bisa gue balikin ke optik apa!” sahut gue jengkel, gimana nggak jengkel gue udah habisin sebagian tabungan gue buat beli itu kacamata dan sekarang si Bira dengan enaknya menolak pemberian gue, dia kira kacamata ini bisa balik jadi duit gue lagi kalau dia nggak mau nerima pemberian gue itu.

“Tapikan—“

“Pakek! Nggak usah dibuat ribet deh!” ucap gue sambil nyulut rokok yang udah nyelip di antara bongkahan bibir seksi gue.

Gue itu bukan tipe orang yang sabar, jadi gue lepas paksa kacamata jadul yang nempel di wajahnya Bira lalu gue ganti dengan kacamata yang gue beliin. “Gue cuman mau nyaranin lo doang nih, besok pas masuk sekolah rambut lo agak dibuat acak-acakan aja, jangan di sisir rapih banget, lo emang betah apa jadi bahan olokan anak-anak” saran gue dengan nada agak ketus sisa-sisa aura kesel gue tadi.

Bira cuma mengangguk patuh, bagus.

“Jangan bungkuk kalo lagi jalan!” Bira mengangguk lagi. Tsakep.

***

“Firza!”

“Lo udah lihat penampilan si keset ruang BP belum?” Romeo dengan nafas tersengal-sengal nyamperin gue yang lagi asik dengan bola basket yang lagi gue dribble.

“Kenapa emang?” tanya gue pura-pura bego. Lalu si Romeo cerita panjang kali lebar, kali tinggi, kali banyaknya banjir di Jakarta! “Masa?” tanya gue pura-pura antusias. Siapa dulu, Firza! Gue nggak akan ngebiarin calon pacar gue dijulukin dekil, karena memang sekarang Bira sudah sesuai dengan keinginan gue, dia nggak lagi dekil setelah pakai kacamata dengan Frame rmodel baru, baju-baju dari gue, serta potongan rambut baru—kemarin gue sempatkan diri buat ajak Bira ke Barbershop yang ngebuat dia lebih terlihat segar. Masa orang seganteng dan semaho eh semacho gue ini pacaran sama manusia yang nggak sedap dipandang sih! Big to the no bingit!

“Kalau tau si Bira bakalan berubah jadi cowok yang lumayan sekeren sekarang ini sih gue ogah deh nyuruh lo macarin dia,” keluh Romeo yang lagi-lagi kena apes. Apes, karena gue bakalan menang lagi dalam taruhan kali ini.

“Siapin diri jadi hambasahaya gue yeh Meo” ejek gue sambil shooting bola basket ke ring dari garis jarak three point . masuk! Exellent.

“Taik kucing lah” jawab si Romeo apes ini sambil nyikut perut sixpack gue.

Gue cuma bisa ketawa ngakak sambil ngerangkul si Romeo babik tersayang gue ini ke arah kantin, ngebahas banyak hal sambil sekali-kali nakut-nakutin Romeo yang akan segera jadi hambasahaya gue.

***

“Kalau jalan itu yang tegap Bir, cuman itu doang yang kurang dari lo sekarang!” saran gue sambil bantu Bira mengeluarkan layangan dari dalam kardus popok bayi. Bira mengangguk dengan bibir yang ditekuk menjadi sebuah senyuman, gue suka banget sama dia, tiap gue kasih saran pasti dia senyum nggak pernah bantah sedikit pun dan selalu dia lakuin sesuai saran gue, gue ngerasa dihargain dan dianggap banget sama dia. Walaupun sampai sekarang berjalan tegap masih sulit Bira terapkan.

Nggak lama para pemain layangan mulai dari bocah ingusan sampai abang-abang kurang kerjaan datang siap menyerbu dagangan kami, sudah beberapa kali gue bantu Bira buat jualan layangan dan sekarang gue harus total ngebantu dia, entah kenapa gue sekarang semakin terbiasa dengan rutinitasnya Bira, terbiasa di dekat dia terbiasa ngasih lelucon yang pasti disambut tawa renyahnya, semua yang gue lakuin ke Bira pasti dia sambut dengan ketulusan, setidaknya—ketulusan—itu bisa gue lihat walau masih perkiraan gue aja.

Gue comot beberapa layangan lalu gue goyang-goyangin di tangan gue, setelah ngerasa nemu layangan yang baik kalau dibentangin, langsung aja gue bolongin di dekat tulang layangan tersebut pakai rokok gue, dengan gesit gue buat tali kama di layangan tersebut lalu gue ambil benang gelasan yang paling mahal tipe tarikan karena gue lebih jago dalam hal adu layangan kalau pakai gelasan tipe tarikan bukan yang tipe uluran.

“Main layangan yuk, gue mau tahu lo sama gue jagoan mana, secara lo kan tukang layangannya nih” tantang gue penuh semangat, bosen juga sih kalau cuma duduk nunggu yang beli, mending main layangan sambil nunggu yang beli, yakan? Ngehibur diri itu mudah, banyak cara disela-sela aktivitas cuma perlu jeli sama peluang-peluang yang bisa ngebuat diri kita ngerasa kehibur, se-enggaknya itu yang selalu gue lakuin.

“Gue nggak bisa main layangan Fir” kekeh Bira tanpa rasa malu sedikit pun, ngebuat wajahnya terlihat menggemaskan.

“JAH!!! Baru gue nemuin tukang layangan yang nggak bisa bentangin layangan, ck, ck, ck” ejek gue sambil ikut terkekeh.

“Gue juga baru nemuin cowok super baik kayak lo”

JEDERRR!!!

Gue ngerasa dewa Eros sekarang berhasil bidik anak panahnya tepat di hati gue melalui tatapan Bira sekarang ini. Wajahnya Bira yang polos-polos imut itu nampilin sebuah senyum sederhana yang terlihat amat tulus, tatapan sendu di arahkan ke gue. Matanya menyipit sedikit memperjelas ketulusan ucapannya barusan, dan itu semua berhasil membuat ulu hati gue ngilu seketika. Rasanya pengin banget gue bingkai momen ini, saat langit twillight memesona para pemilik cinta, saat bayangan burung Merpati menjadi siluet yang mengukir momen langka, dan di saat cicitan burung-burung menjadi lagu yang membawa sebuah hati ke muara.

Gue nggak mau munafik atau denial-denialan kayak cowok-cowok lebay kebanyakan, gue biseksual dan cowok di hadapan gue ini amat menarik, dengan amat ikhlas gue akan mau jadi pacarnya jika cowok di hadapan gue minta gue buat jadi pacarnya sekarang juga, tiap rasa memang tercipta saat kita mengalami sebuah momen yang berkesan, dan Bira selalu membuat gue ngerasain momen-momen yang penuh kesan saat kami berdua seperti sekarang ini, dan jika ini cinta maka dengan amat berani gue akan mengakuinya, persetan dengan awalan dari semua ini.

Terkadang apa yang gue omongin tentang orang yang hanya gue lihat dari fisiknya itu adalah fitna keji belaka yang nggak pernah gue sadari.

Nggak banget, mana ada orang yang mau jadi pacar dia, monyet juga ogah kali di deketin sama dia. Kata-kata ini muncul kembali setelah sekian lama diucapkan oleh hati gue, yang gue rasain sekarang adalah penyesalan, bukan penyesalan kerena gue bisa jatuh hati sama Bira, tapi karena gue sempet dengan amat keji ngerendahin dia bahkan sebelum gue kenal pribadinya sedikit pun. Dan silahkan kalau kalian mau ngehina gue lebih rendah dari para monyet, gue nggak perduli, kebahagiaan itu nggak perlu gengsi, walau harus jilat ludah sendiri, daripada lo kubur sampai busuk, dan saat udah busuk lo nangis-nangis mengharapkannya.

Bira memang nggak tampan kayak kebanyakan mantan gue, dia juga nggak bertingkah kayak cowok-cowok seumuran kami, dia juga nggak seluar biasa para cowok yang lagi nyari jati diri dan sangat berapi-api dalam memenuhi ego hati, Bira bukan cowok biasa, dia jauh luar biasa dari cowok kebanyakan, apalagi gue, bahkan gue lebih kecil dibandingkan dengan ujung kukunya Bira. Bira itu ibarat Titanium dan gue Titanium imitasi made in China.

Hidupnya penuh beban, tapi dia ngejalaninnya dengan penuh ketulusan, Bira menginspirasikan banyak hal, cara dia bersikap, cara dia menyelesaikan masalah dan cara dia nikmatin hidupnya yang jauh dari kata bahagia.

Gue bahagia kok, setiap gue bersyukur sama nikmat yang tuhan kasih gue selalu ngerasain kebahagiaan itu, karena menurut gue, bahagia itu gue rasakan ketika gue mendapatkan banyak hal dari buah kesabaran yang gue tanam. Gue selalu ingat kata-kata Bira yang satu itu, ketika dia ngajak gue beli air es di warteg. Banyangkan! Dia dengan wajah penuh bahagia menenggak air es tanpa rasa setelah capek-capek-an ngejual layangan bareng gue, wajahnya damai banget saat nengguk air es itu, sedangkan gue, sedikit pun gue nggak ngerasa ada yang spesial dari air es tersebut. Bira memang sederhana dan gue jatuh cinta dengan sosoknya yang sederhana.

“Gimana kalau gue bantu megangin layangan dan lo yang nerbangin layangnya, nanti kalo layangannya terbang lo pinjemin ke gue ya, hehehe”

Gue mengangguk setuju, gue bantu Bira berdiri lalu ngebiarin dia ngebawa layangan yang tali kamanya udah gue ikat ke gulungan benang yang gue pegang. “Jarak segini cukup?” teriak Bira dari jarak sekitar delapan meter. “Mundur lima meter lagi Bir, biar langsung terbang!” sahut gue nggak kalah keras.

Bira mengangkat layangannya tinggi-tinggi.

“Satu”

“Dua”

“TIGA” teriak gue bersamaan dengan Bira yang ngelepas layangan dan gue yang narik layangan tersebut dengan bersemangat. Beberapa hentakan dan tarikan gue saat layangan terasa tersapu angin mempu membuat layangan ini terbang dengan sekali percobaan. Bira berlari cepat ke arah gue, wajahnya sumringah seperti bunga matahari yang mekar.

“Nggak nyangka lo hebat juga ya dalam urusan nerbangin layangan” katanya takjub di sebelah gue.

“Gue kan asisten tukang layangan jadi harus handal dalam urusan beginian” jawab gue bangga. Bira tekekeh ngedengar jawaban gue. “Lo mau mainin? Nih!” gue langsung tarik tangan si Bira dan sekarang dia sama tegangnya dengan benang layangan yang terangkat ke udara.

“Kalau layanganya nungkik, lo cukup ulur benangnya sampai layangan itu stabil dan lo boleh tarik lagi layangannya biar kembali ke posisi semula, dan kalau lo pengin layangan itu terbang lebih jauh dan lebih tinggi lo cukup ulur dan tarik, mengulur dan menarik benangnya berbanding empat persatu” kata gue lembut sedikit menunduk supaya bibir gue tepat di sisi telinga kanan Bira. Bira mengangguk khitmat, mengerti semua yang gue intruksikan.

Dada gue berdebar seperti layangan yang tertiup angin kencang di udara, ini bukan persoalan harum tubuhnya Bira, seberapa bagus baju yang dia pakai, seberapa menarik wajahnya tiap gue pandang, ini tentang rasa yang tiap hari semakin menguat, tertabung dengan amat baik dalam bendungan hati gue yang lama kosong tidak terisi, selama ini gue selalu main-main sama pacar gue, yang gue cari adalah puncak nikmat saat gue berada di atas tubuh mereka, menggauli mereka dan dipuja mati-matian.

Sekarang, sosok sederhana yang nggak pernah gue bayangin akan menjadi labuhan hati gue yang baru malah mampu membuat gue mencandu, merindu tiap kala gulita menyelimuti hari, lalu kembali bersemangat saar fajar menyongsong dengan ekspresi malu-malu dan berbahagia dikala senja pecah berganti temaram.

Langit berubah oranye, warna merah bercampur hitam berpadu lembut dengan warna ungu yang khas, memperjelas segala hal yang terjadi di luar dan di dalam hati gue. Kalau langit dan cahaya akan menjadi temaram sebentar lagi maka hati gue akan tambah bersinar kuat selama menyaksikan Bira bahagia dengan layangan yang sekarang udah berhasil dia kendalikan.

Tawanya yang renyah dan komentar-komentar antusias dari Bira mampu menghanyutkan gue ke dalam nirwana senja yang sedang gue ciptakan sendiri.

Orang yang nggak pernah lo sangka-sangka bakalan mampu nahlukin hati lo terkadang malah mampu membuat lo bertekuk lutut, hanya sebuah kenyamanan yang nggak pernah sama sekali lo banyangin saat bersamanya. Seperti gue sekarang ini.

Daun Ketapang jatuh tepat di kaki gue, entah gimana gue sekarang mengibaratkan daun Ketapang itu hati gue, bakalan layu, kering lalu mati dan terlepas kalau nggak cepat-cepat nyatain perasaan gue ke Bira, ini semua nggak ada hubungannya dengan deadline taruhan gue sama Romeo, ini semua karena gue memang udah benar-benar nggak tahan untuk mengutarakan isi hati gue yang sebenarnya, persetan sama deadline taruhan gue yang tinggal tersisa beberapa hari lagi, ini murni karena gue yang memang benar-benar telah jatuh hati.

“Bira” panggil gue serak. Sesekali Bira melihat gue dengan wajah yang dihiasi senyum khasnya. “Apa?” tanyanya sambil terus fokus ke layangan yang terbentang di udara. Gue geser tubuh gue kebelakang tubuhnya, berharap degub jantung gue yang gaduh ini nggak sampai dirasakan oleh Bira. Sesaat gue menatap layangan sambil mantapin hati buat nyatain perasaan gue ke Bira.

Gue hela nafas gue sampai Bira bergidik spontan, “Gue cinta sama lo Bir, jantung gue selalu berdegub penuh semangat saat senyum lo itu tertuju untuk gue, dan hari-hari gue terasa penuh saat gue habisin waktu bareng lo” cahaya dari mata Bira menghilang seketika, layangan Bira putus dibabat pemain lain dan sekarang Bira total natap gue dengan ekspresi piasnya itu, ngebuat hati gue takut bernasib sama dengan layangan Bira yang putus tadi.

Bira membalik badan sampai badan kami berhadapan, ekspresinya masih sama, pias nggak sedikit pun gue mampu membaca apa yang akan dia akan katakan sebagai jawaban dari pernyataan gue barusan.

Gue pandangan matanya dalam-dalam, jakun gue bergerak seiring kerongkongan gue yang minta dibasahin. “Gue cinta sama lo” tegas gue kembali dengan suara yang jauh lebih serak. Fakta menakutkan menghentak hati gue yang sedang menunggu jawaban Bira, gue terlalu ceroboh mengungkapkan isi hati gue, gimana kalau Bira straight? Gimana kalau Bira jijik sama gue, selama ini gue hanyut sama perasaan gue sendiri, sampai-sampai gue lupa mastiin apakah Bira straight atau nggak.

Bira tersenyum lalu mengangguk, gue ngerasa dapat miracel di ujung kematian. “Apa?” tanya gue bodoh. Bira kembali mengangguk, senyumnya sangat amat memesona kali ini, giginya yang rapih berbaris memukau tepat di depan dada gue.

“Gue juga cinta sama lo” kata Bira ngebuat jantung gue berdegub liar merayakan cinta gue yang nggak bertepuk sebelah tangan.

Gue terkekeh bahagia, karena cuma itu yang sekarang gue bisa lakuin, nggak mungkin gue peluk Bira di pinggir lapangan sekarang, bisa-bisa gue sama Bira digebukin warga.

***

“Sialan! Bahkan lo udah menangin taruhan buat macarin si Bira sebelum deadline-nya kelar, dasar maho bajingan!” cerca Romeo di samping gue, tadi Romeo nanya perkembangan hubungan gue, ya gue jawab dengan jujur kalau gue udah jadian sama Bira.

“Tapi lo harus tahan pacaran sama si Bira selama empat bulan, inget lo harus nyodomi dia dan lain-lainnya” ucap Romeo tidak bisa menahan geli.

“Gue emang udah yakin si Bira bakalan lo dapetin, tapi niat awalnya gue pengin lo pacaran sama cowok dekil, bukan sama cowok polos yang image dekilnya sekarang hilang!” Romeo berkicau merdu di sisi gue.

“Setelah empat bulan kia bakalan mulai taruhan lagi, dan nanti gue akan jadi pemenangnya.!” tegas Romeo dengki.

“Dan kalian sekarang sudah berhasil, seharusnya ada cola di antara kalian, atau bahkan bir. Permainan kalian itu sangat keren banget ya? Semoga kalian ngerasain jadi korban taruhan yang udah terlanjur jatuh hati” suara Bira terdengar lirih di belakang gue.

“Bira!!!” sontak gue menoleh ke arah belakang. Bira berdiri dua meter di belakang gue, air mukanya sangat datar, tangannya terkepal seperti hatinya yang mungkin mengeras menahan rasa sakit dari ucapan Romeo tadi, walau gue tahu apa yang Bira dengar itu salah paham, gue cinta sama Bira itu sungguhan bukan karena gue lagi ngejalanin taruhan dari Romeo.

Gue bisa ngerasain sakit hatinya Bira di balik air mukanya yang setenang air danau. “Demi tuhan ini salah paham!” tegas gue sambil medekat. Romeo berdiri kikuk di belakang gue, Bira melangkah mundur ke belakang.

“Lo harus dengerin semua penjelasan gue dulu, dan sehabis itu terserah lo mau lakuin apapun ke gue, tapi lo harus dengerin gue dulu” pinta gue panik kepada Bira.

“Lo mau pertahanin gue selama empat bulan kah? Dan lo bisa tinggalin gue dengan kondisi hati gue yang udah mencandu lo gitu? Kalau lo maunya kayak gitu, nggak apa-apa, demi kemenangan taruhan lo bersama Romeo gue ikhlas, hitung-hitung balas budi karena lo udah berbaik hati ngebeliin kacamata, dan setelah empat bulan nanti lo bisa ambil semua yang lo hadiahin ke gue! Bukannya begitu isi perjanjian taruhan kalian?”

Bira benar-benar salah paham! “Demi tuhan Bir!!! Gue cinta sama lo, taruhan ini cuman awalan, dan gue berterimakasih sama taruhan ini karena taruhan ini ngebuat gue jatuh cinta sama orang seluar biasa lo” ucap gue sungguh-sungguh.

“Seharusnya gue sadar diri, cowok cupu, dekil, miskin kayak gue nggak mungkin disukain cowok super cakep yang populer kayak lo, itu mustahil. Seharusnya gue sadar saat pertama kali lo ngedeketin gue, lo pasti punya maksud terselubung, seharusnya gue sadar!!!” kata Bira lirih mengutuk diri.

“Demi tuhan gue beneran cinta sama lo” tegas gue sekali lagi sambil memegang tangannya, tapi Bira narik kasar tangannya dari genggaman gue, Bira ngelepas kacamatanya lalu dimasukan ke dalam saku baju gue. Hati gue terasa tenggelam bersama kacamata yang tertelan saku baju seragam gue.

“Tapi gue nggak biasa nemenin lo sampai batas akhir taruhan kalian Fir, ini hari terakhir gue sekolah, maafin gue kalo gue ngebuat lo kalah dalam taruhan lo kali ini” Bira tersenyum sambil mengerjapkan matanya yang buram karena nggak pakek kacamata, senyumnya kali ini berhasil ngebuat gue ngerasa pilu yang teramat sangat, senyum yang sangat rapuh dari Bira, saat Bira diam dan nggak berekspresi apapun semua hal terasa kelabu, dan saat Bira tersenyum semua hal bahagia di bumi ini gue anggap pilu, gue bisa lihat tangisan hatinya dari senyum yang dia sungging sekarang.

“Terimakasih buat tiga minggu yang berharga ini” kata Bira sambil melangkah pergi, Bira memang nggak langsung lari saat dia mendengar Romeo yang membahas taruhan, Bira memang nggak mencaci maki gue tadi, dan itu semua ngebuat gue mati kata, bahkan rasanya sangat nggak mampu buat ngejar Bira yang hanya melangkah jenjang saat ninggalin gue dari taman belakang sekolah. Nggak sedikit pun Bira menoleh sampai tubuhnya tertelan koridor sekolah.

“Jangan bilang kalau lo emang beneran suka sama Bira?” tanya Romeo takut-takut.

“Jauh lebih besar dari yang lo lihat sekarang!” kata gue masygul sambil duduk di tempat gue semula.

“Maafin gue Fir, ini semua gara-gara gue” kata Romeo takut-takut. Gue cuma bisa tersenyum ke arah Romeo.

“Lo harus kejar Bira, dia bilang ini hari terakhirnya sekolah Fir, lo harus kejar dia,”saran Romeo dengan penuh keyakinan.

Gue hanya menggeleng, kerena gue nggak tahu lagi harus berbuat apa, terkadang seseorang yang nggak ngerasain apa yang gue rasain itu bisa seenaknya bilang gue bodoh karena nggak ngelakuin yang mereka pikir seharusnya gue lakuin, mereka nggak ngerasain sih apa yang gue rasain.

***

“Sabira Ardana? Hmm,,, dia memang bilang nggak lagi sanggup bayar uang SPP dan dia bilang mau berhenti sekolah, kenapa?” jelas petugas TU. “Eh, nggak apa-apa pak, makasih ya.” Jawab gue cepat sambil menggeleng gugup. Cepat-cepat gue lari keluar sekolah berhubung ini sudah jam pulang sekolah, nggak gue perduliin suara stero Romeo yang manggil gue di area parkir. Cabs grak, cuman kata-kata itu yang ada di dalam kepala gue, gue harus menjelaskan semuanya sama Bira, dan keputusan berhenti sekolahnya Bira ini pasti karena ada alasan yang kuat.

Gue turun dari motor gue yang baru aja selesai diservis pasca tabrakan saat dipinjam Paman gue. Entah sekarang ketukan keberapa yang gue lakuin di pintu rumahnya Bira, sepertinya nggak ada satu pun orang di dalam. “Orang rumahnya ke rumah sakit, neneknya dirawat sejak tadi malam” cukup, keterangan dari tetangganya Bira membuat banyak pertanyaan di dalam kepala gue terjawab.

Gue lari-lari kecil saat masuk ruang UGD, menurut gue neneknya Bira pasti masih ada di ruang UDG, realistisnya, orang yang dilarikan ke rumah sakit itu nggak gampang dapat kamar rawat, harus banyak persyaratan ina-inu-itu agar dapat kamar rawat. Gue bukan ngeremehin keluarganya Bira tapi gue yakin Bira dan keluarganya kesulitan memenuhi persyaratan untuk cepat mendapatkan kamar rawat buat neneknya. CMIIW.

Gue lihat Bira dan kakaknya lagi ngobrol bersama sepasang suami-istri di dekat pintu toilet, gue berhenti sejenak menunggu mereka menyelesaikan pembicaraan mereka. “Besok kita lakuin operasinya ya Dek, kami berhutang banyak sama kamu” kata si istri sambil menepuk-nepuk pundak Bira, ada raut khawatir dari wajah polos Bira, entah apa yang mereka perbincangkan.

“Bira,” panggil gue gugup. Bira menatap gue kaget, tapi cepat-cepat ekspresinya diganti dengan ekspresi tenang setenang air kolam renang rumah Romeo. Bira membisikan sesuatu ke telinga kakaknya lalu kakaknya masuk ke dalam ruang rawat UGD.

Bira melangkah melewati bahu gue, cepat-cepat gue menguntit Bira dengan hati yang harap-harap cemas. Bira berhenti di parkiran rumah sakit, tepat di bawah pohon Ketapang, dia duduk dan menatap gue yang masih berdiri kikuk di hadapannya.

“Demi tuhan, gue cinta sama lo tanpa kepura-puraan, tanpa skenario” Bira menunduk seketika. Gue mendekat dan jongkok di depannya, menggapai dagunya lalu menegagkan kepalanya. “Lo boleh nggak percaya, tapi, lihat ke dalam mata gue, lo akan dapatkan semua jawaban dari hati lo yang meragu saat ini” kata gue masygul, dada gue berdebar kencang saat mata kami bertabrakan, bahkan gue nggak bisa mikir apa-apa lagi, yang pengin gue lakuin adalah meluk pacar gue ini erat-erat.

Tangan Bira bergetar, “Gue, gue cuman tarlalu takut tersakiti,” ucap Bira lirih sambil menundukan kepalanya lagi.

“Jangan pernah takut, kebahagiaan boleh nggak berpihak sama lo, rasa terpuruk boleh terus menggelayuti lo, tapi lo harus ingat, kakak, adik, dan nenek lo terus berjuang buat berdiri teguh di atas segala cobaan ini. Lo nggak sendiri, kapanpun lo ngerasa dunia lo monogram, gue akan berusaha membuat dunia lo berwarna, kapanpun lo merasa hampir lumpuh sama semua cobaan yang tuhan kasih, gue akan selalu siap menopang lo. Karena gue cinta sama lo!” aku tegaskan dengan penuh ketulusan tepat di hadapan wajah Bira.

Bira memeluk gue, jantungnya berdetak lirih, namun gue berusaha sebisa gue untuk membuat Bira ngerasa nggak sendirian, membuat dia percaya diri dengan segala kenelangsaan yang dia rasakan sekarang, karena gue nggak akan ngebiarin pacar gue tersakiti oleh apapun.

Ketika pelukan kami terlepas, gue seka air mata di pangkal matanya dengan ujung ibujari gue, lalu air mata yang menggelayut indah di dagu Bira dengan punggung tangan gue, sebisa mungkin gue senyum untuk membuat Bira yakin bahwa gue akan selalu ada buat dia, kapanpun, apapun yang akan terjadi nantinya.

Daun ketapan jatuh menyapu lembut pundak Bira, “Pohon ketapan ini aja kuat, dia hidup sendirian, nggak perduli ribuan orang ngerusaknya, kenapa lo harus takut sama semua yang terjadi sekarang, lo punya gue, lo punya kakak, adik dan nenek lo, lo nggak sendiri, lo harus kuat, harus berani karena lo anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya” Bira mengangguk mantap, tatapan matanya menguat menandakan ucapan gue sudah tersugestikan.

“Makasih Za” kata Bira sedikit terisak.

“Za? Gue anggap itu panggilan sayang” kata gue ceria, Bira cuma tersenyum.

***

“Kak Firza, makasih ya udah traktir Bina makan nasi Padang, udah lama Bina nggak makan makanan enak, besok traktir lagi ya” cicit Bina semangat di punggung gue saat kita melangkah kembali ke ruang UGD.

“Bina!” Bira memperingati adiknya.

“Nggak apa-apa Bir, namanya juga anak-anak” Bira hendak protes namun gue mengisyaratkan agar Bira tidak memperpanjang masalah sepele ini, Bira memang tidak terlalu suka jika adiknya bertingkah seperti itu.

“Kakak pulang dulu ya, daritadi hape kakak getar mulu nih, pasti Mamahnya kakak lagi neleponin kakak nih” kata gue sambil menurunkan Bina dari punggung gue di depan pintu masuk UGD dan memberikan satu bungkus nasi Padang yang sengaja gue belikan buat kakaknya Bira juga.

“Salamin ke nenek dan kakak ya, kak Firza buru-buru” kata gue sambil mencium pipi gadis kecil yang selalu ngebuat gue gemas.

“Kak Firza, hati-hati ya” sahut Bina sangat riang, anak itu membuat gue semakin semangat buat ikut memikul beban yang Bira pikul sekarang. “Za, makasih ya, maafin gue juga soal tadi pagi di sekolah” sejak—di bawah pohon ketapang—tadi Bira manggil gue dengan panggilan Za bukan Fir lagi dan gue semakin suka dengan panggilan baru gue itu, cepat-cepat gue tarik Bira sedikit menjauh dari Bina. “Lo beneran nggak akan lanjutin sekolah lo?” tanya gue penasaran. Bira mengangguk memperjelas semua jawabannya. “Sekolah bisa di lanjutin tahun depankan Za, sekarang gue harus fokus sama keluarga gue, lo ngertikan?” gue mengangguk mantap, membelai lembut pundak Bira yang kecil. “Hati-hati” bisik Bira, suaranya menggelitik hati gue, sarat akan cinta, kalau aja ini bukan tempat umum gue akan cium bibirnya yang menggoda itu. Menyebalkan menjadi minoritas!

“Jangan lupa istirahat ya sayang” bisik gue pelan. Lalu melambaikan tangan ke arah Bina dan melangkah pergi.

***

“Bina, apakabar?” tanya gue sambil mencium pipi Sabrina, anak ini tumben banget raut wajahnya murung, biasanya selalu ceria.

“Kenapa?” tanya gue sambil duduk di bangku sebelah Bina, gue memutar pandang mencari keberadaan pacar gue yang belum juga kelihatan batang hidung peseknya.

“Kak Bira sekarang dioprasi” kata Bina lesu.

Spontan gue langsung memegang ke dua pundak Bina dan menggesernya hingga wajah gue dan gadis ini berhadapan, “Emang Bira kenapa?” tanya gue nggak sabaran.

“Firza?” panggil Safira kakak perempuan Bira dengan nada parau.

“Kak, bener Bira dioprasi? Kenapa?” tanya gue cepat, rasa panik berhasil nyusup ke dalam hati gue. Membuat segala hal di sekitar gue jadi kurang penting untuk di jelaskan.

Safira diam, jemarinya digerak-gerakin seolah-olah dapat mengusir rasa gundah yang mungkin dia rasakan sekarang. “Kenapa?” tanya gue dengan nada agak tinggi pertanda gue menuntut jawaban.

“Bira jual ginjalnya—“ hati gue serasa mencelos, jatuh ke lantai rumah sakit dan ditelan lantai kramik. Entah darimana udara dingin berhembus, namun yang gue rasain sekarang adalah tubuh gue yang menggigil kecil dan bulu kuduk gue yang meremang bersamaan.

“Demi kesembuhan nenek, dan beli kaki palsu buat Sabrina, dan—“ gue nggak bisa dengar penjelasan Safira lebih jauh lagi. Bodoh! Bira Bodoh! Bego! Tolol! Dongo! Apa dia nggak pakai otaknya? Ngejual ginjalnya, itu sama aja bunuh diri secara perlahan. Gue nggak habis fikir kenapa Bira sampai begini, buat gue dia sudah berkorban terlalu jauh, melampaui kuasanya, harusnya dia nggak ngelakuin apa yang memang seharusnya nggak dia lakuin, hatinya terlalu baik sehingga ngebuat pemikirannya kurang rasional.

Waktu terus bergulir, neneknya Bira sudah satu jam yang lalu dipindahkan ke ruang rawat VIP dengan dua tempat tidur, karena dalam masa penyembuhan Bira akan berbaring di satu ruangan bersama neneknya, semuanya dibiayai oleh keluarga pembeli ginjal Bira.

Suami-istri yang gue lihat tiga hari lalu lagi ngobrol bersama Bira dan Safira muncul bersama anak gadisnya yang berwajah judes, gue pengin ngamuk melihat keluarga penerima ginjal Bira dengan senyum sumringah datang mengucapkan terimakasih kepada Safira dan keluarganya, mereka nggak sama sekali memikirkan gimana Bira nantinya yang hidup dengan satu ginjal saja, mereka nggak sama sekali perduli, mereka nggak memperlihatkan wajah cemasnya sama sekali, mereka nggak ngerasain apa yang gue rasain sekarang, gimana takutnya kehilangan! Mereka bangsat!

Operasi memang sudah selesai dilakukan dua jam lalu, namun gue dan Safira masih menunggu waktu untuk diperbolehkan menemui Bira paskah operasi. Gue nggak perduli lagi sama penampilan gue yang pastinya terlihat berantakan.

Entah udah berapa jam gue duduk, berdiri, mondar-mandir, dan mengumpat. Hati gue serasa sedang terkena demam, nggak bisa merasakan ketenangan sama sekali. Gue putusin buat pergi ke toilet, membasuh muka mungkin membuat gue jauh lebih tenang.

Saat gue baru aja keluar dari tolilet cowok Bina berlari-lari pincang ke arah gue, tubuhnya sudah disangga dengan tongkat “Kak, kak Bira udah di dalam kamar rawat tuh, dia juga udah sadar, pas Bina ngasih tahu ke kak Bira kalau kak Firza daritadi nungguin kak Bira eh kak Bira nya langsung minta ketemu sama kakak, ayo kak cepet” Bina menarik-narik ujung Flanel gue dengan penuh semangat, cepat-cepat gue mengekor Bina.

Rasa kesal mulai muncul, hati gue bergejolak, amarah mulai membara dalam diri gue, kekhawatiran adalah sumber utamanya, tiap langkah gue menuju kamar rawat Bira serasa membuat amarah dalam diri gue semakin berkobar.

Bina membuka pintu kamar rawat dengan sekali hentak, Bira mengalihkan pandangannya ke arah gue, tatapan sayunya langsung menerpa gue sampai ke ulu hati, bibirnya ditekuk sedikit demi sedikit hingga tercipta sebuah senyum masygul yang menyejukan, membuat amarah gue tiba-tiba menyurut seketika, sesederhana senyum dan tatapan matanya yang dia tujukan ke gue. Kaki gue serasa keram untuk mendekat ke arah Bira, banyak hal yang ingin gue ungkapin ke Bira, tentang rasa kecewa gue, amarah gue karena Bira bertindak terlampau dongo, dan rasa takut kehilangan yang membesar, tapi nggak ada satu patah kata pun yang berhasil bibir gue ucap.

“Kak, aku mau bicara sama Firza sebentar, boleh tinggalin kita?” Bira meminta ke Safira sambil melirik neneknya yang sedang tertidur pulas. Safira mengangguk, menarik Sabrina untuk keluar dari kamar rawat ini.

Gue melangkah sampai tepat berdiri di sebelah ranjang Bira, menatap Bira dengan pandangan datar, gue angkat tangan gue dan gue lipat di tengah dada. Bira membuka mulutnya. “Ternyata! Gue nggak pernah nyangka lo serendah ini! Ngejual organ tubuh cuma demi uang!” kata gue tegas dengan nada pelan.

“APA?” tanya gue sinis ketika Bira menatap gue dengan pandangan yang nggak bisa gue artikan, gue benci ekspresi Bira yang minim.

“Lo bego atau gila sih? Lo tau kan resiko orang yang hidup dengan satu ginjal! Lo bisa mati!” gue menekan kata terakhir, seperti jeritan hati gue yang nggak mau kehilangan Bira, nggak sanggup.

Bira tersenyum masygul. Membuat gue berpikir bahwa cinta gue yang terlanjur dia miliki bisa kapan saja berhenti karena terenggut maut, gue nggak ngedoain Bira cepat mati, tapi rasa khawatir ini membuat gue selalu berpikir kemungkinan terburuk yang akan Bira hadapi kedepannya.

“Tapi menurut gue ini adalah salah satu tindakan gue yang paling benar” kata Bira lemah, cepat-cepat gue angkat satu alis gue tinggi-tinggi.

“Terkadang, seseorang memang tidak habis fikir terhadap tindakan serta sikap yang orang lain ambil dan yang orang lain itu terapkan” Bira tersenyum seperti menjawab gestur tubuh gue yang menandakan bahwa gue nggak habis fikir dengan keputusan yang sudah terlanjur basah dia ambil.

“Ini cara satu-satunya untuk meng-recovery semuanya” tegas Bira, raut wajahnya terlihat yakin dan itu membuat emosi gue tersulut, Bira menuangkan minyak ke dalam kobaran api yang hampir padam.

“Dengan cara ngorbanin diri lo sendiri?” tanya gue sinis.

“Gue cuman berusaha menjadi orang yang berguna, laki-laki yang bisa ngelindungin keluarganya”

“Bukan gini caranya!” cerca gue sambil menatap mata Bira lekat-lekat, rasanya pengin narik badan lemas Bira lalu teriak di depan wajahnya, kalau dia itu dongo!

“Hanya ini caranya” kata Bira santai, bibirnya menekuk sehingga sebuah ketulusan terpancar jelas dari senyumnya yang dia tujuin hanya buat gue.

“Lo fikir! Mulai sekarang semua yang ada di dunia ini akan selalu baik-baik aja? Lo fikir! Kalau kemungkinan terburuk nanti terjadi maka nggak akan berimbas kepada siapapun? Open your eyes! Gue khawatir banget, gue takut tentang segala hal buruk, imbas dari tindakan gila lo ini” protes gue penuh kekecewaan.

