Overcast Day (2)


DIS_

Chapter 2

Society

Setelah MOS berakhir—terima kasih ya Allah—kami akhirnya resmi menjadi siswa Dominiquert International Schlong. Tau schlong itu apakan? Kalau tidak tahu, schlong itu artinya kontol—eh, penis. Schlong adalah bahasa Irlandia. Well, I don’t really like this school at all ya. Jadi jangan salahkan aku kalau aku menghina sekolah ini. Aku berada disini karena untuk melindungi Revie. Dia itu mudah menarik mata penjahat, makanya selalu harus diawasi dengan ketat. Lengah sedikit, dia pasti akan digerogoti macan berwajah Medusa. Jadi aku harus selalu siaga, ketat menjaga dan selalu ada untuknya.

Hari ini kami sedang dikumpulkan di aula super besar yang ada di samping DIS. Mau diberikan pengarahan tentang sekolah membosankan ini. Dari beberapa hari yang lalu, semenjak MOS, jarang sekali kami saling mengenal. Hanya saling menatap dan tersenyum simpul. Selebihnya kami hanya akan diam dan terus melaksanakan semua perintah. Saat MOS tiga hari yang lalu, kelompokku mendapatkan Nama Cantik yang benar-benar mengerikan. Kami diberikan nama: Tempenyol. Atau yang artinya: anak-anak telat mikir. Atau telmi. Tempenyol itu saudara dekatnya Telmi. Orang brengsek mana sih yang berani-beraninya mengecapku Tempenyol?

Dan sekarang, saat berkumpul begini, tetap saja tidak ada tanda-tanda kalau kami akan mau saling berkenalan. Kecuali Revie yang selalu menyapa orang yang menatap ke arahnya. Dia akan memasang senyuman terbaiknya, membuat orang yang menatapnya paralyzed. Sedangkan kalau aku yang memberikan senyuman kepada orang yang menatapku, dia akan cepat-cepat membuang muka menjauh. Euh, takut jatuh cinta padaku, mungkin!

Setelah mendengarkan bla bla bla yang panjang lebar, akhirnya kami dibolehkan untuk beristirahat sejenak. Nah, sekaranglah ada beberapa anak yang saling berjabat tangan saling mengenal. Beberapa orang—baik cewek maupun cowok—mendatangi Revie dan mengajaknya berkenalan. Sedangkan aku yang berdiri di samping Revie tidak diajak berkenalan sama sekali. Benar-benar payah dan menyedihkan. Daripada aku makan hati terus nggak diajak kenalan, jadi aku menjauhi Revie. Mencari suasana baru.

Sampai akhirnya aku menemukan suara itu. Tepat di belakangku.

“Hei, lo,” dia mencolek pundakku. Aku berbalik dan menatap seorang cowok berwajah bule dengan mata biru agak gelap sedang menatapku dengan menilai. Aku mengernyit bingung, bule-bule kok bisa bahasa Indonesia ya? Meskipun dia baru bilang: ‘lo’ aja sih. Tapi tetap saja dia bisa bahasa Indonesia kan!?

“Ya,” kataku pelan.

Dia melipat kedua tangannya di dada. “Lo anak orang kaya bukan?” tanyanya.

“Huh?” seruku bingung.

“Iya,” ujarnya masih dalam posisi yang sama. “Kalo lo bilang lo orang miskin, mendingan lo nggak usah temenan sama gue.” What the fuck! “Gue alergi orang miskin.”

Aku mendengus, kukeluarkan beberapa gadget mahalku. Merendahkan sekali nada suaranya, memancing kemarahan di dalam hatiku. “Gue bukan orang miskin,” kataku dengan gigi bergemeletuk. “Walopun gue orang kaya juga, gue nggak bakalan mau temenan sama lo.” Aku memasukkan kembali gadgetku ke dalam kantong celana. “Jadi… sho sho!” Aku mengibaskan tanganku, menyuruhnya menjauh.

Tetapi dia malah tidak bergeming sama sekali dari tempatnya. “Nama gue Zavan,” ucapnya memperkenalkan diri. “Lo temen gue sekarang.” Dia memasang nada seceria mungkin. Nada merendahkannya menghilang. “Mumpung lo kaya, gue kaya, kita cari orang kaya yang lain.” Zavan menarik lengan bajuku. Aku mencoba melepaskannya, namun dia menariknya dengan sangat kuat. Jadi mau bagaimana lagi. “Oh fucking Vagina!” serunya dengan suara tertahan saat melihat Revie. “Gorgeous banget cowok itu.” Dia terlonjak senang. Aku mendengus kasar dan menatapnya tajam. Pasti dia mau dengan Revie, tidak akan kuizinkan.

“Dia Revie,” kataku cepat. “Sahabat gue, dan dia bukan anak orang kaya.”

Cowok bernama Zavan ini menghentikan langkahnya. “Bukan anak orang kaya ya?” Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. “Kasihan banget, ganteng-ganteng kok jelata.” Aku berdeham memperingatkan. Namun cowok bule gila ini tidak menangkap dehamanku. Sebagai gantinya dia malah berujar, “Ya udah deh, rekrut dia juga sebagai temen gue. Nggak apa-apa miskin dan jelata, yang penting dia gorgeous.”

Kami berjalan cepat menuju ke arah Revie, yang sedang dikerumunin oleh sekelompok cewek-cewek gila tidak tahu diri. Ada beberapa dari cewek itu yang mencubit-cubit pipi Revie, ada juga yang membelai-belai rambutnya. Gosh! Rasa marahku naik ke ubun-ubun, ingin sekali aku menendang semua bokong centil cewek-cewek gatel itu semua.

Bitch, fuck off!” seru Zavan kepada segerombolan cewek-cewek itu dengan suara berdesis tajam. Tidak mengerikan memang, tapi cukup membuat orang bergidik. Mereka juga menjauh karena melihatku. Badanku memang besar, bukan gendut, tapi banyak tonjolan otot. Aku juga tidak tahu kenapa badanku bisa sebesar ini sekarang. Yang aku ingat hanyalah: aku mau pergi nge-gym, lalu membuat badanku sekekar mungkin, agar aku bisa melindungi Revie. Dan sepertinya itu berhasil.

“Darimana aja sih!?” seru Revie dengan nada mengambeknya. “Dari tadi aku nyari-nyari kamu untuk minta diselamatin, tapi kamunya malah ngilang.” Revie memonyongkan bibirnya, membuatnya makin manis dan lucu. “Dan, hai,” ujarnya ke arah bule gila yang ada di sampingku dengan nada riang. “Temen barunya And ya?”

“And?” kata bule gila itu bingung. Dia melirikku sekilas. “Oh, nama lo And ya.” Dia cekikikan seperti orang mau minta digampar. “Gue lupa nanya nama lo tadi.” Dia memasang senyum kerucut. “Dan… lo siapa?” tanyanya, wajahnya mengagumi, tetapi juga mengernyit saat menatap Revie. Pasti dia mengernyit karena Revie anak orang miskin.

Revie tersenyum simpul. “Namaku Revie,” kata Revie sembari menyodorkan tangannya.

Bule gila itu menatap tangan Revie dengan takut-takut. Tetapi akhirnya dia menyambutnya juga. “Nama gue Zavan.” Bule gila itu tersenyum kecil. “Yah, walopun lo bukan anak orang kaya, tapi nggak apa-apalah temenan sama gue. Beruntung banget ya lo bisa kenal gue.” Dia melepaskan genggaman tangan, kemudian kembali menatapku. “Habis ini kita cari satu orang lagi. Gue nggak bisa temenan lebih dari lima. Untuk sekarang ini, kita cari satu aja lagi, yang satunya lagi kapan-kapan aja. Tunggu gue tau siapa orang kaya lainnya.”

Bule itu mengeloyor pergi. Tangannya mengibas-ngibas, mengajakku dan Revie untuk mengikutinya. Revie menatapku sejenak sebelum akhirnya mengikuti bule aneh itu. Kami berjalan bersisian, dengan bule itu yang ada di hadapan kami.

“Dia ngomong apaan sih And?” tanya Revie, berbisik pelan di dekat telingaku. Langkah kami yang panjang-panjang berbenturan dengan lantai aula yang terbuat dari marmer.

“Nggak tau, dia itu orang gila,” sergahku, dan Revie tertawa pelan di sampingku. “Seharusnya kalo mau ngajak kenalan ya nanya nama, ini masa dia nanya gue anak orang kaya apa bukan!” Aku mendengus kasar, sedangkan Revie hanya tergelak sembari menatap punggung bule gila bernama Zavan itu. Aku tidak mengerti deh, kenapa sih Tuhan menciptakan manusia seperti dia. Maksudku, kenapa otaknya di setting seperti itu. Benar-benar mengerikan, rite!?

“Tivo Diatmika,” panggil salah satu staff dari atas panggung aula. Zavan, aku dan Revie berhenti seketika saat seorang cowok, dengan headseat yang menggelanyut di lehernya berjalan melewati kami dengan cuek. Wajahnya yang pendiam dan kurang bersemangat melirik sekilas ke arahku sebelum akhirnya dia naik ke atas panggung aula.

“Tivo Diatmika, gue kayak denger nama itu deh,” ujar Zavan kemudian.

Revie menatap Zavan heran. “Pastinya pernah dengerlah,” kata Revie. “Kan Tivo Diatmika itu anaknya Wiratmadja Sultan Jaya Diatmika. Anak tunggal dan pewaris utama kekayaan orang tuanya. Dia itu anak orang kaya seluruh asia tenggara ke-berapa gitu setelah Bakrie.” Ya, itu dia. aku juga baru ingat tentang hal itu. Jadi itu toh yang namanya Tivo Diatmika, anak dari Wiratmadja si penghasil uang.

Zavan menyeringai lebar. Tangannya di taruhnya kembali di depan dada. Dia menatap ke arah Tivo yang sedang diajak bicara oleh orang yang memanggilnya tadi. Tak kurang dari tiga menit, akhirnya cowok itu kembali berjalan menuju ke tangga panggung. Cepat-cepat Zavan menghalanginya. “Hai,” kata Zavan dengan senyuman lebar. “Nama gue Zavan, ini And and Revie.” Zavan berbalik ke arahku. “Nama lo kok jelek banget sih. Susah jadinya pas ngomong And and.” Aku memasang wajah sesangar mungkin, namun Zavan malah hanya tersenyum lebar. Rambut agak kepirangannya terkibas saat dia mengalihkan kepalanya ke arah Tivo. “Mulai sekarang, lo temenan sama kita. Deal?”

Cowok bernama Tivo itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi, raut pemalasnya terlihat jelas. Matanya berpindah dari Zavan ke Revie, gesturnya cukup kentara karena kaget melihat Revie. Fark! Kenapa sih orang tidak bisa biasa saja kalau melihat Revie. Seperti Bagas dan… siapa cowok brengsek itu, yang namanya seperti merek obat batuk. Oh, iya, Vick! Kenapa mereka tidak bisa seperti Bagas dan Vick!? Exhausted!

Kemudian mata cowok bernama Tivo itu berpindah ke arahku, alisnya berkerut samar, meneliti wajahku. Setelah setengah menit dia menatapku, barulah dia memindahkannya ke Zavan lagi. Dia membetulkan jaketnya sebelum berujar. “Deal.”