Bira meraup tangan gue yang sudah terkulai lemas di sisi tubuh gue, “Semuanya akan baik-baik aja Za, dan terimakasih atas segala kekhawatiran lo, terimakasih karena lo orang pertama yang ngebuat gue ngerasain cinta itu apa, ngerasain gimana jadi seseorang yang sangat dicintai” jemari Bira menelusup ke sela-sela jari gue, mengobati rasa pilu di dada gue, merubah semua rasa khawatir menjadi rasa nyaman.

“Jangan pernah terperangkap dengan cinta yang selalu membawa perasaan khawatir, karena ketika lo terperangkap, lo akan kehilangan makna cinta yang sebenarnya” Bira menarik tangan gue, mencium pelan buku-buku jemari gue, menghantarkan ribuan sengatan listrik yang membuat hati gue kembali terasa baik, dan bahkan jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Akibat amarah, gue ber-elo-gue lagi dengan Bira, tapi nggak apa-apa, ber-elo-gue pun nggak akan mengurangi rasa cinta gue ke Bira, begitu pun sebaliknya.

Gue duduk di kursi yang dekat dengan lutut kanan gue. Menggenggam tangan Bira erat-erat, “Lo harus janji sama gue, lo harus lebih dewasa kedepannya” ucap Bira memohon, gue mengangguk.

“Lo pun harus janji sama gue, untuk nggak ngelakuin hal gila, apapun itu, sehabis ini!” perintah gue. Bira mengangguk. Mata kami saling bertalutan, membuat kepala gue semakin lama semakin mendekat dengan kepala Bira yang terkulai lemas di atas bantal.

“Lo sadar nggak apa pengaruh lo buat gue?” tanya gue lembut. Bira menggeleng bingung.

“Tanpa sadar, lo udah ngajarin gue banyak hal, bahkan segala hal yang nggak pernah gue fikirin sebelumnya, tentang—“

Bira menaruh satu jarinya di bibir gue, ngebuat segala hal yang mau gue kasih tahu ke dia itu terhenti.

“Saat lo ingin berterimakasih sama seseorang, sebaiknya lo jangan memuji orang tersebut terlampau tinggi, nggak semua pujian harus diutarakan lewat ucapan maniskan?” Bira tersenyum, gue mengerti semua hal yang Bira ucapin, Bira memang nggak pernah banyak muji gue melalui lisannya, tapi, matanya, senyumnya, gesturnya, bergerak seolah-oleh berterimakasih atas rasa cinta yang gue berikan kepada Bira.

Saat gue ingin menyalurkan rasa cinta gue yang udah nggak cukup lagi hati gue tampung, Bira menahan, “Ini nggak cuman empat bulankan?” tanya Bira dengan nada menggoda. “Sampai lo dan gue menua bersama” kata gue dibarengi senyum tulus, lalu bibir gue menyapu bibir Bira yang kenyal, membiarkan lidah gue mengecap manisnya cinta dari bibir Bira, merasakan ketulusan cinta gue yang disambut dengan ketulusan milik Bira, membingkai romansa kami yang tidak ada habisnya.

***

Tawa Bira terdengar renyah di telinga gue, untuk ke dua kalinya Bira membuat layangan yang gue bentangkan tersangkut di pohon Duku dan Jati. “Layanganya singit! Masa nyangkut mulu” Bira bersungut-sungut ketika tawanya mereda, gue tersenyum penuh pengertian ke arah Bira, wajah pucat Bira tetap terlihat tampan di umur ke dua puluh empat tahunnya. Nggak kerasa udah tujuh tahun gue hidup bersama Bira, batin gue masygul. Tujuh tahun gue dan Bira lalui dengan jutaan liku kehidupan, berjuang melawan tentangan orang tua gue dan keluarga Bira, tetap saling menggenggam saat hinaan kami terima. Dan saat ini adalah hasil dari cinta gue dan Bira yang kami perjuangi dengan kuat kami masing-masing.

“Udahan yuk, haus nih mau minum jus buatan kamu” kata gue merajuk.

Bira menggulung benang layangannya lalu mengangguk mengiyakan ajakan gue, gue nggak sabar nunggu Bira, karena Bira nggak bisa lagi bergerak dengan gesit dan semau dia, Bira sekarang terlalu ringkih untuk pemuda seumurannya, itu semua akibat tubuhnya nggak kuat bertahan hanya dengan satu ginjal. Gue langsung membungkuk dan meraup tubuh kurus Bira ke belakang punggung gue, Bira tertawa dan refleks gue ikut tertawa sambil menggendong Bira melangkah ke dalam rumah, menikmati senja yang sebentar lagi pecah dan digantikan temaram yang digjaya di kala malam menyapa.

Tangan Bira yang lincah mulai memotong buah-buahan dan memasukannya ke dalam mesin jus, Gue berdiri di belakang tubuh Bira, mendengus halus di telungkuk Bira, membuat tubuh kurus nan renta Bira bergidik geli, tawa yang sangat syarat dengan kebahagiaan selalu mengisi tiap sudut rumah kami di daerah perbukitan Sentul. Setelah lulus kuliah gue kerja di sebuah perusahan retail minimarket terbesar di negeri ini, sebagai Manager Development.

Cahaya oranye mulai bermunculan layaknya festival lampion dari kejauhan, cahaya dari taman bermain Jungle land. Membuat suasana terlihat semakin manis di sela-sela quality time gue bersama Bira, gue sengaja ngebuat rumah gue di dominasi dengan kaca, agar gue dan Bira bisa selalu menikmati panorama dan beberapa fasilitas dari perumahan yang gue tempati sekarang.

Gue peluk tubuh Bira dari belakang, membuat Bira menghentikan kegiatannya membuat jus, kepala Bira menegadah tegak menatap wajah gue yang menunduk ke arahnya yang jauh lebih pendek dari gue, kami saling pandang dengan posisi yang menurut gue amat manis, “Aku cinta kamu” ucap gue sambil mencumbu lembut bibir Bira yang makin terlihat menggoda.

Gue meletakan gelas berisi jus alpukat yang sudah setengah gue tenggak ke atas meja makan, lalu meraih sebuah toples plastik transparan dengan amat semangat, “Kita cari kunang-kunang yuk” ucap gue semangat. Bira mengangguk antusias sambil meletakan gelas berisi jus jambu yang berhasil ia tenggak habis dan menyisakan remah dari jus jambu di ujung bibirnya. Cepat-cepat gue majuin badan gue lalu menjilat remah jambu yang tersisa di sudut bibirnya.

Gue hirup udara sejuk malam hari, lalu menurunkan Bira dari pundak gue, Bira terkekeh pelan karena gue perlakuin layaknya anak kecil, kalau nunggu Bira jalan bisa ngehabisin waktu lama, padahal cuma berjalan ke taman slash lapangan belakang rumah aja, maka dari itu gue sering ngegendong Bira, hitung-hitung membuat momen romantis tiap saatnya.

Dengan sabar gue dan Bira menunggu kunang-kunang muncul, bagai jutaan peri yang datang menghiasi tempat di sekeliling gue, mereka—kunang-kunang—muncul dari balik pohon Cemara, Duku, Jati, Ketapang, dan semak-semak, membuat sebuah pesta kecil yang hanya gue rayakan bersama Bira dan mereka.

Dengan sigap gue ayunkan tangan gue yang menggenggam toples plastik transparan ke udara, beberapa kunang-kunang terjerat dalam toples gue, buru-buru gue tutup, Bira menatap gue dengan senyum bangga, ngebuat gue ngerasa pahlawan yang disambut kekasih selepas kembali dari perang dunia.

“Ini buat kamu” kata gue manis sambil meraup tangan Bira sehingga gue memberikan langsung toples itu ke atas telapak tangan Bira yang juga gue sangga dengan tangan sebelah kiri gue. Bira tersenyum, kesan bahwa ia sekarang sering mengalami hypertensi dan harus rutin mencuci darah setiap seminggu sekali sirna seketika malam ini, di bawah sinar bulan yang temaram dan cahaya dari kunang-kunang yang meremang di sekitar kami membuat wajah Bira terlihat sumringah dan makin tampan saat ini.

Gue tersenyum getir, fakta paling gue takuti kembali ter-replay di dalam otak gue,peringatan dari dokter kembali bergema di dalam kepala gue, cepat atau lambat Bira akan pergi meninggalkan gue selamanya. Gue nggak akan kehilangan momen ketika bangun tidur Bira selalu tersenyum ke arah gue, nyiapin air panas buat gue mandi pagi, sarapan bareng di meja makan, membetulkan letak dasi di kemeja gue yang selalu sengaja gue pasang miring agar tangan bira menari di dekat leher gue, nggak lagi bisa melihat senyumnya saat gue pulang kantor, senyum yang selalu membuat gue nyaman dan lepas dari beban pekerjaan, cinta gue ke Bira semakin lama semakin membesar, tidak sama sekali menyurut sedikit pun. Fakta di mana janji gue terhadap Bira dulu harus dipenuhi sekarang. Lo harus janji sama gue, lo harus lebih dewasa kedepannya. Kata-kata Bira terngiang di kepala gue menambah segala ketakutan yang menguasai batin gue, dengan amat berat hati gue harus siap kehilangan Bira kapanpun itu, bahkan saat gue kembali dari kantor dan Bira telah terbujur kaku nantinya—gue nggak sanggup bayangin hal itu sedikit pun. Bayangan yang paling gue takutin seumur hidup gue. Karena dewasa adalah suatu sikap bijak dengan penuh rasional di dalamnya, bukan drama! Kata-kata tegas Bira terngiang di kepala gue dan itu malah membuat gue semakin sesak.

Menjadi kuat agar orang lain kuat itu adalah hal yang sangat sulit, buat gue. Dawai biola terasa terdengar di dalam hati gue, membawa sebuah nada kelabu pekat yang mampu menenggelamkan gue bersama ketakutan yang selalu berhasil membuat gue pilu, nelangsa atas fakta bahwa gue mau tidak mau harus siap menerima kenyataan bahwa waktu gue bersama Bira hanya sebentar lagi. Gue nggak sanggup menghadapi saat momentum di mana Bira mengucapkan kata selamat tinggal nantinya.

Gue memperhatikan Bira yang sedang terlena suasana, dengan senyum yang sumringah Bira terus mencoba menangkap kunang-kunang yang sampai saat ini belum pernah berhasil dia tangkap satu pun. Mungkin di waktu yang akan datang gue nggak lagi mampu menikmati pergantian senja ke malam bersama-sama lagi.

“Za!!! Lihat!” seru Bira penuh semangat, menarik paksa gue dari belenggu hati yang sangat melankolis akhir-akhir ini.

Tangan Bira yang terkepal itu diacungkan ke hadapan Firza, “Tebak ini apa?” tanya Bira masih penuh semangat.

“Apa?” tanya balik gue dengan nada lembut. Bira membuka tangannya, tiga kunang-kunang menghambur cepat dari telapak tangan Bira yang terbuka, menyisakan senyum bahagia di wajah Bira karena ini kali pertama Bira berhasil menangkap kunang-kunang.

“Ini mungkin kunang-kunang pertama dan terakhir yang berhasil aku tangkap” kata-kata Bira mampu membuat hati gue semakin kelabu.

“Terimakasih atas semuanya Za, kamu lelaki pertama dan terakhir untukku, lelaki yang mengajariku banyak hal tentang hidup dan cinta, maka berjanjilah satu hal lagi untukku, setelah aku pergi nanti tetaplah bahagia, jangan biarkan luka hati menguasaimu terlalu lama” gue menitikan air mata seketika “Luka hatimu akan segera pulih jika kamu membuka hati untuk orang lain yang siap mengobati dan mengisinya kembali, jangan tutup hatimu dengan luka hati, karena jika kamu tutup hatimu dengan luka atas kepergianku maka kamu tidak hanya melukai dirimu sendiri, tapi kamu juga akan melukaiku! Maka berjanjilah sekarang juga, kamu akan baik-baik saja selepas kepergianku nanti, kamu akan melanjutkan hidup dengan pembaharuku! Siapapun itu, ayo janji!” pinta Bira. Senyum terpatri di wajah Bira dan itu bukan senyum Bira gue! Senyum itu terasa asing, teramat pucat dan penuh kesedihan.

Gue peluk erat tubuh ringkih Bira, tubuh gue bergetar nggak ikhlas dengan apa yang harus gue lakukan nantinya, bahkan gue bertekat tidak akan berjanji apapun lagi kepada Bira jika isi janjinya hanya tentang kerelaan.

“Firza” kata Bira lemah, wajahnya semakin pucat, buku-buku jemarinya menyapu pipi gue yang basah karena airmata yang lancang meluap dari kelopak mata gue.

Dunia serasa monogram, hanya dipenuhi rasa ketakutan, malam terasa amat mencekam kali ini udara terasa dingin menerpa kulit gue, seperti korban dementor, tidak lagi ada kebahagiaan sedikit pun itu yang gue rasakan sekarang. Darah mengucur perlahan dari hidung Bira.

“Berjanjilah!” pinta Bira nelangsa, fakta bahwa cinta mampu meng-iya-kan apa saja yang diminta itu sangat nyata, gue mengangguk seketika. Mengingkari kata hati bahwa sebenarnya gue nggak pernah sanggup kehilangan Bira. “Deal!” seru Bira parau seperti membuat persetujuan yang ia buat sepihak.

“Aku sangat mencintaimu, terimakasih karena kamu tidak pernah ragu” untuk pertama kali dan terakhir kalinya Bira mengucapkan kata cinta secara langsung di depan gue, karena gue nggak pernah nuntut sekali pun untuk mendengar ucapan cinta dari mulut Bira, dari tatapannya, gerak tubuhnya, dan senyumnya pun gue teramat yakin Bira benar-benar cinta sama gue dan tujuh tahun ini adalah epic dari segalanya, entah kenapa dia baru bilang cinta sama gue sekarang, mungkin dia menyimpan kata-kata indah ini untuk momen perpisahan kami, yaitu sekarang.

Tubuh Bira rubuh menimpa badan gue, membuat gue terhuyung sedikit ke belakang, tangan gue sigap memegangi tubuh Bira yang jatuh lemas, sesuatu yang basah terasa di perut gue, yang gue yakin itu adalah darah dari hidung Bira yang mimisan.

Tubuh Bira sekarang terlentang di tanah, kepalanya berada di atas tangan gue, persis kayak adegan di novel-novel dan film-film sad ending, “Bahagia ya” kata Bira terakhir kali sambil menutup matanya, gue cium pipinya dengan amat nelangsa, merasakan tubuh hangatnya perlahan mendingin, merasakan tubuh yang gue peluk sekarang tidak lagi terisi nyawa, kunang-kunang mulai pergi, seperti mengantar Bira kepada pemilik nyawa sebenarnya.

“Selamat jalan sayang, tidur dan jangan lagi rasakan perderitaan yang selama ini kamu rasakan, terimakasih” gue kecup keningnya dengan rasa yang amat dalam, saat bibir gue terlepas dari dahinya, rasa tidak rela menyergap membuat tangis gue pecah seketika.

Firza membereskan kamarnya, kenangan masalalunya ia timbang-timbang, mana saja yang harus disingkirkan dan mana saja yang harus tetap dipertahan, hatinya telah hancur berantakan, tersapu badai yang membawa kekasih hatinya pergi saat malam yang penuh kunang-kunang. Selembar kertas berukuran besar yang terlihat lecak dan kumal ia pegang sekarang, kertas itu berkisah banyak kenangan, di kertas itu Bira kerap menuliskan ucapan terimakasih kepada Firza, atas momen ulang tahun, atas momen perayaan anniversary hubungan mereka, atas bermacam-macan romansa yang Firza berikan kepada Bira, namun kertas ini akan selalu mengorek luka Firza, luka dari kehilangan kekasih yang ia amat cintai.

Siang bergulir perlahan, digantikan oleh suasana damai senja di perbukitan, Firza menyeka peluhnya, terkadang menyeka airmatanya yang meleleh kurang ajar dari dalam kelopak matanya, sebuah layang tercipta dari kegiatan Firza, layangan yang kertasnya berasal dari lembar kertas usang yang Firza temukan tadi sewaktu berberes kamar.

Bara dari rokok yang ia hisap membuat lubang di antara tulang-tulang layangan, dengan lihai Firza membuat simpul kama di tulang layangan tersebut, langkahnya mulai gemetar ketika Firza melangkah ke belakang rumahnya, semuanya telah berubah, Ketapan dan pepohonan lainya tidak lagi menceritakan sebuah kebahagiaan yang dulu Firza miliki bersama Bira kekasihnya, yang tersisa hanyalah sebuah siluet Bira yang sedang tertawa renyah menatap Firza, lagi-lagi airmata Firza meniti perlahan.

Angin bertiup pelan mencoba mendamaikan hati yang temaram akibat rasa gersang dari kehilangan. Firza berhasil membentangkan layangannya dengan mudah, ketika layangan itu telah terbang tinggi airmata Firza mengalir dengan derasnya, isakan tertahan tidak lagi terpelakan dari wajah tampan Firza. Firza membelitkan dua jarinya dengan benang gelasan, gesekan keras ia lakukan membuat dua jemarinya terluka dan berdarah lalu benang tersebut putus membuat layangan yang terbentang di angkasa senja tertiup angin pergi meninggalkan Firza sendirian.

Layangan ini bertuliskan semua tentang kita, semua kata terimakasih yang lo tulis buat gue, mengabadikan banyak momen bahagia kita, namun maaf kertas yang telah gue jadikan layangan ini harus pergi, gue harap perginya layangan ini juga ikut membawa luka hati atas kehilangan lo, layangan ini putus di tangan gue, semua hal tentang kita terhenti di sini, layangan terakhir ini akan menjadi puncak masa kita yang telah berakhir. Maafin gue yang memulai hubungan ini dengan cara yang salah. Bira tidurlah yang nyenyak, lo harus janji, tunggu gue di surga kita nantinya. Selamat jalan.

Senja akan menyampaikan ungakapan terakhir Firza kepada Bira melalui layangan terakhirnya.

Baca lebih lanjut

Surat Terakhir

irfandi_rahman

irfandi_rahman

Apakah kamu pernah merasakan rindu yang teramat dalam, rindu yang mampu menyiksamu sedemikian kejinya, hanya rindu memang, rindu memeluk hati yang lampau memberikan banyak kenangan, lalu harus berpisah dan aku dipaksa melupakannya, itu hal sulit, seberapa pun banyaknya orang menghinaku karena terlalu lemah dalam urusan hati, aku tak perduli.

Mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan, perubahan yang aku rasakan, dulu aku bebas menjamahmu, menarikmu dalam pelukanku, membuatmu tertawa dan aku menemukan puncak bahagia. Namun, apa sekarang ini? Aku hanya mampu melihatmu lewat ribuan foto yang kutempel di dinding kamar, atau melihatmu tersenyum dari balik kelopak mataku, hanya itu.

Tidak adakah satu hal pun yang mampu menahanmu untuk tidak meninggalkanku? Tidak adakah juga kenangan yang mampu membuatmu merindukanku? Berapakali kamu menatap bulan di tahun ini? Apa masih sama seringnya seperti dulu kita menatap dewi malam? Aku yakin, tidak! Jika kamu masih suka menatap bulan maka haruslah kamu merindukanku, merindukan ciuman pertama kita di bawah sinar bulan purnama.

Hey, apakabar kekasih barumu? Apa ia juga mengajakmu melihat bulan dari atas tebing sepertiku dulu? Kalau iya, berarti kekasihmu kurang kreatif, kalau iya, katakan padanya, aku jauh lebih baik dalam urusan memperlihatkan dewi malam kepadamu.

Berapa kali kamu sudah mengganti tambatan hati? Apa ada yang laki-laki yang bertahan selama aku? Terus menghiburmu bahkan di kala aku tidak mampu? Apa ada lelaki yang kuat mendengar celotehanmu saat kamu sedang tidak memiliki cukup mood baik? Kalau tidak aku sangat bangga sekali, bukan karena bangga kamu tidak bahagia dengan orang lain selain aku, bukan itu, pecayalah, aku sudah ikhlas kamu pergi dan bahagia bersama laki-laki lain. Aku bangga karena aku jelaslah yang paling tulus mencintaimu, buktinya hanya aku yang paling lama, iyakan? Itu pun jika benar, jika tidak, ya tidak apa-apa.

Bagaimana kabarmu sekarang? Apa ada laki-laki yang bertingkah konyol saat ulang tahunmu? Ya, yang bertingkah konyol sepertiku dulu. Lelaki yang hanya memberikan es krim saat ulang tahunmu, hanya itu.

Apa kamu masih mau mendengar keluh kesahku? Apa kamu juga masih mau membaca surat-suratku? Kalau kamu mau, jawablah satu saja surat-surat yang om gugle sampaikan padamu, mudah bukan? Kamu hanya perlu waktu sekitar dua puluh menit untuk membaca sekaligus menjawab pesan-pesan dariku.

Jangan bilang kalau di kotamu yang sekarang tidak ada sinyal? Kalau kamu bilang begitu, berarti kamu masih sama seperti dulu, pembohong yang bodoh.

Kalau kamu baru membaca surat ini setelah lubangku siap ditutup, tidak apa-apa, sungguh tidak apa-apa, terlambat bukan suatu hal yang berdosa bukan? Tapi aku hanya mau menginggatkan satu hal kepadamu.

Sampai seluruh indra-ku lumpuh, sampai vitalku pun gagal berfungsi, dan sampai mayatku ditimbun tanah kubur, aku masih tetap mencintaimu, itu suatu kebanggan untukku, mencintaimu sampai mati, terdengar bodoh tidak? Tidak apa-apa kalau terdengar bodoh, karena menurutku itu sangat keren, dan aku kurang perduli dengan anggapan orang lain.

Dan untuk terakhir kalinya, aku ingin mengingatkanmu. Jaga diri baik-baik, jangan suka menyepelekan hidungmu yang kerap kali mimisan, aku tidak mau kamu menyusulku terlalu cepat, kamu harus bahagia lebih lama lagi di dunia, dengan siapapun pembaharuku.

Selamat malam, siang, atau bahkan pagi.

Aku cinta kamu.

Rayan dan Fauzan (8)

images fr

  • Whot Happen???

 

Terkadang, kita harus nampar seseorang agar orang tersebut tahu kebenaran yang harusnya dia sadari dari dulu. kata-kata Helmi kemarin terus terngiang di dalam kepala Rayan.

Waktu dan Fauzan yang akan ngebuat lo sadar, apa yang seharusnya lo kejar dari dulu, Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini, Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini.  Rayan menangkupkan ke dua tangannya ketika suara Helmi bergaung kembali di dalam kepala Rayan.

Rayan menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir semua kata-kata dari Helmi yang sekarang tersugestikan ke dalam benak Rayan.

Rayan membakar rokoknya, mengembuskan asap rokok yang telah ia hisap dengan kasar.

Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini.

“Fraaak! Monyettt!!!” teriak Rayan sambil menekan keras-keras rokoknya ke lantai kamar.

Suara Daniel Powter memenuhi seisi kamar Rayan, ponselnya berdering mendendangkan lagu Bad day, secepat mungkin Rayan membalikan badannya menjadi posisi tengkurap lalu matanya menyisir tiap sudut kamarnya mencari keberadaan ponsel Rayan yang entah berada di mana sekarang ini.

“Tukk” bunyi benda kecil jatuh.

Rayan segera bangkit dan melihat ke bawah kasurnya, “Aduh, untuk nggak musnah nih hape” keluh Rayan sambil memungut ponselnya lalu menekan tombol hijau cepat-cepat tanpa melihat nama si penelepon.

“Ray, lo di rumahkan? Gue ke rumah lo yeh!” suara Fauzan terdengar lantang dari dalam ponsel Rayan.

“Iya, di mana lagi emang gue?” balas Rayan pura-pura malas menanggapi telepon dari Fauzan.

“Makanya punya pacar, minimal gebetan deh” kikik Fauzan di sebrang sana.

“Hidup lo kayaknya nggak bermutu banget yak sampe harus ngurusin hidup gue” balas Rayan yang kini terbakar emosi.

“Ha.. ha.. gue ke rumah lo yeh” ucap Fauzan, baru saja Rayan hendak berseru untuk mengatakan tidak namun sambungan telepon sudah terlebih dahulu diputuskan oleh Fauzan.

“Sialan, awas aja tuh bocah, gue aniaya deh pas sampe sini.” ancam Rayan sambil melempar asal ponselnya ke atas tempat tidur.

Guntur menggelegar, bintang yang sedari tadi menghiasi malam Sabtu yang bisa dilihat dari dalam kamar Rayan kini seperti tertelan malam. Rintik air hujan turun bersama para sahabatnya, semakin lama semakin banyak dan bersemangat, membuat beberapa air hujan menampiaskan diri melewati jendela kamar Rayan, buru-buru Rayan menutup jendelanya agar kamarnya tidak basah.

Seketika kebosanan menyergap, melihat suasana di luar yang hujan dan kamar yang sunyi, sejumput pemikiran tentang perasaan Rayan yang sekarang sangat ambigu kembali menguat, buru-buru Rayan berteriak, lebih tepatnya bernyanyi dengan volume keras padahal lagu yang Rayan nyanyikan tidak cocok dibawakan dengan cara berteriak-teriak.

“Aaaaaarhh… kampret, kampret, kampret!!!” Rayan membenamkan kepalanya ke bantal sambil menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tangan Rayan terus memukul-mukul tempat tidurnya untuk meredakan rasa kesal yang mendera hatinya.

Bayangan Fauzan sedang tersenyum sesekali berkelebat di hati dan fikiran Rayan, begitu menguasai Rayan sekarang ini, inikah rasanya jatuh cinta? Cinta yang salah, yang mampu membuat si penderita menyangkal mati-matian perasaan yang kian lama kian berkembang dengan perlahan namun lamat terasakan.

Rayan menutup mata dan mulutnya erat-erat berharap banyang Fauzan yang sedang tersenyum dengan amat menawan di dalam dirinya bisa hilang sekarang juga, namun bayangan itu tambah menguat dan makin membuat Rayan lemas, kenapa harus kepada Fauzan perasaan ini berkembang, karena Rayan tidak mampu menjauhi Fauzan hanya karena Rayan tidak ingin perasaan aneh ini terus menghampiri hati dan fikirannya.

Tarik nafas, embuskan, tarik nafas lagi, lalu kembali hembuskan.

Rayan berbaring terlentang mengatur nafasnya agar gejolak di hatinya sedikit mereda. Lagu Bad day kembali menggaung merdu, Rayan buru-buru mengangkat telepon yang berada tidak jauh dari jangkauan tangan kanannya

“Hallo, udah sampe mana?”

“Haah? Astaga, gue lupa, keluarga gue lagi pada pergi ke Cirebon, bentar” Rayan buru-buru bangkit dari tidurnya, menarik tuas pintunya dengan amat kasar lalu berlari tunggang langgang melewati ruang keluarga, kilat berkelebat di luar sana membuat kekhawatiran Rayan semakin memuncak, bunyi gemuruh menyusul ketika cahaya kilat mulai padam.

“Zan!” Rayan berteriak agak keras ketika knop pintu rumahnya ia tarik, pintu terjerebak terbuka, Fauzan sedang memeluk tubuhnya sendiri sambil menggigil.

“Masuk!!!”perintah Rayan sambil menarik tubuh Fauzan yang hampir kaku dan terus menggigil.

“Dasar bego, kenapa nggak neduh? Dan kok lo bisa bawa motor sih? Bukannya elo nggak bisa naik motor ya?” tanya Rayan yang kesal bercampur panik.

Rayan menyentak pintu kamarnya dengan satu hentakan, ketika terbuka Rayan bergerak ke belakang pintu kamarnya menarik sebuah handuk lalu menyelimuti Fauzan dengan cepat.

“Lepas bajunya!” perintah Rayan lagi, nada kesal masih sangat kentara dari suara Rayan.

Fauzan bergeming, membuat Rayan tambah panik dan emosi, bagian-bagian tubuh Fauzan mulai memerah dan sedikit bengkak, “Zan, buka bajunya!” Rayan tidak sabar menunggu Fauzan membuka bajunya sendiri, Rayan menarik kaus yang Fauzan pakai, Rayan tidak habis fikir kenapa Fauzan datang ke rumahnya menggunakan motor dan tidak memakai jaket, lalu kenapa saat hujan turun Fauzan tidak berteduh padahal Fauzan sangat alergi dingin dan Rayan tahu betul Fauzan sadar hal itu, lalu kenapa Fauzan bertindak amat bodoh seperti sekarang ini, Rayan marah bukan karena merasa direpotkan namun karena sebagian dalam dirinya hilang kendali disebabkan kekhawatiran yang menguat tiba-tiba.

Rayan menarik nafas dalam-dalam saat hendak membuka celana dalam Fauzan, ada suara dari dalam diri Rayan yang menyerukan agar jangan membuka celana dalam Fauzan, tapi ada juga sisi dari dalam diri Rayan yang memaksa Rayan untuk membuka celana dalam Fauzan. Rasa penasaran dan—entah—kekhawatiran menyergap Rayan, jakun Rayan bergerak saat ia menelan ludahnya sendiri, saat ini momen terasa melampaui kata awkward, mencekam lebih pas disematkan ke momen yang terjadi saat ini.

“Biar gue buka sen-di-ri” kata Fauzan sambil menutupi bagian tengah tubuhnya dengan handuk. Rayan mengangguk lalu berjalan cepat ke arah lemari di dekat jendela, Rayan mengehela nafas lega karena Fauzan bertindak di saat yang tepat, di saat Rayan merasa sangat tidak mengerti dirinya sendiri. Rayan menarik jaket abu-abu yang sangat tebal yang pernah dibeli kakak ke duanya saat bertugas di Hongkong saat musim dingin, lalu menarik celana pendek dan celana training birunya, setelah menutup pintu lemari Rayan melemparkan pakaian-pakaian yang ia ambil dari dalam lemari ke atas tempat tidur, entah mengapa Rayan merasa sungkan untuk berbalik menatap tubuh Fauzan yang mungkin masih telanjang saat ini.

“Pakai tuh cepet” perintah Rayan.

Rayan mengacak-acak meja belajar mencari sesuatu yang daritadi belum ia temukan, “Udah belum pakai bajunya?” tanya Rayan yang masih sibuk mencari sesuatu. “Ketemu!” seru Rayan dengan suara pelan.

Rayan merasakan Fauzan mengangguk di belakang tubuhnya, sesegera mungkin Rayan membalik badan dan menghampiri Fauzan. Fauzan masih berekspresi kedinginan, seperti baru saja diselamatkan dari dalam bongkahan es di Antartika.

“Duduk,” perintah Rayan sambil mendorong pelan bahu Fauzan agar tubuh Fauzan duduk di tepi tempat tidur Rayan. Dengan cekatan Rayan memeperkan minyak angin ke leher dan telungkuk Fauzan, lalu ke telapak dan punggung tangan Fauzan, Rayan menarik kaus di balik jaket yang Fauzan kenakan, “Ngapain” protes Fauzan sambil menahan tangan Rayan yang sudah dibasahi oleh minyak angin. Rayan menatap Fauzan dengan pandangan jengkel lalu menelusupkan tangannya ke balik kaus yang Fauzan kenakan, ketika kulit telapak tangan Rayan bersentuhan dengan tubuh Fauzan sesuatu yang keras dan terasa dingin menghantam hatinya dengan cepat, membuat tangan Rayan bergerak kaku di balik kaus yang Fauzan kenakan, buru-buru Rayan memeperkan minyak angin ke tubuh Fauzan.

“Nih, lo bisa—“ Rayan tercekat, ucapan Helmi seperti terbukti sepenuhnya.

Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini.

Fauzan menatap Rayan dengan padangan yang—sangat—penuh dengan cinta, pandangan yang sangat teduh, tatapan paling sendu yang pernah Rayan terima dari seseorang, tidak perduli apa warna mata Fauzan, tatapan Fauzan kali ini benar-benar menohok, membeberkan sebuah fakta yang mati-matian Rayan sangkal. Fakta di mana Rayan merasa ia mencintai sahabatnya sendiri dan itu berlaku pula kepada Fauzan, cerita klasik di mana keakraban dua insan menguat dan pecah menjadi cinta.

“Lo bisa pakai ini sendirikan, gue mau buat teh dulu” Rayan memberikan  botol minyak angin kepada Fauzan, belum Fauzan menggapai botol yang Rayan berikan namun Rayan telah melepaskan genggamannya terhadap botol tersebut membuat botol tersebut terjatuh di antara kaki mereka, tapi Rayan tidak lagi peduli kepada botol yang jatuh tersebut, menghilang dari hadapan Fauzan saat ini jauh lebih ia butuhkan.

Saat Rayan berhasil memutar knop pintu dengan lancang otak Rayan memerintahkan kepala Rayan utnuk menoleh ke arah Fauzan.

SNAP.

Pandangan mereka bertabrakan, tatapan yang paling Rayan takutkan dari Fauzan kembali ia lihat, tatapan paling sendu yang membuat hatinya serasa lumpuh seketika dari kedenialan yang selalu Rayan pertahankan, dalam hati Rayan mengutuk dirinya sendiri kenapa harus menoleh ke arah Fauzan saat hendak keluar kamar dan kembali merasakan perasaan yang Rayan anggap gila ini. Saat Rayan melangkahkan kakinya dengan amat cepat dan terburu-buru ke arah dapur ia berharap saat kembali ke dalam kamarnya Fauzan sudah tidak berada di sana dan semua kejadian tadi hanyalah mimpi belaka.

“Anjriiit, puanas!” seru Rayan sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang sengaja ia celupkan ke gelas berisi air panas untuk membuktikan kejadian ini mimpi atau nyata.

Kilat kembali berkelebat, gaungan guntur dengan amat digjaya berkuasa di luar rumah, Rayan tahu, mau tidak mau Fauzan pasti akan menginap di rumahnya saat ini, apalagi besok hari Sabtu, hari di mana hanya ada ekstrakulikuler saja, jadi makruh hukumnya jika hadir atau tidak besok hari, dan di dalam rumah ini hanya ada mereka berdua, cuaca sangat menggoda dan Fauzan kedinginan.

“Setan!” Fauzan menggelengkan kepalanya, mengusir fikiran aneh yang tadi sempat menguasainya, emangnya apa yang bakalan terjadi kalau gue dan Fauzan tidur berduaan doang di rumah pas cuaca ujan kayak gini? Batin Rayan mencoba menyangkal ribuan fikiran buruk yang siap menguasainya di kala Rayan lengah.

SEX?

 Rayan buru-buru menarik nafas seraya menarik diri dari pemikiran gilanya, Rayan segera memegang cangkir berisikan teh hijau panas untuk Fauzan dan dirinya. Saat sampai di depan pintu kamarnya pemikiran itu kembali lolos dari kendali Rayan dan berkelebat di pikirannya. SEX?

Rayan masuk ke dalam kamar setelah berhasil mengalahkan fikiran ngacok yang amat mesum, memangnya udah nggak ada cewek yang bisa gue pakek apa sampe-sampe kepikiran begituan sama si Ojan, najis banget nih otak! umpat Rayan kepada dirinya sendiri.

“Minum nih, habisin, abis itu tidur!” Fauzan dengan patuh meraih cangkir yang Rayan berikan lalu meniup-niup cangkir  teh yang mengepulkan asap dan menyeruputnya pelan-pelan. Rayan duduk di depan jendela yang tertutup memunggungi Fauzan lalu kembali menyulut rokoknya saat cuaca hujan, minuman hangat ditambah rokok adalah hal yang ruar biasa menyenangkan sekaligus menenangkan bagi Rayan.

Batang rokok ke empat sekaligus batang rokok terakhir yang tersisa itu Rayan tekan ke dalam asbak, setelah itu Rayan menenggak habis teh yang kadar panasnya setakaran bayi dengan cepat.

Rayan melihat Fauzan sudah tertidur menghadap ke arahnya, Rayan mengehela nafasnya sebentar, bersyukur karena Faauzan sudah tertidur jadi ia tidak perlu berbicara basa-basi kepada Fauzan karena memang Rayan tidak tahu apa yang harus mereka bicarakan jika Fauzan masih terjaga.

Rayan mengambil posisi tidur dengan badan dan wajah mengarah ke punggung Fauzan bukan karena Rayan hendak dekat-dekat dengan Fauzan tapi karena Rayan sudah sangat terbiasa tidur dengan posisi menghadap dan seperti ini, lagi pula Fauzan sudah tidur dan tidak ada lagi yang perlu Rayan khawatirkan.

Tubuh Fauzan bergerak hingga mereka sekarang berhadapan, Rayan terlambat menyadari hingga ia tercekat oleh keadaan. Fauzan membuka mata dan bibirnya bersamaan, “Ray, makasih buat semuanya.”

Rayan langsung mengambil posisi terlentang dan menahan nafasnya lamat-lamat berharap degub jantungnya saat ini tidak sampai dirasakan oleh Fauzan.

Bener-bener Bad day!