WHAT!!! Dia mau gabung dengan kami. Maksudku, kalau aku punya pilihan, aku pasti akan menolak. Sedangkan kalau sudah berada di dalam society ini, cowok berwajah bule gila itu pasti tidak akan mengizinkan kami keluar. Apapun caranya, dia pasti akan terus merecoki. “Dia gila juga kayaknya Rev,” bisikku pada Revie. “Mau-maunya ikut gabung.”

Revie kembali tergelak. “Biarin ah. Seru tau punya geng kayak gini.”

Aku mendengus. “Kalo gue mah berdua sama lo aja udah cukup.”

Gelakkan Revie makin menjadi. Beberapa orang menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Nggak seru tapi kalo cuman berdua. SD berdua, SMP berdua… sekali-kali kita punya geng lah. Masa duo terus. Udah kayak T2 aja. Bilang saja… OK!” Revie menutup ucapan terakhirnya dengan lagu. Membuatku tertawa pelan bersamanya. Ah, andai dia tahu, berdua seperti ini saja sudah cukup. Tapi kalau Revie mau punya geng, ya sudah. Aku menurut saja.

***

Ternyata Zavan tidak seburuk apa yang kupikirkan pertama kali. Walaupun dia mempunyai sifat begitu, tetapi dia bukan orang yang suka pamer atau menyombongkan diri. Sisi lainnya, dia juga orang yang royal dan tidak pelit. Tiga bulan kami bersama, Zavan selalu membelikan Revie ini-itu, dan dia melakukannya dengan senang hati. Saat kutanya pada Zavan apakah dia mempunyai maksud terselubung pada Revie, dan jawaban yang dia berikan hanya tiga kalimat: diakan sahabat gue. Dari situlah aku merubah pandanganku tentang Zavan. He is a good bestfriend.

Bulan pertama kami berteman dan masuk di sekolah ini, kami berempat memang mengatur jadwal pelajaran kami secara bersamaan. Kecuali hari Jumat, tentu saja. Aku suka homeroom Physical Education, Revie suka homeroom Physics atau Chemistry atau Mathematics, pokoknya yang seputaran tentang rumus-rumusan. Euh, kalau aku mah lebih baik ditembak Hitler daripada mengambil pelajaran itu sebagai mata pelajaran tambahan.

Tivo lebih suka masuk homeroom Digital Arts. Sedangkan Zavan, dia akan masuk homeroom mana saja selama yang mengajar teachernya cakep, nggak tua, pantatnya seksi, bibirnya menggoda dan menggairahkan. Krik krik!

Astaga! Aku lupa bilang ya pada kalian kalau kami berempat sudah saling mengetahui orientasi seksual kami masing-masing. Itupun gara-gara Zavan sebenarnya. Orang paling suka blak-blakkan di seluruh dunia. Jika dia membuka mulutnya, dia akan mengucapkan semua kata dan kalimat yang ada di pikirannya. Entah itu ucapan yang bagus untuk di dengar telinga ataupun ucapan yang akan membuat telinga dapat dosa nantinya.

Satu bulan pertama kami bersama, kami cukup… well, katakan saja dikenal banyak orang. Mereka segan padaku karena saat di MOS hari terakhir aku membentak semua seniorku. Sorry ya, aku bukan orang yang suka dibentak-bentak terus, jadi aku membentak mereka balik. Alhasil, mereka takut padaku. Sedangkan Revie… sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Kalau Tivo, dia disegani karena dia orang kaya. Lagi pula, kata teman-teman SMP nya, Tivo itu jahat kalau sudah membuka mulutnya yang sering terkunci rapat. Aku tidah tahu jahat dalam bentuk apa. Kalau Zavan, euh, dia berlidah tajam… dan punya pikiran yang sangat kejam. Beware lah kalau sama cowok bule gila satu itu.

Kami membuka kedok orientasi seksual kami waktu di DisCaf. Zavan yang matanya suka jelalatan dengan riangnya melirik kesana-kemari. Kemudian matanya yang berwarna biru mengerikan itu berhenti di kumpulan anak-anak cowok grade 12.

Look at that!” serunya sembari menunjuk seorang cowok berotot besar sepertiku dengan dagunya. “I like him, gawd! Hawt!” Zavan tertawa kecil. Membuatku dan Revie saling bertukar pandang aneh. “Gue mau banget cipok bibirnya, terus ngerasain penisnya di dalem mulut gue. Ouch, pasti seru.”

Mulutku dan mulut Revie sontak menganga lebar. Tivo saja yang daritadi sibuk dengan sesuatu di iPadnya ikut mendongak menatap Zavan dengan raut wajah sangat-sangat kaget. Well, kan kami kala itu belum saling mengetahui orientasi seksual kami yang sebenarnya.

Sadar diperhatikan seperti itu, Zavan menatap ke arah kami dengan pandangan malas. “Why guys?” tanyanya santai, seolah-olah tadi dia sedang membicarakan hal yang tidak tabu. “Ngeliatin gue segitunya banget. Biasa aja kali.”

“Kamu…” Revie menggantung ucapannya.

“Ya, ya, ya,” ujar Zavan cepat. “I’m gay. And I’m gayhappy.”

Really?” tanyaku dan Revie bersamaan.

Zavan menyeringai. “Certainly,” sahut Zavan. “Ngapain gue bohong, nggak ada gunanya.” Zavan menyeruput Chip Mint-Lattenya. “So… what?”

Aku hanya menaikkan pundakku tinggi-tinggi, tidak tahu harus berkomentar apa. Tivo yang tadi menatap langsung ke arah Zavan kini sudah balik lagi ke iPadnya. Sedangkan Revie yang duduk di sebelahku tersenyum penuh arti ke Zavan. “Aku juga… gay. Kayaknya sih gitu.” Zavan terlonjak dari dudukannya dengan raut wajah ceria. Aku dan Tivo sontak langsung menatap ke arah Revie. Well, aku tidak kaget, tentu saja. Kan dia suka dengan Bagas. Dan Bagas itu laki-laki.

Enchanté!” seru Zavan. Bibirnya yang ranum tersenyum lebar. “Gue kira hanya gue sendiri yang…” dia menurunkan volume suaranya. “Gay.” Revie hanya tersenyum lebar sambil mengedikkan bahunya. “Jadi… gimana menurut lo cowok yang gue bilang tadi?”

Revie kembali menatap cowok yang penisnya ingin Zavan rasakan di dalam mulutnya. “Ganteng sih, tapi bukan tipe kesukaanku.” Revie memindahkan tatapannya ke society gabungan dari grade 11 dan grade 12. “Aku selamanya akan suka sama dia.” Kami bertiga serentak mengangkat kepala kami untuk menatap cowok yang ada di arah pukul jam dua. Dan… shit! Tentu saja dia menunjuk Bagas.

“Cowok yang itu?” tanya Zavan, menunjuk Bagas dengan dagunya. Revie mengangguk pasti. Mata Revie yang bulat dan hitam sempurna berubah lembut ketika menatap wajah Bagas. Kepalanya terteleng ke samping, bibirnya tersenyum lebar. “Menurut gue orang itu nggak ganteng-ganteng amat. Kok lo bisa suka sih?”

Tatapan Revie berpindah ke arah Zavan. “Walaupaun wajahnya nggak ganteng, tapi hatinya yang ganteng.” Revie berkata dengan nada teguh. “Aku… suka aja sama dia.” Pembicaraan pun selesai saat itu juga. Karena Tivo yang sedaritadi diam, tiba-tiba membuka mulutnya.

“Gue rasa… gue ini biseksual.” Karena kami capek daritadi kaget-kagetan terus, jadi kami hanya memasang wajah datar. Ingin menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan oleh Tivo, namun dia memang orang yang benar-benar pendiam. Meskipun kami sudah menatapnya lekat-lekat, dia tetap saja diam. Matanya menerawang, raut wajahnya berubah malas. Euh, memang susah kalau ngomong sama orang yang suka puasa bicara.

“Kayaknya gue juga bisek deh,” kataku cepat. Daripada tidak ada yang bicara.

Revie menatapku dengan dahi berkerut. “Masa sih?” tanyanya dengan suara terkejut.

Well… yeah.”

Zavan hanya menatapku sebentar, sebelum dia memainkan matanya ke arahku dan ke arah Revie secara bergantian. Aku mengerti siratan itu. Aku tahu kalau Zavan mengerti jika aku menyukai Revie. Jadi dia tidak terlalu kaget mendengar pengakuanku. Kakak cowokku saja dengan mudahnya menebak hal itu. Katanya aku terlalu kentara menunjukkan rasa sukaku pada Revie. Nenek-nenek katarak saja pasti bisa tahu arti tatapanku untuk Revie.

Mengapa aku bilang aku bisek? Itu karena aku pernah membuat sebuah hubungan dengan seorang cewek saat aku SMP. Rencananya sih untuk membuat Revie cemburu. Tapi, ternyata dia tidak menunjukkan rasa cemburu sedikit pun. Walaupun aku menyukai cewek yang kala itu menjadi pacarku, rasa sukaku pada Revie lebih besar. Daripada aku dan dia makan hati, jadi lebih baik kami putus. Dan sekarang, tujuanku hanya satu, membuat sahabatku jatuh cinta padaku. Meskipun sangat sulit melakukannya.

Baiklah, sekarang lupakan tentang cinta-cintaan. Mari kita bahas sekolah yang sudah menjadi tempatku belajar selama tiga bulan ini. Yang artinya disini adalah… sekolah ini mengajarkanku untuk menjadi orang yang kuat. Kuat ketika dilirik dengan dengki, kuat ketika mendengar nada-nada mencemooh, kuat dengan desisan the haters dan kuat untuk banyak hal lainnya. Sekolah sialan ini seperti perumahan setan. Semua orang yang ada disini berlomba-lomba untuk menjadi orang yang sangat populer. Yang disegani dan dihormati. Mereka akan melakukan segala cara… yang terpuji maupun yang ter-menjijikan sekalipun.

Ada beberapa golongan society di sekolah ini. Yang pertama adalah society untuk para cowok. Di sekolah ini kami menyebutnya dengan Flocks. Cowok-cowok yang beranggotakan lebih dari tiga orang. Sedangkan untuk yang ceweknya diberi nama Clique. Cewek-cewek yang tergabung di dalam Clique adalah sekelompok cewek yang akan saling berlomba-lomba untuk menunjukan fashion mereka. Sedangkan yang cowok… akan menunjukkan Flocks siapa yang lebih unggul. Yah, sekolah inikan memang bodoh!

Bagaimana dengan yang diluar Flocks dan Clique? Oh, mereka akan diberi nama Bevy. Gabungan dari sekumpulan cewek-cewek dan cowok-cowok. Aku hanya tahu beberapa Bevy di sekolah ini. Itupun Bevy yang—I hope they die young—sok alim. Yang akan menyebarkan brosur tentang indahnya damai dan bla bla bla fucking lainnya. Biasanya, Bevy yang sok alim seperti inilah yang akan menjadi musuh paling licik.

Jika Clique, bah, mereka lebih mementingkan gaya daripada cowok. Jadi… Clique tidak terlalu kuketahui. Palingan aku hanya tahu Sisyl, alpha Clique norak yang pernah nembak Revie di depan semua orang. Yang akhirnya ditolak dengan Revie secara halus. Ya, iyalah Revie nggak mau. Sama aku aja dia masih ogah, apalagi sama cewek. Fuck your Vagina off you stupid lass!