 

***

Rayan terbangun ketika merasakan seseorang beraktifitas di dalam kamarnya, saat Rayan terbangun Fauzan sudah tidak tidur di sampingnya, di luar masih hujan, sepertinya hujan sangat suka turun di—kota yang katanya—beriman ini.

“Ray, nyokap lo sama abang-abang lo pada ke mana? Gue baru sadar di rumah ini ternyata cuma kita berdua doang ya?” tanya Fauzan sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Emang iya” jawab Rayan. Indra penciumannya baru mengendus aroma nikmat nasi goreng yang menguar amat menggiur dari piring yang Fauzan pegang.

“Nasi goreng darimana tuh?” tanya Rayan seketika, cacing-cacing di perut Rayan seperti ikut menyadari adanya makanan di hadapan Rayan.

“Gue bikin sendiri, abisnya gue laper, masih ada tuh di dapur, oh iya Ray, gue udah masakin air panas, baru aja, sana kalo lo mau pake buat mandi” ucap Fauzan lalu kembali sibuk dengan acara menyantap nasi goreng buatannya sendiri.

“Kok lo nggak sekalian ngebawaain nasgor gue ke sini sih?” protes Rayan.

“Lo kan tidur Ray, pules banget,” kata Fauzan yang sudah lebih dari cukup menjadi alasan kenapa Fauzan tidak membangunkan Rayan untuk makan bersama.

Tanpa basa-basi lagi Rayan langsung meninggalkan Fauzan sendiriian di kamarnya, selesai menggosok gigi Rayan langsung menyantap nasi goreng yang Fauzan buat untuknya.

Not badkan Ray?” tanya Fauzan yang sudah selesai dengan nasi gorengnya.

Rayan hanya mengangguk, mulutnya penuh dengan nasi goreng dan tidak memungkinkan untuk menjawab pertanyaan dari Fauzan. “Enak buanget! Lo pakai ikan teri yak? Terus pakai abon?” tanya Rayan setelah menelan dan menghabiskan nasi gorengnya dengan instan.

Fauzan hanya mengangguk untuk meng-iyakan pertanyaan Rayan, “Nyokap gue bakalan ngomelin lo karena lo pakai bahan masakannya kebanyakan” kata Rayan menakuti. “Gue ganti nanti, cuman ikan teri sama abon doang!” balas Fauzan kepada Rayan.

“Okey, gue nggak akan ngelaporin ini ke nyokap gue, asal syaratnya lo cuciin piring gue ini” Rayan tersenyum menang ke arah Fauzan. “GEMBEL, PEMALAS!!!” teriak Fauzan ketika Rayan menaruh piring kotornya di atas piring kotor Fauzan dan lari ke arah kamar mandi sambil membawa air panas yang masih di dalam panci.

***

Fauzan tertawa terpingkal-pingkal di atas kasur Rayan, “Lo ngacok, lebay sumpah, emang lo mau ke pesta perpisahan sekolah apa segala pake Flanel dan dandan sok WAH gimana gitu? Belagak borju banget sih lo Ray,” ejek Fauzan yang masih terbalut tawa.

Semilir angin dingin mengantar senja ke ufuk barat, diiringi sinar matahari yang kian laun kian lengser.

“Kan gue mau ngehadirin pesta ulang tahun sahabat gue Zan, jadi gue kudu total”

“ALAY! LO KE ALAYAN, hahaha, total apanya, norak iya tau nggak!” cerca Fauzan yang masih geli. Fauzan duduk di atas kasur Rayan lalu mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Acara ulang tahunya itu sederhanakan? Kita nggak akan pijakin kaki di gedung mewah dengan musik yang di remix DJ Ray, pakek kaos juga udah pas, ngapain segala dandan ribet-ribet, emang dasar alay!” cerocor Fauzan.

“Ah lo bawel banget Zan, iya ini juga gue bakalan pakek kaos!” Rayan  membela diri. Karena sudah terlalu kesal mendengar cercaan Fauzan.

“Mau dandan sekeren apapun teteup aja jom-blo, blo-blo-blo” ejek Fauzan dengan nada yang kembali geli.

“Bawel loh!!!” Rayan melempar buku paket ke arah Fauzan yang sekarang pun masih tertawa geli.

Fauzan menarik jaket yang diletakan di meja belajar Rayan, mereka akan berangkat ke rumah Adi menggunakan motor Rayan, karena tadi siang Fauzan sudah pulang ke rumahnya lalu izin pergi lagi kepada orang tuanya untuk menghadiri pesta ulang tahun Adi yang akan diselenggarakan malam ini.

“Brukkk!!”

“Rayan!!! Dasar homo lo ye—“

Rayan membekap mulut Fauzan, tanpa sengaja tadi Rayan membalikan badannya karena ia ingat belum membawa kunci motor yang tertinggal di kamarnya, saat berbalik badan Fauzan tepat di belakang Rayan, badan mereka berbenturan dan tanpa sengaja bibir Rayan menempel di hidung Fauzan.

“Berisik Zan, gue nggak segaja lagian” kata Rayan sambil terus menahan tubuh Fauzan yang terus meronta-ronta minta dilepaskan.

Fauzan berhenti meronta, dan Rayan pun melepaskan cengkramannya. “Najong banget sih lo cium-cium gue, muka ganteng gue busuk deh nih!” keluh Fauzan.

“Sssssttttt, lo biasa hidup di hutan ya, mulut lo itu berisik banget, orang gue nggak segaja, lagian juga lo demen gue cium”

“RAYAN!!” Fauzan berteriak kesal ketika Rayan mencium pipi Fauzan lalu lari ke dalam kamar.

Fauzan masih tidak berhenti bersungut-sungut sampai Rayan kembali dari kamarnya setelah mengambil kunci motor yang tertinggal, “Lebay lo lebay, alay lo alay!” cibir Rayan sambil berjalan mendekat ke arah Fauzan yang duduk di atas motor Rayan dengan ekspresi penuh lipatan di wajahnya.

“Lo tuh yang sakit, ciam cium gue sembarangan, makanya jangan kelamaan jomblo Ray”

“Bawel! Udah ayo berangkat, nih bawa motornya” Rayan melemparkan kunci motornya ke dada Fauzan.

“Nggak mau” cepat-cepat Fauzan mengembalikan kunci motor Rayan.

“Kenapa? Lo kan udah bisa bawa motor?”

“Pokoknya gue nggak mau bawa motor apalagi lo yang gue bonceng, tar lo pelak-peluk badan gue, ntar gue dilecehin lagi, pokoknya gue ogah, lagi lemes nih!”Fauzan menggelengkan kepalanya dengan amat tegas.

“Yaudah, gue yang bawa tapi lo peluk gue ya” goda Rayan, entah mengapa Rayan sangat suka melihat ekspresi marah dari Fauzan dan anehnya Rayan tidak pernah merasa denial saat ia dan Fauzan saling bersenda gurau, mereka terlalu sibuk dengan kebahagiaan yang mereka ciptakan sendiri sampai melupakan apa-apa saja yang sedang dialami.

“NAJISS!!!”

***

Rayan masih saja kikuk dengan pandangan Adi kepadanya, padahal Adi hanya tersenyum manis saat Fauzan dan Rayan mengucapkan selamat ulang tahun kepada Adi, namun entah mengapa Rayan selalu mengartikan pandangan Adi adalah suatu ekspresi Adi yang mencurigai Rayan mempunyai sesuatu yang terus Rayan sembunyikan dari Fauzan.

Rayan mulai memahami apa yang ia rasakan, selalu paranoid terhadap pandangan Adi yang  notabene Rayan anggap seorang gay, adalah bukti nyata bahwa Rayan sangat takut diketahui bahwa perasaanya kepada Fauzan mengalami sebuah kesalahan.

“Makasih ya, kalian udah mau dateng berdua” kata Adi di sela-sela lamunan Rayan. Rayan tidak lagi memperhatikan sekeliling apalagi menikmati suasana yang Adi ciptakan seakrab mungkin untuk para tamu undangan pesta ulang tahunnya.

“Ray,” Helmi menghampiri Rayan dengan sebotol Anggur di tangan kirinya.

“Eh, kenapa Hel?” jawab Rayan kikuk.

“Rilekslah Ray, acara ini Adi buat bukan buat kita tegang lho” Helmi menuangkan Anggur ke gelas Rayan lalu ke gelasnya dan Helmi mulai menyeruput Anggurnya tanpa mengajak Rayan minum bersama.

Rayan hanya mengangguk bodoh, entah mengapa Rayan ingin sekali Fauzan muncul di antara ia dan Helmi sekarang ini, Rayan benar-benar takut hanya berdua saja dengan Helmi di pojok dekat Saung pelataran belakang rumah Adi ini, Rayan takut bukan karena Helmi ini adalah seorang gay atau apalah, tapi Rayan takut dengan apa yang akan Helmi katakan kepadanya soal perasaan Rayan kepada Fauzan, Rayan benar-benar takut dengan kejadian dua hari lalu, takut kepada perkataan Helmi yang tidak berhenti menghantuinya bahkan sampai detik ini.

“Tumben banget lo nggak suka minum?” tanya Helmi sambil terkekeh, Helmi menenggak habis Anggur dalam gelasnya lalu menuangkan lagi Anggur dari dalam botol ke gelasnya kembali.

Rayan buru-buru menenggak Anggur di dalam gelasnya tersebut, saat Anggur itu melewati kerongkongannya rasa hangat dan sebuah efek nikmat yang tidak bisa dijelaskan serasa mengalir ketiap-tiap sudut tubuhnya. Mengundang Rayan untuk menenggak habis Anggur yang tersisa di dalam gelasnya tersebut.

“Kalian di sini? Gue cariin ke depan dan ke warung kalian nggak ada, gue kira kalian lagi beli rokok” suara Adi terdengar dari belakang tubuh Rayan.

“Yang lain pada ke mana?” tanya Helmi.

“Udah pulang semua, tinggal kita berempat nih” sahut Adi, sontak rasa khawatir menguasai Rayan kembali, ingin rasanya menarik Fauzan yang masih sibuk dengan ponselnya di samping Adi untuk segera meninggalkan tempat ini.

“Anjis, batre gue low lagi!” keluh Fauzan sambil duduk di samping Rayan.

“Minum Zan,” Helmi menawarkan gelas berisi Anggur kepada Fauzan.

“Pihh, apaan nih? AM yeh?” tanya Fauzan sambil meletakan gelas tersebut ke atas meja, Fauzan  tidak henti-henti meludah untuk menghilangkan rasa minuman tersebut dari indra pengecapnya.

“Muterlah Zan, Rayan ama Adi aja minum masa lo nggak sih” bujuk Helmi. Fauzan langsung menggelengkan kepalanya dengan mantap.

“Cobain aja Zan, rasanya nggak buruk-buruk amat kok, enak lagi, buat badan hangat” tambah Adi.

“Nggak ah!” tolak Fauzan langsung.

“Anak manja kayak Fauzan mana mau minum beginian, udah abisin aja bertiga” ucap Rayan sambil menuangkan lagi Anggur ke gelasnya lalu cepat-cepat Rayan tenggak.

Asap rokok mengepul di sekeliling mereka, Fauzan terus menerus menolak tawaran teman-temannya untuk mencicipi Anggur yang Helmi beli sebanyak tiga botol. Walau Fauzan tidak bisa menampik fakta pada dirinya bahwa ia juga penasaran dengan minuman yang membuat tiga sahabatnya itu terlihat amat nyaman.

“Terkadang kita harus tahu rasanya sebelum kita men-judge hal tersebut tidak baik, nggak semua yang dipikir tidak baik selalu berakibat buruk Zan” ucap Adi yang sudah terlihat sangat nyaman saat ini.

“Gue nggak akan buat lo kenapa-napa Zan, gue nggak akan ngasih apapun yang mengandung racun ke temen gue sendiri” timpal Helmi.

Tangan Fauzan mulai menggenggam gelas berisikan Anggur tersebut,  bagaimanapun Fauzan tetaplah lelaki muda yang rasa penasaran dalam dirinya meraung-raung minta dituntaskan.

Rayan hanya mengangguk ketika Fauzan meminta pendapat Rayan melalui pandangannya, membuat Fauzan sedikit berani untuk benar-benar meminum Anggur tersebut.

“Not bad?” tanya Helmi ketika Fauzan sudah menghabiskan minuman yang dituang ke dalam gelasnya dalam jumlah yang sedikit.

Fauzan mengerenyit sambil mengangguk, rasa dari minuman tersebut saat melewati kerongkongan Fauzan memang tidak buruk malah bisa dibilang segar bercampur hangat, walau minuman tersebut dingin, rasa nyaman memenuhi perut Fauzan lalu menjalar ke dada Fauzan setelah itu menyebar keseluruh tubuh Fauzan, mengundang Fauzan untuk mencicipi minuman tersebut lebih banyak lagi.

Fauzan memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa berdenyut-denyut tidak nyaman, entak berapa gelas sudah ia habiskan setelah gelas pertama ia tenggak. “Lagi Zan,” tawar Helmi. Fauzan menggeleng pelan, kepalanya terasa amat berat, walau tubuhnya sekarag ini terasa nyaman dan hangat.

“Dikit lagi abis nih, tanggung ah!” tambah Helmi lagi. Fauzan mengangkat tangannya menjawab dengan tegas tawaran Helmi.

“Nggak, thanks” Fauzan membetulkan posisi duduknya yang membuat tulang belakangnya terasa keram.

“Udah jam setengah dua aja ya, cepet banget” kata Adi yang matanya sudah memerah dan berair.

“Balik yuk Ray,” pinta Fauzan.

“Kalian nggak nginep aja?” tanya Adi sambil mengunyah kacang.

“Eh, enggak, kita balik aja, makasih ya buat makan dan minumnya” tolak Rayan sambil menarik Fauzan agar berdiri.

“Yaudah hati-hati deh kalo gitu” ucap Helmi sambil merangkul Adi.

Sesaat pandangan Rayan dan Helmi bertabrakan, Rayan melihat betul Helmi mengedipkan sebelah matanya kepada Rayan, entah maksud dari kedipan Helmi itu apa, kepalanya sudah memberat dan hal-hal kecil tidak lagi Rayan gubris dengan serius.

“Ray, lo bisa bawa motornya? Nggak jatohkan?” tanya Fauzan yang sudah menyandarikan dahinya ke punggung lebar Rayan saat ia sudah dalam posisi dibonceng Rayan.

“Asal lo nggak goyang-goyang, gue jamin lo sampe rumah gue nggak akan lecet sama sekali” kata Rayan meyakinkan Fauzan.

“Anterin gue balik Ray!” pinta Fauzan.

“Ogah, rumah lo jauh banget dari sini tauk!” sahut Rayan sambil melajukan motornya.

Fauzan merebahkan tubuhnya ke kursi tamu di teras rumah Rayan. Rayan menghampiri Fauzan setelah memarkirkan motornya ke dalam garasi rumahnya dengan tergopoh-gopoh. “Masuk, lo mau molor di luar apa?” tanya Rayan dengan nada tidak karuan.

“Bentar Ray, kepala gue berat banget nih, nyesel gue minum banyak-banyak” jawab Fauzan sambil berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa amat berat, seperti ada sebuah batu yang tersimpan di balik kerangka kepala Fauzan.

Rayan mencengkram pintu rumahnya lalu menarik tubuh Fauzan yang sudah terduduk di kursi tamu agar ikut berdiri bersama dirinya.

Fauzan menurut, setelah mengunci pintu rumah Rayan dan Fauzan berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah kamar, Fauzan terus menyandarkan dagunya ke bahu Rayan, Fauzan terus menggelendoti tubuh kekar Rayan agar tidak terjatuh, efek minuman tersebut sudah sangat bekerja sekarang membuat si empu perlahan-lahan kehilangan kontrol dari tubuh mereka sendiri.

Clak!

Rayan berhasil mengunci pintu kamarnya, Fauzan berusaha menyusul Rayan yang berada di dekat tempat tidur dengan posisi memunggungi Fauzan karena sedang melepas kaus yang Rayan pakai, entah mengapa tubuh mereka serasa amat panas terbakar cairan yang kini telah tersebar ketiap-tiap inci pembuluh darah mereka masing-masing.

Fauzan hendak menyusul Rayan ke dekat tempat tidur, namun bukan hendak mengganti baju seperti yang Rayan akan lakukan, karena Fauzan tidak lagi berminat melakukan kegiatan apapun sekarang ini kecuali merebahkan diri ke kasur Rayan yang terlihat amat mengundang.

Clak!

Fauzan berjelan sempoyongan sesudah memadamkan lampu kamar Rayan, cahaya satu-satunya yang menyinari kamar Rayan yang hampir bisa dibilang gulita ini adalah cahaya bulan yang berhasil meloloskan diri dari luar jendela sana.

Bugk!

Fauzan tersandung karpet kamar Rayan, membuatnya tubuh Fauzan terpelanting ke depan lalu menimpa tubuh telanjang Rayan, membuat mereka berdua terjerembab ke atas kasaur Rayan yang nyaman.

Nafas mereka seperti saling bersatu, jantung mereka saling berdegup kencang seperti sedang melakukan perlombaan. Mereka mampu merasakan deguban jantung satu sama lainnya.

Bibir Fauzan bergerak, berniat memprotes Rayan, tapi bibir Fauzan malah menyentuh pipi Rayan, membuat desiran di antara mereka menguat, menegang sampai keubun-ubung, menggelitik tiap jengkal tubuh mereka, ditambah desauan nafas mereka yang menyatu dengan amat bernafsu seperti reptil yang sedang memasuki musim kawin.

Rayan menggeser kepalanya, membuat bongkahan bibir mereka saling merasakan kekenyalan dan kehangatan masing-masing. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, pegutan penuh cinta di mulai di malam yang dingin namun dengan tubuh yang panas.

***

Halo—–
Kalian pasti kangen gue kan? PASTI!
Oh jangan bilang nggak, gue tahu kok kalian pasti kangen berat bahkan udah kecanduan banget sama gue ini –alay–hahaha…
Ini cerita ini sebenernya udah gue tulis sebelum gue bilang mau pending sih, karena gue nggak tegaan, maklum gue manusia tersuci yang tuhan ciptakan di muka bumi ini sih, jadi gue update deh sekarang, bilang apa hayooo anak-anaka? Apa? Ya! Sama-sama deh kalo gitu….
Gue siap-siap dinyinyir sama si –uhuk- mister denial yang pasti nanti akan baca cerita gue ini, sekarang sih boleh lagi ngambek tapi nanti juga baik sendiri dan saat dia dah sadar bahwa dia itu bener-bener seorang biseksual like meh, dia pasti baca chapt 8 ini, dan eng ing eng, pasti dia bakalan cibir dan sedikit ketawa karena part ini, kita banget yeeeeeeh. Hahaha…
Lha ngapa curhat sih?
Udahlah mendingan kalian komen, pasti udah baca dong, oh iya, kalo yang komen nggak lebih banyak dari chapter tujuh!!! Gue bakalan males-males update nya nanti setelah selesai ngerjain projek Omnibuss bareng Rendeh sama Titit slash Tito.
Gue serius lho!! *ketularan Onew sama Rendeh*
BYE!!!
@irfandi_rahman

Rayan dan Fauzan (7)

 

  • Denial

 

Bel istirahat berdering, Rayan berhasil menyelesaikan soal ulangan Matematika nya.  Rayan memejamkan matanya sebentar, menarik nafasnya dalam-dalam berharap rasa penat sehabis memecahkan angka-angka dewa di selembar kertas ulangannya tadi tidak membuat moodnya memburuk.

“Lo bengong mulu Ray belakangan ini” suara Syifa terdengar di telinga Rayan, suara yang dulu selalu Rayan ingin dengar.

“Hah? Iya nih lagi mikirin utang panci nyokap gue,” celetuk Rayan asal.

“Nyebelin banget sih” protes Syifa.

“SAKIT” teriak Rayan tertahan.

Rayan mengusap-usap kepala belakangnya yang tadi dijenggut oleh Syifa, rasa nyeri semakin membuat kepala Rayan serasa berat dan seluruh semangatnya untuk mengikuti ulangan sehabis istirahat nanti serasa runtuh seketika, yang Rayan inginkan sekarang ini hanyalah  merebahkan diri di tempat yang nyaman lalu terpejam.

“Abisnya! Lo bisa nggak sih serius!” protes Syifa lagi, Rayan sedikit heran kenapa Syifa bisa duduk di sebelahnya padahal Widi—anak berkacamata—adik kelas Rayan yang duduk sebangku dengannya saat Midsmester ini tadi masih duduk di sebelah kanan bangku Rayan, kalaupun Widi pergi, Rayan pastilah harus berdiri supaya Widi bisa keluar dari meja mereka dengan mudah, tapi?

“SAKIT!!!” teriak Rayan tertahan lagi  sambil menepis jemari Syifa di pipinya.

“Tuh, padahal gue lagi ngajak lo ngobrol, lo malah bengong!” runtuk Syifa.

Rayan mengusap-usap pipinya, tanpa sadar Rayan menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Entah kenapa Rayan merasakan hal yang biasa saja, tidak ada lagi rasa yang meledak-ledak tiap cewek imut di samping Rayan sekarang ini menghampirinya, tidak ada lagi pemikiran Rayan yang selalu ngoyo membuat Syifa tertawa tiap cewek berbibir mungil ini berada di sisinya. Yang Rayan rasa sekarang hanyalah ia sedikit kesal kepada Syifa yang sedang mengrecokinya.

“Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo selalu ngelamun tiap ada kesempatan Ray, kenapa sih?” tanya Syifa lagi yang belum terpuaskan rasa penasarannya.

“Kesempatan apaan? Tindak kejahatan kali ah, dilakuin tiap ada kesempatan” balas Rayan sangat asal. Matanya menatap kosong punggung bangku di depan meja Rayan, fikiran Rayan tidak sedang berada di tempat, Rayan sedang memikirklan beberapa hal yang Rayan sendiri tidak mengetahui hal apa yang sedang ia fikirkan, yang ia tahu ialah, ia merasa sangat salah, sangat bodoh dan sangat membenci dirinya sendiri.

“Aduh!” keluh Rayan lagi ketika daun telinganya ditarik Syifa.

“Bisa nggak sih nggak kejam jadi cewek!” umpat Rayan tidak benar-benar sebal.

Rayan membereskan benda-benda miliknya dari atas meja ke dalam tasnya dengan cara asal, walau banyak hal yang berkecamuk di dalam benaknya, rasa resah itu masih kalah dominan dengan derita di perut Rayan yang belum diisinya dari kemarin malam.

“Abisnya, gue perhatiin lo kayak orang  sakit, atau lo lagi jatuh cinta? Atau, hmmm… lo! Astaga, Ray lo bukan pemakai—kan?” kata-kata terakhir dari kalimat Syifa barusan diperkecil di bagian pemakai nya, takut-takut orang yang mendengar ucapan Syifa salah paham.

Rayan mendesah panjang, reflek ia memegang wajah Syifa dengan ke dua tangannya, menatap mata Syifa lekat-lekat, ada getaran yang kembali menguat, sangat wajar, karena bagaimanapun Syifa adalah cewek yang pernah Rayan sukai. Namun cepat-cepat Rayan menguasai dirinya sendiri, menjaga hantinya agar tidak jatuh lagi oleh pesona Syifa.

“Gue nggak keliatan sebagai pemakaikan?  Gue Cuma mumet abis ngerjain angka-angka begituan, ngebul tau nggak!” jelas Rayan. Buru-buru Rayan berdiri dan pergi dari tempat duduknya, takut-takut kejadian tadi membuat hatinya terbawa suasana dan kembali jatuh hati kepada Syifa.

“Lo mau ke kantin bareng gue nggak?” ajak Rayan.

Kini Syifa yang tersentak atas pertanyaan Rayan, Syifa hanya mengangguk seperti orang bodoh, wajahnya bersemu merah entah kenapa, padahal Rayan tidak sedang menebak warna Tank-top yang dipakai Syifa.

“Syifa! Rayan” panggil Angel dengan nada amat ceria, Fauzan berdiri di samping Angel dengan wajah datar. Rambut Spike Fauzan yang sudah agak panjang itu terjuntai dan ikal-ikal rambutnya sedikit bergoyang akibat tertiup angin, dan entah kenapa Rayan amat gembira melihat Fauzan sekarang ini, serasa adanya Fauzan membuat moodnya kembali baik dan amat bersemangat.

Fauzan membasahi bibirnya dengan amat kaku ketika Angel menariknya untuk menghampiri Rayan dan Syifa. Sejenak Rayan tersadar, ia langsung menoleh ke arah Syifa yang wajahnya sedikit memerah. Bangke nih si Angel, bener-bener nih kudu dikerjain. Batin Rayan murka.

“Makan bareng yuk, ibaratkan aja kita lagi double date or lunch with patners,” kata Angel dengan nada penuh dengan hinaan, karena Angel mengetahui tentang Syifa dan Rayan, tentang perasaan mereka.

“Ayo” ucap Syifa bersemangat, walau ada sedikit nada getir yang bisa ditangkap dari seruannya tadi. Syifa menggenggam tangan Rayan erat, membuat Rayan tersentak heran, karena Syifa bertindak bodoh, meng-iyakan ajakan Angel ini adalah tindakan bodoh yang mampu melukai hati mereka, pikir Rayan masygul.

“Kalian kapan jadiannya?” tanya Angel setelah mencari meja kosong untuk mereka berempat.

Syifa menginjak kaki Rayan cepat-cepat, namun Rayan terlalu dungu untuk diajak bersekongkol. Rayan malah bereaksi seakan-akan habis tenggelam. “Gue mau nasi goreng tapi nggak pedes ya, minumnya es jeruk aja kayak biasa” pesan Rayan kepada si penjaga kantin muda yang membawa menu makanan.

“Gue juga nasi goreng deh, pedes pakek banget” pesan Rayan, alih-alih menghindar dari pertanyaan Angel, Rayan dan Syifa malah terjebak momen awkward, Fauzan pun tidak mampu menolong banyak saat ini, Fauzan lebih memilih diam ketimbang bereaksi.

“Kita nge-date bareng yuk kapan-kapan, kali aja pulang dari nge-date kalian bisa jadian” sindir Angel ketika mereka selesai menghabiskan makanan mereka.

“Nggak usah repot-repot Ngel buat jadi mak comblang gue sama Rayan, takut-takut kalo lo terlalu sibuk nyomblangin kita, Fauzan malah ilfil sama lo, dan gue nggak mau ngeliat Angel si putri sekolah, PATAHATI” ucap Syifa jelas dan sangat menusuk.

Angel langsung ingin bereaksi, “Kita udahankan makannya? Gue mau remedial nih, duluan ya!” ucap Fauzan dingin entah mengapa. Dan sesaat kemudian Rayan menyadari bahwa yang tadi Fauzan ungkapkan hanya alasan, karena selama ini yang Rayan tahu Fauzan tidak pernah mendapatkan nilai jeblok di tiap ulangan dan pelajarannya, jadi Rayan menyimpulkan bahwa Fauzan hanya menghindari pertengkaran dingin antara Angel, Rayan, Syifa dan yang mungkin akan melibatkan Fauzan.

Kini hanya tersisa tiga pasang mata yang saling berperang pandang, “Kalian mendingan jauhin cowok gue deh, kalian bad influance, ngertilah” kata Angel sambil berdiri dan membenarkan tatanan rambutnya.

Rayan dan Syifa hanya terkekeh pelan, tindakan yang sangat bijak dilakukan di saat seperti ini.

 

***

 

Makin-makin nih si Angel, bangke. Umpat Rayan dalam hati.

Langkah Rayan terhenti ketika melihat Helmi dan Adi sedang berciuman di dekat toilet yang bertahun-tahun tidak terpakai di belakang sekolah.

Entah mengapa Rayan merasa amat malu, dan ada rasa aneh dalam dirinya seperti seorang pencuri sedang melihat pencuri lain beraksi.

“Yan! Ah—shitt. Yan, please ya, jangan bocorin hal ini ke orang lain.” Mohon Adi yang langsung mendekati Rayan dengan dengan wajah merah padam dan ekspresi memelasnya, sedangkan Helmi hanya diam di tempat.

Rayan malah bingung sendiri, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap dan berekspresi kali ini, “Kalian? Kok bisa?” tanya Rayan kikuk, Rayan menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal.

Adi mulai menceritakan semuanya kepada Rayan, sedangkan Helmi hanya menambahkan sedikit kejelasan mengapa mereka seperti itu, dan kesimpulan yang Rayan dapat dari cerita mereka berdua adalah: Cinta milik siapa saja, cinta datang tanpa bisa ditolak, dan ketika cinta menguat norma-norma tidak lebih dari sekedar nasihat yang halal jika tidak digubris.

“Please, Yan, nasib gue sama Helmi ada di tangan lo kali ini” ratap Adi.

Rayan hanya menggelengkan kepalanya karena bingung sambil menggaruk hidungnya, lalu mantap mengangguk. “Thanks Ray, gue taro semua kepercayaan gue ke elo” kata Helmi sambil menarik Adi menjauh dari Rayan.

Seberapapun gue coba ngejelasin kenapa gue dan Helmi bisa begini, itu semua pasti akan percuma, lo nggak akan ngerti Yan, karena lo nggak ngerasain apa yang kita rasain. Kata-kata dari Adi terus terngiang di kepala Rayan, bukan karena Rayan tidak mengerti dengan apa yang Adi maksud, namun karena Rayan amat mengerti betul mereka seperti itu, walaupun  Rayan belum pernah mencintai cowok, tapi Rayan mengerti apa yang Adi maksud.

“Gue numpang sama lo ya pulangnya Ray” suara Fauzan menariknya dari pemikiran yang belum Rayan temukan ujungnya.

“Lo nggak bareng sama bayi manja lo?” tanya Rayan heran.

“Gue alesan mobil gue masih di bengkel” sahut Fauzan ceria sambil membuka bungkus permen lalu melumatnya.

“Bisa aja lo nyepiknya” kekeh Rayan sambil mencomot permen yang Fauzan berikan.

“Ngausah punya titit kalo nggak bisa nyepikin cewek” ujar Fauzan bangga.

“Emang lo punya?” tanya Rayan usil.

“Punya dan bisa tegak tiap dipegang cewek, nggak kayak lo, hiih serem gue kalo inget kejadian di sungai waktu itu” ungkap Fauzan sambil belagak bergidik.

Rayan langsung membekap mulut Fauzan, takut-takut ada orang yang mengerti maksud pembicaraan mereka, pergulatan kecil tidak lagi bisa dihidari.

 

***

 

“Ray, lo cobain kacang Bali ini deh, enak banget tauk aromanya” tawar Fauzan saat Rayan mengisap rokok ke duanya.

“Enakkan?” kata Fauzan sambil terus mencekoki Rayan dengan cemilan yang ia bawa, tanpa sepengetahuan Rayan rokok yang sudah Rayan bakar dimatikan oleh Fauzan dan bungkus rokok milik Rayan sudah disembunyikan pula oleh Fauzan.

“Rokok gue mana Zan?” tanya Rayan setelah menyadari bungkus rokoknya lenyap.

“Eh, ajarin gue kunci-kunci gitar lagunya Start me up dari Rolling Stone dong Ray, gue belom bisa nih, padahal gue suka banget sama lagu itu.” Alih Fauzan.

“Rokok gue mana dulu! Kebiasaan banget sih lo ngumpetin rokok gue mulu, nyokap gue aja nggak ngelarang” ungkap Rayan sebal.

“Polusi, lo hargain gue dong yang nggak ngerokok” sahut Fauzan asal sambil terus bergerak menghindari tangan Rayan yang menjelajahi tubuhnya untuk mencari bungkus rokok yang Fauzan sembunyikan.

“Nggak usah temenan sama gue kalo nggak suka perokok” timpal Rayan keji.

“Tapi aku udah cinta sama kamuh, aku nggak bisa jauh-jauh dari kamuh” canda Fauzan yang masih kekeuh untuk tidak mengembalikan bungkus rokok Rayan.

“Najis,”

“Gimana kalo kita main Karambol? Yang kalah boleh nurutin permintaan yang menang” usul Fauzan.

“Ayok, kayak pernah menang aja lo main Karambol lawan gue” remeh Rayan, dalam hati Fauzan bersorak-sorak karena lagi-lagi Fauzan berhasil membuat Rayan lupa dengan rokoknya.

Mereka mulai bermain Karambol.

“Gue bilang juga apa, cupu mah cupu aja, siniin rokok gue!” Rayan langsung merampas bungkus rokok berserta koreknya dari tangan Fauzan, sesuai perjanjian Fauzan harus memberikan rokok milik Rayan jika ia kalah.

“Bentar deh Ray,” Fauzan meratakan terigu yang tercoreng di wajah Rayan, karena setiap Fauzan memasukan cakram Karambol Fauzan selalu jahil memeperkan terigu yang dijadikan media pelicin papan ke wajah Rayan.

Rayan hanya diam ketika tangan Fauzan menyentuh kulit wajahnya, sesaat Rayan kesulitan bernafas saat kulit tangan Fauzan dan wajahnya bergesekan, ada yang berdesir di dalam diri Rayan. “Nah, kalo gini kan lo mirip Hanoman” kekeh Fauzan sambil mengamati wajah Rayan yang sangat putih karena terigu.

“Nggak ada Hanoman seganteng gue” alih-alih menghilangkan rasa gugup, kaki Rayan malah membentur papan Karambol membuat Rayan semakin gugup lagi dipandang aneh oleh Fauzan.

“Ya ada lah Ray, coba lo ngaca, pasti lo akan ngelihat Hanoman live untuk pertama kalinya, ha ha” kekeh Fauzan geli.

Fauzan terdiam kala Rayan memeperkan terigu yang telah Rayan raup dari papan Karambol di hadapan mereka. “Lo sekarang mirip Ajis gagap dibedakin, ha ha, suer mirip banget” Rayan tertawa geli melihat ekspresi aneh dari wajah Fauzan.

“Sialan lo” Fauzan langsung menerjang Rayan hingga tubuh mereka terjatuh ke kasur Rayan bersamaan, siang itu mereka habiskan dengan bercanda sepuas hati di atas tempat tidur Rayan, tatanan kamar Rayan pun seketika terlihat seperti bangkai kapal Titanic.

Fauzan mengatur nafasnya, kepalanya naik-turun seiring dada Rayan yang kembang-kempis. Posisi Fauzan sekarang ini sedang membaringkan kepalanya di dada Rayan, mereka sama-sama slash pura-pura cuek dengan posisi mereka sekarang, seperti posisi mereka sekarang itu normal diperagakan oleh sesama cowok. Tangan Rayan pun masih tersimpan di atas dada Fauzan, mereka masih saling diam dengan posisi seperti itu, memburu oksigen sebanyak-banyaknya lebih penting ketimbang harus merubah posisi mereka, karena sedaritadi mereka bercanda tanpa berhenti.

Entah apa yang Rayan rasakan, Rayan merasa amat penuh sekarang ini, ia diselimuti rasa bahagia, rasa tenang dan Rayan merasa semua akan baik-baik saja. Semua pemikiran yang mengganggunya akhir-akhir ini hilang entah ke mana, apa karena ada Fauzan di sisinya atau karena apa, pun Rayan tidak tahu.  Yang Rayan rasakan saat ini hanyalah hidupnya akan selalu baik-baik saja ketika Fauzan di sisinya.

Fauzan memejamkan matanya, membiarkan angin di musim kemarau menerpa tubuh mereka, ada ketenangan luar biasa yang Fauzan rasakan, setidaknya dipeluk orang yang ia sayang membuat hatinya tenang, membuat banyak dendam bisa diredam untuk sementara. Tangan Rayan yang berada di dada Fauzan dengan posisi mereka yang seperti sekarang ini bisa dikatakan bahwa secara tidak langsung Rayan sedang memeluk Fauzan dengan satu tangan.

Mereka berdua memejamkan mata, membiarkan rasa kantuk yang melelahkan menarik mereka ke alam mimpi.

 

***

 

Rayan mengaruk-garuk hidungnya, nilai ulangan Midsmester telah ia kantongi, walaupun Rayan bukan tergolong anak-anak cerdas di sekolah mereka namun nilai ulangan Rayan belum pernah sejeblok sekarang ini.

“Zan, gue harus remedial tiga mata pelajaran nih, sial banget gue Midsmester sekarang” keluh Rayan ketika mereka berjalan ke arah kantin.

“Makanya lo jangan kebanyakan bengong Ray, konsentrasi lo jadi berkurang tuh” jawab Fauzan sembari memainkan ponselnya yang Rayan yakini Fauzan sedang berchat ria dengan Angel.

“Gue kan bengong juga gara-gara mikirin lo”

Rayan merasa sesuatu yang dingin menyelimuti dirinya, hatinya mencelos seketika setelah mendapati apa yang ia ungkapkan tadi kepada Fauzan, Rayan berani bersumpah bahwa apa yang ia katakan tadi tidak ia sengaja, kata-kata tadi muluncur begitu saja dari mulutnya.