Flocks yang aku tahu hanya sekumpulan cowok-cowok tucky yang menamai diri mereka Homophobia. Atau yang lebih pantas disebut Bitch Parade. Euh, sekumpulan gigolo-gigolo tidak laku yang lebih baik segera dimusnahkan dari dunia ini. Alpha mereka, yang namanya Peter itu sangat menyebalkan. Hanya Flocks mereka saja yang suka mencari masalah. Walaupun tidak pernah mencari masalah secara langsung padaku dan Flocksku.

Selain Peter si manusia berwajah Satan itu, berhati-hatilah dengan double slut. Mereka berdua adalah cowok jahat yang akan mengintimidasimu di saat kamu lengah. Sudah ada beberapa cewek dan cowok lengah yang menjadi korban mereka. Biasanya korban double slut akan takut untuk menginjakkan kaki mereka ke sekolah ini lagi. Double slut terdiri dari Diaz dan Wira Priharto. Sebenarnya hanya Diaz yang jahat, sedangkan Wira orang yang baik tapi mudah dipengaruhi. Wira teman SMP ku. Aku cukup mengenalnya, makanya aku kaget ketika dia masuk di golongan double slut. Ckckck!

Lupakan semua itu lagi! Sekarang… aku ucapkan selamat datang kepada kalian yang sudah mengenal sekolah sialan ini. Sekolah yang sangat mirip reality show. Sebagian besar orang yang bersekolah disini ekonominya pasti tinggi. Hanya ada beberapa ratus, atau mungkin hanya ada beberapa puluh anak yang mendapatkan beasiswa seperti Revie. Yang pintar di sekolah ini, bisa kukatakan pasti hanya ada beberapa saja. Anak-anak beasiswa karena kepintaran benar-benar dituntut untuk menjunjung tinggi nama sekolah ini baik-baik. Agar sekolah mereka dikenal sebagai penghasil anak-anak pintar. Bukan bitch parade!

Tetapi jika ditanya, aku tidak akan menyesal karena bersekolah disini. Banyak pengalaman yang bisa kupelajari. Lagi pula, sistem pengajaran dan pelajaran di sekolah ini bagus. Guru-gurunya profesional, sudah seperti dosen-dosen di Universitas Wina yang kutemui beberapa minggu yang lalu. Saat Revie pergi ke Wina—dan dia boleh mengajak satu orang, kemudian dia memlihku—untuk beberapa hari buat mengikuti olimpiade Kimia dan Fisika disana. Dan… well, dia menang. Nama DIS, makin terkenal di Wina akibat hal tersebut.

Sekolah ini juga makin menarik ketika kami mendapatkan murid baru pindahan dari New York. Zavan bilang dia mengenal cowok itu saat kami sekelas di homeroom Biology. Kata Zavan cowok itu temannya di Manjam dan di Hornet. Situs gay dan chat. Aku tidak benar-benar mengerti sih buat apa Manjam dan Hornet, seperti orang desperate saja kalau sampai main di situs gay seperti itu. Meskipun kata Zavan itu adalah situs untuk mencari teman yang nasibnya sama. Bah, nasib apaan? Memangnya jadi gay bakalan nggak punya temen gitu?

Balik lagi. Murid baru itu sukses jadi sasaran Peter. Cowok berwajah satan itu mengganggunya, kemudian menguncinya di bilik WC yang ada di belakang sekolah. Untung saja kala itu Revie mengajak kami pergi ke belakang sekolah untuk mencari tanaman paku or whatever yang menjadi tugas kelompok di pelajaran Biology. Jeritan lirihnya lah yang akhirnya membuat kami menolongnya. Saat kami berkenalan dengan murid baru itu, kami tahu dari cara bicaranya kalau dia adalah orang yang sombong. Serta… wajahnya benar-benar terlihat kejam. Bahkan lebih kejam dari si Diaz double slut itu.

Namanya Sid, by the way. Zavan dan Revie merekrutnya sebagai Flocks kami. Akhirnya kami genap—atau ganjil—berlima. Meskipun aku tidak terlalu peduli. Tetapi adanya Sid di dalam Flocks kami, makin banyak orang yang bergunjing. Apalagi setelah mereka tahu siapa itu Sid. Hiii, aku saja merinding saat baca artikel panjang tentang cowok itu. Dia pernah membuat banyak orang sengsara… dan dia melakukan hal itu hanya untuk kesenangannya.

Tetapi aku salah, dia melakukan hal itu karena semua orang itulah yang mengganggunya terlebih dahulu. Dia hanya ingin menjaga harga dirinya. Kesombongan yang ada di dalam dirinya tidak mau dia jatuhkan begitu saja. Meskipun dia sudah agak melunak sekarang gara-gara dia dekat dengan musuh besarnya yang ternyata teman seks pertamanya. Adam. Sahabat dekat Bagas. Euh!

“Gue kira lo sama Vick bakalan ngancurin liftnya,” ujar Zavan tiba-tiba, menarikku kembali ke dalam duniaku yang sekarang.

Aku menghadapkan kepalaku ke arah lift. Oh, iya, kemarin aku dan Vick se-lift. Tapi tidak terjadi apa-apa di antara kami. Lagi pula itu sudah ke-empat kalinya aku se-lift dengannya. Vick dan aku tidak akan berkelahi jika di tempat sepi. Malas. Bisa-bisa nanti tidak ada yang melerai kami, dan kami berdua akan saling bunuh lalu rest in peace. Sorry ya, sebelum dapat Revie aku tidak mau mati dulu.

“Tapi baguslah, jadinya kita nggak bakalan naik tangga.” Sid berkata dengan nada sombongnya. Dia memang tidak sedang sombong, hanya saja nada suaranya memang seperti itu. Jadi, aku sudah terbiasa.

“Kok kalian berdua kemarin nggak berantem?” tanya Revie yang berdiri di sebelahku.