“Maksud lo Ray?” tanya Fauzan bingung.

“Iya, lo bad influance tau nggak, bergaul sama lo makin lama makin buat gue bego” jawab Rayan cepat-cepat agar Fauzan tidak menyalah artikan apa yang ia katakan tadi, Rayan sangat takut jika Fauzan menganggapnya penyuka sesama dan Fauzan tidak lagi mau berteman dengannya.

“Ray, Zan, gabung sini aja” panggil Helmi dari meja dekat tiang besar di tengah kantin.

Fauzan langsung menarik kerah seragam Rayan, menyeretnya bergabung bersama Helmi karena Rayan hanya diam saja. Adi datang membawakan makanan untuknya sendiri dan Helmi. Ketika Adi tersenyum memandang Rayan dan Fauzan secara bergantian, rasa malu menguasai Rayan seakan-akan ia tertangkap basah oleh Adi  sedang berkencan dengan Fauzan, walau pada kenyataannya mereka hanya sedang ingin istirahat berdua dan bertemu dengan Helmi dan Adi yang munurut Rayan Gay. Rayan merasakan momen awkward yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

“Kunyuk! Lo mau pesen apaan?” pertanyaan Fauzan mengagetkan Rayan.

“Apa aja dah, nggak terlalu laper sih gue” Rayan buru-buru mengeluarkan ponselnya, walau ia hanya mengutak-atiknya saja, alih-alih untuk menghilangkan rasa malu yang Rayan rasakan sendirian.

“Eh Ray, Zan, gue lupa banget nih ngasih tahu kalian.” Adi membuka pembicaraan, Rayan seperti sangat enggan menatap mata temannya seperti takut Adi mendapati sesuatu dalam diri Rayan.

“Kalian dateng ya ke ulang tahun gue, malem minggu ini, terserah kalian mau bawa pasangan apa nggak, soalnya gue ngundang orang-orang terdekat aja, nggak semua murid di kelas kita gue undang, Syifa pun nggak gue undang, cuman gue traktir di sekolah aja, gue masih takut si kalian bakalan adu jotos di acara ulang tahun gue nanti” kekeh Adi di akhir.

“Sialan lo” umpat Fauzan geli. Rayan langsung membayangkan saat-saat bodoh ketika ia bertengkar dengan Fauzan. Kalau diingat-ingat lagi, itu sangat menggelikan ketimbang sebut memalukan.

“Lo mau ngajak bayi manja lo nggak Zan?” tanya Rayan sambil menyeruput air minumnya.

“Nggak ah, anggap aja pestanya si Adi ntar cuman buat cowok doang” jawab Fauzan.

“Gay parti gituh?” ucap Rayan asal. Seketika Rayan langsung menyesali ucapannya, karena Adi langsung salah tingkah, tidak seperti Helmi yang cuek saja.

“Dasar maho, mikirnya gitu mulu!” serobot Fauzan.

“Eh—udah lo makan buruan, komentar aja lo ah” timpal Rayan yang sekarang kikuk, Rayan hanya tersenyum penuh rasa malu kepada Adi, Adi hanya mengangguk memaklumi.

“Ayok Ray, kita ditunggu di club Futsal nih” setelah makan Helmi mengingatkan Rayan.

“Gembel, gue kelapangan Futsal dulu ya. Di gue cabut dulu ya” kata Rayan kepada Fauzan dan Adi, lalu melangkah bersamaan bersama Helmi.

“Lo lagi ada masalah apaan sih Ray,?” tanya Helmi ketika mereka sudah dekat dengan lapangan.

Rayan langsung berpikir, apa ada yang salah dengan dirinya? Mengapa para teman-temannya menyangka Rayan sedang mengalami sebuah masalah? Karena Rayan sendiri tidak tahu masalah apa yang sedang ia hadapi.

“Nggak ada ah” jawab Rayan cepat setelah mencari jawaban dari pertanyaan Helmi.

“Lo nggak lagi Denialkan?” tanya Helmi takut-takut.

Denial?”

Rayan melihat Helmi yang langsung salah tingkah, “Gue bukan prejudis ya Ray, lo jangan marah dulu” kata Helmi ambigu.

“Apaan sih?” tanya Rayan tidak sabaran.

“Denial. Denial yang gue tau itu adalah sebuah istilah psikologi yang ditujukan kepada seseorang dalam konteks ini gue tujuin ke elo Ray, denial itu sebuah penyangkalan terhadap fakta-fakta yang sebenarnya terjadi yang jelas lo ketahui tapi nggak kepengen lo lakuin, dan mati-matian lo sangkal karena menurut lo itu ‘fakta’ tersebut salah. Fakta yang gue maksud itu adalah keberadaan Fauzan dan posisi Fauzan di hati lo” Helmi mulai berani menatap mata Rayan yang tidak menggambarkan apapun, Rayan seperti menyadari sesuatu yang Helmi sedang katakan.

“Lo jatuh  hati ke Fauzan juga kan Ray?” tembak Helmi.

Rayan masih diam, hatinya bergejolak, rasa bingung, dan marah begitu mendominasi.

“Dan gue lihat Fauzan juga suka sama lo Ray”

Mendengar pernyataan Helmi tentang gosip Fauzan juga menyukai Rayan membuat hati Rayan begitu bahagia, Fauzan seperti penawar saat hati Rayan bergejolak terkena racun cinta.

“Terkadang, kita harus nampar seseorang agar orang tersebut tahu kebenaran yang harusnya dia sadari dari dulu” kata-kata Helmi amat menusuk.

“Gue bukan homo kayak lo Hel, jangan pernah ajak-ajak gue ke dunia lo itu, gue normal, se-normal-normalnya cowok normal!” teguh Rayan.

Helmi hanya tersenyum tulus, “Ray, percaya nggak percaya, gue pernah ngalamin masa-masa sekarang lo ini.” Helmi menatap mata Rayan marah dengan amat yakinnya.

“Waktu dan Fauzan yang akan ngebuat lo sadar, apa yang seharusnya lo kejar dari dulu, Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini, Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini” Helmi menepuk-nepuk bahu Rayan lalu meninggalkan Rayan di tengah lapangan dengan renungannya sendirian.

“Gue normal, se-normal-normalnya cowok normal, gue straight!” teguh Rayan yakin sekali lagi, saat Rayan melangkah menyusul Helmi, sesuatu dalam dirinya menertawai gagasan Rayan tadi, seolah-olah tertawa karena muak dengan sangkalan Rayan terhadap fakta yang selama ini ia rasakan.

 

***

 

Hey semua, para readers yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik—halah!

Mulai besok gue nggak bisa update sehari sekali lagi ya, sowi banget yak haha,,, karena gue nulis cuman sampe part ini doang, dan rencananya sih diPENDING dulu. Kay! Maafkan geu yang terlahir ganteng dan ngeselin ini, kalau kalian bete karena blog ini jarang ada updatean kedepannya, ya ramein lha, caranya tinggal kirim cerita—cerpen—kalian ke:

Percival_one@yahoo.com

Atau

Irfandirahman!@gmail.com

Boleh juga ke Emailnya sih Rendeh, tapi kalo nggak ditangepin sama si Rendi jangan komplain ya, soalnya Rendi katanya sih sibuk banget *plis jangan aniaya gue ya Ren* hahaha…

Kay, makasih banyak ya udah mau baca dan nanti komentar diPostingan gue.

 

Selamat malam.

 

@irfandi_rahman

 

 

 

Rayan dan Fauzan (6)

images fr

 

Rayan tertawa miris, ia menarik-narik kaos hitam lusuhnya saat bus yang tadi ia tumpangi pergi. Banyak kenangan tentang ia dan Fauzan di dalam bus. Rayan hanya bisa meringis, menghadapi kenyataan ia tidak lagi bisa tertawa bersama Fauzan, saling menyeka peluh yang mengucur akibat panasnya kota Depok, tidak lagi bisa saling mencicipi lauk yang berbeda di nasi bungkus mereka saat makan siang, lalu apalagi kenangan yang tidak membuat Rayan merindu Fauzan? Tidak ada, sepertinya tidak ada, saat Rayan memutar pandangnya banyak tempat yang telah ia kunjungi bersama Fauzan menghabiskan masa muda Fauzan dengan amat cepat.

 

Jika Rayan boleh memilih, ia tidak akan membiarkan cintanya dimiliki Fauzan. Karena menurut Rayan, patah hati tidak seberapa sakitnya ketibang rindu, karena ketika saat kita ditolak kita belum memiliki banyak kenangan, namun setelah menjadi pasangan dan berpisah, sakitnya luar biasa, tiap tempat yang pernah didatangi bersama pasangan serasa amat menghina ketika kita berada di tempat itu sendirian.

Rayan menyumpal telinganya dengan earphone-nya, berjalan pelan menuju kost-nya. Setiap membuka pintu kamar kost-nya Rayan selalu menunduk, tindakan itu Rayan rasa bisa melindungi hatinya, takut-takut imajinasi Rayan membuat seakan-akan sosok Fauzan duduk di dalam kamar kost dengan gelisah menunggu kedatangan Rayan, dan saat Rayan baru merasa Fauzan nyata ada, sosok Fauzan menghilang, karena memang Fauzan tidak akan pernah kembali, Fauzan sudah pergi, mengingkari banyak janji yang mereka sepakati.

 

Ojan bukan seorang pembohong, Ojan cinta sama gue, layaknya gue cinta sama dia. Fauzan menengadah. Kamar kost-nya kosong, dan gilanya Rayan berharap Fauzan ada di dalam kamar kost-nya, walau hanya bayangan. Hati, fikiran dan mulut tidak pernah sekata saat galau. Apa yang hati inginkan, apa yang fikiran bayangkan dan yang mulut katakan tidak pernah sama, saat diri sedang patah hati.

 

Ojan pasti kangen gue, layaknya gue kangen banget sama dia. Rayan lagi-lagi membatin. Rayan masih belum menerima kenyataan bahwa Fauzan harus meninggalkannya.

 

Rayan melepas kausnya tepat di depan cermin, lalu ia memperhatikan tato di dada bidang yang bertuliskan Rayan & Fauzan namun tidak akan bisa terbaca orang biasa, tato di dada Rayan dibuat dengan rumit, seperti hanya rangkaian huruf tanpa arti jika dilihat sekilas.

 

Sekilas, senyum tersungging di wajah Rayan, lalu Rayan melepas celana Jeans-nya menyisakan celana pendek saja. Biasanya Fauzan selalu tertawa saat Rayan melepaskan pakaiannya dengan amat perlahan, namun kali ini tidak ada lagi yang menertawai Rayan.

 

Punggung Rayan yang tegap dengan otot yang pas itu bergerak menjauh dari cermin, Rayan duduk di sisi tempat tidurnya, menangkupkan telapak tangan ke wajahnya, menghapus lelah dari kegiatannya tadi, membiarkan tato burung Elang yang memenuhi badan bagian belakang yang dulunya selalu membuat Fauzan menggigit bibir bawahnya tiap melihat tato burung Elang yang disisipkan nama Fauzan di sayap kirinya dengan amat jelas.

Jika ditanya berapa banyak kenangan Rayan bersama Fauzan, maka bisa dijawab, tiap kenangannya bisa membuatmu gila kala merasakan kehilangan yang sama seperti yang dialami Rayan.

 

Rayan menyulut rokok Black Mentol-nya, membiarkan rasa mentol itu mendinginkan hatinya yang bergolak tidak tenang.

 

 

***

 

  • Cemburu

 

“Zan,” panggil Rayan yang langsung duduk di bangku penonton sambil menyeka peluhnya.

 

Rayan mencomot botol air minum dari tangan Fauzan saat Fauzan telah meletakan iPad-nya ke tempat duduk yang kosong di sebelah kanannya.

 

Rayan melepas Jersey-nya lalu menyeka tubuhnya dengan handuk dari dalam tasnya, beberapa cewek yang ada di sekitar mereka mencuri-cura pandang ke arah Rayan, Rayan tahu itu, maka dari itu cepat-cepat Rayan memakai kaus bersihnya. Entah mengapa Rayan tidak lagi terlalu suka diperhatikan.

 

“Udahan?” tanya Fauzan sambil berdiri merentangkan otot-ototnya yang kaku setelah hampir dua jam duduk menunggui Rayan bermain Futsal dengan tim sekolah mereka.

 

“Udah, hayo” tegas Rayan.

 

“Ke mana lagi, Ray?” tanya Fauzan bingung karena Rayan bergerak cepat mengajaknya menyingkir dari tempat ini, biasanya setelah bermain Futsal Rayan akan bercakap-cakap dengan tim Futsalnya bahkan bisa dibilang hampir lupa dengan keberadaan Fauzan, maka dari itu Fauzan heran sekarang ini.

 

“Ray tunggu, lu kebelet boker bukan? Cepet amat jalannya?” sindir Fauzan.

 

“Iya, mules liat muka lo lama-lama” balas Rayan sambil menaiki motornya. Fauzan langsung menyusul Rayan lalu menoyor kepala Rayan pelan.

 

“Kita mau ke mana sih emangnya?” tanya Fauzan sekali lagi dengan nada memaksa.

 

“Kencan” jawab Rayan sambil mengedipkan matanya.

 

“Gila!” seru Fauzan, dibarengi dengan tawa mereka berdua

 

 

 

***

 

 

 

Rayan merasakan sesuatu kebahagian saat mengenang waktu-waktu kemarin ia dan Fauzan bercanda, bersiteru, terawa bersama, hatinya terasa penuh oleh kebahagiaan.

 

“Ray, kamu nggak mau ngumpulin ulangan kamu? Udah nggak perlu nilai dari saya?” tanya bu Eti dengan judesnya, seperti biasa.

 

Adik kelas yang duduk di samping Rayan saat—Midsemester—ini menepuk-nepuk bahu Rayan.

 

“Kenapa sih?” sergah Rayan yang kesal ditarik paksa dari renungannya.

 

“Ulangan kakak, anu-eh, euh itu bu Eti nya” cowok berkaca mata itu menunjuk ke depan kelas, guru yang dimaksud sudah berjalan melewati pintu kelas. Spontan Rayan menyadari bahwa kertas ulangannya masih berada di bawah tekukan tangannya, dengan cepat Rayan beranjak dari tempat duduknya membuat meja dan bangkunya tergeser dengan amat keras, menimbulkan deritan yang memancing perhatian seisi kelas.

 

“Bu, tunggu bu, maaf bu saya tadi lagi pusing, jadi pas udahan ngerjain ulangannya saya ngelamun deh” Rayan beralasan. Bu Eti hanya jalan saja dan tidak merasa Rayan ada. “Bu maafin saya dong, kan saya ngerjainnya jujur, nggak nyontek, cuman nggak ngumpulin karena ngelamun, maaf ya bu, bu, maafin dong bu, bu” ratap Rayan.

 

“Kamu! Bawel banget sih jadi cowok, sini-sini” bu Eti merampas kertas yang Rayan pegang.

 

“Makasih ya bu, ibu, guru yang paling cantik deh se-Indonesia” ucap Rayan dengan nada ceria, namun dengan ekspresi sejelek mungkin, mencibir bu Eti yang berjalan membelakangi Rayan.

 

Saat berbalik badan Fauzan berdiri di depan pintu kelas menatap lurus sambil memasang ekspresi sengak, Rayan tahu dibalik ekspresi itu Fauzan sedang mencelanya. “Kampret lo Zan” ucap Rayan sambil berlari-lari kecil ke arah Fauzan. Fauzan hanya tertawa saja saat Rayan menganiayanya, sambil sesekali mengejek Rayan.

 

“Kantin yuk, Zan” ajak Rayan sambil menarik kerah seragam Fauzan. “Gendonglah” ucap Fauzan sambil loncat ke punggung Rayan, “Fauzan! Dosa lo banyak tauk nggak sih, berat banget badan lo, turun nggak, nggak sadar diri nih pendosa” cerca Rayan sambil memaksa Fauzan turun dari tubuh Rayan. Fauzan cepat-cepat loncat dan langsung menendang kecil pantat Rayan. “Payah lo ah, badan doang keker gendong gue aja nggak kuat” hina Fauzan, sambil tertawa kecil. Rayan memasang ekspresi pura-pura marah lalu mengejar Fauzan yang sudah lari pelan ke arah kantin sekolah. Mereka seakan hidup dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri, tidak perduli banyak murid lain yang memperhatikan mereka dan sedikit mencemooh tindak-tanduk Rayan dan Fauzan, kebahagian diciptakan sendiri, bukan dengan menunggu diberikan.

 

“Fauzan, tunggu” suara Angel menghentikan langkah Rayan dan Fauzan. Fauzan melempar sampah bekas kopi Capucini-nya ke tempat sampah lalu menyungging senyum ke arah Angel yang berlari-lari kecil ke arah mereka.

 

“Cewek lo tuh” kata Rayan dengan nada menyindir.

 

“Bawel loh” timpal Fauzan sambil mencomot ciki Lays dari tangan Rayan dan memakannya cepat-cepat, semua itu Fauzan lakukan untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba ia rasakan.

 

“Gembel! Maling lo dasar, orang mah ijin kalau mau minta” Rayan protes.

 

“Nih gue balikin, dasar pelit, ntar juga buncit tuh perut penggilesan lo” cerca balik Fauzan, Angel yang sudah berada di antara mereka merasa amat jengkel karena kehadirannya tidak langsung Fauzan gubris.

 

“CK!” keluh Rayan sambil menerima bungkus ciki Lays-nya tersebut.

 

Fauzan sudah siap membuka mulut untuk menimpali Rayan lagi. “Zan!” protes Angel.

 

“Eh, iya kenapa Angel?” tanya Fauzan santai, membuat Angel mengerenyit sebal ke arah Fauzan dan Rayan.

 

“Kok kamu malah gitu sih?” tanya Fauzan heran.

 

“Kamu! Ish! Harusnya kamu tuh tadi jemput aku ke kelas, ngajak aku makan bareng ke kantin, ini malah ketawa-tiwi sama dia, kamu nyadar nggak sih, kamu udah kayak homo, ke mana-mana berduaan sama Rayan”   keluh Angel.

 

Rayan terkejut atas perkataan Angel tadi, sedangkan Fauzan hanya diam saja. Rayan tidak habis fikir kalau Angel akan memprotes kedekatan Fauzan dan Rayan, bukankah sebelum mereka berpacaran Rayan dan Fauzan sudah sangat—gila—dekat seperti sekarang ini.

 

“Ngel” kata Fauzan pelan sambil melirik ke arah Rayan, seolah memberitahu Angel bahwa Angel tidak seharusnya berkata seperti itu di depan Rayan.

 

“Homo juga bole” Rayan bersuara, Rayan sangat tertarik sekali untuk menyindir Angel, menyadarkan Angel bahwa siapa yang lebih berhak menghabiskan waktu lebih lama bersama Fauzan. Entah kenapa Rayan menjadi sangat kanak-kanak meladeni Angel yang bertingkah kanak-kanak pula.

 

“Apa sih lo” sergah Angel sangat murka kepada Rayan, Rayan hanya menaikan satu alisnya tinggi-tinggi untuk menanggapi sergahan Angel.

 

“Ngel” kata Fauzan lembut sekali lagi.

 

“Lebih baik kamu musuhan lagi sama dia deh” ucap Angel sambil memutar matanya.

 

“Ngel, bisa nggak sih nggak aneh kayak gini” Fauzan masih bersikap lembut.

 

“Raawrr,, udah ah Zan gue pergi dulu, eh selamat mengasuh bayi manja lo ini yak” sindir Rayan penuh kemenangan. Saat melangkahkan kakinya segala pemandangan di depan Rayan berkesan Sephia, Rayan benar-benar tidak rela Fauzan direbut darinya padahal mereka sedang bersenang-senang, hanya karena Rayan merasa ia cowok dan tidak ingin bertindak seperti anak-anak Rayan terpaksa mengalah. Rayan menengadah, lalu menatap ke arah belakang, Fauzan dan Angel sedang berjalan memunggunginya, entah kenapa Rayan merasa amat cemburu sekarang ini, cemburu dalam konteks sahabat, entah wajar atau tidak, Rayan merasa amat tidak suka kepada Angel sekarang ini.

 

 

***

 

 

Rayan mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke bodi mobil , Fauzan yang ditunggu-tunggu Rayan tidak kunjung hadir, padahal tadi Fauzan hanya izin untuk membayar uang SPP sekolah dan meminta Rayan menunggu sebentar, sekarang sudah lebih dari dua puluh menit namun batang hidung Fauzan tidak kunjung terlihat.

 

Si Ojan semedi kali yak di ruangan TU, bosen gila gue nunggunya. Batin Rayan sambil mengirim BBM kepada Fauzan untuk yang ke tiga kalinya.

 

Tidak lama Fauzan muncul ditemani Angel, sontak Rayan memasang wajah bosannya, dalam hati Rayan mendecak-decak sebal. “Ayo Ray pulang, tapi gue nganter Angel dulu yak” kata Fauzan.

 

“Kita kan mau ke Margo City dulu Zan, katanya kamu mau nemenin aku belanja” keluh Angel. Rayan mengela nafasnya dengan kasar, mengeluarkan bungkus rokoknya, tidak peduli ini masih di dalam lingkungan sekolah, daripada harus menghisap si darah Angel karena rasa sebal Rayan yang teramat, lebih baik ia menghisap rokok Black Mentol-nya yang mampu memberikan banyak ketenangan.

 

“Ray! Ini di gerbang sekolah, jangan aneh-aneh ah” Fauzan merebut rokok dan korek Rayan, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket Fauzan.

 

“Zan, balikkin nggak!” titah Rayan dengan wajah yang memerah.

 

“Nggak di sini Ray” balas Fauzan kekeuh.

 

“Kalian apa-apaan sih! Sayang, balikin aja sih rokoknya, toh kalo dihukum dia ini bukan kita, ngapain peduli sama dia” Angel ikut bersuara. Kata sayang yang tadi Angel katakan dibarengi dengan ekspresi menyindir Rayan, Angel seperti sedang menampar Rayan dengan fakta di mana Angel berhak selalu bersama dan selalu dikedepankan oleh Fauzan karena ia kekasih Fauzan sekarang ini.

 

“Kay, kalian pergi sekarang deh mending, daripada gue bikin bonyok lo semua, SAT” cerca Rayan sambil melangkah menjauh dari Fuazan dan Angel. Entah dilangkahnya yang keberapa Rayan ingin sekali mendengar suara Fauzan memanggilnya, sangat konyol memang, tapi biasanya Fauzan selalu begitu jika Rayan marah kepadanya, Fauzan selalu lebih dewasa ketimbang Rayan yang selalu mendahulukan emosi daripada logika.

 

Rayan menoleh ke arah belakang, Fauzan dan mobilnya sudah tidak ada di tempat tadi mereka bersiteru, rasa sebal memenuhi hati Rayan, jika ada orang lain yang menyinggungnya lagi saat ini bisa dipastikan orang tersebut tidak akan baik-baik saja.

 

Rayan keluar dari mini market, menenggak banyak-banyak bir yang ia beli, seakan-akan bir itu dapat meredahkan amarah dan masalahnya, padahal hanya menunda. Asap rokok mengepul dari mulut Rayan, pandangan orang tua di sekeliling Rayan tidak digubrisnya sedikit pun, Rayan tetap asik menenggak bir dari kaleng dan terus menghisap rokoknya sambil berjalan santai ke arah rumahnya.

 

Di pertengahan jalan sebuah keinginan terbesit di benaknya, merasakan sejuknya air dan suasana di sungai sepertinya  sangat memanjakan di tengah panasnya tubuh dan hati. Rayan berbelok ke kiri menuju sungai dekat rumahnya, melewati petakan sawah, Rayan lekas melepas seragam sekolahnya, menjejalkan seragam itu ke dalam tas slempangnya dengan amat sembarang.

 

Angin meniup dahan-dahan pohon bambu dan kincir angin dari batang bambu, menciptakan irama yang amat menentramkan jiwa, Rayan memutar pandangnya segalanya sudah berubah tidak lagi seperti dulu saat ia kecil, petakan sawah sudah banyak yang dibuat rumah namun suasana di dekat sungai ini masih tetap sama seperti dulu kala, selalu membuat Rayan bahagia tiap bertandan ke tepi sungai ini.

 

Gemericik air menemani langkah Rayan, batu-batu besar ia loncati, Rayan berdiri di batu yang paling besar matanya tertutup seiring angin yang menerpa wajahnya. Rayan memutar badan lalu melangkah ketempat yang jauh lebih teduh lagi. Air yang terhimpit bebatuan kali dan terbendung menjadi sebuah kubangan terlihat amat tenang di bawah kaki Rayan, seakan sedang tertidur dengan senyum yang merekah, bahkan Rayan bisa melihat gambar dirinya yang hampir terlihat berantakan, Rayan menggaruk hidungnya sebentar lalu menyulut rokoknya lagi. Hisap. Rasakan ketenangannya. Hembuskan. Hisap lagi.

 

Daun bambu terlepas dari rantingnya, perlahan-lahan mendekat ke arah Rayan karena pengaruh angin dan gravitasi bumi, seakan-akan menggoda Rayan untuk minta diperhatikan, Rayan melebarkan kakinya takut-takut daun bambu kering itu tidak mendarat di genangan air di bawah kakinya.

 

Rayan memperhatikan daun itu dengan amat seksama sampai pada di dekat permukaan kubangan air Rayan melihat wajah Fauzan yang tersenyum dengan sejuta pesonanya, sekejap saja daun bambu yang kini mendarat di air dan membuat air itu bergoyang tidak lagi menarik, Rayan lebih tertarik menatap banyangan Fauzan di permukaan air tersebut saat bayangan wajah Fauzan bergerak, reflek Rayan menoleh ke arah belakang.

 

Fauzan sudah duduk di batu dekat Rayan dengan senyum yang merekah, seperti habis memenangkan PVP di game online yang sering Fauzan mainkan, “Ngapain lo ke sini, bukannya lo lagi nemenin bayi manja lo itu shopping?” tanya Rayan ketus. Fauzan malah tersenyum lebih lebar lagi sehingga deretan gigi putihnya terlihat jelas sambil mengoyang-goyangkan kepalanya layaknya anak kecil yang sedang menghabiskan waktu dengan imajinasi mereka.

 

“Lu kesambet yeh?” tanya Rayan ragu sambil memutar pandangannya dengan ekspresi ngeri.

 

“Mobil gue bannya bocor, hahahahaha” Fauzan bersuara dengan penuh semangat lalu tertawa, membuat Rayan memundurkan kepalanya lalu memasang ekspresi takut ke arah Fauzan.

 

“Aduh” keluh Rayan sambil memegangi dahinya.

 

“Gue lagi seneng, bukan lagi kesurupan, jangan masang muka jelek kayak gitu, lo tuh udah jelek jangan masang muka kayak gitu tambah enek gue yang ada” protes Fauzan setelah melempar pelan Rayan dengan batu kecil.

 

“Sakit bego, mobil lo kenapa?” tanya Rayan masih memegangi dahinya.

 

“DRAMA” Fauzan mengejek Rayan yang masih memegangi dahinya yang jelas tidak kenapa-napa.

 

“Mobil lo kenapa?” tanya Rayan lagi tidak sabaran.

 

“Bannya bocor, lo tuli atau congek-an sih?” ejek Fauzan sambil tertawa geli.

 

Rayan mendekat ke arah Fauzan lalu menyorongkan badannya dekat-dekat dengan Fauzan hingga jarak mereka hanya beberapa inci saja. Fauzan terdiam, ia menelan ludahnya, lalu membasahi bibirnya dengan amat kaku, hal yang acap kali Fauzan lakukan saat gerogi. Rayan menelusuri tiap jengkal wajah Fauzan sedangkan Fauzan semakin gugup dipandang Rayan seperti itu.

 

“Ban mobil lo kan bocor? Kok lo malah seneng-seneng aja sih? Ah! Kesurupan lo nih, kalo udah kesurupan gini kudunya diceburin”

 

“Byuurrrrr”

 

“Anyiiiiiing… Rayan kampret!!!” teriak Fauzan setelah tubuhnya muncul dari dalam air.

 

“Tuhkan, apa yang gue bilang, setannya kabur kan, untung aja gue cepet ngedekteksi kalo lo itu lagi kesurupan” ucap Rayan penuh kegelian.

 

Fauzan menyeka wajahnya, memperlihatkan kulit wajahnya yang cerah dan segar lalu bibirnya yang merah muda seperti daging ikan tuna, sangat amat menggoda Rayan untuk menjamahnya. Rayan tertawa lagi sekarang, namun tawanya sangat aneh, karena tawanya yang sekarang hanya untuk menutupi fakta bahawa ia hampir tergoda dengan Fauzan, itu tidak wajar.

 

“Dasar otak udang, gue seneng karena bebas dari kegiatan—menemani belanja—yang membosankan buat gue, biar pun ban mobil gue harus bocor! Itu maksud gue” kata Fauzan panjang lebar.

“Untung aja airnya nggak dingin, bantuin gue naik!” Fauzan mengangkat tangannya ke arah Rayan minta disambut Rayan, namun Rayan malah melipat tangannya ke depan dada.

 

“Ogah” jawab Rayan, rasa kesal kepada Fauzan timbul lagi walau hanya sedikit, dalam kepura-puraanya ini Rayan menyadari betul kenapa ia bertindak layaknya anak-anak, memalukan dan selalu minta diperhatikan dan dimanja oleh Fauzan. Shitt! Anjing, ngaco nih gue lama-lama. Batin Rayan kikuk.

 

Fauzan berpura-pura tidak sengaja menjatuhkan korek dan rokok yang baru Rayan beli tadi di mini market ke dalam air sungai, padahal rokok itu baru Rayan hisap delapan batang. Sontak Rayan kembali murka.

 

“Ups! Gue nggak sengaja Ray, seriusan deh” kata Fauzan berpura-pura takut.

Tatapan pura-pura marah Rayan lemparkan kepada Fauzan yang berpura-pura takut di bawahnya, padahal mereka berdua sedang berpikir cara apa yang lebih keji untuk mengerjai satu sama lain.

 

“Tanggung jawab lo! Aduh” Rayan bergerak namun naas kakinya terperosok hingga tubuhnya terjatuh ke sungai tepat di samping kiri Fauzan. “Aaaaaa, orang gila tolong, haha mampus” kata Fauzan heboh saat tangan-tangan jahil Rayan  menjamah tubuhnya dengan sedikit kasar.

 

“Ampun, ampun, haha… capek ah gue” kata Fauzan menyerah. Posisi Fauzan ada di dalam dekapan tubuh Rayan jika dilihat sekilas terlihat seperti Rayan sedang memeluk Fauzan dari belakang dan memojokkan tubuh Fauzan ke batu.

 

Sesuatu dari tubuh Rayan mengeras tepat di belahan pantat Fuazan, mereka sama-sama merasakan itu, membuat mereka terdiam bersamaan, seketika tenggorokan Rayan terasa amat kering dan ia berharap mendapatkan alasan yang tepat untuk meninggalkan Fauzan di sini, Rayan sangat malu dan mengutuk diri kenapa bisa begini, dan menapikkan gagasan-gagasan yang bermunculan di kepalanya bahwa Rayan turn on karena Fauzan, karena itu amat mustahil, namun jika bukan karena Fauzan lantas karena apa?

 

Momen awkward menyergap mereka, Rayan merasakan nikmat yang menjalari tubuhnya seakan-akan ia ingin sekali menekan  tubuhnya lebih rapat lagi dengan Fauzan, namun itu amat gila, tetapi Rayan pun tidak rela jika harus melepaskan diri dari Fauzan.

 

“Ray, gue nggak mau disodomi di tempat terbuka yak, jadi jangan di sini” kata Fauzan pelan namun sarat dengan tawa.

 

“Najis” Rayan menoyor kepala Fauzan yang sekarang tertawa terbahak-bahak, lalu Rayan menjatuhkan tubuhnya ke dalam sungai agar Fauzan tidak melihat sesuatu yang mengeras di tubuh Rayan, walaupun Rayan tahu betul Fauzan tahu tentang itu.

 

“Ih, gue sekarang kudu hati-hati nih kalo nginep di rumah lo, salah-salah gue disodomi nanti”

 

“Najis” timpal Rayan.

 

“Ray, liat dong titit lo segede mana sih kalo lagi tegang” ucap Fauzan dengan ekspresi se-nakal mungkin, namun gagal karena ekspresi tawa lebih dominan di wajah Fauzan.

 

“Diem lo!” hardik Rayan kesal.

 

“Mau gue pegangin nggak Ray?” tambah Fauzan lagi sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa daritadi.

 

“Homo lo yeh!” sergah Rayan.

 

“Lo yang homo!” jawab Fauzan.

 

“Lo lebih cocok jadi homo, badan putih bersih, mulus, bulunya jarang, hih homo banget” ledek Rayan.

 

“Lo yang homo, cocokan elo kali, homo kan suka mamer badannya yang keker” kata Fauzan dengan tidak mau kalah.

 

“Tapi lo suka kan” ledek Rayan.

 

“NGGAK!” bantah Fauzan.

 

Mereka terdiam, seperti sedang mencari ide untuk dikatakan kembali agar suasana semakin seru.

 

“Homo juga bole” kata mereka bersamaan dengan ekspresi nakal bersamaan pula, Rayan dan Fauzan tidak tahan untuk tidak menertawakan diri mereka masing-masing.

 

Rayan asik memeras bajunya yang basah, lalu menyeka badan dan wajahnya, lalu memeras bajunya lagi setelah itu baru dipakai, rambut oldschool-nya acak-acakan ditambah kumis dan janggutnya kentara karena wajahnya yang basah. Fauzan menggeleng-gelengkan kepalanya, menepik  pemikiran ngawur yang berebut menduduki fikiran Fauzan.

 

“Ayo Zan, kita balik, makan terus ke tukang tambel ban, nggak baik-lama-lama ninggalin mobil lo di sana” kata Rayan sambil memungut tas slempangnya.

 

“Emangnya kenapa Ray?” tanya Fauzan penasaran.

 

“Soalnya mobil lo ngehalangin lapaknya tuh tukang tambel ban” kata Rayan penuh kemenangan.

 

“Sialan lo, gue kira mobil gue bakalan diapa-apain kalo kelamaan ditinggal di tukang tambel ban” kata Fauzan sambil menoyor kepala Rayan.

 

“Lah, pastilah kalo kelamaan mobil lo bakalan diapa-apain sama tuh tukang tambel ban” kata Rayan dengan amat seriusnya.

 

“Diapain Ray” jawab Fauzan amat penasaran.

 

“Dibakar, kan gue udah bilang kalo mobil lo nyempitin lapaknya”

 

“Kunyuk!” Fauzan mengejar Rayan yang tertawa geli sambil menghindari serangan Fauzan.

 

 

***

 

 

“Terus si Angel balik ke rumahnya naik apa?” tanya Rayan penasaran ia melajukan mobil Fauzan. Fauzan berhenti memainkan ponselnya, itu alasan mengapa Rayan yang menyetir mobil Fauzan.

 

“Naik ojek, di daerah sini mana ada taksi yang lewat, di daerah Kandang Roda atau Pemda Cibinong, di statiun kereta, atau di jalan Alternativ Sentul baru tuh ada taksi yang mangkal” kata Fauzan, walau sebenarnya Rayan juga tahu. Fauzan kembali sibuk dengan ponselnya.

 

“Nggak jadi shopping nya dong?” tanya Rayan bodoh. “Aduh, otak lo kopong ye Ray? Kan gue udah bilang berkali-kali soal itu” protes Fauzan, perhatiannya teralih langsung kepada Rayan yang tertawa di belakang stir mobil.

 

“Gue sih iseng aja ngeganggu lo lagi chat sama bayi manja lo” ungkap Rayan jujur.

 

“Jangan-jangan lo cemburu juga ya?” ledek Fauzan dengan nada geli.

 

“Iyalah, aku kan cembulu bingit sama si bayi manja kamu itu, aku ngerasa di duain tau nggak sich” ucap Rayan  sangat aneh, namun itu mereka anggap hal yang lucu.

 

Mereka seakan-akan mempunyai dunia sendiri, dunia di mana hanya saling tatap pun mereka akan tertawa, dunia di mana hal-hal yang tidak jelas, yang terlalu serius, yang bodoh terlihat dan terdengar amat menyenangkan, semua hal tidak bisa membuat mereka berhenti tertawa. Karena mereka menciptakan kebahagiaan mereka sendiri, tidak menunggu orang lain untuk memberikan kebahagiaan yang mereka cari, karena menunggu adalah hal yang ambigu. Dan mereka membenci itu.

 

“Ke Botani Square dulu Ray, beli cemilan” titah Fauzan lalu asik kembali dengan ponselnya.

 

Sesekali Rayan memperhatikan Fauzan yang menyeringai setelah membalas chat dari Angel, entah apa yang mereka bicarakan lewat chat tersebut, Rayan benar-benar merasa bosan kala ia harus memperhatikan jalan dan Fauzan yang asik berchat ria, “Jangan ngerokok. Ini mobil gue, dan nggak ada orang yang boleh ngerokok di dalem sini” protes  Fauzan ketika asap rokok terhirup oleh Fauzan.

 

Rayan menepikan mobil, menarik nafasnya banyak-banyak, “Lo pikir gue supir lo? Gue nggak boleh inilah, itulah, sedangkan lo asik sama gadget lo, autis banget si lo Zan” kata Rayan dengan amat kesal. Fauzan terdiam, ia melihat ponselnya yang berdering pelan lalu melepas batrei-nya cepat-cepat.

 

“Kay, maaf.” Jawab Fauzan penuh penyesalan. Inilah Fauzan ia tahu bagaimana bersikap saat Rayan marah, saat Rayan membutuhkannya, jadi kalau Rayan jatuh cinta nantinya jangan salahkan Rayan. Salahkan saja Fauzan, kenapa Fauzan sangat sulit untuk tidak dicintai Rayan.

 

Jika cinta tumbuh di antara mereka, itu karena mereka saling mengerti, saling menjaga, saling memperhatikan, saling menghibur, dan beberapa unsur kuat lainnya, semua yang tumbuh semakin lama-semakin membesar hingga hampir mampu melumpuhkan garis besar—fakta—mereka itu laki-laki. Mereka saling ketergantungan.

 

“Gue tadi ngambil Mixmax tiga botol deh, kok nggak ada sama sekali ya?” tanya Rayan heran saat mengacak-acak kantung belanjaan mereka di parkiran Botani Square.

 

“Gue cancel pas lo lagi pipis tadi,” kata Fauzan santai. Sambil membuka pintu penumpang belakang lalu menjejalkan kantung plastik belanjaan mereka ke dalam mobil.

 

“Rese lo ah, kalo lo nggak punya duit biar gue yang bayar, nggak usah dicancel.” Protes Rayan. Mereka masuk ke dalam mobil, Fauzan tahu Rayan kesal karena hal ini, Fauzan hanya menghela nafasnya pelan saat pintu mobil ditutup dengan amat kasar oleh Rayan.

 

“Ray, hobi tuh yang bagusan dikit jangan mabok. Emang nggak ada yang lebih baik daripada mabok apa?”

 

“Yang mabokkan gue, jadi terserah gue” bantah Rayan kekeuh.

 

“Terserah lo deh! Tuh di plastik yang itu” Fauzan menunjuk kantung plastik di belakang kursi pengemudi. Rayan mencomot Mixmax Cranberry lalu menenggaknya, menyulut rokoknya dan menikmati sejuknya kota Bogor.

 

Fauzan menyumpal telinganya dengan earphone yang dipasangkan dari iPad-nya, membiarkan Rayan menikmati kegiatan yang menurut Fauzan : bodoh, itu sendirian.

 

Rayan memarkirkan mobil Fauzan dengan amat hati-hati, Puncak Pass hari ini ramai juga dikunjungi padahal ini bukan weekend, Rayan tersenyum melihat Fauzan tertidur di sisinya, wajah Fauzan masih terlihat segar, tidak kucel seperti orang yang sedang tertidur, perlahan-lahan tangan Rayan menyentuh rambut Fauzan lalu pelan mengacak-acaknya, memanggil nama Fauzan dengan lembutnya seakan-akan Rayan tidak tega membangunkan Fauzan, namun senja sudah datang, Fauzan paling suka berdiri di tebing Puncak Pass saat senja, dan Rayan jauh lebih tidak tega kalau Fauzan tidak melihat lengsernya matahari.

 

“Zan, bangun, kita udah sampai” panggil Rayan pelan di dekat telinga Fauzan.

 

Saat wajah Rayan semakin mendekat Fauzan menepis wajah Rayan hingga menjauh, “Gue nggak tidur tauk, jangan deket-deket gue, mulut lo bau alkohol” protes Fauzan sambil keluar dari mobilnya. Rayan menghela nafasnya, mungkin benar Rayan salah karena tidak menggubris Fauzan, kadang kala menuruti orang yang kita cintai itu tidak mengapa, selama masih dalam tahap kewajaran. Sesegera mungkin Rayan menepis pemikiran bodohnya tadi.

 

Angin menerpa wajah mereka berdua, Fauzan memejamkan matanya perlahan, mempersilakan angin menerpa wajahnya, menentramkan jiwanya, membiarkan ketenangan menguasai dirinya, Fauzan suka sekali menghabiskan senja di Puncak Pass seperti sekarang ini, melakukan kegiatan merefresh diri di kala senja seperti ini.

 

Rayan tersenyum kecil memperhatikan Fauzan yang sedang memejamkan matanya dalam damai, tangan mereka bersentuhan, mengalirkan sebuah energi yang bersinergi bersamaan, ada getaran yang menguat yang tidak kuat lagi mereka bantahkan, Rayan menggenggam tangan Fauzan dan Fauzan menggenggam tangan Rayan jauh lebih erat, tubuh mereka merapat, menyembunyikan tangan mereka yang bertalutan erat. Diikuti sang senja yang digantikan malam.

 

Rayan tersenyum getir ketika kepala Fauzan disenderkan ke bahunya, Fuazan mungkin kelelahan sampai-sampai ia tertidur, kilasan kejadian tadi sedikit mengganggu benaknya kali ini, apakah benar semua yang ia lakukan, apa perasaan ini halal? Apa jika berlanjut semua ini tidak menimbulkan masalah? Ini semua salah, Rayan masih mengaku pria normal, dan tidak mungkin ia jatuh cinta kepada cowok normal pula, sahabatnya.

 

Rayan cepat-cepat menutup kaca mobil setelah membuang rokoknya sembarangan, hujan turun dengan amat derasnya, menyergap siapa saja yang tidak memiliki naungan, membasahi bumi dan menyudahi atau memulai kemelut baru, apapun itu, yang terjadi nanti masih misteri. Rayan hanya mampu menunggu, seperti menunggu hujan reda dan mengetahui hasil dari hujan malam ini. Rayan hanya memohon, jika ini cinta maka kuatkanlah mereka berdua dan jika bukan biarkan Fauzan menjadi sahabatnya selamanya.

 

 

***

 

HEY, apakabar? Lama banget nggak nge-post cerita di blog ini *lagi gila* kalian masih sehat-sehat ajakan? Udah punya gebetan atau bahkan pacar, belum? Semoga cepet dapet ya…. *ngomong apasih*

 

Yang nungguin updatean dari gue si penulis ganteng—alah!  Maskasih ya, kalian udah mau susah payah buka blog rendi dan ngebeca dan nanti KOMENTAR di postingan gue. Kalian emang top markotop nggak pakek gurih-gurih enyoy, uek!

 

Semoga nggak ada typo, kalaupun ada, like i care? hahaha canda ica kale. Eh, kritiknya dong, yang pedes yak, karetnya dua! Catet! Karetnya dua!

 

Udah ah, capek ngetiknya, mending kalian baca terus timpukin gue pakek duit, atau kasih tepuk kaki kek, apa kek, asal jangan ngajakin kencan ya, nanti Rama marah. Bzzzzzzzzzzz.

 

Oiah! Seperti postingan kemarin, gue cuman mau ngasih sedikit info yang nggak penting-penting amat sih, tapi kalo kalian pada minat ya monggo.

 

Bagi siapapun, mau dari bangsa manusia, bangsa amerika, australia, argentina dan alah ngacok! Yang berminat cerita atau karya tulis kalian diPosting di blog ini bisa kirim E-mail ke :

 

Percival_one@yahoo.com

 

Atau

 

Irfandirahman1@gmail.com

 

Atau ke E-mail Rendi? Ah! Gue saranin mendingan ke gue atau ke Onew aja deh, Rendi itu sibuk banget *gosip belaka* belum tentu dikerjain *rendi jangan bunuh gue plis* mending ke Onew yang imut bolo-bolo atau ke gue yang tampannya ngalahin Sam Tsui.

 

Syaratnya :

 

  1. Harus LBGT
  2. Untuk cerita pertama diutamakan cerpen.
  3. Kalau cerpen kalian udah diPosting boleh kirim cerbung, tapi! Harus udah tamat!
  4. Jangan lupa transferannya ke rekening gue dan Onew *yang ini ngacok*
  5. Makasih. Haghaghag.

 

Gue nunggu karya-karya kalian banget lho.

 

Makasih ya udah mau baca tulisan dan pengumuman nggak jelas dari gue.

 

Bye-bey bebih.

 

 

@irfandi_rahman.

Rayan dan Fauzan (5)

images fr

  • Hanya Terpukau, Bukan Jatuh Cinta.

“Kreeek” bunyi kaleng bir yang remuk di dalam genggaman tangan Rayan. Alkohol tidak benar-benar menenangkan, rokok Black Mentol yang telah habis hampir lima puluh sembilan batang Rayan hisap pun tidak membantu banyak. Rayan menjentikan rokoknya hingga bara api di rokok tersebut padam, genap lima puluh sembilan batang ia hisap.

Perhatiannya teralih kepada ponsel di antara bungkusan rokoknya, lagu Just A Kiss dari Lady Antebellum terdengar, karena memang sedari tadi Rayan duduk di loteng rumahnya, ditemani empat kaleng bir dan tiga bungkus rokok Black Mentol. Tidak berlebihan, karena di kesehariannya Rayan mampu menghabiskan dua bungkus rokok tersebut, namun kali ini hanya dalam hitungan jam, dari tiga bungkus rokok hanya tersisa satu batang saja.

Rayan membuka kaleng bir ke tiganya, bunyi khas terdengar merembas syahdu, membuat Rayan menyeringai tidak jelas, lalu Rayan menyulut batang rokok terakhirnya, lagu Just A Kiss memasuki reff-nya, entah mengapa dari sekian banyak tegukkan alkohol atau pun hisapan rokok yang Rayan lakukan, lagu dari Lady inilah yang paling mampu mendamaikan hatinya.

“Bangsat” rengek Rayan, setelah lagu itu habis dan digantikan suara Miley Cyrus yang melantunkan lagu Wrecking Ball-nya.

Tidak lama kemudian Rayan berbaring di loteng yang berdebu, tidak perduli beberapa nyamuk yang bernafsu menyedot darahnya, berapa debu yang akan ia hisap, kepalanya sangat pening, unsur air dalam dirinya juga terasa berdesir, mengalir ke tiap sudut tubuhnya, ia serasa plastik terisi air, tiap menggerakan tubuhnya, air itu pun ikut bergerak, membuat rasa mual menghantui Rayan.

Kepala Rayan memberat, ia benar-benar tidak memperdulikan apapun saat ini, yang ia butuhkan hanya berbaring dan menutup matanya yang terasa digelayuti monster-monster kecil.

***

Rayan memperhatikan wajahnya, sangat kuyu, rambutnya kusut, kantung matanya terlihat jelas, kumis tipis mulai mendapatkan teman barunya, janggut di dagu Rayan mulai tumbuh.

“Kesan seksi yang bullshit.” ungkap Rayan asal.

Rayan meraih gitarnya, memainkannya sebentar sampai rasa bosan menyelimuti. “Bangke” umpat Rayan setelah melempar gitarnya asal. Suara Maudy Ayunda terdengar syahdu.

“Mungkin memangku cinta, mungkin memang kusesali, tapi mengapa kini, cinta datang terlambat”

“Monyet” hardik Rayan sambil mematikan radionya.

Rayan memandang ke segala penjuru kamarnya, semua benda dan suasana kamar Rayan yang membosankan serasa mampu membunuh Rayan dalam hitungan jam ke depan.

“Ngetot” ucap Rayan asal, sambil menjatuhkan diri ke tempat tidurnya, membiarkan matanya tertutup dan kedamaian menjemput.

“Ray, maafin gue, dari dulu sampai sekarang lo itu gue anggap kakak gue, lo selalu lindungin gue, buat gue ngerasa aman di samping lo, tapi itu nggak akan pernah cukup ngebuat gue cinta sama lo, banyak orang yang nunggu cinta lo Ray, jangan buang-buang waktu lebih lama lagi buat nunggu gue” ucap Syifa sambil menggenggam tangan Rayan, Rayan hanya mampu tersenyum masygul, beberapa hal memang tidak patut dipaksakan.

“Hajar gue!”

 

“Bangsat”

 

Gue nggak akan pernah nyakitin orang yang gue sayang”

 

Bayangan tubuh Fauzan tertelan siluet mengerikan.

“Haaah, haah, haah” Rayan terbangun dari tidurnya, nafasnya tersengal-sengal, saat ia hendak meraih gelas yang berisikan air putih, Rayan malah menjatuhkannya.

Rayan mendesah panjang, benar-benar hari sial, memang sejak kapan ia tidak mengalami kesialan?.

Bayangan Fauzan yang tersenyum terasa nyata di balik kelopak matanya.

Ya, Rayan selalu merasa sial semenjak mereka berselisih.

Saat kembali dari dapur sehabis mengambil air minum, Rayan melihat tas Fauzan yang tergantung di sebelah tasnya. Rayan memang membawa pulang tas Fauzan sehabis kejadian di atas gedung sekolah, entah mengapa intuisinya memaksa Rayan untuk membawa pulang tas Fauzan, yang Rayan yakin Fauzan sudah tidak lagi memperdulikan tasnya lagi, bagaimanapun Rayan tidak bisa menapik fakta bahwa Rayan dan Fauzan saling memahami satu sama lain.

Rayan meragu, namun kakinya tetap melangkah mendekat, sampai tangan Rayan mampu menggapai tas Fauzan. Entah apa yang membuat Rayan tertawa, yang Rayan tahu ia amat bersemangat kali ini.

***

Rayan menatap tas Fauzan yang dislempangkan di bahu kanannya, sekarang Rayan meragu, ada rasa takut yang menguar, mendadak berdiri di depan gerbang rumah Fauzan adalah hal yang terasa horor.

“Den Rayan, masuk atuh, ngapain di situ mulu,” seru pembantu Fauzan yang pangling dengan sikap Rayan.

“Den, kok baru ke sini sekarang? Nggak dari hari pertama aden sama mas Fauzan dikeroyok anak-anak bengal STM Yadika? Eh tapi aden nggak kenapa-napakan? Mas Fauzan kasian deh den, hidungnya berdarah, mukanya bonyok-bonyok.” Rayan merasa amat berdosa, Rayan rasa ia tidak sanggup bertemu Fauzan, Rayan tidak memiliki lagi keberanian menampakan diri di hadapan Fauzan lagi rasanya.

“Rayan cuman mau balikin tasnya Fauzan bi, Rayan pulang ya, ada urusan”  Rayan cepat-cepat pamit setelah tas Fauzan dipegang si bibik.

“Ray, Fauzan pasti kepengin banget ketemu kamu, dia murung mulu tuh kayak cowok abis putus, padahal dia jomblokan? Kamu sih baru dateng sekarang, eh sekarang malah nggak mau nemuin dia lagi, nanti anak tante satu-satunya yang paling cute desperado deh” ucap Tante Mira, ibu Fauzan, mampu membuat Rayan mematung.

Rayan tidak mampu berkata satu apapun, ia hanya menggaruk-garuk hidung mancungnya yang tiba-tiba terasa gatal. “Ayo, se-nggaknya kamu tanyain kabarnya Fauzan aja, dia ada di tempat biasa, lagi main Notebook-nya tuh” tante Mira menarik lengan Rayan membawa Rayan hingga ke dalam rumah, lalu menunjukan di mana Fauzan berada dan pergi setelah menepuk-nepuk bahu Rayan.

Rayan menggigit bibir bawahnya sebentar, hidungnya mendadak kembali terasa gatal. Rayan memperhatikan sosok Fauzan yang sekarang sedang asik memainkan gitar, entah kenapa Rayan menjadi amat penasaran dengan lagu yang sedang Fauzan mainkan, perlahan-lahan kakinya melangkah mendekat ke arah Fauzan, rasa ragu dan takutnya mendadak hilang entah ke mana.

Perlahan-lahan suara Fauzan terdengar semakin jelas, Rayan tahu betul lagu yang sedang Fauzan nyanyikan, lagu itu yang mampu menenangkan Rayan ketimbang alkohol dan rokoknya, lagu Just A Kiss, dan sekarang Rayan jauh lebih menyukai lagu Just A Kiss versi Fauzan, Rayan meringis pelan, rasanya ingin sekali menghampiri Fauzan, mengacak-acak rambut Fauzan, bercanda dan berkelelahi kecil layaknya dulu.

Cepat-cepat Rayan menguatkan niatnya untuk menghampiri Fauzan, merangkai kata maaf sebaik mungkin agar Fauzan memaafkannya, namun selalu gagal, ribuan kata memenuhi kepalanya namun tidak ada satu pun yang terangkai sempurna, lidahnya terasa amat kelu untuk mengucapkan ribuan kata-kata maaf yang hilir mudik di dalam kepala Rayan, Rayan benar-benar mengutuk diri karena teramat canggung untuk ukuran seorang sahabat baik.

“Zan, gu-e, gue minta maaf banget yah” Rayan berkata gugup. Dan bulu kuduknya meremang seketika saat Rayan menengadah, Fauzan tidak lagi di tempatnya tadi, Fauzan berada di hadapannya sekarang ini.

Fauzan menatap Rayan dengan pandangan tenang setenang air kolam renang, berbeda dengan Rayan, pupil matanya mengecil menatap Fauzan yang kini berada di hadapannya, mulut Rayan pun sedikit terbuka, hati Rayan mencelos, ia berjanji. Jika Fauzan hendak membalas melukainya saat ini atau kapanpun Rayan akan menerimanya. Rayan memejamkan matanya, bersiap-siap jika saja Fauzan ingin memukulnya, saat menutup matanya Rayan tahu betul ia telah bertindak dengan amat bodoh tiga hari lalu, Rayan benar-benar menyesali perbuatannya, dan mengutuk sifat bodohnya, sifat emosinya yang kerap meledak-ledak saat merasa tersaingi, saat merasa harga dirinya terinjak-injak walau pada kenyataanya itu semua hanya perasaanya saja, karena Rayan tahu Fauzan tidak akan berbuat satu pun yang Rayan prejudiskan kepadanya.

Angin Agustus menerpa tubuh Rayan, pukulan yang Rayan nanti-nanti tidak juga dilayangkan Fauzan kepadanya. Saat pandangan mereka saling bertalutan, Rayan lebih memilih Fauzan melukainya dibanding harus terbunuh rasa bersalahnya, minta maaf memang mudah, memaafkankan pun perkara mudah, namun mengikhlaskannya itulah yang susah.

Keringat dingin mulai terasa di tiap-tiap bagian tubuh tertentu Rayan, membuat Rayan semakin terdesak keadaan, Rayan berharap Fauzan mengucapkan satu huruf, kata atau bahkan kalimat, apapun yang Fauzan akan katakan kepada Rayan, Rayan rasa itu jauh lebih baik daripada harus terjebak dalam momen awkward jauh lebih lama lagi bersama Fauzan.

“Gue, gue mau minta maaf, pokoknya gue minta maaf udah nyakitin lo kemarin-kemarin, gue, gue nggak ngerti harus minta maaf dengan cara apa sekarang ini, tapi, tapi gue berharap lo bisa ngerti cara berminta maaf gue sakarang ini, apapun yang lo mau lakuin ke gue sekarang, gue akan terima, tapi maafin gue, please” ucap Rayan cepat namun sedikit gagap.

Fauzan menghela nafasnya, raut wajah dan tatapannya benar-benar tidak bisa dimengerti Rayan, yang Rayan tahu adalah sekarang ini mereka berpelukan.

Fauzan seakan-akan pertama kali memeluk tubuh tinggi dan tegap Rayan, seperti memeluk kekasih hati untuk pertama dan terakhir kalinya, hanya kesunyian yang mereka rasakan, dan dua jantung yang berdetak besisian seperti sedang melepas kerinduan yang mendalam, melepaskan sebuah amarah di akhir perpisahan.

Saat Rayan hendak melepaskan pelukannya, Fauzan merengkuh lebih erat lagi tubuh Rayan, membuat Rayan makin menyadari seberapa besar kesalahannya dan seberapa hebat Fauzan berlapang dada untuk memaafkan semua kesalahanya.

Penyesalan—pasti—akan selalu datang terlambat, namun dengan keterlambatan itu Rayan belajar banyak tentang kesalahan yang mengakibatkan penyesalan.

You’re my best bro foeva” ucap Fauzan getir, seakan-akan ia tidak benar-benar ikhlas mengatakannya kepada Rayan.

Kini berbalik, Rayan merengkuh tubuh Fauzan erat-erat, seakan-akan itu kata-kata terakhir yang akan Rayan dengar dari mulut Fauzan. Wangi buah Cinnamon, Jeruk dicampur susu menguar,  Angel bener, wangi Fauzan bener-bener buat gue jauh lebih tenang. Batin Rayan.

“Lo, lo nggak marah sama sekali sama gue Zan?” tanya Rayan setelah acara berpelukan pun selesai.

Fauzan kembali memperlihatkan ekspresi menyebalkannya, ekspresi yang benar-benar Rayan rindukan dari seorang Fauzan, Rayan juga tak mau kalah memasang wajah jijiknya walau dalam hati Rayan tersenyum lebar mendapati sahabatnya benar-benar berperan layaknya sahabat walau Rayan tidak tahu apakah ia juga pantas disebut sahabat bagi Fauzan, Rayan tidak terlalu perduli soal itu, karena ke depannya Rayan yakin ia akan lebih dewasa dan bijak dalam menghadapi problema.

“Gue bukan malaikat, ya jelas gue enek banget sama lo, lo jomblo desperado!” ucap Fauzan keji.

“Sialan, kayak lo nggak desperado aja gue diemin” balas Rayan.

“Cih, pede banget lo, gue saranin yah Ray, jangan sering-sering ke-pe-de-an, itu prihal lo jomblo sampe sekarang” hina Fuazan sambil menyilangkan tangan di dadanya.

“Gue kasih tau yeh, cewek seantero sekolah itu pada ngejar-ngejar cinta gue, tapi cuman guenya aja yang nggak mau sama mereka” bantah Rayan. Sontak Fauzan menaikan alis kanannya tinggi-tinggi lalu tertawa terbahak-bahak dan Rayan pun mengikuti.

“Makasih ya Zan, udah mau maafin gue”

Fauzan hanya mengangguk dengan senyum yang mampu membuat banyak cewek meleleh seketika dan para cowok emosi karena—gebetan atau bahkan pacar mereka ikut tertawan senyum Fauzan yang amat ramah—senyum dari Fauzan.

 

Karena gue emang akan selalu memaafkan kekhilafan-kekhilafan yang lo lakuin ke gue Ray, karena gue juga berada dalam kekhilafan, mencintai lo itu sesuatu kekhilafan gue. Batin Fauzan masygul.

***

“Jadi, keputusannya kita mau bawain lagu apa nih, udah mepet banget waktunya Syif” tanya Rayan sambil menggaruk-garuk hidungnya, Syifa memutarkan pandangnya seperti sedang memburu ide yang berterbangan seperti Kupu-kupu taman di bulan Agustus.

“Lagu Stay dari Rihanna aja, sama Bertahan dari Rama” usul Syifa, baru saja Rayan hendak mempertimbangkan usul Syifa, “Iya, pokoknya itu aja ah Ray, gue paling hapal lagu itu doang untuk sekarang ini, lagi pula yah, takut jelek kalo nyanyi lagu yang terlalu susah, kitakan belum latihan sama sekali, sedangkan waktunya sebentar lagi” Rayan hanya tersenyum tipis, mendengarkan Syifa berceloteh panjang lebar, beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan, kalimat itu tergiang kembali di dalam kepala Rayan.

Tiap hati punya caranya sendiri untuk sembuh dari rasa sakit yang diakibatkan cinta, dan untuk ukuran cowok seperti Rayan ini semua sudah cukup menyiksa dan menye-menye, ia bertekad berhenti mencintai Syifa, mengikhlaskan sesuatu amat sulit memang, namun amat indah, pastinya.

“Oke” Rayan memetik gitarnya, membiarkan suaranya dan suara Syifa berkolaborasi menyanyikan lagu Stay nya Rihanna.

Hati yang baru biasanya muncul setelah kekelaman terlewati, hal tersebut menempa hati, mengukir kenangan dan pelajaran, lalu siap mencari labuan baru.

***

Rayan mengatur nafasnya, ruangan serba guna sekolahnya sudah dipenuhi anak-anak kelas tiga untuk mengikuti ujian—praktik—Midsemester pelajaran Seni Musik, beberapa siswa sudah siap dengan alat musiknya sendiri yang mereka tenteng sekarang ini, jika melihat teman-temannya menjinjing alat musik Rayan hanya bisa meringis, bukan karena ia tidak punya alat musik namun bagi Rayan membawa alat musik sendiri itu hal yang amat merepotkan, karena sekolah mereka pun sudah memfasilitasi segala macam alat musik yang murid butuhkan untuk praktik hari ini.

Rayan sangat suka metode belajar-mengajar yang diterapkan pak Mutazam, selalu berpraktik dan membebaskan anak didiknya untuk mengeksplor kemampuan mereka, tidak mendominasi atau mengatur, ia hanya membimbing dan menjadi konsultan para muridnya, tiap murid yang mempunyai suara kurang baik juga tidak menjadi kendala bagi pak Mutazam, sang guru sering menginggatkan bahwa aspek yang pak Mutazam nilai dari murid-murid untuk mata pelajaraanya yaitu; kemauan untuk berusaha.

Rayan masih berdiri di samping Syifa, menunggu kedatangan pak Mutazam ke ruangan ini seperti yang lain, lagu Feel This Moment terdengar gagah di dalam ruangan ini, membuat banyak siswa-siswi ikut bernyanyi dan menggerakan badan mereka seiring lagu.

Tidak sengaja Rayan melihat Fauzan dan Angel di ujung ruangan tepat di samping pendingin ruangan yang besarnya mirip lemari dua pintu, bersama dengan teman-teman Angle lainnya, dalam hati Rayan menggerutu karena seharusnya Fauzan berdiri di sisinya, harusnya mereka sudah bercanda kembali sekarang ini, bukankah mereka sudah berbaikan kemarin? Dan cukup hanya dengan melihat Fauzan tertawa-tawa dengan Angle di sudut lain gedung ini Rayan sudah merasakan kebosanan yang amat parah melanda hatinya.

Pandangan Rayan bergerak ke wanita di sisinya, dan Rayan mendapati Syifa sedang memandang Fauzan dengan pandangan sedihnya, Rayan mendesah panjang di dalam hati, ia menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba gatal, sekali lagi Rayan memandang Fauzan yang masih asik tertawa bersama Angel entah apa hal menarik yang mereka tertawakan. Saat seseorang jatuh cinta, apalagi sedang berdua dengan pacar baru mereka, hal-hal kecil pun terasa amat menghibur dan membahagiakan, lalu mereka larut dalam tawa dan dunia serasa milik mereka.

Rayan meringis slash tersenyum malu ketika ia kedapatan Fauzan sedang memandangi Fauzan dan Angel, Rayan lagi-lagi menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba gatal saat Fauzan menatap ke arahnya, entah mengapa lantai-lantai bermotif di sekeliling Rayan terasa amat menarik untuk dipandang saat ini daripada saling bersitubuk pandang dengan Fauzan.

Saat Rayan rasa Fauzan sudah tidak memandang ke arahnya lagi, Rayan menegakkan wajahnya, sontak tubuhnya kaku ketika Fauzan masih menatap ke arahnya dan dengan amat perlahan Rayan melihat Fauzan tersenyum kepadanya. Sampai Angel menarik Fauzan ke dalam obrolan mereka lagi, dan menyudahi hal yang membuat Rayan gugup akan—senyum—Fauzan.

Cepat-cepat Rayan membalik badannya berniat mencari Syifa. Di, entah keberapa langkahnya, Rayan kembali mengingat hal tadi, ketika Rayan menegakkan wajahnya dan Fauzan tersenyum ke arahnya lalu tubuhnya kaku seketika, ada kontraksi di hati Rayan saat ini, namun Rayan tidak mengerti apa arti kontraksi yang hatinya rasakan. Rayan mengumpat, kenapa ia bisa merasakan perasaan aneh layaknya cewek sedang jatuh cinta, walau Rayan tidak pernah mengerti bagaimana perasaan cewek saat jatuh cinta tapi menurut Rayan kelakuannya tadi mirip cewek sedang jatuh cinta, apa ia jatuh cinta kepada Fauzan? Sekejap Rayan menapik hal itu dan berpikir ia sudah hampir gila karena permasalahan di antara mereka, berkali-kali Rayan mensugestikan dirinya, kalau perasaan tadi itu timbul karena rasa bersalah Rayan, dan melihat Fauzan tersenyum sangat membuat Rayan merasa bahagia, maka dari itu ia merasakan hal bodoh seperti tadi. Namun dengan lancangnya ingatan Rayan memutar ulang kejadian tadi. Rayan menegakkan wajahnya lalu Fauzan dengan perlahan tersenyum ke arahnya. Bangke, lama-lama ngaco nih otak gue, batin Rayan kesal.

***

Angin Agustus menerpa wajah Rayan ketika kepalanya sudah berada di atas gedung sekolah, Syifa sedang bernyanyi-nyanyi kecil di dekat tabung penyimpan air, tempat yang selalu Syifa kunjungi di saat fikirannya kacau, “Kita nanti telat lho Syif, kalo lo mau lebih lama lagi duduk di situ?” kata Rayan.

Syifa berbalik badan setelah menghapus air matanya, Rayan pun tahu Syifa habis menangis, namun ia berpikir apa yang bisa ia lakukan, kerena tiap hati punya cara sendiri untuk mengatasi sakit slash luka yang ditimbulkan dari patah hati, maka dari itu Rayan yakin Syifa bisa mengatasinya sendiri tanpa bantuannya lagi.

“Gue cuman mau ngehafal lagunya Rama-Bertahan yang bakalan kita nyanyiin di sesi ke dua, Ray, ayo deh turun” Syifa melangkah jenjang, lalu dengan luwes ia menuruni tangga. Rayan hanya mampu tersenyum sedih, ia tahu kenapa Syifa memilih lagu Bertahan dari Rama. Hanya perlu sedikit waktu lagi bagi Rayan untuk melupakan cintanya untuk Syifa, dan jalan itu Rayan rasa semakin mudah dengan cara mengikhlaskan segala hal.

Sebagai cowok normal Rayan tidak mau terus terpuruk kepada cinta yang tidak mungkin bisa menyambut tulus hatinya, logikanya terlalu kuat ketibang harus menuruti perasaannmya yang sama lemahnya juga seperti para cewek, karena hati tercipta itu sama, rentan tersakiti, tapi kembali kepada ketiap-tiap pemiliknya, kepada cara melindungi hati mereka masing-masing. Dan Rayan memilih menjaga hatinya dengan cara para cowok kebanyakan, lebih mengedepankan logikanya.

Saat kembali ke ruang aula Rayan melihat Helmi sudah menyanyikan lagu Titanium di atas panggung bersama Amira, dan sebentar lagi Rayan bersama Syifa lalu Fauzan dan Angel, mereka mendapatkan nomer ujian yang kebetulan berurutan.

Rayan mencoba membasahkan tenggorokannya, duduk di atas panggung dan diperhatikan banyak orang bukan hal asing untuk Rayan, ia mulai memainkan gitar dipangkuannya, memetik gitarnya dengan penuh penghayatan, karena menurut pak Mutazam, semua yang berasal dari hati itu akan menimbulkan banyak keindahan, dan Rayan sedang mencobanya sekarang ini.

Tepukan tangan mengiringi turunnya Rayan dan Syifa dari atas panggung sehabis menyanyikan lagu Stay dari Rihanna. Saat Fauzan melewatinya Rayan merasa amat gugup, Rayan tenggelam dalam sorak riuh rendah para murid ketika Fauzan duduk di belakang piano dan Angle berdiri di sisi Fauzan sambil merangkul kekasihnya,

Just A Kiss, by Lady Antebellum” ucap Fauzan disambut lagi dengan tepuk tangan lebih meriah. Rayan menengadah, entah, Rayan pun tidak mengerti darimana rasa malu yang sekarang menguasai dirinya itu datang.

Rayan memperhatikan betul wajah Fauzan saat memainkan piano nya, bagaimana jemari Fauzan menari indah, bagaimana mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara indah, apa saja yang Fauzan lakukan di atas panggung tidak luput dari perhatian Rayan, Rayan pun tidak tahu apakah sedari tadi ia mengedipkan mata atau tidak, ia terlalu larut memperhatikan Fauzan. Setelah selesai Fauzan berdiri lalu tersenyum, entah hanya rasa PD Rayan yang berlebihan atau tidak, tapi Rayan merasakan bawah senyum Fauzan ditujukan hanya untuk Rayan seorang. Tubuh Rayan kembali kaku, wajahnya memanas, rasa malu merengkuh erat, dan Rayan baru sedikit mengerti kenapa ia seperti ini. Senyum Fauzan membuatnya terpukau.

***

Sekedar Info aja nih ya, gue udah konfirmasi ke Rendi, kalau kalian-kalian ada yang mau ceritanya diPosting di blog ini bisa kirim ke :

  • Hanya Terpukau, Bukan Jatuh Cinta.

“Kreeek” bunyi kaleng bir yang remuk di dalam genggaman tangan Rayan. Alkohol tidak benar-benar menenangkan, rokok Black Mentol yang telah habis hampir lima puluh sembilan batang Rayan hisap pun tidak membantu banyak. Rayan menjentikan rokoknya hingga bara api di rokok tersebut padam, genap lima puluh sembilan batang ia hisap.

Perhatiannya teralih kepada ponsel di antara bungkusan rokoknya, lagu Just A Kiss dari Lady Antebellum terdengar, karena memang sedari tadi Rayan duduk di loteng rumahnya, ditemani empat kaleng bir dan tiga bungkus rokok Black Mentol. Tidak berlebihan, karena di kesehariannya Rayan mampu menghabiskan dua bungkus rokok tersebut, namun kali ini hanya dalam hitungan jam, dari tiga bungkus rokok hanya tersisa satu batang saja.

Rayan membuka kaleng bir ke tiganya, bunyi khas terdengar merembas syahdu, membuat Rayan menyeringai tidak jelas, lalu Rayan menyulut batang rokok terakhirnya, lagu Just A Kiss memasuki reff-nya, entah mengapa dari sekian banyak tegukkan alkohol atau pun hisapan rokok yang Rayan lakukan, lagu dari Lady inilah yang paling mampu mendamaikan hatinya.

“Bangsat” rengek Rayan, setelah lagu itu habis dan digantikan suara Miley Cyrus yang melantunkan lagu Wrecking Ball-nya.

Tidak lama kemudian Rayan berbaring di loteng yang berdebu, tidak perduli beberapa nyamuk yang bernafsu menyedot darahnya, berapa debu yang akan ia hisap, kepalanya sangat pening, unsur air dalam dirinya juga terasa berdesir, mengalir ke tiap sudut tubuhnya, ia serasa plastik terisi air, tiap menggerakan tubuhnya, air itu pun ikut bergerak, membuat rasa mual menghantui Rayan.

Kepala Rayan memberat, ia benar-benar tidak memperdulikan apapun saat ini, yang ia butuhkan hanya berbaring dan menutup matanya yang terasa digelayuti monster-monster kecil.

***

Rayan memperhatikan wajahnya, sangat kuyu, rambutnya kusut, kantung matanya terlihat jelas, kumis tipis mulai mendapatkan teman barunya, janggut di dagu Rayan mulai tumbuh.

“Kesan seksi yang bullshit.” ungkap Rayan asal.

Rayan meraih gitarnya, memainkannya sebentar sampai rasa bosan menyelimuti. “Bangke” umpat Rayan setelah melempar gitarnya asal. Suara Maudy Ayunda terdengar syahdu.

“Mungkin memangku cinta, mungkin memang kusesali, tapi mengapa kini, cinta datang terlambat”

“Monyet” hardik Rayan sambil mematikan radionya.

Rayan memandang ke segala penjuru kamarnya, semua benda dan suasana kamar Rayan yang membosankan serasa mampu membunuh Rayan dalam hitungan jam ke depan.

“Ngetot” ucap Rayan asal, sambil menjatuhkan diri ke tempat tidurnya, membiarkan matanya tertutup dan kedamaian menjemput.