Semua orang tahu kalau aku dan Vick saling membenci. Suka berkelahi setiap kami melihat wajah masing-masing. Aku juga tidak tahu kenapa setiap kali aku melihat wajahnya, dia akan memasang raut jijik untukku. Tentu saja amarahku naik gara-gara ditatap seperti itu. Lagipula dia pikir dia siapa. Kami sudah beberapa bulan di sekolah ini, tapi aku belum dapat petunjuk apapun tentang mengapa dia bisa sebegitunya membenciku. Kalau dipikir-pikir lagi dengan seksama, apakah dia benci padaku karena aku pernah menabraknya dan menumpahkan Pop Ice ku ke bajunya. Euh, kayaknya enggak deh. Pasti ada hal lain.

“Lagi nggak kepengen berantem. Males.” Aku menyilangkan tanganku di depan dada.

SCUSE me?” seru Zavan tak percaya. “Emang bisa gitu kalian berdua nahan berantem kalian?”

Aku mendengus. “Well, ya.”

Congrat then,” celutuk Zavan. “Gue kira kalian nggak bakalan bisa. Secara kaliankan selalu berantem setiap kali ketemu muka. Udah kayak Tom & Jenny aja.”

“Jerry,” koreksi Tivo.

“Ya, ya, ya, whateva!” Zavan menekan kuat-kuat tombol lift. Pintu yang terbuat dari besi itu daritadi belum terbuka-buka juga. Lift sekolah ini memang agak lama. Mungkin karena banyak yang menggunakannya. Sedangkan lift yang satunya ukurannya kecil, mana muat untuk kami berlima. Itu lift hanya untuk tiga orang saja. Euh, seharusnya lift-lift yang ada di sekolah ini diperbesar dan dipercepat.

Suara baru tiba-tiba menghampiri telinga kami. “Hai, yank.” Aku dan yang lainnya langsung menengok ke arah Adam, yang kini sudah melingkarkan tangannya di pundak Sid. Wajah Adam yang sumringah menatap Sid dengan tatapan yang sangat-sangat… apa ya? Pokoknya tatapan orang yang sedang jatuh cinta. Apakah tatapanku ke Revie seperti itu juga? Haaa… bisa jadi. Mulai sekarang aku harus memasang ekspresi biasa saja untuk Revie. Agar tidak terlalu kentara aku menyukainya.

What is that ‘yank’?” tanya Sid bingung, raut wajahnya yang sombong beralih ke Adam.

Adam memain-mainkan alisnya. “Yank itu artinya sayang.”

Aku dan Zavan langsung membuat ekspresi pura-pura ingin muntah, sedangkan Revie tertawa kecil. Tivo menatap Sid dan Adam secara bergantian, lalu kepalanya menggeleng-geleng. Wajah sombong Sid bersemu merah. Sedangkan Adam malah mempererat lingkaran tangannya di pundak Sid.

Tawa Revie tiba-tiba terhenti saat seseorang dengan badan yang tinggi dan tegap berdiri di sampingnya. Badan Revie menengang, pegangngan tangannya yang tersampir di seragamku makin erat. Wajahnya lebih bersemu merah daripada Sid. Matanya yang lebar melotot salah tingkah dan kakinya agak gemetaran. Aku mengernyit bingung melihat ini, lalu kupindahkan tatapanku ke samping Revie. Krik, ternyata gara-gara itu toh.

Bagas dengan kaus jersey nya sedang berdiri di samping Revie dengan style sok berwibawa. Cowok bergaya dandy itu memasang raut wajah dingin. Wajahnya tidak tampan, tapi… ck, entahlah. Rambutnya yang hitam dan sedikit agak terurai sengaja diacak-acak, agar lebih bergaya zig-zag dan kewl. Ick, malasnya sama orang satu ini! Kenapa sih dia harus berdiri di samping Revie!? Kenapa dia tidak jauh-jauh saja dari kami!?

“Hari ini emangnya ada pertandingan ya Gas?” Suara Zavan tiba-tiba hadir untuk bertanya.

Wajah Bagas yang sinis berpaling ke arah Zavan, dia memasang senyum misteriusnya. “Ada. Lawan grade 12.”

“Wah!” seru Zavan kencang. “Gue sama Revie kayaknya bakalan nonton nih. Iya nggak Rev?” Zavan seketika langsung berdiri di depan Revie. Tangannya yang panjang itu menarik lengan Revie dengan antusias yang dibuat-buat. Aku menggeram tidak suka, namun Zavan tidak memperhatikan. “Gue sama Revie bakalan ngedukung lo pastinya. C’mon grade 11!” Zavan memasang senyuman lebar.

“Yeah!” kata Revie kaku.

Bagas menggerling Revie beberapa nano sekon. Wajahnya yang sok kewl itu kemudian berpindah ke Zavan lagi. “Oke. Wait you there.”

Ting!

Lift pun terbuka. Aku cepat-cepat menarik lengan Revie dan mengajaknya masuk ke dalam lift. Zavan dan Tivo mengikuti dari belakang. Kemudian disusul dengan Sid dan Adam. Sedangkan Bagas hanya berdiri di depan kami tanpa ada tanda-tanda ingin masuk. Saat ditanya, dia bilang akan naik lift yang satunya saja. Soalnya lift ini sudah penuh. Baguslah kalau begitu! Lebih baik dia pergi jauh-jauh saja sana.

Ketika lift tertutup, barulah Revie bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Zavan menepuk pundak Revie pelan. “Lo nyantai ajalah kalo deket Bagas Rev,” kata Zavan sok mendidik. “Jangan kaku dan salting gitu. Malah ngebuat lo kayak orang… dungu. Kan lo orangnya pinter. Selalu diajak kemana-mana kalo ada olimpiade tentang pelajaran. So, stop being so clumsy.”

“Nggak bisa Zav,” kata Revie. “Aku nggak bisa. Jantungku selalu deg-degan kalo Bagas ada di sekitarku. Aku nggak bisa mikir jernih.”

“Lo suka sama Bagas, Rev?” tanya Adam tiba-tiba.

Revie mengalihkan tatapannya ke arah Adam dengan takut-takut. “Hmm, iya. Jangan kasih tau dia ya. Ntar dia malah makin nggak suka sama aku.”

Kami berlima—termasuk Adam langsung menatap ke arah Revie dengan raut bingung. “Emang dia nggak suka sama lo ya?” tanya Sid kemudian.

“Mungkin aja. Soalnya dia nggak seneng gitu sama aku.” Revie berujar sedih. Tanganku gatal sekali ingin meninju wajah Bagas karena sudah membuat Revie sedih seperti ini.

“Nggak mungkin lah dia nggak suka sama lo.” Zavan mencoba menghibur, suaranya yang berisik menenangkan Revie. “I mean, lo itukan orangnya baik. Udah kayak Ibu Peri yang main di sinetron Kisah Sedih di Hari Senin.”

“Minggu,” koreksi Tivo.

Zavan berbalik ke arah Tivo. “Suka-suka gue dong. Mau Senin kek, Jumat kek.” Zavan menjulurkan lidahnya dengan gemas ke arah Tivo. Sedangkan Tivo hanya mengernyitkan wajahnya dan kembali ke pikirannya lagi. “Just be yourself ajalah Rev. Iya nggak And?” tanya Zavan seketika padaku.

Aku hanya menaikkan pundakku tidak peduli. Buat apa juga? Kalau aku peduli lalu Revie dan Bagas jadian bagaimana. Errrr, I won’t let do that.

Ting!

“Gue sama Adam turun disini, Flocks,” kata Sid membuyarkan lamunanku. “Mau ke klub  Baseball bentar, ada urusan penting. Ntar sekitar jam setengah sepuluh kita ketemu di DisCaf ya.” Kemudian Sid dan Adam mengelonyor keluar dari dalam lift.

“Gue juga. Mau ke klub Catur.” Tivo yang tadi berdiri diam dengan manis di belakang tubuhku tiba-tiba angkat suara. Tubuhnya yang agak kurus dengan lincah melewatiku.

See ya all,” kata Zavan sembari melambai-lambaikan tangannya. “Oh, by the way Sid and Adam, kalo ternyata klub Baseball kalian sepi dan kalian mau melakukan hal yang…” Zavan memasang wajah menggoda. Aku dan Revie tertawa pelan. “Pokoknya, safe sex ajalah ya.”

Ting!

Lift tertutup saat Sid baru saja ingin menghampiri Zavan ke dalam lift dengan raut wajah siap menerkam. “Sehari aja mulut lo diisolasi Zav, pasti dunia ini tenang dan damai sentosa.”

“Eww!” kernyit Zavan jijik. “Lo kedengeran kayak BevyBevy sok alim itu deh.” Revie tertawa kencang, sedangkan aku sedang mencoba menahan emosiku. Ah, percuma saja marah-marah dengan Zavan, dia pasti tidak akan mendengarkan amarahku.

Saat sudah sampai di lantai tiga, Revie melepaskan tangannya yang ada di seragamku. Aku merasa kehilangan, tetapi mau bagaimana lagi. Kami beda klub. Dia di anggota student organization, sedangkan aku di klub karate. “Kalian berdua bakalan nonton Bagas ya?” tanyaku pada saat berada di luar lift.

“Yep,” sahut Zavan. “Hari ini klub anggar gue lagi nggak ada pertemuan apa-apa. Jadinya, daripada bengong lebih baik ke lapangan sepak bola terus nonton cowok-cowok macho nendang bola.” Zavan merangkul pundak Revie. Biasanya aku akan cemburu, tetapi karena aku tahu Zavan tidak akan mau dengan Revie, jadi aku tidak merasakan sengatan cemburu sama sekali. “Setelah nganterin Revie ngasih proposal keuangan student organization-nya dulu, tentu.”

Nah, yang membuatku cemburu itu si Bagas ini. Revie akan menonton Bagas di lapangan sepak bola itu. Kenapa dia tidak menontonku latihan saja? Euh, sudahlah. Biarkan pertanyaan itu hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. “Have fun, then.”

Revie dan Zavan mengangguk serempak, sebelum akhirnya pintu lift tertutup dan menuju ke arah lantai empat. Damn, I’m so jealous rite now with that stupid guy! Bagas Prakos. Errr!

***

“Gue latihan sampe sore, kalian pulang duluan aja ya.” Aku berkata cepat di telpon saat Sid menelponku. “Kalo bisa Sid, anterin Revie pulang ya. Dia tadi sama gue, tapi karna gue masih sibuk di klub, jadi nggak bisa anterin dia pulang.”

“Sippo!” seru Sid. “Ntar gue sama Adam bakalan anter dia.” Kemudian suara berisik Zavan terdengar di telingaku. “Zavan bilang, tadi Revie dapet ciuman dari salah satu pemain sepak bola grade 12. Lo nggak cemburu kan?”

Tiba-tiba hatiku mendidih. “WHAT!!!” Aku berseru kencang. “Siapa cowok itu?”

Kemudian suara tawa menggema di ujung sana. Shit! “Kita cuman bercanda aja kali!” Suara tawa Sid dan Zavan terus berkumandang di telingaku. “Satu-kosong.” Lalu Sid mematikan sambungan telpon sebelum mendengar amarahku.

Aku membanting iPhoneku ke dalam handbag Adidas yang dibelikan Sid saat dia ke Bali kemarin. Aku mengacak-ngacak rambutku dengan rasa frustasi. Ada apa sih denganku? Mengapa aku terlalu suka seperti ini pada Revie? Aku sebenarnya suka atau hanya terobsesi menginginkan Revie untuk diriku sendiri? Ugh, hal ini benar-benar menyebalkan. Tidak baik menginginkan orang sampai sebuta ini.