“Ray, maafin gue, dari dulu sampai sekarang lo itu gue anggap kakak gue, lo selalu lindungin gue, buat gue ngerasa aman di samping lo, tapi itu nggak akan pernah cukup ngebuat gue cinta sama lo, banyak orang yang nunggu cinta lo Ray, jangan buang-buang waktu lebih lama lagi buat nunggu gue” ucap Syifa sambil menggenggam tangan Rayan, Rayan hanya mampu tersenyum masygul, beberapa hal memang tidak patut dipaksakan.

“Hajar gue!”

 

“Bangsat”

 

Gue nggak akan pernah nyakitin orang yang gue sayang”

 

Bayangan tubuh Fauzan tertelan siluet mengerikan.

“Haaah, haah, haah” Rayan terbangun dari tidurnya, nafasnya tersengal-sengal, saat ia hendak meraih gelas yang berisikan air putih, Rayan malah menjatuhkannya.

Rayan mendesah panjang, benar-benar hari sial, memang sejak kapan ia tidak mengalami kesialan?.

Bayangan Fauzan yang tersenyum terasa nyata di balik kelopak matanya.

Ya, Rayan selalu merasa sial semenjak mereka berselisih.

Saat kembali dari dapur sehabis mengambil air minum, Rayan melihat tas Fauzan yang tergantung di sebelah tasnya. Rayan memang membawa pulang tas Fauzan sehabis kejadian di atas gedung sekolah, entah mengapa intuisinya memaksa Rayan untuk membawa pulang tas Fauzan, yang Rayan yakin Fauzan sudah tidak lagi memperdulikan tasnya lagi, bagaimanapun Rayan tidak bisa menapik fakta bahwa Rayan dan Fauzan saling memahami satu sama lain.

Rayan meragu, namun kakinya tetap melangkah mendekat, sampai tangan Rayan mampu menggapai tas Fauzan. Entah apa yang membuat Rayan tertawa, yang Rayan tahu ia amat bersemangat kali ini.

***

Rayan menatap tas Fauzan yang dislempangkan di bahu kanannya, sekarang Rayan meragu, ada rasa takut yang menguar, mendadak berdiri di depan gerbang rumah Fauzan adalah hal yang terasa horor.

“Den Rayan, masuk atuh, ngapain di situ mulu,” seru pembantu Fauzan yang pangling dengan sikap Rayan.

“Den, kok baru ke sini sekarang? Nggak dari hari pertama aden sama mas Fauzan dikeroyok anak-anak bengal STM Yadika? Eh tapi aden nggak kenapa-napakan? Mas Fauzan kasian deh den, hidungnya berdarah, mukanya bonyok-bonyok.” Rayan merasa amat berdosa, Rayan rasa ia tidak sanggup bertemu Fauzan, Rayan tidak memiliki lagi keberanian menampakan diri di hadapan Fauzan lagi rasanya.

“Rayan cuman mau balikin tasnya Fauzan bi, Rayan pulang ya, ada urusan”  Rayan cepat-cepat pamit setelah tas Fauzan dipegang si bibik.

“Ray, Fauzan pasti kepengin banget ketemu kamu, dia murung mulu tuh kayak cowok abis putus, padahal dia jomblokan? Kamu sih baru dateng sekarang, eh sekarang malah nggak mau nemuin dia lagi, nanti anak tante satu-satunya yang paling cute desperado deh” ucap Tante Mira, ibu Fauzan, mampu membuat Rayan mematung.

Rayan tidak mampu berkata satu apapun, ia hanya menggaruk-garuk hidung mancungnya yang tiba-tiba terasa gatal. “Ayo, se-nggaknya kamu tanyain kabarnya Fauzan aja, dia ada di tempat biasa, lagi main Notebook-nya tuh” tante Mira menarik lengan Rayan membawa Rayan hingga ke dalam rumah, lalu menunjukan di mana Fauzan berada dan pergi setelah menepuk-nepuk bahu Rayan.

Rayan menggigit bibir bawahnya sebentar, hidungnya mendadak kembali terasa gatal. Rayan memperhatikan sosok Fauzan yang sekarang sedang asik memainkan gitar, entah kenapa Rayan menjadi amat penasaran dengan lagu yang sedang Fauzan mainkan, perlahan-lahan kakinya melangkah mendekat ke arah Fauzan, rasa ragu dan takutnya mendadak hilang entah ke mana.

Perlahan-lahan suara Fauzan terdengar semakin jelas, Rayan tahu betul lagu yang sedang Fauzan nyanyikan, lagu itu yang mampu menenangkan Rayan ketimbang alkohol dan rokoknya, lagu Just A Kiss, dan sekarang Rayan jauh lebih menyukai lagu Just A Kiss versi Fauzan, Rayan meringis pelan, rasanya ingin sekali menghampiri Fauzan, mengacak-acak rambut Fauzan, bercanda dan berkelelahi kecil layaknya dulu.

Cepat-cepat Rayan menguatkan niatnya untuk menghampiri Fauzan, merangkai kata maaf sebaik mungkin agar Fauzan memaafkannya, namun selalu gagal, ribuan kata memenuhi kepalanya namun tidak ada satu pun yang terangkai sempurna, lidahnya terasa amat kelu untuk mengucapkan ribuan kata-kata maaf yang hilir mudik di dalam kepala Rayan, Rayan benar-benar mengutuk diri karena teramat canggung untuk ukuran seorang sahabat baik.

“Zan, gu-e, gue minta maaf banget yah” Rayan berkata gugup. Dan bulu kuduknya meremang seketika saat Rayan menengadah, Fauzan tidak lagi di tempatnya tadi, Fauzan berada di hadapannya sekarang ini.

Fauzan menatap Rayan dengan pandangan tenang setenang air kolam renang, berbeda dengan Rayan, pupil matanya mengecil menatap Fauzan yang kini berada di hadapannya, mulut Rayan pun sedikit terbuka, hati Rayan mencelos, ia berjanji. Jika Fauzan hendak membalas melukainya saat ini atau kapanpun Rayan akan menerimanya. Rayan memejamkan matanya, bersiap-siap jika saja Fauzan ingin memukulnya, saat menutup matanya Rayan tahu betul ia telah bertindak dengan amat bodoh tiga hari lalu, Rayan benar-benar menyesali perbuatannya, dan mengutuk sifat bodohnya, sifat emosinya yang kerap meledak-ledak saat merasa tersaingi, saat merasa harga dirinya terinjak-injak walau pada kenyataanya itu semua hanya perasaanya saja, karena Rayan tahu Fauzan tidak akan berbuat satu pun yang Rayan prejudiskan kepadanya.

Angin Agustus menerpa tubuh Rayan, pukulan yang Rayan nanti-nanti tidak juga dilayangkan Fauzan kepadanya. Saat pandangan mereka saling bertalutan, Rayan lebih memilih Fauzan melukainya dibanding harus terbunuh rasa bersalahnya, minta maaf memang mudah, memaafkankan pun perkara mudah, namun mengikhlaskannya itulah yang susah.

Keringat dingin mulai terasa di tiap-tiap bagian tubuh tertentu Rayan, membuat Rayan semakin terdesak keadaan, Rayan berharap Fauzan mengucapkan satu huruf, kata atau bahkan kalimat, apapun yang Fauzan akan katakan kepada Rayan, Rayan rasa itu jauh lebih baik daripada harus terjebak dalam momen awkward jauh lebih lama lagi bersama Fauzan.

“Gue, gue mau minta maaf, pokoknya gue minta maaf udah nyakitin lo kemarin-kemarin, gue, gue nggak ngerti harus minta maaf dengan cara apa sekarang ini, tapi, tapi gue berharap lo bisa ngerti cara berminta maaf gue sakarang ini, apapun yang lo mau lakuin ke gue sekarang, gue akan terima, tapi maafin gue, please” ucap Rayan cepat namun sedikit gagap.

Fauzan menghela nafasnya, raut wajah dan tatapannya benar-benar tidak bisa dimengerti Rayan, yang Rayan tahu adalah sekarang ini mereka berpelukan.

Fauzan seakan-akan pertama kali memeluk tubuh tinggi dan tegap Rayan, seperti memeluk kekasih hati untuk pertama dan terakhir kalinya, hanya kesunyian yang mereka rasakan, dan dua jantung yang berdetak besisian seperti sedang melepas kerinduan yang mendalam, melepaskan sebuah amarah di akhir perpisahan.

Saat Rayan hendak melepaskan pelukannya, Fauzan merengkuh lebih erat lagi tubuh Rayan, membuat Rayan makin menyadari seberapa besar kesalahannya dan seberapa hebat Fauzan berlapang dada untuk memaafkan semua kesalahanya.

Penyesalan—pasti—akan selalu datang terlambat, namun dengan keterlambatan itu Rayan belajar banyak tentang kesalahan yang mengakibatkan penyesalan.

You’re my best bro foeva” ucap Fauzan getir, seakan-akan ia tidak benar-benar ikhlas mengatakannya kepada Rayan.

Kini berbalik, Rayan merengkuh tubuh Fauzan erat-erat, seakan-akan itu kata-kata terakhir yang akan Rayan dengar dari mulut Fauzan. Wangi buah Cinnamon, Jeruk dicampur susu menguar,  Angel bener, wangi Fauzan bener-bener buat gue jauh lebih tenang. Batin Rayan.

“Lo, lo nggak marah sama sekali sama gue Zan?” tanya Rayan setelah acara berpelukan pun selesai.

Fauzan kembali memperlihatkan ekspresi menyebalkannya, ekspresi yang benar-benar Rayan rindukan dari seorang Fauzan, Rayan juga tak mau kalah memasang wajah jijiknya walau dalam hati Rayan tersenyum lebar mendapati sahabatnya benar-benar berperan layaknya sahabat walau Rayan tidak tahu apakah ia juga pantas disebut sahabat bagi Fauzan, Rayan tidak terlalu perduli soal itu, karena ke depannya Rayan yakin ia akan lebih dewasa dan bijak dalam menghadapi problema.

“Gue bukan malaikat, ya jelas gue enek banget sama lo, lo jomblo desperado!” ucap Fauzan keji.

“Sialan, kayak lo nggak desperado aja gue diemin” balas Rayan.

“Cih, pede banget lo, gue saranin yah Ray, jangan sering-sering ke-pe-de-an, itu prihal lo jomblo sampe sekarang” hina Fuazan sambil menyilangkan tangan di dadanya.

“Gue kasih tau yeh, cewek seantero sekolah itu pada ngejar-ngejar cinta gue, tapi cuman guenya aja yang nggak mau sama mereka” bantah Rayan. Sontak Fauzan menaikan alis kanannya tinggi-tinggi lalu tertawa terbahak-bahak dan Rayan pun mengikuti.

“Makasih ya Zan, udah mau maafin gue”

Fauzan hanya mengangguk dengan senyum yang mampu membuat banyak cewek meleleh seketika dan para cowok emosi karena—gebetan atau bahkan pacar mereka ikut tertawan senyum Fauzan yang amat ramah—senyum dari Fauzan.

 

Karena gue emang akan selalu memaafkan kekhilafan-kekhilafan yang lo lakuin ke gue Ray, karena gue juga berada dalam kekhilafan, mencintai lo itu sesuatu kekhilafan gue. Batin Fauzan masygul.

***

“Jadi, keputusannya kita mau bawain lagu apa nih, udah mepet banget waktunya Syif” tanya Rayan sambil menggaruk-garuk hidungnya, Syifa memutarkan pandangnya seperti sedang memburu ide yang berterbangan seperti Kupu-kupu taman di bulan Agustus.

“Lagu Stay dari Rihanna aja, sama Bertahan dari Rama” usul Syifa, baru saja Rayan hendak mempertimbangkan usul Syifa, “Iya, pokoknya itu aja ah Ray, gue paling hapal lagu itu doang untuk sekarang ini, lagi pula yah, takut jelek kalo nyanyi lagu yang terlalu susah, kitakan belum latihan sama sekali, sedangkan waktunya sebentar lagi” Rayan hanya tersenyum tipis, mendengarkan Syifa berceloteh panjang lebar, beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan, kalimat itu tergiang kembali di dalam kepala Rayan.

Tiap hati punya caranya sendiri untuk sembuh dari rasa sakit yang diakibatkan cinta, dan untuk ukuran cowok seperti Rayan ini semua sudah cukup menyiksa dan menye-menye, ia bertekad berhenti mencintai Syifa, mengikhlaskan sesuatu amat sulit memang, namun amat indah, pastinya.

“Oke” Rayan memetik gitarnya, membiarkan suaranya dan suara Syifa berkolaborasi menyanyikan lagu Stay nya Rihanna.

Hati yang baru biasanya muncul setelah kekelaman terlewati, hal tersebut menempa hati, mengukir kenangan dan pelajaran, lalu siap mencari labuan baru.

***

Rayan mengatur nafasnya, ruangan serba guna sekolahnya sudah dipenuhi anak-anak kelas tiga untuk mengikuti ujian—praktik—Midsemester pelajaran Seni Musik, beberapa siswa sudah siap dengan alat musiknya sendiri yang mereka tenteng sekarang ini, jika melihat teman-temannya menjinjing alat musik Rayan hanya bisa meringis, bukan karena ia tidak punya alat musik namun bagi Rayan membawa alat musik sendiri itu hal yang amat merepotkan, karena sekolah mereka pun sudah memfasilitasi segala macam alat musik yang murid butuhkan untuk praktik hari ini.

Rayan sangat suka metode belajar-mengajar yang diterapkan pak Mutazam, selalu berpraktik dan membebaskan anak didiknya untuk mengeksplor kemampuan mereka, tidak mendominasi atau mengatur, ia hanya membimbing dan menjadi konsultan para muridnya, tiap murid yang mempunyai suara kurang baik juga tidak menjadi kendala bagi pak Mutazam, sang guru sering menginggatkan bahwa aspek yang pak Mutazam nilai dari murid-murid untuk mata pelajaraanya yaitu; kemauan untuk berusaha.

Rayan masih berdiri di samping Syifa, menunggu kedatangan pak Mutazam ke ruangan ini seperti yang lain, lagu Feel This Moment terdengar gagah di dalam ruangan ini, membuat banyak siswa-siswi ikut bernyanyi dan menggerakan badan mereka seiring lagu.

Tidak sengaja Rayan melihat Fauzan dan Angel di ujung ruangan tepat di samping pendingin ruangan yang besarnya mirip lemari dua pintu, bersama dengan teman-teman Angle lainnya, dalam hati Rayan menggerutu karena seharusnya Fauzan berdiri di sisinya, harusnya mereka sudah bercanda kembali sekarang ini, bukankah mereka sudah berbaikan kemarin? Dan cukup hanya dengan melihat Fauzan tertawa-tawa dengan Angle di sudut lain gedung ini Rayan sudah merasakan kebosanan yang amat parah melanda hatinya.

Pandangan Rayan bergerak ke wanita di sisinya, dan Rayan mendapati Syifa sedang memandang Fauzan dengan pandangan sedihnya, Rayan mendesah panjang di dalam hati, ia menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba gatal, sekali lagi Rayan memandang Fauzan yang masih asik tertawa bersama Angel entah apa hal menarik yang mereka tertawakan. Saat seseorang jatuh cinta, apalagi sedang berdua dengan pacar baru mereka, hal-hal kecil pun terasa amat menghibur dan membahagiakan, lalu mereka larut dalam tawa dan dunia serasa milik mereka.

Rayan meringis slash tersenyum malu ketika ia kedapatan Fauzan sedang memandangi Fauzan dan Angel, Rayan lagi-lagi menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba gatal saat Fauzan menatap ke arahnya, entah mengapa lantai-lantai bermotif di sekeliling Rayan terasa amat menarik untuk dipandang saat ini daripada saling bersitubuk pandang dengan Fauzan.

Saat Rayan rasa Fauzan sudah tidak memandang ke arahnya lagi, Rayan menegakkan wajahnya, sontak tubuhnya kaku ketika Fauzan masih menatap ke arahnya dan dengan amat perlahan Rayan melihat Fauzan tersenyum kepadanya. Sampai Angel menarik Fauzan ke dalam obrolan mereka lagi, dan menyudahi hal yang membuat Rayan gugup akan—senyum—Fauzan.

Cepat-cepat Rayan membalik badannya berniat mencari Syifa. Di, entah keberapa langkahnya, Rayan kembali mengingat hal tadi, ketika Rayan menegakkan wajahnya dan Fauzan tersenyum ke arahnya lalu tubuhnya kaku seketika, ada kontraksi di hati Rayan saat ini, namun Rayan tidak mengerti apa arti kontraksi yang hatinya rasakan. Rayan mengumpat, kenapa ia bisa merasakan perasaan aneh layaknya cewek sedang jatuh cinta, walau Rayan tidak pernah mengerti bagaimana perasaan cewek saat jatuh cinta tapi menurut Rayan kelakuannya tadi mirip cewek sedang jatuh cinta, apa ia jatuh cinta kepada Fauzan? Sekejap Rayan menapik hal itu dan berpikir ia sudah hampir gila karena permasalahan di antara mereka, berkali-kali Rayan mensugestikan dirinya, kalau perasaan tadi itu timbul karena rasa bersalah Rayan, dan melihat Fauzan tersenyum sangat membuat Rayan merasa bahagia, maka dari itu ia merasakan hal bodoh seperti tadi. Namun dengan lancangnya ingatan Rayan memutar ulang kejadian tadi. Rayan menegakkan wajahnya lalu Fauzan dengan perlahan tersenyum ke arahnya. Bangke, lama-lama ngaco nih otak gue, batin Rayan kesal.

***

Angin Agustus menerpa wajah Rayan ketika kepalanya sudah berada di atas gedung sekolah, Syifa sedang bernyanyi-nyanyi kecil di dekat tabung penyimpan air, tempat yang selalu Syifa kunjungi di saat fikirannya kacau, “Kita nanti telat lho Syif, kalo lo mau lebih lama lagi duduk di situ?” kata Rayan.

Syifa berbalik badan setelah menghapus air matanya, Rayan pun tahu Syifa habis menangis, namun ia berpikir apa yang bisa ia lakukan, kerena tiap hati punya cara sendiri untuk mengatasi sakit slash luka yang ditimbulkan dari patah hati, maka dari itu Rayan yakin Syifa bisa mengatasinya sendiri tanpa bantuannya lagi.

“Gue cuman mau ngehafal lagunya Rama-Bertahan yang bakalan kita nyanyiin di sesi ke dua, Ray, ayo deh turun” Syifa melangkah jenjang, lalu dengan luwes ia menuruni tangga. Rayan hanya mampu tersenyum sedih, ia tahu kenapa Syifa memilih lagu Bertahan dari Rama. Hanya perlu sedikit waktu lagi bagi Rayan untuk melupakan cintanya untuk Syifa, dan jalan itu Rayan rasa semakin mudah dengan cara mengikhlaskan segala hal.

Sebagai cowok normal Rayan tidak mau terus terpuruk kepada cinta yang tidak mungkin bisa menyambut tulus hatinya, logikanya terlalu kuat ketibang harus menuruti perasaannmya yang sama lemahnya juga seperti para cewek, karena hati tercipta itu sama, rentan tersakiti, tapi kembali kepada ketiap-tiap pemiliknya, kepada cara melindungi hati mereka masing-masing. Dan Rayan memilih menjaga hatinya dengan cara para cowok kebanyakan, lebih mengedepankan logikanya.

Saat kembali ke ruang aula Rayan melihat Helmi sudah menyanyikan lagu Titanium di atas panggung bersama Amira, dan sebentar lagi Rayan bersama Syifa lalu Fauzan dan Angel, mereka mendapatkan nomer ujian yang kebetulan berurutan.

Rayan mencoba membasahkan tenggorokannya, duduk di atas panggung dan diperhatikan banyak orang bukan hal asing untuk Rayan, ia mulai memainkan gitar dipangkuannya, memetik gitarnya dengan penuh penghayatan, karena menurut pak Mutazam, semua yang berasal dari hati itu akan menimbulkan banyak keindahan, dan Rayan sedang mencobanya sekarang ini.

Tepukan tangan mengiringi turunnya Rayan dan Syifa dari atas panggung sehabis menyanyikan lagu Stay dari Rihanna. Saat Fauzan melewatinya Rayan merasa amat gugup, Rayan tenggelam dalam sorak riuh rendah para murid ketika Fauzan duduk di belakang piano dan Angle berdiri di sisi Fauzan sambil merangkul kekasihnya,

Just A Kiss, by Lady Antebellum” ucap Fauzan disambut lagi dengan tepuk tangan lebih meriah. Rayan menengadah, entah, Rayan pun tidak mengerti darimana rasa malu yang sekarang menguasai dirinya itu datang.

Rayan memperhatikan betul wajah Fauzan saat memainkan piano nya, bagaimana jemari Fauzan menari indah, bagaimana mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara indah, apa saja yang Fauzan lakukan di atas panggung tidak luput dari perhatian Rayan, Rayan pun tidak tahu apakah sedari tadi ia mengedipkan mata atau tidak, ia terlalu larut memperhatikan Fauzan. Setelah selesai Fauzan berdiri lalu tersenyum, entah hanya rasa PD Rayan yang berlebihan atau tidak, tapi Rayan merasakan bawah senyum Fauzan ditujukan hanya untuk Rayan seorang. Tubuh Rayan kembali kaku, wajahnya memanas, rasa malu merengkuh erat, dan Rayan baru sedikit mengerti kenapa ia seperti ini. Senyum Fauzan membuatnya terpukau.

***

 Sekedar Info aja nih ya, kalau diantara kalian ada yang mau ceritanya diPosting di blog ini, kalian bisa kirim E-mail ke para Author blog ini.

Rendi itu sibuk banget *PREEEETTT* maka dari itu lebih baik kirim E-mail ke Onew atau nggak Gue, walau Onew jauh lebih PRO, gue bisa lah sedikit-dikit edit cerita kalian,

Di bawah ini E-mail Onew dan gue.

percival_one@yahoo.com

irfandirahman1@gmail.com

Untuk cerita kalian itu diutamakan cerpen ya, setelah cerpen kalian diPost (sesuai ketentuan layak atau tidak) baru kalian boleh kirim cerbung kalian.

Kalian yang berminat gue tunggu karyanya ya, makasih.

***

HEY…. sori ya baru bisa update, soalnya kemaren ngantuk banget jadi ketiduran deh. Gimana nih masih suka sama Ray dan Fauzan? Kalo gue sih nggak suka, endingnya bakalan SAD sih, terus penuh drama HAHAHA….

Catet ya! Cerita ini bakalan SADENDING.

Jadi kalo yang nggak mau baca cerita Sad disaranin jangan baca. Eh baca aja deh, soalnya nggak bener-bener sedih kok, gue kan payah nyampein maksud cerita ke kalian yang dengan baik hati mau baca coretan payah gue hahaha….

Kritiknya dong, gue tunggu lho. Dan yang jadi SR, mau sampai kapan kalian membisu? Gabung di sini seru-seruan bareng, jangan cuman baca terus close inet kalian, ah nggak ada seru-serunya hidup kayak gitu tauk nggak *ngaco gue*

Dan, kalo kalian yang belum baca cerita “KITA” punya gue itu yang amburadul plus acak kadul, komen aja ya, kalau peminatnya banyak gue edit deh dan gue posting.

Kay, makasih udah mau baca dan nanti komen di Postingan gue.

Albus Figi.

Rayan dan Fauzan (4)

Beberapa Orang Bertingkah Konyol Saat Galau.

 

Rayan terbangun dari tidurnya, mimpi-mimpi buruk selalu menemani tidurnya akhir-akhir ini, ia bangkit dari tidurnya, berjalan keluar dari kamarnya, duduk di teras kost-nya. Saat Rayan hendak menyulutkan api ke rokok yang telah diselipkan di bibirnya, Rayan termenung.

 

“Rokok,” kekeh Rayan seperti orang gila.

 

Rayan menggaruk dagu yang ditumbuhi jangut, sekarang ini. Menatap sekilas tato abstrak dari bahu kanan hingga pergelangan tangannya.

 

Seperti membuka album lama, bayangan Fauzan tampak jelas di balik kelopak matanya, melarang keras Rayan merokok, dengan cara yang selalu berubah-ubah. Kini rokok yang telah berada dihimpitan jari-jarinya Rayan perhatikan lebih dari seksama, seakan-akan melihat batang rokok Black Mentol itu mampu mengembalikan Fauzan kembali ke sisinya, Rayan memejamkan matanya, berharap Fauzan datang dan mencegahnya untuk tidak merokok.

 

Dihisapan ke tiga kalinya, Rayan masih terus berharap Fauzan datang merebut rokok yang kini Rayan hisap, Rayan tahu itu hanya harapan bodoh, namun harapan itu sedikit mengobati rasa kesepian Rayan.

 

Sejenak Rayan mencoba menikmati asap rokok yang kini mungkin memenuhi paru-parunya, memberikan sedikit ketenangan, sedikit kedamaian.

 

Sampai rokok itu habis, Fauzan tak kunjung datang, memang kehadiran Fauzan adalah hal yang mustahil, namun Rayan tetap mengharapkan, karena dulu Fauzan datang di saat yang memustahilkan ia berada di sisi Rayan. Ini sekarang, bukan dulu, berhenti mengada-ada. Batin Rayan, mengutuk dirinya sendiri yang terlalu lemah.

 

Satu jentikan keras membuat puntung rokok di tangan Rayan terpental jauh. Rayan bangkit dan masuk ke dalam kamar kost nya lagi.

 

 

 

 

Angin pagi awal bulan Agustus menerpa wajah Rayan. Kegiatan atletik yang selalu membuatnya semangat di tiap awal bulan tidak lagi terasa menggairahkan.

 

Kenapa semua berubah menjadi tidak nyaman, kenapa semua menjadi terasa begitu asing untuk dijamah. Batin Rayan berkali-kali.

 

Dari tempat duduk GOR paling atas Rayan melihat Fauzan sedang mendrible bola basket, dihadapannya Fauzan ada Angel yang sedang tertawa bahagia, di seberang, tempat lapangan bulu tangkis Syifa sedang asik tertawa dengan Raffa, ketua Paskibra sekolah mereka. Dalam hati Rayan terus mengutuk diri, kenapa hanya ia yang tidak bahagia?

 

Para cewek masih asik sendiri di sekeliling Rayan, mereka melempar beberapa pertanyaan untuk Rayan, namun mereka jawab sendiri karena Rayan tidak urung menjawab pertanyaan mereka.

 

“Ray, ayo!!” Helmi dengan wajah penuh peluh melambai-lambaikan tangannya ke arah Rayan, memanggilnya untuk bergabung dengan club Futsal mereka.

 

Rayan tidak mrmperdulikan beberapa cewek yang kecewa ia tinggalkan begitu saja di tempat itu. Sekilas Rayan menyempatkan diri untuk menatap Syifa, Rayan mendapati Syifa menatap Fauzan dengan pandangan sedih, dan ketika Rayan menatap ke arah Fauzan, tatapan Rayan dan Fauzan bertabrakan, Fauzan sedang menatap ke arah Rayan dengan pandangan yang sulit Rayan artikan.

 

 

Rayan berkali-kali mendesah panjang, di tiap langkahnya menuju lapangan Futsal.

 

 

***

 

 

Midsemester tinggal dua minggu lagi, namun Rayan dan Syifa belum juga melakukan latihan, berbeda dengan yang lain, yang mungkin telah siap dengan dua lagu yang akan mereka bawakan bersama pasangan mereka.

 

Dan sekarang, Syifa malah tidak mengikuti pelajaran PKN yang sedang dipelajari di kelas mereka, rasa penasaran dalam diri Rayan memaksanya untuk menerawang ke arah papan tulis di depan kelas, memikirkan beberapa hal yang tak urung mengganggu fikirannya akhir-akhir ini.

 

“Rayan! Jawab pertanyaan ibu yang tadi!” suara bu Eti mengagetkan Rayan. Rayan bergerak gusar, ia tidak tahu apa pertanyaannya bahkan beberapa hal penting yang dicatat teman-temannya dari penjelasan bu Eti tidak Rayan lakukan.

 

Sebuah buku catatan tiba di hadapan Rayan, dengan cepat Rayan membaca tulisan yang di tandai dengan stabilo berwarna hijau tersebut.

 

“Bagus! Sekarang Fauzan sama Rayan maju ya ke depan kelas,” ucap bu Eti penuh hinaan karena sang guru mendapati Fauzan memberikan contekan kepada Rayan.

 

Reflek Rayan langsung menatap Fauzan di sampingnya, Fauzan hanya meringis karena mendapati diri mereka harus terkena hukuman, Rayan benar-benar kesal, ingin rasanya menendang kaki meja di hadapannya saat ini juga.

 

“Jangan buka baju dong bu, apalagi pake tulisan ‘Saya tidak akan curang dalam pelajaran apapun’ itu malu-maluin banget bu” ratap Rayan di pinggir lapangan, bell istirahat berbunyi, semua siswa menatap Rayan dan Fauzan yang berada di pinggir lapangan, beberapa dari para murid berbisik dan meneriaki Rayan dan Fauzan.

 

“Sayangnya ibu nggak perduli” ucap bu Eti acuh. Rayan dan Fauzan menggaruk-garuk kepala mereka yang tiba-tiba gatal. “Cepet, dua belas putaran ya! Ibu yang ngitung” ucap bu Eti keji.

 

Rayan mendesah panjang, sambil membuka seragamnya, lalu diikuti Fauzan. Sorak para siswi riuh-rendah terdengar, beberapa guru pun tertarik untuk menyaksikan hukuman untuk ke dua siswa populer sekolah ini.

 

Saat Fauzan memakai papan hukuman yang dikalungkan di tubuh Fauzan Rayan baru menyadari sedikit perubahan tubuh Fauzan, tidak lagi ada banyak lemak di bagian perut Fauzan, dadanya bidang dan perutnya rata, walau masih kalah bagus di banding badan Rayan yang mampu membuat siswi mendesah geregetan dan para siswa iri setengah mati.

 

“Harusnya lo nggak bantuin gue!” ungkap Rayan di putaran ke dua.

 

“Bukannya lo selalu suka kalo jadi objek perhatian sekolah? Bukannya lo selalu pamer badan sixpack lo tiap latihan futsal? Kenapa dihukum gini doang jadi masalah buat lo? Kenapa lo baru mau ngomong sama gue sekarang, apa gue punya salah sama lo? Kalau pun Syifa tersakiti karena tau gue jadian sama Angel itu bukan salah gue, gue nggak pernah minta Syifa suka sama gue, apa gue harus jomblo terus supaya jaga perasaan Syifa, kalau gue salah, kasih tahu letak kesalahan gue di mana Ray” cecar Fauzan panjang lebar, tatapan dan mimik wajah Fauzan terus memburu Rayan, membuat Rayan menyesal melemparkan kata-katanya tadi kepada Fauzan.

 

Rayan benar-benar mengutuk dirinya sendiri, karena memang betul yang Fauzan katakan, tidak mungkin Fauzan harus menjomblo terus menerus untuk menjaga perasaan Syifa, siapapun orang yang berani jatuh cinta berarti harus siap juga menerima konsekuensi patah hati. Tetapi ego Rayan tetap tidak mau kalah, melihat seseorang yang ia cintai tersakiti itu tidak nyaman, kenapa Syifa tidak jatuh cinta kepada Rayan, kepada orang yang juga mencintai Syifa dengan segenap jiwanya. Cinta memang tidak bisa dikendalikan ke mana harus dilabuhkan, ketika cinta berlabuh, norma-norma penting hanya menjadi catatan kaki.

 

Setelah menjalani hukuman Rayan lekas memakai pakaiannya lalu pergi terlebih dahulu. Entah mengapa Rayan membenci diperhatikan banyak orang sekarang ini, padahal dulu, ia selalu bangga jika menjadi pusat perhatian seantero sekolah, apalagi dihukum seperti tadi, ia bisa pamer tanpa terlihat pamer.

 

Udara sejuk menerpa wajah Rayan, ia berada di atap sekolahnya, sembari menyeka peluh yang masih tersisa dari hukuman tadi.

 

Saat melihat ke arah tempat penampungan air Rayan melihat rambut seseorang berkibar di balik tabung besar penyimpan air bersih, entah kenapa Rayan yakin itu rambut Syifa, dan ingatannya bekerja, memberitahu Rayan tentang kebiasaan Syifa saat jenuh selalu berada di tempat itu sambil menggambar.

 

Kakinya melangkah ke arah Syifa yang berada di balik tempat penampungan air tersebut, ketika jarak semakin dekat, Rayan mendengar suara Fauzan juga.

 

Rayan melangkah pelan, berhati-hati agar kedatangannya tidak diketahui Syifa dan Fauzan.

 

“Gue tau Zan, cinta nggak bisa dipaksain, gue juga nggak akan minta apapun dari lo sekarang, gue selalu coba buat nggak ngebenci lo, tapi entah kenapa rasa kecewa gue maksa gue buat musuhin lo, buat ngejauh dari lo, tapi nggak untuk ngelupain lo!” Rayan mematung sebentar untuk mencerna apa yang ia dengar barusan.

 

“Rasa sakit hati pasti ada, tapi gue yakin itu nggak akan berlangsung lama, tiap hati yang tersakiti itu punya cara sendiri buat sembuh Syif. Percaya deh.”

 

Hening.

 

“Ada orang yang jauh lebih keren ketimbang gue nunggu lo, lo cuman harus peka Syif, banyak orang punya ketulusan nungguin lo, bukan gue”

 

Rayan mendengar isakan Syifa, kakinya melangkah kurang ajar, menghampiri Syifa dan Rayan. Pupil mata Rayan mengecil melihat Syifa memeluk Fauzan.

 

 

Amarah yang besar menyelimuti Rayan, ia tidak lagi berpikir apakah hal ini benar atau salah, memalukan atau tidak. Tangan Rayan mengepal mantap, membuat urat-urat di sekitar lengannya terlihat jelas, wajahnya memanas dan tubuhnya tidak bisa dikendalikan oleh pikiran jernih lagi.

 

Rayan mendorong Fauzan dari dekapan Syifa. Membuat Fauzan sedikit terhuyung, “Ray” seru Syif cepat.

 

“Jangan munculin muka sengak lo kalo cuman buat nyakitin dia” Rayan menunjuk Syifa. Sesuatu yang tidak nyaman terasa di tenggorokan Rayan.

 

Fauzan cepat-cepat mengubah ekspresi terkejutnya menjadi tenang, setenang angin di awal Agustus. Kesunyian tercipta walau hanya sesaat.

 

Entah mengapa Rayan berpikir di balik ekspresi tenang Fauzan itu ada sebuah hinaan untuk Rayan, terkadang lelaki yang selalu haus pujian bertingkah terlalu konyol saat galau.

 

“Gue belom selesai!” teriak Rayan keras-keras saat Fauzan melangkah menjauh.

 

“Ray, udah” Syifa masih memegangi tangan Rayan erat-erat.

 

Fauzan berbalik menatap Rayan dengan senyum kecilnya, “Apalagi Ray?” tanya Fauzan santai.

 

“Bangsat” kutuk Rayan ketika senyum Fauzan malah memacu emosinya hingga menembus ubun-ubun Rayan.

 

Rayan berlari cepat ke arah Fauzan, melepaskan tinjunya namun berhasil ditepis Fuazan, Syifa menjerit-jerit berusaha kecil untuk melerai, namun ke dua cowok ini sangat sulit dilerai.

 

Rayan tidak berhenti, ketika pukulan ke duanya ditepis kembali, Rayan berhasil menendang kaki belakang Fauzan, hingga Fauzan bertopang kepada ke dua lututnya, Fauzan berhasil memegang tangan kanan Rayan yang hendak menyerang kepala belakang Fauzan. Tendangan telak kembali diterima Fauzan tepat di wajah tampannya, membuat Fauzan terbaring seketika.

 

Rayan masih belum berhenti ia menduduki tubuh Fauzan, satu pukulan lagi di pipi Fauzan dan untuk serangan kesekian kalinya Fauzan membalikkan keadaan, tubuh Rayan didorong amat cepat dan keras membentur tong besar penampung air. Untuk pertama kalinya Rayan melihat Fauzan dengan wajah yang amat berbahaya, sedikit membuat nyali Rayan ciut. Wajah Fauzan yang dihiasi darah segar dari hidungnya, terlihat amat marah dan sangat berantakan, tapi tidak satu pun pukulan balasan mengenai tubuh Rayan.

 

“Puas lo? Kalo belom, hajar gue lagi, sampe lo puas” teriak Fauzan hingga air liurnya mengenai wajah Rayan.

 

Rayan ternyata belum puas, ia mendorong Fauzan, tendangan Rayan ditangkap Fauzan dan dengan mengerikan Fauzan membanting Rayan.

 

“Hajar gue!” teriak Fauzan lagi.

 

“Lepasin gue bangsat!” umpat Rayan ketika tangannya dipiting Fauzan, dan leher Rayan di cekik Fauzan, benar-benar tidak disangka Fauzan akan menjelma menjadi mahluk mengerikan sekarang ini.