Kulampiaskan semua amarahku ke latihan hari ini. Kutendang semua yang ada di depan mataku, kutinju semua yang berada di sekitarku. Aku benar-benar bingung. Jika aku menyukai Revie, aku pasti tidak akan merasa seingin ini menjadikannya milikku. Ini tidak sehat. Ini benar-benar bukan rasa suka… ini seperti obsesi pada sesuatu. Obsesi yang sia-sia. Dia menginginkan Bagas, bukan aku. Seharusnya aku segera menyerah. Aku melakukan hal yang tidak berguna. Menanti orang yang kumaui berbalik arah kepadaku.

Setelah selesai mandi dan membersihkan semua keringat yang menempel di badanku, aku segera menggunakan kaos Wallis-ku, celana Ted Barker-ku dan jaket FCUK ku lagi. Kulirik jam tangan E&M ku, shit! Mataku terbelalak saat mengetahui kalau sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Saking sibuknya emosi dan marah-marah, aku sampai lupa waktu. Teman-teman satu klubku sepertinya sudah pulang semua. Gosh! Harus cepat-cepat ini, sebelum dikunci disini. Pasti Pak Eko—satpam sekolah—lupa mengecek apakah ada anak yang masih di dalam sekolah. Eik, dia memang benar-benar satpam pelupa.

Kusampirkan handbag Adidasku di pundak, lalu segera berjalan ke arah pintu keluar klub Karate. Aku terhenyak saat baru saja membuka pintu. Si merek obat batuk sedang mengunci pintu klubnya. Klubku dan klubnya memang bersebelahan. Lihat dia! Bah, mentang-mentang dia penanggung jawab klub Taekwondo jadi dia harus selalu mengunci pintunya gitu. Klubku saja pintunya tidak dikunci. Lagipula siapa yang mau mencuri? Dasar aneh.

“Belum pulang Njing?” tanyaku sembari menepuk pundaknya dengan agak keras.

Dia terlonjak kaget, badannya yang hanya seukuran Revie berbalik ke arahku. “Belum Nyet!” ujarnya sambil menendang tulang kering kakiku.

Ouch! Sakit juga tendangannya. “Gue lagi males berantem ya,” ucapku, tanganku sibuk mengelus-ngelus tulang kering kakiku yang ditendang olehnya. “Mendingan gue pulang sekarang.” Lalu akupun berlalu dengan sesegera mungkin dari pandangannya.

Aku menekan panel lift dengan sekali sentak, satu menit lebih kemudian liftpun terbuka. Aku segera masuk dan menekan angka satu. Baru saja lift ingin tertutup, tiba-tiba si merek obat batuk masuk tanpa di undang. Baiklah, ini memang lift umum. Tapi… ahh, biarkan saja. Toh bukan sekali ini aku dan dia satu lift.

Kami terdiam beberapa saat, lalu pintu lift pun tertutup. Aku menekan kuat-kuat handbag Adidasku. Mataku sekali-sekali melirik ke arahnya. Wajahnya yang tegas namun lembut sedang menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya yang berwarna hitam dan agak panjang di depannya, jatuh ke keningnya lalu turun sedikit ke matanya. Tanganku gatal sekali ingin mengibas rambut tersebut. Namun aku cepat-cepat mengurungkan niatku saat dia mulai menggerakan badannya.

Lift baru sampai di lantai dua saat dia menatapku dengan mata sayunya. Mulutnya baru saja terkuak saat tiba-tiba lampu lift mati total dan lift bergoyang hebat. Tanpa aba-aba, tanpa sadar, dan seperti hipnotis, tangan kami terpaut menjadi satu. Tapi bukan itu yang kupikirkan.

Saat ini aku dan dia terjebak di dalam lift. Dan itu sangat berbahaya!

 

–Ups, Bersambung to Chapter 3–

21 komentar di “Overcast Day (2)

  1. heloo my honey bebi ngoookkk…

    seperti biasa,ceritamu selalu membuat aq tercengang dan ketawa ngakak,ahahaha

    km itu bner2 author yg bitchy otak.a yahh,ahahaha
    sumpah nggak salah kalo aq selalu mengidolakan karya km…bkn km.a yah,so plis nggak usah kepedean,ahaha

    oke aq tggu next chapter.a…
    oh ya mau tanya donk, si And itu penderita claustrophobia nggak??

    kalo iya,pasti bklan ada adegan so sweat di lift itu,hahaha

    • thanks many much baby.
      aahhh, i know you are my fans. not just about what i wrote, but myself too,
      don’t you even dare to try to deny it, haha, cause i know the truth :p

      aku sudah jwb ttg itukah di WhatsApp, so just wait and see 😀

  2. Sifatnya zavan yang ngak pernah dengerin orang marah ke dia itu,,, ngingetin ke seseorang, yeah itu gak penting sih -_-“. Kerja Bagus rendi febrian, semoga sukses

  3. ren bgus bgus bngt .. apa gi pas sesi kenalan gila abis…
    boleh request gk ?? kayanya and cocokan sama revie dah kan CINTA DATANG KARNA TLAH TERBIASA…. hayoo lah please….
    oia seminggu skali ya update’a ???? maju truss rendi w truss tunggu karya2 u ok

  4. ok tetep keren kq…..
    org jawa timur ya? ?
    kq dslh satu cerpen’a ada tahu tek? ?
    padahal djakarta nama’a ketoprak…
    hehehe …

  5. rendi emang jempolan.. 8 jempol deh#pinjam punya bang Andy, jempol tangan jempol kaki.
    tetap semangat ,, biar bisa cepet lanjutnya..

Tinggalkan Balasan ke Rei Batalkan balasan