 

“Hajar gue lagi kalo lo bisa! Sampai lo sadar, seberapa berharganya lo buat gue!” teriak Fauzan lagi.

 

Syifa berhasil melerai ke duanya, “Please, berhenti” mohon Syifa kepada ke duanya.

 

“Tinggalin kita berdua di sini Syif” pinta Fauzan yang telah duduk dengan nafas tersengal-sengal, sementara Rayan masih berbaring sambil memburu oksigen sebanyak-banyaknya.

 

“Nggak! Gue masih waras, nggak mungkin gue ninggalin lo berdua di sini dan nunggu kabar siapa yang mati terlebih dulu di antara kalian!” ucap Syifa ngeyel.

 

“Gue nggak akan nyakitin orang yang gue sayang Syif, sahabat gue” ucap Fauzan memohon. Reflek Rayan menutup matanya, rasa malu mendominasi, Rayan pernah berjanji untuk tidak akan pernah menyakiti Fauzan, apapun yang terjadi, namun apa yang ia lakukan sekarang ini?

 

Penyesalan selalu datang terlambat, ketika telah mampu meluluh lantahkan beberapa hal yang telah di sepakati, saat emosi reda, fakta siap menampar mereka dengan amat keras. Fakta di mana tak seharusnya ini terjadi, terlampau dungu membiarkan emosi hampir meruntuhkan tiap tiap pilar yang lama dibangun.

 

“Apapun yang kalian janjiin sekarang ini, gue nggak akan pernah percaya, cuman orang gila yang akan percaya sama ucapan kalian dalam kondisi kayak gini” kekeuh Syifa.

 

Fauzan berhenti bersiteru, ia juga sadar Rayan tidak mungkin dapat berpikir menggunakan kepala dingin di saat seperti ini, Fauzan tahu betul Rayan tipe cowok seperti apa.

 

Tanpa membuang-buang waktu lebih lama lagi, Fauzan bangkit dan meninggalkan diri dari tempat ini.

 

(Mari kenal Fauzan lebih jauh lagi ^_^)

 

Tatapan para teman-teman sekolah Fauzan tidak ia hiraukan, ia tidak mengambil tasnya yang berada di kelas, Fauzan melangkah jenjang ke arah parkiran, beberapa pertanyaan dari siswi yang terkejut melihat wajah Fauzan, tidak ia jawab dengan ramah seperti biasanya, Fauzan pun tidak menjamah ponselnya yang daritadi bergetar, merengek minta dilihat, yang kemungkinan besar adalah telepon dari Angel.

 

Misi Fauzan kepada Angel tidak lagi penting untuk sekarang ini, dendam masa lalunya kepada Angel bukan lagi hal yang terpenting.

 

Fauzan menutup pintu mobilnya dengan amat kasar, ucapan Rayan kembali terbayang.

 

“Tinggi dan punya senyum manis, tipe elo juga. Bibir bawahnya selalu basah, bikin imajinasi lo ngelaba tiap ngeliatnya, iyakan? Tipe lo.”

Benar yang Rayan katakan, tapi itu bukan untuk seorang Angel, melainkan untuk Rayan, tubuh Rayan yang tinggi, dengan rambut oldschool yang terkadang terlihat berantakan, tubuh kekar dan bibir Rayan yang terlihat seperti bukan perokok dan selalu basah, menambah kesan seksi yang hampir maksimal untuk Fauzan. Benar, semua itu tentang Rayan bukan Angel.

 

Fauzan tahu betul perasaannya sangat salah, ini kali pertama ia terpesona oleh seorang cowok, dan cowok itu sahabatnya sendiri, jutaan kali Fauzan mencoba membunuh perasaan sukanya kepada Rayan namun selalu bangkit tiap melihat Rayan berada di hadapannnya, jutaan kali pula Fauzan membatin bahwa ia telah membiarkan perasaan bodoh dan memalukan hidup dalam drinya, entah terbawa suasana atau tidak namun ini benar-benar salah. Anehnya hanya Rayan yang mampu membuat perasaan Fauzan seperti itu tidak kepada cowok lain, dan sekarang?

 

Begitu banyak hal yang Fauzan lakukan demi Rayan, namun mengapa sahabatnya malah selalu salah menanggapi maksud baiknya. Fauzan hanya ingin melihat Rayan bahagia dengan cintanya, dengan Syifa, tidak perduli seberapa kecewanya ia nanti, hati selalu punya caranya sendiri untuk sembuh dari rasa sakit. Itu kata-kata yang selalu Fauzan jadikan tameng kepada tiap hati yang tidak bisa ia balas cintanya, namun memiriskan ketika kata-kata itu diperuntukan untuknya sekarang ini.

 

Lagu Heart Attack dari Demi Lovato mengalun di dalam mobil Fauzan. Entah mengapa ia seperti terajak untuk bernyanyi bersama Demi, namun Fauzan bernyanyi dengan amat kacau, emosinya kembali bangkit, membuat mobil yang ia kendarai melaju cepat dan ugal-ugalan di jalan Alternatif Sentul, terlebih ketika masuki tol Sentul 1, mobil yang ia kendarai melaju cepat seperti orang gila sedang mengendarai mobilnya, tak perduli berapa puluh kali bunyi klakson mobil lain terdengar ketika Fauzan menyalip mereka.

 

Fauzan keluar tol dari gerbang Sentul 2, melewati Belanova Mall menuju Taman Budaya daerah Sentul, berbelok ke kiri setelah sampai taman budaya, melewati Maldev street lalu Araon Street dan berhenti di perbukitan proyek perumahan keluarga Bakrie.

 

Dengan cepat Fauzan keluar dari mobilnya, membanting pintu mobilnya lebih kasar lagi.

 

“Haaaaaaaa…..”

 

Teriak Fauzan keras-keras, Fauzan menatap ke arah belakang, dulu ia dan Rayan suka ke bukit ini, dan Fauzan selalu berteriak tiap sampai ke bukit ini, melepas banyak bebannya dan disambut kekehan Rayan yang akan memicu keributan kecil mereka, Fauzan rindu saat-saat pertikaian kecil mereka, bukan pertikaian gila seperti sekarang ini.

 

Fauzan masih setia di atas mobilnya sambil membaringkan diri, membiarkan senja datang dan menutup dirinya. Awal Agustus yang buruk.

Rayan dan Fauzan (3)

images fr

 

 

 

• Balada Cinta SMA

Rayan menyungging senyum sederhana, ia berjalan pelan menghampiri Fauzan yang sedang asik dengan notebook nya.

“Betah banget di sini lama-lama? Nggak jenuh lo Zan?” Rayan duduk di sisi Fauzan, dengan cepat Fauzan menghentikan kegiatannya.

“Kenapa udahan?” tanya Rayan ketika Fauzan menutup notebook nya lalu memasukan notebook itu ke dalam tas khusus.

“Emangnya lo mau gue cuekin?”  tanya Fauzan. Rayan hanya cekikikan lalu mengacak-acak rambut Fauzan, Rayan bukan seorang cowok yang suka ikut campur dengan kegiatan seseorang jadi tidak ada adegan di mana Rayan ingin tahu apa yang Fauzan lakukan dengan notebook nya itu.

“Jangan acak-acak rambut gue kampret!” sergah Fauzan, Rayan malah tertawa lebih lepas.

“Lo kira gue anak kecil atau cewek yang ngegemesin apa!” ucap Fauzan masih bersungut-sungut. “Ya kan badan lo lebih kecil dari gue” ucap Rayan santai, sambil mencelupkan kakinya ke dalam kolam renang rumah Fuazan.

“Beda lima senti doang bangga, nggak usah main fisik”

“Lo lagi dapet ya? Sensi amat?” tanya Rayan heran. Fauzan merubah ekspresinya, lalu menggeleng pelan, seakan menyadari kesalahan prilakunya tadi.

Fauzan berkali-kali menatap ke notebook yang sudah tenang di dalam tasnya. “Kenapa Zan?” tanya Rayan santai. “Nggak ada apa-apa” jawab Fauzan cepat.

Fauzan mengembuskan nafasnya perlahan. “Main layangan yuk Ray, tapi di lapangan aja jangan di atap rumah gue” ajak Fauzan.

“Kalo berenang aja gimana? Seger nih kayaknya” Fauzan terlihat berpikir, lalu meletakan ponselnya di atas tas notebooknya.

“Bentar, gue bilang Bibi suruh buatin minum” Fauzan baru hendak berdiri namun bukan Rayan jika semenit saja tidak menjahili sahabatnya ini.

Sedetik kemudian Fauzan sudah terpelanting ke dalam kolam renang, membuat air berhamburan dari dalam kolam renang, Rayan tahu pesris sahabatnya butuh diusili slash dihibur, entah mengapa instingnya memerintahkan Rayan untuk melakukan sesuatu agar Fauzan tidak memikirkan hal yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Fauzan, walau Rayan tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam fikiran Fauzan.

“Kunyuk!” teriak Fauzan saat wajahnya menyembul ke permukaan.

Rayan hanya tertawa-tawa sambil melepas pakaiannya lalu ikut masuk ke dalam permainan mereka.

Setelah puas bermain air, Rayan dan Fauzan berbincang-bincang di pinggir kolam.

“Menurut lo, gimana si Angel?” tanya Fauzan sambil menerawang ke arah Gunung Salak yang seharusnya Fauzan bosan menatap gunung itu.

Tanda-tanda si Ojan mau nerima si Angel nih. Batin Rayan. Terselip beberapa ke jadian di masa depan yang Rayan khayal sendiri saat ini, mungkin Syifa akan menyadari bahwa Rayan menyukainya, dan Fauzan akan berkemungkinan susah meluangkan waktu untuk mereka habiskan, atau malah sebaliknya, akan ada drama dari Syifa ketika tahu Fauzan berpacaran dengan Angel? Atau? Cepat-cepat Rayan menghentikan pemikiran ngaconya tadi.

“Ray, lo nggak budegkan? tanya Fauzan sebal.

“Bentar gue lagi semedi” jawab Rayan asal.

“Hmm… Angel yak, rambutnya hitam dan panjang, tipe elo” Fauzan terperangah mendengar pernyataan Rayan.

“Tinggi dan punya senyum manis, tipe elo juga. Bibir bawahnya selalu basah, bikin imajinasi lo ngelaba tiap ngeliatnya, iyakan? Tipe lo.” tutur Rayan sambil menerawang. Fauzan tersenyum simpul mendapati sahabatnya mengetahi banyak hal tentangnya.

“Minusnya cuman satu! Tukang nyepik, anjir nyepiknya tuh cewek, hampir kalah gue dalam urusan pergombalan” kata Rayan salut kepada kemampuan Angel. Fauzan pun lantas mengangguk setuju.

“Tapi semua kembali ke keputusan lo Zan, nantinya elo yang jalaninkan jadi gue nggak bisa ikut nentuin, gue cuman bisa dukung pilihan lo doang” Rayan menepuk-nepuk pipi Fauzan.

“Gue takut nyakitin Syifa” ujar Fauzan gugup.

Seperti petir di siang bolong, Rayan berdiri kaku di samping Fauzan, jantungnya berdegug-degub tak karuan, kegugupan menyelimuti Rayan, air kolam terasa terisi bongkahan es, amat dingin di kulit Rayan, sebegitu besar peran Syifa untuk Rayan sampai memberikan efek mahadahsyat saat disebutkan dalam momen seperti ini, urusan hati memang bukan hal sembarang untuk dibicarakan.

“Kenapa begitu? Emangnya, lo juga suka sama Syifa?” tanya Rayan setelah mengatasi kegugupannya.

“Mana mungkin gue suka sama gebetan lo, emang eike couo apaan cyin” kata Fauzan teramat annoying karena gayanya sangat tidak cocok, lebih cocok disebut anak autis ketimbang cowok sissy.

Dan sekarang Rayan berharap untuk ditelan air kolam renang daripada harus meneruskan perbincangan ini dengan Fauzan.

“Apasih maksud lo” kata Rayan cepat  berpura-pura tak acuh dan tidak perduli dengan perbincangan ini namun semua gagal Rayan lakukan, kegugupan menguasai Rayan dan itu jelas kentara oleh Fauzan.

Fauzan menyikut dada bidang Rayan, saat mata mereka bertabrakan, fakta tentang Rayan bertaburan.

“Syifa itu sahabat gue, pantang buat gue jadiin dia pacar gue, orang yang gue jadiin sahabat nggak akan gue pacarin Ray” jelas Fauzan.

“Lo, lo tauk kalo Syifa suka sama lo?” tanya Rayan lagi.

“Gue jelas tauk, kayak lo yang suka sama Syifa, gue tau Syifa suka sama gue kayak gue tauk lo suka sama Syifa, kayak gitu deh” jawab Fauzan sambil memainkan air karena sama merasakan kegugupan seperti Rayan sekarang ini.

“Lo nggak malu apa sama badan lo yang lo gadang-gadang paling seksi se-sekolah?” ucap Fauzan lagi.

Rayan hanya mampu mengerenyit. “Badan boleh keker, tapi nyali letoy, buat ngedeketin Syifa aja nggak berani” tegas Fauzan sambil keluar dari air, Rayan membalikan badannya menatap Fauzan yang sudah duduk di saung dekat kolam. “Gue ada di Friendzone Zan” ucap Rayan ragu.

“Nggak ada yang namanya Friendzone dalam percintaan, inget Ray, nggak ada pengecualian untuk cinta. Kalo lo bener suka Syifa, ya kejar, jangan bilang lo ada di dalam Frienzone, basi, bilang aja lo takut ditolak karena Syifa suka sama gue.” ucap Fauzan keji, namun Rayan mengerti semua maksud Fauzan.

Baru saja Rayan hendak membuka mulut. “Dalamnya hati seseorang nggak ada yang tahu Ray” kata Fauzan lagi setelah menyeruput minumannya.

Rayan terhenyak, beberapa hal membuat hatinya bimbang, Rayan tidak benar-benar mengendalikan hatinya sendiri, ia memilih diam ketimbang berkomentar.

Sekarang ini yang Rayan rasakan hanya kepala dan dadanya yang memanas, banyak pemikiran-pemikiran yang membuat logikanya tidak berfungsi sekarang ini, air kolam tidak lagi membuatnya kedinginan. Kaki Rayan menghentak dinding kolam membuatnya menjauh dari tepian, Rayan berpikir menenggelamkan diri mampu membuat fikirannya jernih kembali.

***

“Nah, kalo tugas yang ini dikumpulinnya itu minggu depan” tutur Syifa lembut, membuat Rayan senyum-senyum sendiri.

Rayan mendapati diri bahwa ia benar-benar tidak sanggup kalau harus memupuskan perasaannya kepada cewek di samping Fuazan itu. Ikal rambut Syifa yang sedikit bergoyang-goyang karena pergerakan si empunya menarik minat Rayan untuk menyentuhnya, hidung mancung yang sangat pas di wajah khas wanita Sunda selalu membuatnya gemas, bibir Syifa yang kecil dan berwarna merah muda selalu membuat Rayan berharap untuk bisa memiliki cewek itu. Pandangannya berganti ke arah Fauzan yang sedang berekspresi tenang, dalam hati Rayan benar-benar iri kepada Fauzan, banyak cewek di sekolah ini menyukainya, mengidolakannya dan menyeganinya, namun Rayan tidak menaruh dengki apapun kepada Fauzan karena sebagai sahabat Rayan tahu betul Fauzan layak diperlakukan seperti itu, karena walaupun iri, Rayan tidak akan pernah mampu menyakiti Fauzan, lebih baik terluka dan menekan ego hati sedalam mungkin ketimbang menyakiti hati yang mengasihinya, waluapun jutaan orang bijak mengatakan tidak ada pengecualian soal cinta. Rayan punya pemikirannya sendiri. Tiap cinta itu tidak akan menyakiti. Pikir Rayan mantap.

Berkali-kali Rayan mencoba membunuh pikiran aneh yang berkemelut akhir-akhir ini di kepala dan dadanya.

“Kalo tugas dari Mr. Lubis yang soal bawa foto keluarga itu dikumpulinnya kapan? Gue nggak mau ah disuruh ngitung ubin kantin kayak waktu kelas dua” Rayan mulai bergabung ke obrolan mereka.

Empat pasang mata menatapnya aneh, kemudian, Fauzan, Helmi dan Adi tertawa terbahak-bahak, sedangkan Syifa hanya tertawa pelan sambil menutupi mulutnya.

“Lo nggak lagi demam kan Ray?” Syifa menempelkan telapak tangannya ke dahi Rayan, sejurus kemudian rasa kesal ditertawakan berubah menjadi rasa damai, telapak tangan Syifa yang hangat malah memberi efek sejuk untuk diri Rayan, sentuhan kecil saja dari Syifa layaknya pelukan mesra. Gue bener-bener jatuh cinta. Batin Rayan.

“Kalian ngapain ngetawain gue sih?” tanya Rayan dengan wajah yang sangat terlihat bodoh.

“Lo tauk nggak Yan, kalau tugas itu udah dikumpulin hampir dua minggu yang lalu, bukannya lo dipuji-puji pak Lubis ya waktu pengumpulan tugas itu? Jangan bilang lo lupa?” jawab Adi dengan pelannya, Adi memang orang yang rendah hati dan amat friendly.

“Wah pantes pikun, banyak ubannya nih si Rayan” Fauzan mengacak-acak tatanan rambut Rayan, seolah-olah Fauzan sedang membantu Rayan mencarikan uban di antara rambut hitam Rayan yang bergaya Oldschool.

“Anjis, lo kira gue aki-aki” tangan Fauzan ditepis cepat oleh Rayan, yang lain hanya mampu mentertawai.

“Selamat siang, pak” seru seantero kelas, membuat Rayan dan yang lain menoleh ke arah pintu kelas.

Pak Mutazam, guru musik, memasuki kelas mereka, guru yang berumur lebih dari separuh baya ini melempar senyum menawannya, sangat ramah sehingga membuat siswa-siswi menyeganinya.

“Gimana enak nggak nih selama sebulan ini jadi anak kelas tiga?” sang guru membuka pembicaraan.

“Enaklah pak, banyak yang manggil kita dengan sebutan-kakak, hihihi” celetuk siswi berbadan tambun. Lalu beberapa siswa menyoraki siswi tersebut, kegiatan yang amat dirindukan para murid saat mereka liburan sekolah.

“Waah, Rayan tambah populer aja nih, udah berapa adik kelas yang kamu PHPin Ray?” kelakar pak Mutazam sembari mengedipkan satu mata dibalik kaca matanya.

Kali ini lebih banyak yang menyoraki Rayan, mengolok-olok Rayan, seperti—kegiatan mengolok-olok Rayan memberikan banyak hal membahagiakan untuk diri mereka masing-masing.

Rayan hanya meringis kecil, ikut menertawai dirinya sendiri, karena faktanya orang yang sering dianggap siswa paling populer di sekolah masih berstatus JOMBLO, walau benar kata pak Mutazam, banyak siswi yang sudah menyatakan perasaanya kepada Rayan, dari mulai siswi seangkatannya, siswi kelas dua maupun siswi kelas satu yang notabene baru melihat dan mengenal Rayan selama kurang lebih sebulan ini. Itu semua di luar hitungan Rayan, yang Rayan fikir ialah: seorang yang dijuluki siswa terpopuler a.k.a dirinya itu seorang jomblo, seberapa pun banyaknya siswi yang menyatakan cinta kepadanya, ia tetap seorang jomblo karena Rayan untuk sekarang ini hanya menginginkan seorang cewek yaitu Syifa, dan pada kenyataanya itu hanya sebuah angan Rayan belaka.

“Tapi sayang, kenyataanya cowok yang dianggap populer masih berstatus jomblo desperado,” bisik Fauzan sambil terkekeh geli di telinga kanan Rayan.

“Sialan lo Zan!” sahut Rayan dan dibalas dengan tangan jahil Rayan yang mulai bergrilya di tubuh Fauzan.

“Wah, ternyata Rayan dan Fauzan itu pacaran ya? Kasian yang udah pada ngantri buat jadi pacar kalian dong?” kelakar pak Mutazam lagi. Siswa-siswi semakin heboh menertawai Rayan dan Fauzan.

“Ogah, dia doang nih pak yang homo, saya mah masih suka cewek imut” sergah Fauzan setelah berhasil melepaskan diri dari pitingan Rayan di lehernya.

“Kalo pun saya homo, saya juga milih-milih pak, nggak akan mau sama Fauzan, dia–”

“Hey, udah-udah, becandanya udahan, waktunya keburu abis nanti” titah pak Mutazam, diikuti seruan kecewa seantero kelas.

“Apalagi gue, nggak banget kalo gue jadi gay dan pacaran sama cowok narsis kayak lo Ray, uek” tambah Fauzan sambil berbisik.

“Gue apalagi, kayak nggak ada cowok lebih bermutu lagi aja ketibang elo, lagi pula gue cuman napsu sama yang bertoket ori doang” tegas Rayan tidak mau kalah.

“Nanti kalian jadi pasangan homo beneran lho kalo masih asik sendiri ngebahas tentang perhomoan” celetuk pak Mutazam sambil membuka tutup spidol merahnya.

“Ciee, Ojan sama Rayen. Cie… cie” ledek sekelas.

***

“Oke, ngertikan semua? Seperti yang bapak bilang tadi, pelajaran Seni Musik ulangan Midsemester nya itu nggak tertulis tapi praktik, buat kelompok dua orang cewek-cowok, karena tiap kelas jumlah siswa-siswinya nggak seimbang, jadi kalian boleh nyari pasangan lain kelas satu angkatan pastinya, hitung-hitung kolaborasi bareng pacar atau gebetan, lumayankan buat nambah momen PDKT” jelas pak Mutazam di akhir pelajaran.

Beberapa murid ada yang pro dan kontra seperti biasa, namun keputusan sudah bulat. Beberapa siswa menyaluti kekreatifan pak Mutazam, di usianya yang sudah lebih setengah abad guru yang paling murah senyum plus berselera humor tinggi dan berbadan tegap tanpa kesan renta sedikit pun ini, mempunyai metode mengajar yang paling asik, dengan keceriaan yang selalu segar tiap mengajarnya. Sebagian murid sekolah ini pun hampir tidak rela guru favorit mereka harus pensiun di akhir tahun pelajaran ini.

Bel berdering menandakan pelajaran Seni Musik sudah berakhir, pak Mutazam sudah meninggalkan kelas.

Syifa menatap Fauzan dan Rayan secara bergantian, membuat rasa risau menyelimuti Rayan. “Gue bareng sama lo ya Zan buat tugas pak Mutazam nya.” palu besar serasa menghancurkan tembok yang Rayan bangun untuk melindungi hatinya dari pernyataan Syifa ini, Rayan sudah menyiapkan hatinya untuk kemungkinan seperti ini, kemungkinan bahwa Syifa akan memilih Fauzan daripada dirinya dan itu semua benar terjadi, namun Rayan benar-benar gagal untuk melindungi hatinya, rasa kecewa bercampur kesal menyatu, menggulung dirinya ke dalam emosi yang membesar.

“Gue nggak bisa Syif. Sori banget yak.” jawab Fauzan mengejutkan Rayan dan Syifa.

Fauzan menyentak-nyentak kaki Rayan dengan kakinya pelan-pelan, memberikan isyarat kepada Rayan.

Sedetik kemudian Rayan tersadar, ia menekan amarah dan egonya dalam-dalam.

Saat pandangan Rayan dan Fauzan bertabrakan, Fauzan menarik bibir atasnya menjadi seringaian kecil.

“Kalian mau sekelompok? Kan cowok-cewek harusnya?” tanya Syifa bingung.

“Nggak kok” jawab Fauzan sambil memasukan buku catatannya ke kolong meja.

“Terus—“

“Gue bakalan sekelompok sama Angelina, kelas 3 IPA1, Syif, maaf ya.” Fauzan menggeser Rayan dan keluar dari meja mereka, berjalan menuju pintu kelas menyisakan tanda tanya besar untuk Syifa dan Rayan.

“Lo mau sekelompok sama siapa Syif sekarang?” tanya Rayan ragu.

Syifa masih memandangi punggung Fauzan yang kini sudah ditelan pintu kelas. “Lo nggak ada janji sama cewek lain juga kan Ray?” tanya Syifa kemudian, raut ragu di wajah imutnya tampak jelas sekarang ini.

Rayan hanya mengangguk menjawab pertanyaan Syifa. “Oke, kalo gitu lo sama gue” tegas Syifa. Entah kenapa Rayan tidak bahagia, semuanya terasa membosankan dan menjengkelkan bagi Rayan.

***

“Ray, ke taman belakang dulu, kita harus ngecek tanaman Jahe kita, lo nggak mau kan nanti dapet nilai jeblok di pelajarannya bu Eska?” Rayan hanya menurut ketika lengan bajunya di tarik Syifa.

Syifa berlari-lari kecil sembari menarik Rayan untuk tetap berada di sisinya walau Rayan memasang wajah malas sedaritadi. Rayan terus mengikuti langkah Syifa menuju kebun belakang sekolah, memperhatikan cewek yang ia sukai menyeruput jus jeruk yang Syifa beli di kantin awal istirahat tadi, lalu membuang cup jusnya di tempat sampah.

“Eh, berhenti Ray” Syifa terpaku di tempatnya setelah ia mengisyaratkan Rayan untuk berhenti.

“Lo masih yakin? Masih nunggu jawaban gue Ngel?”

Angel mengangguk antusias, dua orang yang berdiri tidak jauh dari hadapan Rayan dan Syifa seolah-olah berada di dunia mereka sendiri, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran orang lain di antara mereka.

“Aku mau jadi pacar kamu” kata-kata dari Fauzan mampu membuat Rayan, Syifa tercengang, sedangkan Angel meloncat-loncat girang lalu memeluk tubuh Fauzan erat-erat, karena mendapati cintanya disambut Fauzan, bahkan Fauzan sudah menggunakan panggilan aku-kamu.

Syifa mencengkram pergelangan tangan Rayan erat-erat, berharap apa yang ia saksikan sekarang ini hanya mimpi buruknya. Sontak Rayan menatap wajah Syifa yang kini merah padam, air mata memenuhi kelopak matanya seakan-akan mununggu waktu untuk terjatuh.

Syifa bergerak cepat meninggalkan tempat itu, Rayan sempat mendengar sayup-sayup isakan Syifa, saat Rayan menatap penuh Syifa yang bergerak tergesa-gesa menjauh dari mereka, kaki kanan Syifa menghantuk tempat sampah  hingga membuat Fauzan dan Angel menoleh ke arah mereka, saat pandangan Rayan dan Fauzan bertabrakan, Rayan ingin sekali bercermin, melihat seperti apa ekspresi di wajahnya saat ini.

Rayan dan Fauzan (2)

images fr

 

 

Populer

 

Para siswa-siswi melempar senyum ke arah Rayan yang masih setia berdiri di depan gerbang sekolah. Beberapa di antara mereka menyapa Rayan, sebagian siswi kelas satu yang notabene murid baru saling berbisik ketika sudah melewati Rayan.

Rayan tahu betul beberapa siswi baru—kelas satu—saling berbisik membicarakannya. Sudah dari sejak pertama kali Rayan mengenyam pendidikan di sekolah ini, Rayan selalu menjadi bahan obrolan yang menarik, entah tentang sifatnya yang cengenggesan, bengal namun ramah, maupun tentang wajah tampan dan tubuh indah yang ia miliki membuat para cowok iri dan cewek hampir mendesah—tak sabar bisa berdekatan dengan Rayan. Rayan tahu tentang semua itu dan ia menikmatinya.

Berkali-kali Rayan melirik jam tangannya, memastikan apakah Fauzan akan terlambat atau tidak. Entah mengapa Rayan ingin sekali Fauzan tidak terlambat di hari pertama mereka masuk sekolah, Rayan ingin berjalan di sisi Fuazan menikmati dan memamerkan diri kepada siswa-siwi baru bahwa ia dan Fauzan adalah salah satu murid terpopuler di sekolah mereka ini. Dan Rayan ingin berbagi semua—kesan yang dianggap Rayan, menyenangkan bersama Fauzan di sisinya. Harus.

Bel berbunyi, bergaung dengan amat digjayanya, dan untuk pertama kalinya Rayan tidak menyukai bunyil bel masuk sekolah. Karena Fauzan tidak berdiri di sisinya menemani perjalanan masuk ke dalam kelas mereka.

“Tumben berdiri di sini, lu nggak kesambet kunti pohon beringin kan?” suara Fauzan terdengar dari samping Rayan. Saking gundahnya menunggu Fauzan, Rayan sampai tidak menyadari Fauzan sudah di sisinya.

“Kagaklah, orang penghuni pohon itu takut sama gue” celetuk Rayan sembari reflek melihat pohon beringin di dekat gerbang sekolah.

“Lo bisa nggak sih dateng nggak mepet jam masuk sekolah?” sekarang Rayan memasang wajah super menyebalkan ke arah Fauzan.

“Wih, ada yang mendadak jadi guru BP nih” ledek Fauzan sambil melangkah meninggalkan Rayan. Membuat Rayan menaruh kusumat untuk Fauzan.

“Bocah songong, udah ditungguin daritadi sekarang gue ditinggalin yeh” Rayan berhasil meraup Fauzan dan membuat Fauzan tenggelam dalam pelukan slash cengkraman badan Rayan yang tinggi besar menjulang.

Perkelahian kecil tidak mungkin lagi terekalakan, membuat beberapa orang memandangi mereka, namun Rayan terlalu cuek dengan pandangan orang lain, tidak perduli tatapan orang lain kepadanya tidak sedikit pun Rayan merasa jengah dan belakangan ini Fuazan menurunkan sifat Rayan yang satu ini.

“Rayan, Fauzan, bercanda mulu, kalian pikir koridor ini punya nenek moyang kamu? Ngeganggu orang lain yang mau lewat tauk” semprot pak Nasir petugas TU.

Beberapa kalimat berbisa siap diumpat balik oleh Rayan namun dengan sigap Fauzan menyikut perut Rayan dan menyeretnya menjauh dari pak Nasir sebelum perdebatan terjadi seperti waktu-waktu lampau.

“Apaan sih lu! Gue mau ngasih tahu dia doang gimana cara untuk nggak ikut campur urusan orang, dasar aki-aki lapuk, nggak bisa liat orang seneng” Rayan mencak-mencak sambil melirik ke arah ruang TU setelah berhasil melepaskan diri dari seretan Fauzan.

Fauzan hanya menggelengkan kepalanya menyadari bahwa Rayan tidak akan pernah merubah sikap batu pada dirinya, memang sudah mendarah daging.

“Yang lebih cocok di sebut aki-aki itu lo, tauk nggak Ray, lo nyerocos mulu dari tadi” keluh Fauzan sambil menaiki tangga sekolah menuju lantai dua.

“Sialan! Bukan belain gue lo” Rayan tidak tahan untuk tidak menjitak kepala Fauzan.

“Emang, lo siapa gue minta gue belain” ledek Fauzan lagi.

“Kampret!!!” kali ini Fauzan sudah siap menghindar dari tangan jahil Rayan.

Rayan dan Fauzan sudah sampai di lantai tiga, kelas para siswa kelas dua, kelas mereka berada di lantai empat sekolah ini. Beberapa siswi mulai menebar senyum andalan mereka yang mereka buat untuk memikat dua cowok paling beken di sekolah ini, rata-rata mereka mengharapkan balasan senyum dari Fuazan walaupun dibalas senyum oleh Rayan juga tidak apa-apa.

“Pagi kak Fauzan, liburannya asik nggak nih?” tanya seorang siswi kelas dua dengan rambut di kepang.

Fauzan membals sapaan cewek berambut kepang dengan gaya ramah khasnya, membuat beberapa mata menatap iri ke arah cewek berambut kepang tersebut. Sekilas terbesit keiriian di hati Rayan, karena memang faktanya, kini Fauzan jauh lebih populer dan disegani oleh penghuni sekolah mereka, namun dengan tidak kalah cepat Rayan membunuh bibit dengki kepada Fauzan dari dalam dirinya.

Bunyi bel ke dua tanda seluruh siswa harus sudah berada di kelas mereka masing-masing, di jadikan Rayan sebagai alasan untuk menarik Fauzan dan dirinya dari para siswi kelas dua yang baru mulai akan berkumpul dalam acara ramah-tamah ala-ala fans mereka. Sekarang Rayan kembali menyukai bel sekolahnya lagi.

“Eh kunyuk! Lo sakit lagi? Nggak enak banget muka lo dilihatnya” cetus Fauzan membuka pembicaraan saat mereka melangkah di koridor lantai empat menuju ruang kelas mereka.

“Kunyuk! Kampret! Lo kalo manggil nama gue bisa pake satu sebutan aja nggak sih? Dasar anak SMA labil!” balas Rayan sambik terus melangkah jenjang.

“Mulut, mulut siapa?” tantang Fauzan tidak mau kalah. Seketika Rayan menatap Fauzan dengan pandangan yang menyebalkan, seperti memandang seorang berkelakuan annoying.

 

***

 

“Ray! Gue ngomong panjang lebar, ternyata elo pakek earphone, ih ngeselin” gerutu Syifa, Rayan sontak memasang wajah malu saat Syifa melepas earphone dari telinga Rayan tanpa ampun.

“Sori,, hehe, tadi lagi curhat apa emang” tanya Rayan yang kini dipenuhi rasa bersalah.

“Nggak ada siaran ulang!” tegas Syifa.

“Siaran radio kali ah” gurau Rayan, berharap Syifa tidak marah kembali.

“Aaww! Sakit tau! Cubitan lo udah kayak emak tiri” cibir Rayan sambil mengusap-usap bagian bawah dadanya yang dicubit Syifa.

“Cabut ke kantin yuk ah, Mr. Lubis nggak bakalan ngisi pelajaran jam ini deh kayaknya” cetus Helmi sambil berdiri lalu menyeret Adi, teman sebangkunya.

“Boleh tuh, Zan, ke kantin yuk!” sesaat Rayan menyadari bahwa sosok di sebelahnya ini sedaritadi tenggelam entah ke mana.

Rayan melirik Fauzan yang sudah menutup novel-Refrain-nya.

 

Ck! decak Rayan dalam hati, dari semua kebiasaan Rayan dan Fauzan yang hampir sama, hobi terfavorit merekalah yang sangat berbeda. Rayan suka bekerja keras, bermaim dengan kesibukan olahraganya sedangkan Fauzan lebih suka bermain dengan otak dan sangat penggila novel dan game online. Satu hal yang Rayan temukan di dalam dirinya, bahwa Rayan membenci betul dengan kegiatan membaca, ada peristiwa dibalik alasan itu tentunya.

 

Beberapa pemikiran hilir mudik di dalam benak Rayan, satu hal yang amat kentara dari banyaknya pemikirannya. Satu perbedaan kontras di antara Rayan dan Fauzan itulah yang menjadi perekat dari tiap sisi kecocokan mereka.

 

“Adaaaauw!” jerit Rayan pelan, ketika telinganya ditarik keras oleh Syifa yang tidak sabaran karena saat yang lain sudah berdiri dan hendak melangkah ke kantin, Rayan masih saja melongo di tempat duduknya.

 

Melihat mata Syifa yang sudah melotot tidak sabaran ke arah Rayan, Rayan langsung mengurungkan niatnya untuk protes.

 

Rayan menggerutu pelan saat mereka melangkah menuju kantin di lantai dasar sekolah ini, Syifa sibuk bertanya kepada Fauzan di depannya sedangkan Helmi dan Adi sibuk mentertawai hak yang tidak Rayan ketahui sama sekali. Di abaikan itu adalah suatu hal yang paling Rayan benci. Catat.

 

“Ray, setengah jam lagi lo harus ke ruang futsal, lo ada sparing sama anak kekas 3 IPS 12 kan nanti jam sebelas” Rayan menegakkan kepalanya mentap Fauzan yang masih bersisian dengan Syifa di depannya. Senyum nengembang di bibir Rayan, satu hal lagi yang tersugestikan di dalam benak Rayan. Fauzan tidak akan pernah membiarkan Rayan merasa sendirian.

 

***

 

Bunyi pluit melengking di tiap telinga orang-orang yang berada di sekitar lapangan futsal sekolah mereka. Beberapa anggota tim futsal menyerbu dan memberikan pelukan selamat kepada Rayan yang tadi menjadi pencetak gol paling banyak.

 

Para cewek mulai berteriak-teriak sedikit berlebihan ketika Rayan menanggalkan Jersey-nya membiarkan badan berkeringatnya diterpa angin.

 

“Mau kaosnya kak Rayan, uwuwuwuw” kata cewek bermake-up tebal, yang langsung ditimpali cemooh dan teriakan dari murid lainnya.

 

Rayan menyadari Fauzan tidak ada di tempat duduknya lagi, namun tas Fauzan dan Rayan masih tergeletak di sana, saat Rayan hendak memutar pandang, Rayan mendapati sebuah ego dalam dirinya, jika ia menoleh mencari Fuazan itu berarti menyatakan bahwa Rayan lah yang paling butuh Fauzan dan akan membuat Fauzan bangga dengan hal itu. Bagaimanapun Rayan masih cowok remaja yang ber-ego tinggi dan tidak pernah mau merasa tersaingin dengan siapapun.

 

Saat Rayan duduk di sisi tasnya, imajinasinya sedikit menguasainya, menghayal, seharusnya Fuazan melemparkan botol minum Rayan, lalu handuknya, dan memuji slash mencemooh permainan Rayan barusan. Reflek Rayan menggelengkan kepalanya untuk menghancurkan khayalannya agar tidak meliar.

 

Satu pesan dari Fauzan yang menyatakan bahwa Fauzan sedangan ada urusan di taman belakang sekolah bersama seseorang dan akan kembali secepatnya. Rayan tidak perduli dengan siapa Fauzan sekarang sedang berurusan, Rayan mengemasi barangnya dan menjejalkan tasnya ke tas Fauzan yang berukuran lebih besar lalu melangkah ke taman belakang, setelah memakai baju bersihnya.

 

Dari sisi tembok ruang paduan suara Rayan sudah melihat Fauzan sedang tertawa dan di hadapannya berdiri Angelina, cewek yang di gadang-gadang cocok dengannya, karena Angelina selai seorang juara umum sekolah dia juga ketua OSIS sekolah, cewek cantik keturunan Jepang-Sunda ini adalah salah satu cewek yang paling di dambakan murid cowok di sekolah ini untuk menjadi kekasih mereka.

 

Entah mengapa Rayn tidak berniat lagi menemui Fauzan untuk mencaci-makinya, Rayan lebih tertarik untuk menguping pembicaraan yang sepertinya baru akan dimulai. Rayan bergerak pelan ke sisi paralon yang tidak kepakai. Setidaknya berdiri di sini tidak akan membuat Fauzan dan Angelina tersadar, bahwa ada seseorang yang sedang menguping mereka. Pikir Rayan girang.

“Zan, kok kamu ketawa sih!? Aku serius lho, apa kamu nggak ngerti gimana malunya  aku ngutarain perasaan aku ke kamu tadi?” Rayan meruntuki hal yang tadi di dengarnya. Gue ketinggalan momen saat si Ojan ditembak si Angel nih, kampret!. gerutunya dalam hati.

Walau Rayan tidak dapat melihat Fauzan dan Angel dari balik tempat pesembunyiannya yang konyol itu, Rayan mengerti betul momen awkward yang sedang terjadi sekarang ini. Walau ingin melihat dan mentertawai Fauzan sekarang ini Rayan tetap menahan diri, ia jelas lebih ingin mendengar lanjutan penggalan cinta masa SMA ketimbang mengolok-olok sahabatnya.

“Yes” gumam Rayan pelan ketika ia mendapatkan celah untuk mengintip ke arah Fuazan dan Angel.

Wajah Angel terlihat seperti kepiting rebus sekarang ini, Angel terus memilin-milin ujung dasinya dan matap ke arah kanan, ke air kolam yang keruh, seakan akan air kolam itu etalase toko baju ternama.

“Bisa lo jelasin ke gue alasan lo bisa suka sama gue?” tanya Fauzan dengan wajah kakunya, tawanya menghilang seiring rona merah menguasai permukaan kulit wajah Angel yang putih mulus itu.

“Saik!” ucap Rayan geli, walaupun dalam hati.

“Apa cinta tumbuh selalu dibarengi dengan alasan” jawab Angel. Rayan benar-benar yakin sekarang ini bahwa Angelina memang cewek pintar.

Sejurus kemudian Fauzan membuka mulutnya lagi, dan Rayan tidak mau membiarkan momen-momen langka yang akan dijadikan lelucon menarik sepanjang masa ini terlewatkan sedikit pun, maka dari itu Rayan mencoba menahan diri untuk tidak geli sendiri. Walaupun pada kenyataanya sangat susah menahan diri agar tidak menertawai Fauzan saat ini juga.

“Harus, karena gue salah satu penganut anti percaya bahwa ada namanya jatuh cinta pada pandangan pertama, buat gue itu omong kosong, maka dari itu, setiap perasaan yang tumbuh harus selalu ada alasannya” ucap Fauzan sambil ikut-ikutan Angel menatap air kolam ikan yang keruh.

“Tapi sayangnya aku jatuh cinta sama kamu saat pertama kali kita ketemu di Mall, dan ternyata kamu jadi murid baru di sekolah ini, dan semakin lama aku semakin nggak tahan dengan perasaan yang aku simpan ini, aku suka sama kamu Zan, aku cinta sama kamu” Angel memberanikan diri menatap wajah Fauzan walau Angel kini meremas tangannya yang berkeringat lebih erat lagi.

“Berarti lo mendam perasaan lo ini selama dua tahun?” tanya Fauzan. Angel mengangguk.

“Selama dua tahun, lo tetep cinta sama gue? Nggak ilfil sama sekali sama gue?” Angel kembali mengangguk.

“Berarti lo punya alasan yang kuat buat tetep cinta sama gue Angel” tungkas Fauzan. Membuat Angel menggigit bibirnya dan memasang wajah berpikir keras. “Kalo aku sebutin alesannya, seharian pun nggak akan cukup buat ngejelasin kenapa aku sayang banget sama kamu Zan” kata Angel.

“Lumayan juga nih cewek nyepiknya” puji Rayan yang daritadi mencoba menahan diri untuk tidak berkomentar sendiri.

“Nggak perlu semua, cukup beberapa poin inti kenapa lo bisa suka sama gue sebegitu lamanya” ucap Fauzan yang kini bisa mengontrol diri.

Angel mendesah pelan. “Aku malu”

“Kenapa musti malu? Toh yang dengerin kita cuman kecoak buduk toh” ucapan Fauzan menusuk Rayan langsung dengan kata-katanya yang menembus tempat persembunyian Rayan yang Rayan fikir tidak akan diketahi Fauzan.

“Bangke” Rayan meringis kecil, Rayan tahu betul bahwa Fauzan menyadari kehadirannya.

“Satu. Kamu, charming” ucap Angel malu-malu.

“Dua. Kamu, populer, aku nggak munafik, aku suka cowok populer, bukan cowok yang biasa-biasa aja”

“Tiga, kamu tinggi, walau nggak setinggi Rayan, sahabat kamu” pernyatan ke tiga Angelina mampu membuat kadar GR-dalam diri Rayan berkembang pesat.

“Empat, aku nggak pernah kuat liat senyum kamu, senyum kamu itu nge–pas banget di sini” Angel memegang dadanya. Sekali lagi Rayan memuji kehebatan Angel dalam usaha menaklukkan sahabatnya.

“Lima, hidung kamu, aku suka hidung kamu, kelihatan pas di wajah super tampan kamu itu, sudutnya yang runcing nambah kesan kamu itu orang paling ganteng di sekolah ini, kamu cute tapi maskulin  banget, hal apa lagi yang buat cewek kayak aku nggak tergila-gila ke kamu?” Rayan dan Fauzan terkisap. Bahkan Rayan tidak bisa membayangkan jika di posisi Fauzan saat ini, walau ia sadar betul cowok seperti mereka itu tidak seharusnya terbuai dengan untaian manis yang keluar dari bibir Angel yang merah muda, merekah nan menggoda untuk dicicipi.

“Terakhir,” Fauzan dan Rayan menanti kata-kata terakhir dari Angel.

“Aku suka sikap kamu, perlakuan ramah kamu ke setiap orang, aku suka kamu saat berekspresi aneh pas baca buku, aku suka cara kamu ngunyah makanan kamu, dan aku suka cara kamu nyemangatin aku, setiap aku curhat sama kamu, Zan, aku mau jadi orang yang paling bisa buat kamu bahagia, cukup itu aja” Angel menghentikan perkataanya. Dalam hati Rayan bersyukur Angelina tidak sehebat perkiraannya dalam hal menggombal, jadi walaupun Fauzan menerima cinta Angel nantinya itu semua bukan hanya karena bualan manis Angelina.

“Gue nggak bisa jawab sekarang, terburu-buru dalam suatu hal itu nggak baik” ucap Fauzan, sangat terlihat Angelina memperlihatkan wajah kecewanya.

“Jangan murung kayak gitu, gue kan belom ngasih jawaban apa-apa” tambah Fauzan. Dari balik tempat persembunyiannya Rayan berdoa agar Fauzan menerima cinta Angel, karena dengan begitu kutukan Friendzone antara Rayan, Fauzan dan Syifa akan berakhir. Fikir Rayan.

Angelina mengangguk, mencium pipi Fauzan singkat lalu berlalu. “Aku suka wangi tubuh kamu, Cinnamon, Jeruk, dan susu itu campuran aroma yang bijak, aku selalu ngerasa aman setiap ngehirup aroma tubuh kamu” Angelina berlari cepat meninggalkan Fauzan.

“Anjis! puji Rayan untuk Angelin. Bahkan di detik terakhir Angelina masih terus mencoba menaklukkan hati Fauzan. Runtuk Rayan dalam hati.

“Kecoak buduk! Mau sampai kapan lo ngumpet di situ? Sampe gue siram air kolam ikan?” Hardik Fauzan. Rayan cepat-cepat keluar dari persembunyiannya, menyudahi permainan petak umpet yang ia mainkan sendiri.

Rayan hanya menyeringai lebar sembari mendekat ke arah Fauzan yang tengah duduk di saung dekat kolam, sembari membuka novel yang sedaritadi terabaikan.

CUP.

“Enakkan mana ciuman gue apa Angelina?” tanya Rayan setelah mencium pipi Rayan jauh lebih singat dan asal-asalan.

“Aaaaa,,, dasar maho gila lu!” perkelahian tidak lagi bisa dihindari.

Rayan dan Fauzan (1)

images fr

Rayan termenung di atas kasurnya, hujan di luar sana sudah biasa untuknya, namun ada rasa yang tidak biasa yang kini ia rasakan, rasa kehilangan dan kekosongan, rasa sepi yang kini kian menyelimuti.

Lampau, saat hujan ia selalu tidur ditemani seseorang, mereka selalu bercanda, berbincang dan tertawa akan banyak hal, lalu saat larut menjemput mereka mulai berbaring.

Rayan selalu membiarkan kekasihnya merebahkan kepala di atas lengan kirinya, kadang juga di dadanya, lalu Rayan dengan penuh kasih sayang membelai lembut rambut kekasihnya, ritual wajib sebagai jimat pengantar tidur untuk kekasihnya.

Sekarang ini ia tidur sendiri, kekasihnya tidak lagi memeluknya, meminta Rayan memanjakannya.

Rayan telah kehilangan kekasihnya, kekasihnya meninggalkannya sendiri, mengingkari banyak janji yang mereka sepakati.

“Fuazan” rapal Rayan nelangsa.

***

  • Sahabat

“RAYAN!” Fauzan meneriaki Rayan yang baru datang dengan ekspresi seperti orang marah. Seperti orang marah-karena Fauzan tidak benar-benar marah, dan ekspresi marah di wajah Fauzan benar-benar terlihat konyol, mengundang Rayan untuk mentertawainya.

“Muka lo nggak pantes marah Zan, sumpah” Rayan tertawa terbahak-bahak di atas motornya.

“Gue hampir gila nungguin lo, dasar raja ngaret!” gerutu Fauzan sambil memiting leher Rayan dengan tidak serius.

“Sowii deh, gue sibuk, banyak pemotretan” ucap Rayan asal.

“Iya, pemotretan buat cover surat Yasin” balas Fauzan sambil merampas helm yang dipegang Rayan.

“Sompret”

Mereka melaju di atas motor yang dikendarai Rayan menuju Gunung Bunder, sekolah mereka sedang mengadakan MOP di sana, karena Rayan dan Fauzan bukan anggota Osis atau panitia pelaksana jadi mereka tidak berangkat bersama rombongan.

Mereka berencana mengisi liburan dengan menyaksikan acara MOP sekolah, teman-teman mereka yang lain pun sudah berangkat ke tempat pelaksanaan, sebenarnya mereka membuat janji berkumpul di dekat sekolah dan berencana berangkat bersamaan.

Rencana hanya jadi rencana, Rayan telat datang membuat Fauzan terpaksa menunggunya dan ditinggal temannya yang lain karena alasan—jika terlalu siang maka tidak akan bisa menikmati susana pegunungan di sana, lagi pula Fauzan kekeuh ingin menunggu Rayan. Alhasil Fauzan menunggui Rayan selama kurang lebih dua jam.

“Zan, belokkan kiri yang ke berapa sih jalan ke Gunung Bunder-nya?” Rayan bertanya masih tetap mengendarai motornya.

“Jah. Dodol! Mana gue tauk! Gue kan anak pindahan!” balas Fauzan, Fauzan memukul pundak Rayan agak keras karena Rayan malah tertawa mendengar jawaban Fuazan.

Saat pertigaan di daeran Cemplang Rayan membelokan motornya ke arah kiri tanpa ragu, karena memang Rayan tahu betul rute tujuannya. Fauzan mulai membrondongi Rayan dengan pertanyaan yang menyatakan apa Rayan benar mengambil rute untuk tujuan mereka, namun Rayan menjawab dengan ambigu dan menyebalkan, membuat Fauzan yang diboncengnya berkali-kali mencebik, dalam hati Rayan tertawa mendapatkan sahabat baik dan bisa sedikit dikerjai seperti Fuazan ini.

“Yang lain ada di mana Zan?”

Rayan memarkirkan motornya di samping motor temannya yang lain, motor milik Helmi, Rayan yakin betul motor itu milik Helmi, karena motor berwarna biru di sampingnya memiliki stiker bola yang ujungnya sedikit sobek. Sobek karena tangan jahil Rayan.

“Mana gue tauk! Gue kan bukan panitia MOP!” balas Fauzan ketus, sepertinya Fauzan masih sedikit dendam kepada Rayan atas kejadian tadi.

“Kan tadi gue nyuruh lo SMS yang lain,”

“Gue nggak denger” jawab Fauzan acuh.

“Dasar budek” cibir Rayan asal. Ia memutar pandangnya, seperti ada radar di dalam diri Rayan mengkap keberadaan teman-temannya, karena sudah beberapa kaki ke tempat ini sedikit banyak Rayan  bisa memperkirakan di mana temannya yang lain berada.

Rayan memasukan bungkus rokoknya ke dalam saku jaketnya setelah mengambil satu batang, mereka melangkah kembali setelah Rayan menyulut rokoknya.

“Eh, tar nyasar nggak nih?” ucap Fauzan penasaran.

“Emang kalau nyasar kenapa” tantang Rayan.

“Ogah gue ikut sama lo” balas Fauzan angkuh. Fauzan melipat ke dua tangannya ke depan dada.

“Ck! Yaudah diem aja lo di situ!” Rayan melangkah jenjang meninggalkan Fauzan.

Sedetik kemudian Fauzan memutar pandang, menyadari satu hal—bahwa ia tidak tahu sedikit pun di mana ia berada sekarang ini—tersesat bersama Rayan jauh lebih baik daripada seorang diri.

“Kampreeet! Tungguin gue!” Fauzan bersusah payah mengejar Rayan yang sudah jauh berada di depan.

Dalam hati Rayan bersorak-sorak girang karena selalu bisa mengerjai Fauzan, karena melihat berbagai ekspresi dari wajah Fauzan selalu menarik antusias Rayan.

Mereka melangkah dalam diam. Mungkin si Ojan takut gue tinggal lagi nih jadi nggak banyak komen, batin Rayan geli.

Pohon pohon pinus menjulang tinggi di sekitar mereka, tanah yang mereka pijak sedikit basah akibat hujan yang sering turun di tempat ini, embun masih kentara walau waktu menunjukan pukul sembilan.

Udara bersih dan segar dengan amat mudah mereka hirup, Rayan menanggalkan jaketnya, membiarkan kaus tanpa lengan mengekspos otot bicepnya.

Sebenarnya Rayan tahu di mana para temannya yang lain berkumpul, namun sebuah ide untuk mengerjai Fauzan terbesit lagi.

Seharusnya mereka berbelok ke kiri saat plang pertama penunjuk jalan yang menunjukan ke arah Mushola mereka lewati namun Rayan tetap melangkah lurus menuju air terjun di bawah bukit ini.

“Rayan, pelan-pelan woy, udah kayak orang kebelet boker aja lu, ini jalannya ancur banget, setapak terus nurun lagi” keluh Fauzan.

“Manja” sahut Rayan masih asik meloncati bebatuan yang menghiasi jalan menuju lereng bukit.

“Aduh” Fauzan terjatuh.

“D R A M A,” keluh Rayan sambil berbalik badan menghadap ke atas tempat Fauzan terjatuh.

Dengan malas Rayan kembali menghampiri Fauzan. “Gue nggak drama, oncom!! Nih berdarah” sahut Fauzan cepat, sambil menunjukan jari keliling kanan kakinya yang berdarah.

Rayan bergerak lues memetik pucuk daun singkong lalu memapahnya cepat-cepat.

“Eh, jorok lu kampreet, jangan!!” Fauzan meronta saat Rayan ingin menempelkan papahan daun singkong dari mulut Rayan ke luka di kaki Fauzan, namun naas badan Fauzan yang kalah berotot harus kalah dari cengkraman Rayan.

“Itu biar lukanya cepet sembuh, norak!” umpat Rayan, sambil menarik tubuh Fauzan agar lekas berdiri.

Mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju air terjun, sesekali Rayan memperhatikan Fuazan yang tepat melangkah di belakangnya, walau terlihat jengah kepada Fauzan, Rayan tidak bisa menampik fakta bahwa ia juga khawatir. Namun sebagai lelaki, dianggapnya tidak perlu harus memperlihatkan kekhawatiran Rayan kepada Fauzan.

“Di sini adem banget ya!” teriak Rayan saat berada di bawah air terjun. Rayan merasa perlu berteriak agar suaranya tidak teredam gemuruh air terjun.

“Mandi yuk!” ajak Rayan, tanpa menunggu persetujuan Fauzan, Rayan langsung melucuti pakaiannya sendiri.

“Nggak! Gue nggak bawa salin, lagi pula gue nggak kuat sama dinginnya” tolak Fauzan, ia seperti enggan melihat ke arah Rayan yang sekarang ini hanya memakai celana dalam saja.

“Nggak usah lebay!” teriak Rayan sambil menyerahkan diri untuk di basahi oleh air terjun.

Sedetik itu pula Rayan merasakan apa yang enggan Fauzan rasakan, airnya terlalu dingin, membuat Rayan menggigil dan giginya bergeretak, karena saking dinginnya, namun karena enggan dicemooh Fauzan Rayan tetap memaksakan diri untuk tetap berpura-pura menikmati kesegaran air terjun.

Fauzan duduk di atas batu, mencelupkan kakinya yang luka ke dalam air, merasakan  sensasi dingin yang membuat rasa sakit di kakinya sedikit teralihkan. namun saat Fauzan menatap ke arah Rayan, Rayan tidak lagi berada di sana.

Saat hendak memutar pandang seseorang mendorongnya hingga jatuh ke sungai.

“Wuaaaaaaah” Fauzan menjerit histeris, terlalu berlebihan pikir Rayan yang sekarang sedang mentertawai Fauzan.

“Gue alergi dingin, ta-uk,” ucap Fauzan cepat.

Tidak lama kemudian Rayan menyesali perbuatannya, melihat Fuazan yang mulai pucat,

menggigil dan badannya mulai bentol-bentol, telapak tangan dan pipi Fauzan pun sedikit membengkak.

Rayan masih terpekur, rintik hujan turun membuat cuaca menjadi lebih dingin, tidak ada seorang pun di sekitar mereka. Angin menerpa tubuh Rayan dan Fauzan, rintihan dari Fauzan membuat Rayan semakin diselimuti rasa bersalah.

“Lepas pakaian lo” ucap Rayan agak panik.

Fauzan hanya mampu menggeleng tubuhnya terus bergetar kecil tanda menggigil.

“Ding-in, ta-uk” protes Fauzan. Namun dengan bengal Rayan menanggalkan semua pakaian basah yang menempel di tubuh Fauzan.

Dengan cepat Rayan memakaikan pakaiannya yang diletakan di atas batu ke tubuh Fauzan, lalu memeras baju basah Fauzan dan memakainya, terasa sedikit sempit di badan karena postur Rayan lebih besar ketimbang Fauzan.

Hujan semakin lebat, cuaca di tempat ini benar-benar tidak bisa diprediksi Rayan. Pohon Rambutan yang berdahan dan berdaun lebat sedikit banyak melindungi mereka dari tetesan hujan. Fuazan tidak henti-henti menggosokan ke dua telapak tangannya, mencari kehangatan dari kegiatannya sekarang ini.

“Sori ya Zan” ucapa Rayan takut-takut. Fauzan hanya mengangguk sambil terus menggosokan ke dua ketapak tangan dan menempelkan ke bagian tubuh yang Fauzan rasa butuh dihangatkan.

Kemelut besar berkecamuk di hati Rayan, ingin membantu Fuazan namun apa caranya? Memeluk Fauzan tidaklah mungkin, mereka sesama laki-laki, apapun alasannya itu menurut Rayan jauh dari logikanya sebagai laki-laki.

Fauzan masih terus menggigil, membuat sesuatu di dalam diri Rayan memaksanya untuk bertindak sesuatu.

Semua ini gue lakuin karena gue penyebab si Ojan menggigil, batin Rayan ragu. Rayan menggosokan ke dua telapak tangannya lalu menempelkan ke tangan Fauzan, lalu melakukannya lagi namun kini ditempelkan ke dua pipi Fauzan, sepersekian detik pandangan mereka bertabrakan, sesuatu rasa aneh berdesir di dalam hati.

“Buahahahah,” Fauzan tertawa terbahak-bahak mencoba menyingkirkan momen awkward yang baru akan menyergap mereka.

“Jangan pegang-pegang eike! Yey pikir eike couo apaaan?” kelakar Fauzan dengan gaya yang kaku, membuat Fauzan terlihat annoying.

“Hujannya udah redaan sedikit nih, ayo naik ke atas di sini itu dingin banget tauk” Fauzan menyikut dada Rayan. Rayan hanya mengangguk, mengalungkan tanganya kepada Fauzan agar tubuh gemetar Fuazan ada di dalam kontrolnya juga.

“Biar lo nggak jatoh nanti, gue males drama-dramaan lagi” tegas Rayan saat Fauzan ingin melepas rangkulan Rayan.

“Lo pikir gue pelakon opera!” Fauzan mencebik, tangannya tertarik untuk menjitak kepala Rayan.

Gerimis masih setia membasai tempat itu, mereka berjalan perlahan menapaki jalan kecil menanjak yang licin, beberapa kali Fauzan tersendat-sendat saat menanjak, Rayan terus membantunya walau berpura-pura tidak sabar.

“Rayan!!” seorang cewek berambut panjang dengan wajah yang terlampau imut namun terkesan seumuran dengan Rayan dan Fauzan.

“Fauzan lo kenapa? Diapain sama preman satu ini?” berondong cewek itu sambil mengoleskan minyak angin dari saku jaket cewek itu ke leher dan tangan Fauzan.

“Diceburin ke sungai di air terjun bawah situ, udah tau dingin banget” gerutu Fauzan.

“LEBAY” ucap Rayan asal. Rayan melempar pandang mencari keberadaan guru mereka namun tidak terlihat, dengan gesit Rayan merogoh bagian saku jaket miliknya yang dipakai Fauzan lalu menyulut rokoknya cepat-cepat.

“Syif, Helmi sama Adi mana?” tanya Rayan sambil celingak-celinguk mencari keberadaan dua temannya.

“Lagi beli kopi” sahut Syifa.

“Lo nanti minum susu punya gue ya, biar anget” saran Syifa kepada Fauzan.

“Haaah? Susu punya lo Syif? Gue aja deh yang nyusu ke elo, nggak usah Fauzan, gue yang paling kedinginan tauk” ucap Rayan senonoh, mereka tahu betul tentang susu yang Rayan maksud.

“Adauw!” teriak Rayan saat sebuah ranting mendarat di dahinya.

“Rasain” sorak Fauzan yang melihat Rayan dianiaya oleh Syifa.

Helmi dan Adi datang, membawa minuman kopi dan susu hangat, lalu mereka berbincang, dan tertawa seperti biasa sampai Syifa harus kembali kepada rombongan sekolah karena Syifa salah satu panitia MOP sekolah.

“Rayan, lo hati-hati bawa motornya, Fuazan masih kedinginan, awas lo kalo ngebat-ngebut kek yang punya jalan” Rayan hanya mengangguk patuh takut-takut cewek cantik yang imut itu berubah menjadi Sailormoon kesurupan nenek gayung. Dalam hati Rayan iri kepada Fauzan, Rayan tahu Syifa menyukai Fuazan dari pertama kali Fauzan memasuki kelas mereka satu tahun lalu. Dan semua persaan Rayan untuk Syifa harus dipupuskan kala ia menyadari sebuh fakta bahwa ia, Syifa dan Fauzan berada dalam lingkaran persahabatan.

Tepukan di bahu kokoh Rayan dari Fauzan menyadarkannya dari sebuah kebodohan lampau yang masih sering ia sesali, dalam hati, Rayan berandai-andai kalau saja waktu dulu ia lebih berani menyatakan perasaannya sebelum terjebak dalam Friendzone seperti sekarang. Rayan tahu betul bahwa ia terlalu bodoh dan pengecut bahkan untuk kebahagiaannya sendiri pun.

Gerimis masih setia menemani perjalanan pulang mereka, terbesit di benak Rayan rasa sesal mengikuti saran Helmi untuk ikut ke Gunung Bunder ini.

Badan Rayan pun mulai gemetar, angin membuat Rayan merasakan dingin dari pakaian yang belum kering di badan dan cuaca yang terus menerus gulita menusuk hingga terasa sampai ke sumsum tulang.

Hingga sampai di daerah Laladon hujan turun dengan lebatnya, membuat baju Rayan semakin basah, Helmi dan Adi entah ke mana mereka berpisah kembali sekarang ini.

Rayan dan Fauzan berteduh di sebuah bangunan bambu yang dulunya pasti di pakai untuk berjulan kopi atau buah-buahan, karena bangunannya mirip dengan warung-warung seperti itu.

“Ray, lo nggak apa-apakan?” tanya Fauzan cemas, dengan cepat Fauzan merogoh sesuatu dari jaket yang ia kenakan. Minyak angin.

“Gue beli bandrek di sebrang dulu. Jangan ngerokok terus!” Rayan tersentak ketika bungkus rokoknya di buang ke kubangan air.

Pusing di kepalanya menjalar ke seluruh tubuh, rasa tidak enak di sekujur tubuh menguasainya, demam yang sudah lama ia tidak rasakan kini mendomonasi, kalau saja sedang sehat pasti Rayan sudah memperpanjang soal Fauzan membuang rokoknya, karena bagi Rayan, rokok itu teman sejati yang mampu menstimulus tubuhnya kapanpun ia butuh.

“Inih,” Fauzan tiba dan memberikan satu gelas bandrek jahe merah yang dicampur susu.

“Kok cuman satu?” tanya Rayan heran sehabis meminum sedikit bandrek di tangannya.

“Gue beli dua sih tadi, tapi pas gue nyebrang balik ada truk yang klaksonin gue di tengah jalan. Ya, jatoh deh yang punya gue, plus baju lo jadi kotor”

Rayan baru menyadari bahwa pakaiannya yang dikenakan Fuazan kotor terkena cipratan.

“Ini, joinan aja minumnya” tawar Rayan. Tanpa basa-basi Fauzan mengambil bandrek yang di sodorkan Rayan.

Waktu sudah amat larut hujan baru mereda.

“Ayo pulang” ajak Rayan, walaupun pening melanda ia bertekat harus kuat mengendarai motornya sampai rumah, karena Fuazan hanya bisa mengendarai mobil saja.

“Ray, bannya bocor” ucap Fauzan hampir putus asa, Rayan menarik nafasnya dalam-dalam.

***

Sudah tiga hari Rayan berbaring lemas di atas kasurnya, padahal hari ini hari pertama masuk sekolah, semua harapannya tentang menebar pesona kepada adik kelas perempuannya gagal total, tidak ada murid baru yang berbisik-bisik membicarakan—ketampanan—nya sekarang ini. Hanya bunyi jendela yang tertiup angin karena dibiarkan terbuka oleh sang pemilik kamar.

“Eh, gembel udah sehatan belom. Payah, jagoan sekolah sakit gara-gara kehujanan doang, cih” Fauzan masuk mengagetkan Rayan yang sedang termenung, Fauzan menaruh bingkisan yang berisi buah ke meja belajar Rayan. Lalu loncat ke tempat tidur, sebentar saja Fauzan merasakan sensasi nyaman dari tempat tidur Rayan seolah mengundangnya untuk ikut berbaring memejamkam mata di atas kasur ini.

“Bawel” sahut Rayan berpura-pura malas kedatangan tamu seorang Fuazan ini. Walau dalam hati ia menunggu-nunggu kedatangan Fauzan sedaritadi.

Rayan menutup tubuhnya dengan selimut tebal, lalu tiduran memunggungi Fauzan. Fauzan lantas mencebik, dengan satu hentakan selimut yang menutupi tubuh Rayan terhempas entah ke mana.

Tidak terima dengan perlakuan Fauzan, Rayan menerjang Fauzan cepat, pertempuran kecil di atas kasur di pagi hari merusak tatanan sprei yang baru diganti subuh tadi.

“Akhirnya gue bisa ngalahin babon gila ini juga, terimakasih tuhan” ucap Fauzan berlebihan ketika Rayan berbaring lemas di atas kasur yang sudah acak-acakan ini karena kalah dalam pergulatan tadi, tidak berapa lama Fauzan ikut berbaring di samping Rayan.

“Jelas lo menang, gue kan lagi sakit, norak” ucap Rayan sadis, masih tidak terima.

“Ray, cuacanya sekarang enak nih nggak panas nggak mendung, main layangan yuk” Fauzan bangkit dari posisi rebahnya.

“Nggak, nggak mau” ucap Rayan acuh.

“Yeeh, cemen, anak mami ah, sakit segitu aja lebaynya minta ampun!” ledek Fauzan.

“Nggak denger” jawab Rayan cepat.

“Kalo satu ini bisa liat kan? Gimana ya kalo Syifa dan yang lain tau, jadi gosip panas satu sekolah deh, saik!” Fauzan memperlihatkan foto bugil Rayan saat di Gunung Bunder kemarin, waktu di mana Rayan memakai pakaian basah Fauzan.

“Anak nggak tau trimakasih” umpat Rayan kesal, namun Fauzan telah berlari keluar dari kamar Rayan.

***

Rayan dan Fauzan kini sibuk membentangkan layangan di pinggir sungai dekat rumah Rayan.

Tanpa di sadari Fauzan, Rayan beberapa kali mencuri pandang ke arahnya, ada satu hal yang Rayan rasakan, segalanya telah berubah. Everything has change!

Melihat wajah tampan Fauzan yang mengerenyit kecil menatap layangannya terbang di langit dengan wajah yang berseri-seri, ikut membawa kebahagiaan kepada Rayan.

Tidak ada lagi Rayan yang berambisi pamer pesona untuk mendapatkan perhatian siapapun, karena seseorang telah mengisi kekosongan hati Rayan, membuat harinya lebih berwarna, mengingatkannya akan hal-hal yang tidak perlu dilakukan, selalu ada dan mampu menghiburnya, semua karena Fauzan.

Rayan menatap langit yang membiru indah, ia berjanji kepada dirinya sendir bahwa tidak akan pernah mengecewakan sahabatnya, dan meninggalkan sahabatnya apapun yang terjadi.

Lama termenung Rayan baru menyadari layangan yang ia bentangkan talinya putus, tawa seseorang terdengar menggaung dari arah belakang Rayan.

“Lagi semedi lo Ray?” ledek Fauzan masih tertawa penuh.

“Lo yang babat layangan gue ya? Curang, gue kan nggak siap” balas Rayan.

“Emang kalo nggak siap kayak gimana?” tanya Fuazan dengan ekspresi yang amat menjengkelkan.

“Kayak gini”

“Adauw! Sialaaan!” Fauzan berteriak sebal ketika rumput beserta akarnya yang mengikat tanah mendarat ke wajah Fauzan akibat lemparan Rayan.

Kini Rayan yang berlari menghindari kejaran Fauzan, mereka berlari ke petakan sawah yang belum ditanami bibit padi, hanya baru dibajak kerbau.

Di luar perkiraan Rayan, Fauzan mampu mengejarnya di sela-sela petakan sawah, karena biasanya Fauzan selalu berjalan hati-hati di sela-sela petakan sawah. Fauzan menyergap Rayan layaknya Harimau menyergap mangsanya, hingga Rayan dan Fauzan tercebur ke dalam petakan sawah yang dipenuhi lumpur, pertikaian kecil tidak bisa dihindari, sebentar saja, Rayan dan Fauzan menjadi manusia lumpur, tubuh mereka dibalut lumpur dengan warna khas nan pekat. Fauzan menepuk-nepuk pundak Rayan yang sedang menindihnya, kali ini Fauzan kalah lagi dalam pergulatan ala-ala mereka, “Rayan ampun” kata Fauzan.

Rayan melepas cekikkannya dari leher Fauzan, membiarkan wajah Fauzan yang tenggelam dalam lumpur menyembul, ekspresi Fauzan yang cepat-cepat mengihirup nafas, sangat menarik Rayan untuk mentertawainya.

“Anjiiir, muka lo kocak Zan” kelakar Rayan masih terbahak-bahak di atas tubuh Fauzan.

Tanpa disadari Rayan, Fauzan meraup lumpur dan memeperkannya di wajah Rayan, membuat keadaan berbalik, kini Fauzan tertawa puas, mereka tertawa bersama lalu bergulat kembali.

Gemericik air memenuhi area sekitar sungai, angin yang meniup dahan pohon bambu membuat irama yang khasnya sendiri.

“Awas lo Ray, ngisengim gue, gue tampol lo” Fauzan mengacungkan tinjunya, lalu mencelupkan kakinya ke air sungai, Rayan hanya terkekeh melihat kelakuan Fuazan.

Dengan cepat Rayan melepas bajunya yang dipenuhi lumpur, membasuh wajahnya dengan air sungai, terasa lumpur-lumpur yang telah mengering dan berkerak di wajah luruh seketika.

“Heh! Homo lu yeh ngeliatin badan seksi gue!” kelakar Rayan saat sadar Fauzan memperhatikannya.

“Najis!” cebik Fauzan lalu menenggelamkan diri ke air sungai, merasakan kesejukan air sungai yang membasahinya sekarang ini.

Selesai bersih-bersih di sungai Rayan berinisiatif menunjukan beberapa keseruan yang belum mereka lewati di sekitar sini.

“Zan, laper nggak?” tanya Rayan sambil memeras bajunya lalu baju yang sudah diperas dipakai lagi untuk menyeka bagian wajahnya yang tampan dan tegas terus turun kebadannya yang berotot, hasil tempaan alam.

“Laper, pulang yuk” ajak Fauzan.

“Jah, ngapain pulang, kita bakar ubi, di sana kebun ubi” tunjuk Rayan ke tebing sebrang sungai.

“Ogah, ntar gue dikejar-kejar pemiliknya, horor!” tolak Fauzan mantap.

“Itu justru letak serunya Zan”

Setelah bercekcok sebentar akhirnya Fauzan mau mengikuti Rayan mencuri ubi dengan syarat Fauzan hanya menemani yang mengeksekusi ialah Rayan.

Mereka tertawa-tawa setelah berhasil membawa ubi hasil curian mereka ke tepi sungai tanpa ketahuan si empunya.

Mereka mulai mengumpulkan sampah kering dan ranting untuk membakar ubi, susah payah Rayan mematik koreknya agar menghasilkan api, namun sulit agaknya karena korek tersebut basah.

“Basah Ray koreknya jadi nggak nyalah tuh” komentar Fauzan saat Rayan kesal sendiri karena koreknya yang urung menyalah.

“Akhirnya” ucap Rayan lega, api mulai membakar kertas merembet ke ranting yang berada di dekatnya, mereka mulai mengutak-atik bara api, memastikan ubi yang ditimbun di bawah bara api sudah matang atau belum.

***

Hmm…. apa ya? Selamat membaca aja deh, maaf kalo ada typo atau kata-kata yang nggak pas, soalnya gue kan Straight—eh, penulis ecek-ecek. Dan cerbung ini nggak akan bikin kalian penasaran di tiap akhir chapt-nya kok, jadi kalo nggak gue lanjut nggak akan buat kalian penasaran. Yakan? Hahaha….

Oke Gays and Gurllz, selamat membaca.